Permasalahan
dan Tantangan Guru dalam Konteks Perubahan
Evi Dihanti, M.Pd
Abstrak
Pada abad ke-21, permasalahan yang
dihadapi manusia semakin kompleks dan ruwet: krisis ekonomi global, pemanasan
global, terorisme, rasisme, penyalahgunaan obat, perdagangan manusia, masih rendahnya kesadaran multikultural,
kesenjangan mutu pendidikan antar kawasan, dan lain sebagainya. Konteks ini tak
pelak menjadi suatu yang berpengaruh bagi pengembangan mutu guru. Mutu
(kualitas) pendidikan amat ditentukan oleh mutu gurunya. Membangun pendidikan
yang bermutu, harus dengan upaya peningkatan proses pengajaran dan pembelajaran
yang berkualitas, yaitu proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan dan
mencerdaskan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru yang bermutu. Guru harus berubah cara
berpikirnya. Dari berfikir asal bekerja rutin menjadi berfikir lateral dan
konstruktif demi anak didik (peserta didik)-nya. Guru dituntut mampu mengubah
kultur lingkungan kerja (sekolah/lembaga-lembaga pendidikan) yang statis
menjadi kultur kerja dalam atmosfir yang dinamis dan inovatif.
A.
Pendahuluan
Abad ke-21 adalah abad yang sangat berbeda dengan abad–abad
sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa disegala bidang.pada
abad ini, terutama bidang Information and
Communication Technology (ICT) yang serba sophisticated membuat dunia ini semakin sempit. Karena kecanggihan
teknologi ICT ini beragam informasi dari berbagai sudut dunia
mampu diakses dengan instant dan cepat oleh siapapun dan dari manapun.
Komunikasi antar personal dapat dilakukan dengan mudah, murah kapan saja dan di
mana saja.
Namun demikian, pada abad ke-21 ini permasalahan yang
dihadapi manusia semakin complicated
dan ruwet: krisis ekonomi global, pemanasan global, terorisme, rasisme, drug abuse, trafficking, masih rendahnya
kesadaran multikultural, kesenjangan mutu pendidikan antar kawasan dan
lain sebagainya. Setiap masalah tersebut membutuhkan pemecahan yang
harus dilakukan masyarakat secara bersama sama (collaboration). Kompleksitas permasalahan pada abad ini juga
terletak pada tidak berdayanya manusia mencari sumber dan penyebab
permasalahannya secara tepat dan cepat. Di samping itu juga kapan timbulnya
permasalahan sering tidak mampu diprediksi (unpredictable)
dan tidak terduga sebelumnya. Pada akhirnya banyak permasalahan masyarakat
tidak mampu diselesaikan secara efektif dan efisien.
Era ini juga ditandai semakin ketatnya persaingan diberbagai
bidang antar negara, dan antar bangsa. Terutama yang bisa diamati setiap saat
adalah persaingan pemasaran produk–produk industri. Pasar didesain
sedemikian rupa menjadi sebuah sistem perdagangan yang terbuka (free trade). Perilaku persaingan modern
ini benar-benar merupakan praktek perilaku “survival
for the fittest” yang kejam. Siapa kuat dialah yang akan menjadi pemenang,
sebaliknya siapa yang tidak berdaya dialah yang akan kalah dan termarginalkan.
Negara–negara maju (advanced
countries) yang telah memiliki sumber daya manusia yang unggul akan semakin
jauh meninggalkan negara negara berkembang (developing
countries) dan negara–negara terbelakang (under developing countries). Sebuah artikel yang ditulis oleh Parag
Kahnna di New York Times Magazine (21/1/2008) dengan jelas mengatakan bahwa
dunia pada abad ke-21 akan dikuasai oleh BIG THREE, yaitu Amerika Serikat, Uni
Eropa, dan China. Adapun negara-negara lain yang sering disebut emerging market disebutnya sebagai second world yang bernasib sebagai
tempat persaingan dan pertarungan BIG THREE tersebut.
Mulai dari kemajuan Information
and Communication Technology dan beragam dampak positif negatifnya, semakin
kompleksnya permasalahan manusia, dan kita berada pada era kompetitif yang
semakin ketat pada abad ke-21 ini, dibutuhkanlah persiapan yang matang dan
mantap baik konsep maupun aplikasinya untuk membentuk sumber daya manusia (human resources) yang unggul. Dan yang
paling bertanggungjawab dalam menyiapkan sumber daya manusia yang unggul adalah
lembaga–lembaga pendidikan di mana guru sebagai unsur yang berperan paling
dominan dan menentukan. Ini yang membuat guru memikul tanggung jawab yang tidak
ringan dalam upaya peningkatan sumber daya manusia.
B.
Permasalahan Pendidikan Secara Umum
Kualitas
pendidikan Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa indikator, yang di antaranya sebagai berikut.
Pertama, lulusan dari sekolah atau
Perguruan Tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya
kompetensi yang dimiliki. Menurut pengamat ekonomi Dr. Berry Priyono, bekal
kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk
dipergunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan
seringkali hanya terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan
kreatif (Kompas, 4 Desember 2004).
Kedua, peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia yang masih rendah (tahun
2004 peringkat 111 dari 117 negara dan tahun 2005 peringkat 110 di bawah
Vietnam dengan peringkat 108).
Ketiga, laporan International Educational Achievement (IEA) bahwa kemampuan membaca
siswa SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei.
Keempat, mutu akademik antarbangsa
melalui Programme for International
Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang
disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38. Sementara untuk
bidang Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke-39 jika
dibandingkan dengan Korea Selatan, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA
menempati peringkat ke-8, membaca peringkat ke-7 dan Matematika peringkat ke-3.
Kelima, laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing Indonesia
dalam SDM berada pada posisi 46 dari 47 negara yang disurvei.
Keenam, posisi Perguruan Tinggi
Indonesia yang dianggap favorit, seperti Universitas Indonesia dan Universitas
Gadjah Mada berada pada posisi ke-61 dan 68 dari 77 Perguruan Tinggi di Asia
(Asia Week, 2000).
Ketujuh, ketertinggalan bangsa Indonesia
dalam bidang IPTEK dibandingkan dengan negara tertangga, seperti Malaysia,
Singapura, dan Thailand.
Indikator
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia di atas lebih memprihatinkan lagi
dengan data Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menyatakan bahwa sebanyak
37,06 persen pemuda Indonesia hanya lulus Sekolah Dasar (SD). Dari 217 juta
penduduk Indonesia jumlah pemuda diperkirakan 97 juta orang. Diasumsikan pemuda
adalah mereka yang berusia 15-35 tahun. Dengan kondisi tersebut sulit
mengharapkan mereka menjadi agen perubahan sosial, sebagaimana yang diharapkan
masyarakat luas (Media Indonesia, 22 Desember 2005).
C.
Permasalahan
Guru Saat Ini
Beberapa permasalahan dalam
pengembangan profesionalisme guru saat ini di antaranya adalah bahwa:
1. jumlah
guru yang sangat besar
yaitu 2.783.321 orang,
termasuk sekitar 477.000 orang
adalah guru di bawah Kementerian Agama,
2. pendataan guru
yang belum sepenuhnya
selesai sehingga sulit
untuk mengetahui supply
and demand,
3. distribusi
guru belum merata, di kota berlebih dibanding di desa kekurangan,
4. guru
yang belum memiliki kualifikasi akademik S1/D-IV cukup besar, yaitu
sekitar sebanyak 63,1% dari 2.783.321
orang,
5. banyak
guru berkompetensi rendah, dan belum semua guru mendapatkan program peningkatan
kompetensi,
6. cepatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga membutuhkan kompetensi
(ICT) bagi para guru,
7. guru akan
pensiun pada tahun
2010 s/d 2015
sebanyak ± 300.000
dan memerlukan penggantinya,
dan
8. desentralisasi pengelolaan
guru, namun kasus-kasus
guru selalu dikirim
ke pusat untuk menyelesaikannya.
D.
Tantangan-Tantangan
Masa Kini
Tantangan yang
masih membentang dihadapan kita dalam upaya peningkatan mutu guru dan mutu pendidikan secara menyeluruh di
antaranya sebagai berikut.
1.
Tantangan
Terkait Guru
Tantangan yang
dihadapi pemerintah terkait dengan kondisi guru adalah sebagai berikut.
a. Jumlah
guru di kota-kota besar berlebih. Jumlah kebutuhan guru di sekolah dapat
dihitung dengan cara: rombel dikalikan beban kurikulum/minggu dibagi tugas
mengajar 24 jam. Kelebihan jumlah guru
di sekolah-sekolah di kota-kota besar bisa mencapai 50%.
b. Banyak
guru sebagai istri/suami pejabat yang
berpindah-pindah, tapi tidak mengajar atau jumlah jam mengajarnya kurang dari
24 jam.
c. Tidak
lengkap mengisi berkas hasil sertifikasi untuk SK Dirjen PMPTK tentang Penetapan Guru Penerima Tunjungan Profesi
Pendidik. Contoh ketidaklengkapan berkas antara lain:
1) Belum
ada Keterangan Kepala Sekolah mengajar 24 jam/minggu.
2) Belum
ada daftar gaji pokok terakhir (gaji berkala terakhir).
3) Belum
ada Nomor Rekening Bank.
4) Belum
ada hasil Inpassing dan Surat Pengangkatan Guru Tetap Yayasan (GTY/Non PNS).
5) Pengisian
Form A1 sebagian besar tidak bisa terbaca scanner
komputer, dan
6) Pengisian
Form A2 tidak lengkap.
d. Banyak
Guru PNS yang mengajar kurang dari 24 jam/minggu, bahkan banyak guru yang mengajar hanya 9 jam/minggu. Hal ini
berakibat pada rasio guru murid tidak seimbang. Contoh rasio guru terhadap
murid di negara lain adalah: Jepang 1 : 15, dan Korea 1 : 20.
e. Banyak
guru honor yang tidak memenuhi syarat dan tidak mengajar 24 jam/minggu minta diangkat
PNS.
2.
Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota
Tantangan yang dihadapi pemerintah
terkait dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
adalah sebagai berikut.
a. Formasi
guru untuk PNS digunakan staf non guru hampir 30%;
b. Formasi
guru digunakan untuk guru namun setelah menjadi guru pindah ke struktural;
c. Guru
adalah sasaran empuk dalam kegiatan Pilkada, banyak janji-janji calon kepala daerah, namun
setelah calon tersebut menjadi kepala daerah terpilih, guru tersebut tidak
diperhatikan;
d. Di
suatu kabupaten, anggota DPRnya ± 70% dari guru tahun 2001;
e. Kurangnya sosialisasi
program sertifikasi guru
dalam jabatan oleh
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
kepada guru. Kurang terjadi sharing pembiayaan sosialisasi.
3.
Dinas
Pendidikan Provinsi
Tantangan yang dihadapi pemerintah
terkait dengan Dinas
Pendidikan Propinsi adalah
sebagai berikut.
a. Ada
provinsi yang tidak mau mengangkat guru bantu yang sudah terikat kontrak dan
sudah lulus tes.
b. Banyak guru
yang pindah profesi
jadi Kepala Dinas di
luar pendidikan, tapi
gajinya masih tetap diterima sebagai guru. Guru tersebut tidak
mengundurkan diri dari jabatan guru, dan
c. NIP-nya tetap diawali dengan angka 13 yang merupakan
dua angka awal untuk pegawai di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
d. Tim Sertifikasi
Tingkat Dinas Pendidikan
Provinsi kurang optimal
dalam melaksanakan tugasnya. Contoh
kasus: terdapat guru
belum terima Tunjangan
Profesi Pendidik tidak menginformasikan ke Pusat.
4.
LPTK
Tantangan yang
dihadapi pemerintah terkait
dengan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah
sebagai berikut.
a. Kesiapan LPTK
menghadapi tugas baru
di samping tugas pokoknya.
Tugas baru tersebut adalah:
i. Sertifikasi dan PLPG;
ii. Pendidikan Profesi;
b. Penyusunan
Laporan hasil sertifikasi belum tepat waktu.
c. Manajemen
Guru perlu dibenahi, seperti Teacher’s Supply and Demand yang masih belum
berimbang. Dengan demikian ke depan setiap LPTK hanya boleh melakukan
pendidikan S-1/D-4 untuk guru sesuai dengan kebutuhan.
d. Tahun
2015 diharapkan semua guru telah memiliki Sertifikat Pendidik.
Berarti semua guru akan mendapat
tunjangan profesi pendidik. Hal
ini akan berdampak
pada peningkatan jumlah anggaran
pendapatan dan belanja
negara (APBN) dan
anggaran pendapatan dan belanja
Daerah (APBD) untuk pendidikan. Diperkirakan, pada tahun 2015 akan memerlukan
dana pendidikan sebesar Rp. 57 triliun hanya untuk pengeluaran Tunjangan Profesi Pendidik,
diharapkan APBN untuk pendidikan mencapai 20%, atau + 224
triliun ditahun 2009, tidak akan kembali ke posisi sebelumnya. Dengan demikian
LPTK memegang peranan penting dari
investasi pemerintah dalam bentuk peningkatan kualitas dan kinerja guru.
Jadi program Sertifikasi Guru dalam jabatan dan Pendidikan Profesi untuk guru
pra-jabatan harus benar-benar memperhatikan aspek kualitas dan akuntabilitas, agar
investasi pemerintah dalam
pembangunan pendidikan tidak menjadi sia-sia.
E.
Beberapa
Solusi Alternatif
Berbicara
masalah kualitas pendidikan, guru merupakan pihak yang paling sering dituding
sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan,
karena hitam putihnya proses belajar-mengajar di dalam kelas banyak dipengaruhi
oleh mutu guru (Tilaar, 2004). Mutu (kualitas) pendidikan amat ditentukan oleh
mutu gurunya. Mantan Mendiknas, Abdul Malik Fadjar menyatakan dengan tegas
bahwa: “Guru yang Utama” (Republika, 10 Januari 2003). Belajar bisa dilakukan
di mana saja, tetapi guru tidak dapat digantikan oleh siapa atau alat apapun
jua. Untuk membangun pendidikan yang bermutu, yang paling penting bukan
membangun gedung sekolah atau sarana dan prasarana, melainkan harus dengan
upaya peningkatan proses pengajaran dan pembelajaran yang berkualitas, yaitu
proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan dan mencerdaskan. Hal ini
hanya dapat dilakukan oleh guru yang bermutu.
Guru yang
bagaimanakah kiranya guru yang bermutu tersebut? Bagaimanakah kiranya guru yang
mampu menghadapi permasalahan dan tantangan seperti di atas? Jawabannya
adalah guru yang profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan
memiliki kompetensi–kompetensi: kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, dan kompetensi sosial yang kualifaid.
Kompetensi profesional sekurang-kurangnya meliputi :
- Menguasai subtansi bidang studi
dan metodologi keilmuannya
- Menguasai struktur dan materi
kurikulum bidang studi
- Menguasai dan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran
- Mengorganisasikan materi
kurikulum bidang studi
- Meningkatkan kualitas
pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas
Kompetensi pedagogik sekurang-kurangnya meliputi :
- Memahami karakteristik peserta
didik dari aspek fisik, sosial, kultural, emosional, dan intelektual
- Memahami latar belakang
keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks
kebhinekaan budaya
- Memahami gaya belajar dan
kesulitan belajar peserta didik
- Memfasilitasi pengembangan
potensi peserta didik
- Menguasai teori dan prinsip
belajar serta pembelajaranYang mendidik
- Mengembangkan kurikulum yang
mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran
- Merancang pembelajaran yang
mendidik
- Melaksanakan pembelajaran yang
mendidik
- Mengevaluasi proses dan hasil
pembelajaran
Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya meliputi :
- Menampilkan diri sebagai
pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa
- Menampilkan diri sebagai
pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi peserta didik dan
masyarakat
- Memiliki sikap, perilaku,
etika, tata cara berpakaian, dan bertutur bahasa yang baik
- Mengevaluasi kinerja sendiri
- Mengembangkan diri secara
berkelanjutan
Kompetensi sosial sekurang-kurangnya meliputi :
- Berkomunikasi secara efektif
dan empatik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat
- Berkontribusi terhadap
pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat
- Berkontribusi terhadap
pengembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional dan global
- Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri
- Memiliki sikap, perilaku,
etika, tata cara berpakaian dan bertutur bahasa yang baik
Guru yang profesional selain memiliki empat kompetensi
tersebut di atas, menurut Prof.Dr.Haris Supratno memiliki ciri-ciri profesional
sebagai berikut:
- Memiliki wawasan global
holistik
- Memiliki daya ramal ke depan
- Memiliki kecerdasan,
kreatifitas, dan inovasi
- Memiliki kemampuan
bermasyarakat
- Menguasai IPTEK
- Memiliki jiwa dan wawasan
kewirausahaan
- Memiliki akhlakul karimah
- Memiliki keteladanan
- Bekerja secara efisien dan
efektif
- Menguasai bahasa asing
F.
Simpulan
Upaya peningkatan profesionalisme guru dari waktu ke waktu
harus ditingkatkan dalam rangka mencapai pendidikan yang berkualitas (the high quality of education) baik oleh
lembaga pemerintah dan masyarakat.Di negara kita komitmen pemerintah dalam
melaksanakan Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI Nomor 14 Tahun 2005) masih
kita nantikan. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan outcome yang memiliki kemampuan untuk
menghadapi era abad ke-21 yang serba kompetitif. Era perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) yang sophisticated
dan era munculnya perubahan–perubahan yang tidak bisa diprediksi (un predicatable) diberbagai bidang
kehidupan termasuk munculnya permasalahan–permasalahan yang bersifat lokal
maupun global yang complicated adalah
wahana kehidupan yang harus dihadapi anak didik kita.
Guru sebagai garda terdepan dalam penyiapan sumber daya
manusia (human resources) yang
unggul, senantiasa dituntut secara sadar untuk mau menyiapkan diri meningkatkan
kompetensi, inovasi, dan kreatifitasnya dalam pembelajaran. Dengan bekal
kompetensi-kompetensi yang memadai guru diharapkan mampu mentransformasikan ilmu
dan kompetensi yang dimilikinya kepada diri peserta didiknya melalui Pembelajaran
yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM).
Guru harus berubah cara berpikirnya. Dari berfikir asal
bekerja rutin menjadi berfikir lateral dan konstruktif demi anak didik (peserta
didik)-nya. Guru dituntut mampu mengubah kultur lingkungan kerja
(sekolah/lembaga-lembaga pendidikan) yang statis menjadi kultur kerja dalam
atmosfir yang dinamis dan inovatif. Ingat pesan Albert Einstein: “The
world we have created is a product of our thinking. It can’t be changed
without changing our thingking”.
Selanjutnya
dapat dipertegas di sini bahwa untuk meningkatkan kualitas Pendidikan diperlukan
peningkatan profesionalisme guru dan pembaharuan pendidikan, terutama untuk
menghadapi tantangan global yang terus berubah.
Daftar
Pustaka
Bafadal,
Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu
Sekolah Dasar: Dari Sentralisasi
Menuju Desentralisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan
Pemerintah RI No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 16 tahun
2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No.18 tahun
2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.
Undang-Undang
RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang
RI No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menegah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar