Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Kamis, 01 Mei 2014

Demokrasi dalam Berbahasa dan Berbudaya

Pilihan hidup setiap lapisan masyarakat tentu sesuai dengan kemampuan dan kondisi dari sekitarnya. Begitu pula dengan pemilihan kata dalam berbahasa dan beraktivitas sehari-hari, tidak terlepas akibat perkembangan budaya.  Globalisasi selalu menjadi topik setiap bahasan untuk segala pertukaran budaya antar-negara didunia. Fenomena ini bukanlah hal yang asing, karena dunia sekarang menuntut negara untuk terus berinovasi mengembangkan pola hidup menjadi instan, berkomunikasi dengan waktu yang singkat. Begitulah kenyataan perkembangan teknologi yang tertata diantara negara, seolah-olah seperti tidak ada garis geografis untuk saling mengenal budaya satu dan lainnya. Pola kehidupan masyarakat pun menjadi terlihat homogen dengan identitas kebudayaan masing-masing yang diperkenalkan keluar wilayahnya.
Budaya berarti kebiasaan yang dapat terbentuk dari bahasa dalam berkomunikasi. Bahasa termasuk dalam kebudayaan, namun  budaya tidak hanya membahas tentang  kebahasaan. Indonesia yang memiliki banyak provinsi, menghasilkan diferensiasi budaya. Terdapat bahasa Jawa untuk Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, berbeda dengan Provinsi Jawa Barat yang nama bahasanya disebut bahasa Sunda. Provinsi lainnya, seperti Sumatera terdapat bahasa Batak, Bali terkenal dengan bahasa Bali. Sistem pemerintahan Indonesia mendorong masyarakat berhak memilih berbahasa maupun berbudaya melalui domisilinya tanpa lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga sistem ini berpengaruh kuat untuk arah identitas negeri ibu pertiwi. Karena itu, Demokrasi Pancasila telah menjadi tonggak pemicu langkah rakyat mengiringi pemerintah, berlari bersama menunjukkan pada negara asing bahwa Indonesia juga memiliki banyak pertunjukan seni yang khas. Demokrasi Pancasila membentuk paradigma berbeda untuk negara lainnya karena ideologi Indonesia terus eksis diutamakan dalam aktivitas pemerintahan. Namun, arah pergerakan dari sistem ini tidak ekuivalen terhadap hasilnya. Dasar negara kuat bertahan, namun pertumbuhannya di masyarakat menjadi rapuh.
Demokrasi Pancasila milik Indonesia tentu berbeda dengan demokrasi liberal.Demokrasi liberal merupakan suatu bentuk sistem yang meembebaskan hak rakyat tetapi tidak sampai melanggar hukum Walaupun sebelumnya, di tahun 1945 Indonesia pernah menggunakan sistem demokrasi liberal, namun Pancasila tetap membedakan hal ini. Demokrasi yang berarti hak ada ditangan rakyat, dapat membentuk karakter Indonesia dengan ketentuan yang tertera dalam Pancasila. Tidak hanya suara rakyat yang dibutuhkan dalam memilih pemimpin negara, namun hal ini juga perlu dalam pembentukan karakter Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika yang menyatukan garis-garis wilayah Indonesia, memberi pandangan global untuk masyarakat bahwa negaranya kaya budaya berasal dari beragam keyakinan, karakter, suku namun tetap satu. Hal ini yang menjadi acuan dari ideologi dan tujuan negara, namun nyatanya perkembanganzaman membawa korelasi yang tidak seimbang.  Fenomena sosial yang terjadi dikalangan pemuda kini, semakin mengagumi budaya negara lain, menjadi konsumtif terhadap teknologi. Seperti dikatakan Fareed Zakaria dalam  bukunya yang berjudul Masa Depan Kebebasan, “Kuantitas telah menjadi kualitas.” Budaya demokrasi telah menjadi pembentuk pola pikir untuk konsumtif. Konsumtif termasuk dalam budaya yang mengarahkan kelompok masyarakat untuk memiliki barang bestseller. Bentuk dari konsumtif dapat menumbuhkan rasa kebanggaan tersendiri, karena nilai prestige dari penggunaan sebuah produk. Prestige tersebut lahir melalui komentar dan semakin meningkatnya konsumen pengguna produk yang sama dikalangan masyarakat. Fakta ini harus dilewati dalam era sekarang yang memang mengacu pada pasar, bukan pada pemasoknya. Dalam ekonomi, pemasok menyusun strategi pemasaran yang bersumber dari minat konsumen. Seperti layaknya perekonomian Negara, pemerintah memang memiliki wewenang untuk kontrol dan menata. Namun itu semua bergatung pada rakyatnya. Kalaupun ada masyarakat yang menutup dirinya untuk tidak mengikuti permintaan zaman, maka bahasa maupun budayanya tidaklah dapat timbal-balik untuk sekitarnya. Mereka akan menjadi kaum yang tidak dikenal.
Sumpah Pemuda tahun 1928 telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Peran bahasa Indonesia dalam wilayah pluralisme, memanglah besar untuk jembatan saling mengenal antar daerah. Selain bahasa Indonesia, terdapat pula bahasa daerah dan bahasa gaul sebagai alternatif komunikasi lainnya ditengah masyarakat kini. Penggunaan bahasa daerah tentunya untuk asal penduduk yang berdomisili sama. Sedangkan bahasa gaul tumbuh dari kalangan remaja.
Bahasa gaul seperti kepo, alay, lebay, ketiganya menjadi kalimat yang bertranformasi dikalangan pemuda saat ini, dan akan melahirkan sikap-sikap sejajar dengan makna kata itu. Bahasa sebagai media komunikasi, dapat menyejajarkan perilaku seseorang.Sama halnya dengan pemahaman demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang membentuk tata laku masyarakat. Dengan sistem demokrasi, maka tidak hanya pemerintahan berjalan dengan sistem tersebut, namun dalam musyawarah, hak memilih berbahasa dan berbudaya juga menggunakan sistem ini. Hak rakyat memang yang utama dalam sistem demokrasi, namun pancasia sebagai ideologi Indonesia menentukan batasnya agar keutuhan jiwa pemuda bangsa tidak ambigu.  Hak asasi manusia untuk hidup menjalani budayanya, namun tantangan globalisasi terus menerus memengaruhi hidup masyarakat yang semakin lama mengarah pada kebebasan.
Kebebasan dan demokrasi tentu berbeda, karena demokrasi sesungguhnya lebih ditujukan pada hak suara rakyat. Namun, apabila dianalisa dalam kenyataannya, penemuan, perkembangan dan jati diri masyarakat lahir dari adanya arus mayoritas. Sehingga, demokrasi memanglah menuntun pada kebebasan, walaupun Indonesia sebenarnya tidak bertujuan membentuk warganya seperti itu. Arah pergaulan pemuda saat ini tidak dapat dipungkiri memang lebih berkiblat pada Negara asing. Hal ini sebenarnya bukan untuk dihindari, namun harus dibentuk sikap kompetitif ditengah pemuda Indonesia untuk membangun budayanya sendiri. Banyak media yang dapat diolah untuk produk dalam negeri menurut perkembangan pemuda terkini, seperti aplikasi, permainan dalam komputer maupun handphone. Seperti aplikasi chatting terkini yang menyediakan gambar-gambar untuk komunikasinya dapat digantikan dengan gambar wayang, bunyi suaranya dengan alat musik daerah Indonesia, yang membuat penggunanya lebih tertarik dengan budaya sendiri. Ketertarikan ini dapat ditumbuhkan sampai menyediakan sekolah bisnis kesenian. Untuk lebih mengapresiasi kesenian sebagai hal yang nantinya dapat diekspor, sehingga membantu perekonomian Negara dan dapat membuka lapangan pekerjaan lebih banyak serta mengurangi kemiskinan.
Bentuk dari Negara demokrasi menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karena itu, Indonesia juga memberikan ruang banyak untuk warganya berinovasi, mengekspresikan opini maupun idenya untuk negeri. Kesempatan ini sama dikalangan manapun, tinggal langkahnya saja dibentuk. Membentuk semangat berbudaya sendiri itu sulit karena faktanya asimilasi budaya akan terus ada dan harus diterima dengan resikonya. Namun, negara yang menang dalam tataran bentuk globalisasi saat ini pastinya yang paling cerdik memanfaatkan peluang ditengah masalah masyarakat sekitarnya. Bagaimanapun, bahasa dan budaya Indonesia hingga kini tetap ada dan utuh. Hanya saja, kurang adanya semangat untuk membudidayakan hingga terbentuk rasa bangga tersendiri bagi pemiliknya sehingga dapat diperkenalkan keluar Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar