Dalam kalender kehidupan umat Islam, ibadah
atau ritualitas puasa merupakan ibadah atau ritual yang paling lama memakan waktu dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Selama menjalankan ibadah atau ritual puasa,
manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman moral yang langsung terkait
dengan mengasah kepekaan dan kepedulian sosial serta memupuk rasa solidaritas
sosial-kemanusiaan. Sedemikian dalamnya, sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan
dosa bagi yang melakukannya dengan sungguh-sungguh, dengan memperhitungkan
moralitas dari ritual puasa.
Hikmah terbesar yang dapat dipetik dari
ibadah puasa adalah terbentuknya kemampuan seseorang baik dalam kapasitasnya
sebagai individu, kepala keluarga, maupun sebagai pimpinan organisasi
sosial-keagamaan, organisasi sosial-politik dan lain-lain untuk dapat
mengendalikan “kepentingan” individu dan kelompok, untuk mengontrol dan
mengerem laju tarikan hawa nafsu yang membakar emosi komunalitas diluar
batas-batas kewajaran dan destruktif. Dalam 30 hari, umat Islam dilatih secara
sungguh-sungguh, untuk dapat mengontrol diri sendiri dan mengendalikan nafsu
dengan cara mencegah makan dan minum dari saat imsak sampai terbenamnya
matahari. Sayang, kebanyakan orang hanya memahaminya sampai pada batas aturan
fikih yang mengatur sah atau tidaknya ibadah puasa. Tidak lebih dari itu. Dan
itulah yang dikritik oleh Nabi Muhammad SAW.
Agama Islam sesungguhnya mempunyai cara
pandang atau falsafah yang unik disini. Lagi-lagi, sayangnya cara pandang ini
sering dilupakan sehingga tidak bermakna lagi. Tidak selamanya, kebutuhan
makan-minum yang halal harus dipenuhi begitu saja, lewat tradisi yang biasa
berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Menurut pandangan Islam,
rutinitas makan dan minum lebih-lebih yang mengandung kalori tinggi, sekali
waktu perlu dicegah dan dihindari supaya orang sadar benar tentang “hakekat”
hidup yang sesungguhnya. Islam selalu mengajarkan bahwa orang tidak perlu harus
selalu “terjebak”, “terbelenggu”, “diperbudak” oleh rutinitas kegiatan makan
dan minum yang terjadwal. Manusia sekarang, tanpa disadari sering terjebak pada
budaya konsumtif. Lewat ritual atau puasa, Islam mengajarkan bahwa orang tidak harus
“terbelenggu” dan “terjebak” oleh rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum
ekonomi. Sekali waktu, orang harus dapat mengambil jarak, distantiasi, menahan
diri, bersikap kritis, dan keluar dari “kebiasaan rutin” dari tradisi budaya
konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar.
Orang yang menjalankan ibadah puasa dilatih
dan dibiasakan untuk bersikap “kritis” dan ”jeli” dalam melihat semua fenomena
kehidupan yang sedang berjalan dan sedang terjadi dalam masyarakat luas.
Seseorang dilatih kritis dan introspektif terhadap diri sendiri, kritis
terhadap orang lain, teman, seagama, penyelenggara negara, lingkungan dan
budaya sekitar pada umumnya.
Generasi muda dan generasi tua bangsa
Indonesia sekarang ini sedang dirundung oleh berbagai kerusakan moral.
Penyalahgunaan Narkoba (Narkotika, sabu-sabu, minuman oplosan, dan obat-obat
terlarang) sedang menjamur diberbagai kota besar, sedang generasi tuanya
dihinggapi penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang sangat kronis.
Kedua fenomena sosial tersebut, tidak lain hanyalah menunjukkan bahwa
“ketahanan mental”, ”etos sosial” dan kekuatan moral bangsa Indonesia, memang
sangat rapuh, lemah dan tak berdaya. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia
Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis, terhadap lingkungan.
Pendidikan dan ajaran-ajaran agama yang terlalu dipahami secara
formal-tekstual-lahiriyah, tetapi kurang dikaitkan dan didalami dengan “jiwa”,
“makna”, “nilai” dan “spirit” moral-sosial terdalam dari ajaran-ajaran agama
Islam, rupanya berakibat pada tatanan kehidupan sosial yang rapuh.
Sikap “kritis” dan “mengambil jarak”,
distantiasi dari belenggu dan jebakan rutinitas makan-minum dalam kehidupan
sehari-hari begitu mendalam ditanamkan oleh ibadah puasa selama satu bulan
penuh. Dari sini, seluruh warga Muslim bersama masyarakat dan seluruh aparat
pemerintah diharapkan dapat mengkristalisasikan nilai dan mengambil sikap
bersama untuk menanggulangi dan membasmi penyakit mental dan moral yang sedang
melilit bangsa yang mengakibatkan krisis multidimensi di tanah air.
Falsafah peribadatan Islam, khususnya yang
terkait dengan ibadah puasa, menegaskan perlunya dilakukan “turun mesin”
(overhauling) kejiwaan, selama 30 hari dalam satu tahun. “Turun mesin” adalah
merupakan proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal yang rusak dan aus,
mengencangkan skrup yang kendor, mengganti alat-alat yang rusak, mengoreksi dan
memperbaiki secara total. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu
ditutup-tutupi. Semua harus transparan, rela diperiksa, dikoreksi, dan
diperbaiki. Semua peralatan dibongkar, dicek dan diperiksa satu persatu dan
kemudian dilakukan perbaikan alat-alat yang rusak, penggantian oli, pengecekan
kelayakan rem, pemeriksaan sistem lighting dan begitu seterusnya. Koreksi total
ini dibutuhkan untuk menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan itu sendiri
dalam menjalankan tugas untuk waktu-waktu berikutnya.
Ibadah puasa ibarat proses “turun mesin”
kejiwaan manusia Muslim, selama satu tahun sekali. Kesediaan untuk melakukan
koreksi, introspeksi, kritik, memupuk semangat perbaikan, selalu tercermin
dalam menjalankan ibadah puasa. Pengendalian hawa nafsu, pengendalian diri dan
jiwa berkorban pada umumnya seperti diungkap diatas, sebenarnya, tidak hanya
terfokus pada kehidupan individu. Dataran individu ini pada saatnya, perlu
dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial dan kepentingan publik.
Dimensi ibadah sosial puasa meminta lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan,
lembaga-lembaga sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga negara untuk tetap selalu
menghidupkan semangat social introspection, social critics, social auditing dan
social control. Semuanya mengarah kepada penguatan kehidupan kesalehan publik
yang lebih nyata dan meluas.
Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu
menekankan aspek kepedulian sosial. Makna "tazkiyatu al-nafs" (penyucian diri),
sekarang ini tidak lagi bisa dipahami seperti orang-orang terdahulu
memahaminya, yakni dengan cara menarik diri dari pergumulan dan pergulatan
sosial-kemasyarakatan. Makna “tazkiyatu al nafs” era kontemporer, sangat
terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan sosial
sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain.
Sesungguhnya, penyucian diri pribadi, ritus-ritus individual, yang tidak punya
dampak dan makna sosial, sama sekali-kurang begitu bermakna dalam struktur
bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.
Dengan lain ungkapan bahwa kesalehan pribadi
sangat terkait erat dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di tanah
air adalah cermin dari krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi
positif antara krisis sosial dan krisis ekonomi. Dampak krisis ekonomi terhadap
kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan “pendidikan”
anak-anak mereka. Gerakan orang tua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial,
solidaritas sosial perlu terus dipupuk, didorong dan didukung oleh semua pihak.
Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di tanah air di era reformasi, yaitu
menjelmanya gerakan sosial-keagamaan menjadi gerakan sosial-politik. Bahkan ada
beberapa ormas agama yang melakukan ”kekerasan” dalam masyarakat, dengan
menggunakan dalil-dalil agama. Perlu kesadaran baru dan upaya-upaya yang lebih
serius yang dapat menggiring gerakan sosial-keagamaan ke porosnya semula, yaitu
gerakan sosial-kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap
isu-isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi dan budaya.
Sejauh manakah ibadah puasa yang dilakukan
selama 30 hari berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan
memperkokoh kesalehan sosial ? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap
lingkungan dapat ditumbuh-kembangkan untuk mengurangi gap yang terlalu jauh
dalam antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial ? Jika memang belum ada atau
masih sedikit dampaknya, barangkali memang benar sinyalemen Nabi bahwa banyak
orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali
lapar dan dahaga, lantaran intisari dan hikmah puasa belum mampu menyentuh
kesadaran paling dalam umat dan belum mampu pula membentuk sosok pribadi
manusia beragama atau beriman yang matang, utuh, tangguh, yang dapat mempertautkan
kesalehan individu dan kesalehan sosial dalam kehidupan luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar