Ibarat penyakit, kalau yang ringan-ringan saja cukup ke Puskesmas, sedangkan yang berat-berat harus dirujuk ke Rumah Sakit. Demikian terbaca dari praktek hukum syariah di Atjeh yang gamang dalam menghadapi kasus berurutan; perzinahan yang memicu perkosaan bergerombol. Dari sisi historis sendiri, bisa dimengerti mengapa perkosaan BUKAN kejahatan yang diincar oleh hukum syariah. Tidak pernah membaca sekalipun perempuan punya HAK untuk menolak hubungan seksual yang TIDAK DIINGINKANNYA, apalagi bila dia BUDAK atau RAMPASAN PERANG. Otomatis dia hanya ’setengah manusia’ yang tak berhak apapun.
Jadi, tatkala menyusun qanun syariah di Atjeh, sudah dengan sendirinya PERKOSAAN terpinggirkan, karena rujukan ayatnya tidak ada. Yang ada dari jaman dahulu itu hanya PERZINAHAN. Inipun kedudukan perempuan yang rendah, sehingga tak bisa membela diri bila dituduh berbuat itu. Bila jamaknya harus ada 4 saksi yang melihat dengan mata kepala sendiri peristiwa ‘coitus’ dalam perzinahan maka sah, maka pada kasus perempuan yang dituduh melakukan perzinahan, dia tunduk sama sekali di hadapan penegak hukum syariah. Situasi sebaliknya bila ia diperkosa, apalagi bergerombol, maka siapa saksi di sisinya yang akan membuktikan bahwa peristiwa perkosaan itu terjadi?, melihat kompleksitas ini wajar sekali bila kasus perkosaan dialihkan ke KUHP tatkala penyusunan qanun. Itulah keterbatasan penerapan hukum syariah yang memilah dan memilih kasus hukum hanya yang mudah ditangani. Yang mudah urusan syariat, yang susah urusan KUHP.
Bila penerapan hukum dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan keadilan dalam masyarakat, maka kasus yang menimpa perempuan pezinah yang diperkosa bergerombol itu sama sekali tak adil. Dari 8 pemerkosa ada 3 yang dilepas karena di bawah umur, ada pula 5 orang yang masih ngacir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar