Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 30 Desember 2013

Stigma dan Diskriminasi ODHA, Salah Siapa ? (Refleksi Hari AIDS Sedunia 1 Desember)

Dalam perkembangan kehidupan sosial dewasa ini stigma dan diskriminasi selalu terjadi. Stigma dipahami sebagai cara pandang negatif terhadap pribadi dan kelompok sosial tertentu. Karena itu stigma juga merupakan bentuk diskriminasi. Secara lebih spesifik kita jumpai stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Ditilik dari sisi epidemiologi, AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini merusak sistem kekebalan tubuh manusia tanpa terkecuali.
Stigma terhadap ODHA merupakan sebuah bentuk diskriminasi sosial. Cara pandang yang keliru, sempit, dan bahkan negatif turut mendiskriminasi para pengidap virus tersebut.Mereka selalu dikaitkan dengan penyakit moralitas. Dan, bahkan bukan rahasia lagi, pengidap HIV/AIDS disangkal dan diusir oleh keluarga sendiri. Ini adalah beban sosial yang akhirnya ditanggung ODHA.
Ada beberapa karakteristik darinya yang perlu dijelaskan berikut ini. Pertama, soal ketidaktahuan. Masyarakat awam bahkan tenaga kesehatan sekalipun, tidak tahu persis cara penularan HIV, sehingga menimbulkan ketakutan tertular jika berada bersama pengidap HIV/AIDS. Akibat ketidaktahuan ini, masyarakat awam menjadi takut bukan hanya terhadap virusnya melainkan juga takut pada pengidap HIV. Perlu dicermati bahwa yang ditakuti adalah HIV bukan pengidap HIV. Virus ini tertular melalui cairan darah akibat penggunaan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah yang tercemar HIV, cairan sperma dan cairan vagina akibat hubungan seksual berganti-ganti pasangan, dan air susu ibu terkena HIV kepada bayinya. HIV tidak menular melalui ciuman (air liur), sentuhan (keringat), memakai peralatan makan bersama, renang bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain, bahkan tinggal serumah dengan ODHA.
Kedua, perilaku ODHA.Ada tiga domain perilaku yang melekat pada individu yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Keterlibatan mereka dalam ranah yang memungkinkan mereka terkena HIV/AIDS membuat mereka terstigma secara sosial. Atas dasar itu, maka kiranya ODHA harus memiliki pengetahuan memadai perihal kompleksitas penyakit dan implikasi lanjut terhadap kesehatan diri dan masyarakat. ODHA pun perlu memiliki sikap berani untuk yakinkan masyarakat bahwa eksistensi dirinya di tengah masyarakat bukanlah hantu mematikan. Dalam dan melalui jaringan ODHA, mereka kiranya perlu bersikap terbuka dalam relasi yang intens terhadap publik.

Bukan satu hal yang buruk apabila semua dimulai dari kelemahan satu dua sisi. Kompleksitas determinan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA perlu disikapi secara sinergis oleh pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi dan media berdasarkan tupoksi masing-masing. Stakeholder ini dalam menjalankan peran, kiranya tidak berjalan sendirian melainkan ada kerja sama antara satu dengan yang lain. Semua hal ini tertuju untuk mengeliminasi beban sosial yang ditanggung sepihak oleh ODHA.

Plus Minus Peringatan Hari AIDS Sedunia

Sabtu, 1 Desember masyarakat dunia memperingati Hari Aids Sedunia. Dimana semua orang mengkampanyekan plus himbauan agar menggunakan kondom ketika melakukan hubungan intim sebagai bentuk tips aman agar tidak terjangkit penyakit yang mematikan dan sampai sekarang belum ditemukan obatnya, yaitu AIDS. Namun sesungguhnya dengan seremonial seperti ini juga mengundang banyak tanya, “Apakah dengan seruan menggunakan kondom tidak sama saja dengan upaya untuk melegalkan seks bebas ?”.
Prolog diatas seolah-olah saya mencoba untuk menghakimi tentang peringatan hari AIDS, namun sesungguhnya bukan seperti itu yang saya maksud. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk sedikit memberikan pendapat dan pertimbangan ulang tentang perayaan hari tersebut.
Kalau kita meninjau dengan diadakannya peringatan ini adalah bertujuan untuk untuk menumbuhkan kesadaran terhadap wabah AIDS di seluruh dunia yang disebabkan oleh penyebaran virus HIV. Konsep ini digagas pada Pertemuan Menteri Kesehatan Sedunia mengenai Program-program untuk Pencegahan AIDS pada tahun 1988. Sejak saat itu, ia mulai diperingati oleh pihak pemerintah, organisasi internasional dan yayasan amal di seluruh dunia. Hari AIDS Sedunia pertama kali dicetuskan pada Agustus 1987 oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, dua pejabat informasi masyarakat untuk Program AIDS Global di Organisasi Kesehatan Sedunia di Geneva, Swiss. Bunn dan Netter menyampaikan ide mereka kepada Dr. Jonathan Mann, Direktur Pgoram AIDS Global (kini dikenal sebagai UNAIDS). Dr. Mann menyukai konsepnya, menyetujuinya, dan sepakat dengan rekomendasi bahwa peringatan pertama Hari AIDS Sedunia akan diselenggarakan pada 1 Desember 1988, dan program ini bekerja sama dengan PBB yang diwakili United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) untuk penanganan HIV/AIDS mulai bekerja pada 1996, dan mengambil alih perencanaan dan promosi Hari AIDS Sedunia. Bukannya memusatkan perhatian pada satu hari saja, UNAIDS menciptakan Kampanye AIDS Sedunia pada 1997 untuk melakukan komunikasi, pencegahan dan pendidikan sepanjang tahun. Pada dua tahun pertama, tema Hari AIDS Sedunia dipusatkan pada anak-anak dan orang muda. Tema-tema ini dikiritk tajam saat itu karena mengabaikan kenyataan bahwa orang dari usia berapapun dapat terinfeksi HIV dan menderita AIDS. Tetapi tema ini mengarahkan perhatian kepada epidemi HIV/AIDS, menolong mengangkat stigma sekitar penyakit ini, dan membantu meningkatkan pengakuan akan masalahnya sebagai sebuah penyakit keluarga. Pada 2004, Kampanye AIDS Sedunia menjadi organisasi independen.
Memang apa yang dicitakan oleh Bunn adalah sebuah kesadaran masyarakat akan bahaya AIDS yang nantinya dengan sadar tersebut menjadikan masyarakat agar waspada dengan menjauhinya dalam bentuk untuk tidak melaukakan seks bebas. dan begitu juga dengan PBB yang diwakili oleh UNAIDS-nya yang mencoba untuk mengampanyekan hal serupa. Namun dibalik semua itu ada sebuah ironi yang kadang menyesakkan dada kita, betapa tidak!, peringatan ini biasanya di identikkan dengan kampanya tips seks bebas yang aman, yaitu dengan menggunakan kondom, fenomena real ini bisa kita lihat dimana-mana, bahkan di Indonesia sendiri. Dan hal ini saya kira menampar budaya kita sendiri, dimana budaya kita yang selalu menjunjung tinggi etika dan estetika diinjak-injak dengan hanya sebuah perayaan yang amat hina.
Ingat, saya bukan berarti apatis dengan perayaan tersebut. Cuman apakah tidak ada cara lain yang lebih baik untuk merayakan hari tersebut dengan cara lain yang lebih santun mungkin, hal ini bisa kita lihat teman-teman di Purwokerto yang memperingati hari AIDS dengan membagi-bagikan bungga kertas, dan selebaran yang berisi mengenai bahaya HIV/AIDS kepada masyarakat dan himbauan untuk tidak melakukan seks bebas dan juga penangananya terhadap penderita.
Saya kira solusi terbaik memang sudah adalah dengan ditetapkan di negara kita sebagai negara yang sangat mengedepankan etika dan estetika, dimana ketika seseorang diperbolehkan melakukan hubungan intim harus melalui jalur-jalur yang telah ditentukan, tidak diperbolehkan jika tidak melewati atau tidak mengindahkan jalur tersebut, karena memang hanya dengan jalur tersebut tidak akan sampai terjadi bahaya diatas.

Dalam paragraf terakhir ini, saya sebagai penulis mencoba untuk memberikan yang terbaik kita semua masyarakat, bahwa memang tidak ada cara lain yang untuk menghindari penyakit AIDS, kecuali untuk menempuh jalur yang sudah ditentukan. Semoga saja kita semua terselamatkan dari mara bahaya.

Sabtu, 28 Desember 2013

Hari AIDS Internasional, Saatnya Meluruskan Nalar

Penanggulangan HIV dan AIDS tak cukup hanya melalui pendekatan medis. Diperlukan pendekatan kultural dan mengubah kekeliruan respons paradigmatik terkait dengan agenda-agenda penanggulangan di masa depan. Tanpa gerakan ini, hanya akan menunjukkan hasil yang tak beranjak ke mana-mana.
Kasus HIV selain terus meningkat setiap tuhuhnya, tiga tahun terakhir juga menunjukkan pergeseran ke kalangan Ibu rumah tangga. Tentu saja situasi ini akan segera disusul meningkatnya kasus di kalangan anak-anak. Kondisi yang akan sangat mengkhawatirkan untuk beberapa tahun ke depan.
Sementara itu,  gerakan penanggulangan HIV masih saja berkutat pada pendekatan medis, menjangkau mereka yang dikategorisasikan sebagai kelompok kunci. Pilihan ini tentu bukan tanpa kesadaran tidak akan bisa secara paripurna menyelesaikan tantangan peningkatan kasus. Sebab para aktivis selalu saja terbentur pada nilai-nilai budaya yang masih saja merasa suci meski dihadapkan pada persoalan-persoalan yang tak terbantahkan.
Secara umum masyarakat, juga sebagian besar elit negeri ini, masih merasa malu untuk secara legowo mengatakan ancaman HIV benar-benar makin membahayakan. Mereka selalu menghindari fakta-fakta ini dengan bersembunyi di balik pernyataan : HIV hanya akan menginfeksi orang-orang yang tak bermoral. Dengan pernyataan ini, seolah-olah membebaskan mereka dari tanggung jawab, sebab terinfeksi HIV merupakan kesalahan mereka sendiri.
Berlatar dengan pemahaman seperti ini, selalu saja muncul kesalahan paradigmatik terhadap agend-agenda strategis penanggulangan HIV dan AIDS. Misalnya, meski diakui kondom merupakan salah satu alat efektif untuk mencegah transmisi virus, saat dipromosikan kondom sebagai cara melakukan hubungan seks akan, pemahaman yang direspons: kampanye penggunaan kondom sama artinya dengan menganjurkan seks bebas.
Cara berpikir kacau seperti yang harus segera diluruskan di kepala semua pihak. Sebab, jika tak diluruskan yang terjadi situasi kontra produktif. Satu pihak mendidik masyarakat untuk bisa terhindar dari virus, sementara pihak lain menyerang dengan dalih moralitas.
Situasi kontra produktif semacam ini mengakibatkan para aktivis, dan sebagian kecil pengambil kebijakan gamang untuk mengampanyekan perilaku seks akan di tengah-tengah masyarakat. Para aktivis hanya tergerak di wilayah akan dari serangan-serangan yang bersumber dari kerangka berpikir tak nalar.

Saat ini, penanggulangan HIV membutuhkan figur publik yang vokal untuk melakukan transformasi kebudayaan dan merekonstruksi kekeliruan paradigmatik terhadap agenda penanggulangan HIV. Di banyak negara, telah membuktikan, agenda penanggulangan HIV yang tidak di bawah bayang-bayang kampanye seks bebas telah menunjukkan hasilnya.

Minggu, 22 Desember 2013

Tidak Bisa Tidak, Guru Harus Memiliki Idealisme

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan (Dorothy Law Nolte).
Menjadi guru TK (Taman Kanak-Kanak) tidaklah “main-main”. Ia harus memliki segudang kemampuan, sebab yang dihadapi sehari-hari adalah anak-anak berusia dini yang masih polos. Seorang guru TK tidak hanya cukup mempunyai kemampuan mengajar saja, dan hanya sekedar memenuhi tugas yang sifatnya rutin semata.
Guru TK juga dituntut, di era gencarnya arus globalisasi dan informasi tanpa batas, memiliki moralitas dan idealitas dalam mendidik. Mampu mengeluarkan aura pencerahan dan perubahan, hingga melahirkan daya kreatifitas yang tinggi buat anak-anak didik. Sebab, guru yang tidak memiliki aura dalam mendidik, hasilnya akan bekerja (mendidik) setengah hati dan asal-asalan. Kejar tayang saja.
Menjadi guru TK itu, sekali lagi, bukanlah sebuah profesi yang “main-main”. Ia memegang semacam amanah besar untuk membesarkan anak-anak. Karena di tangan para guru TK-lah –di luar pendidikan seorang ibu di dalam rumah– perkembangan seorang anak akan terbentuk. Di sini awal bentuk sikap kepribadian dan mental anak berakar, sebagai bekal masa dewasa mereka.
Seperti kita tahu, anak-anak usia dini, relatif masih sangat muda,  dan sangat  membutuhkan kasih sayang penuh dari orang tuanya. Lantas, di sinilah kemampuan lebih profesi guru TK dibutuhkan. Memberikan kasih sayang yang tulus kepada semua anak-anak didik, tanpa pandang pilih. Mampu menciptakan rasa aman dan nyaman kepada setiap anak-anak. Semua sejatinya harus dikerjakan dengan sepenuh hati dan ikhlas. Dan ini akan lahir jika guru memiliki idealisme.
Melalui peringatan Hari Guru Nasional 25 November 2013, semoga menjadi momentum meningkatkan kinerja kita sebagai guru. Tidak bisa tidak, para guru TK sudah seharusnya memiliki idealisme dalam mengajar. Sehingga mampu meningkatkan kualitas diri dalam mendidik anak-anak. Semoga kita tidak menjadi guru yang sekedar mendidik, hanya mengejar setoran kurikulum. Jika kita menjadi guru yang ala kadarnya, maka anak-anak pun akan menerima ala kadarnya juga. Selamat Hari Guru Nasional ke-68.

Sabtu, 21 Desember 2013

Refleksi di Hari Guru

Hari Guru yang diperingati setiap tahun pada tanggal 25 November, tidak cukup sekedar memperingatinya secara seremonial, tetapi lebih dari itu, harus dijadikan momentum untuk refleksi dan reintrospeksi atas peran menjadi seorang guru.
Pilihan untuk menjadi guru tentu saja bukan tanpa alasan. Guru adalah profesi yang telah ada semenjak peradaban manusia itu ada. Bahkan guru menjadi salah satu penjamin keberlangsungan peradaban. Jika pilihan untuk menjadi guru itu tetap dijalani hingga kini, tentu saja karena atas dasar idealisme dan kecintaan. 
Meski akhirnya harus diakui, bahwa masih ada dilemma antara idealisme/kecintaan dengan kesejahteraan, Ironi yang cukup lama bertahan mengenai sosok kehidupan seorang guru, dimana mereka harus menjalani hidup pas-pasan dan terkadang harus terseok-seok untuk bisa bertahan hidup, diri dan keluarganya. Namun, ironi tersebut kini perlahan-lahan mulai pupus ketika pemerintah memberi perhatian melalui alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan, sebagai upaya memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sekarang ini, problematika guru pada tataran perjuangan meningkatkan kesejahteraan, mulai teratasi. Menjadi guru bukan lagi pilihan yang dilematis melainkan sebuah pilihan yang prestisius. Antara idealisme, kecintaan dan kesejahteraan kini bisa berjalan berdampingan. Guru kini dapat berjalan dengan tubuh tegak dan penuh kebanggaan. Bahkan melalui program sertifikasi, profesi profesi guru kemudian jadi pilihan dan incaran. Perguruan tinggi yang menyediakan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP), kini mulai diserbu ribuan pendaftar. Bahkan sarjana-sarjana dari jalur non kependidikan , kini mendaftar pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Tujuannya utamanya : Menjadi Guru. Apakah karena pertimbangan idealisme, ataupun semata-mata peningkatan kesejahteraan yang menjanjikan ? Entahlah.
Semenjak penetapan guru sebagai profesi pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2004 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah dan masyarakat memosisikan profesi guru sangat terhormat, baik secara formal maupun sosial, Penetapan ini diharapkan menjadi tonggak awal bangkitnya apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru, yang ditandai dengan dilakukannya reformasi profesi guru, meliputi peningkatan kualifikasi dan kompetensi, program sertifikasi, pemberian penghargaan, perbaikan kesejahteraan dan perlindungan hukum.
Adanya peningkatan kesejahteraan bagi guru, tidak luput memunculkan kekhawatiran bergesernya orientasi ketika memilih profesi guru. Berlomba-lombanya orang untuk meraih profesi guru, semata-mata hanya karena janji pemerintah untuk memberikan penghargaan materi yang tinggi, dikhawatirkan melahirkan tenaga pendidik yang mengajar tanpa filosofi, idealisme dan kecintaan yang transenden (suci).
Oleh karena itu, merefleksikan 68 Tahun Hari Guru Indonesia, tidak lagi sekedar berbicara soal kesejahteraan guru, karena harapan untuk hidup layak dan terhormat, sudah didukung oleh perangkat kebijakan pemerintah. Pertanyaan yang penting dan mendasar sebagai bahan refleksi kita adalah “Bagaimana menjadi guru sejati”. Guru yang benar-benar menjadi ’guru’, bukan lagi sekedar digugu dan ditiru (ditaati dan dicontoh), apalagi bukan sekedar “digugulung di juru” (dikerumuni para siswanya). 
Meski masih tetap berhadapan dengan berbagai kebijakan dan isu politik pendidikan yang masih berorientasi pada kepentingan kekuasaan. Meski harus berhadapan dengan kenyataan bahwa guru “dipaksa” untuk menjadi robot kurikulum dan berbagai proyek berbiaya mahal yang mengatasnamakan gagasan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Meski harus berhadapan dengan kenyataan bahwa pemerintah masih tetap ingin menyelenggarakan ajang Ujian Nasional (UN) yang konon dianggap pemerintah sebagai alat mengukur kepintaran anak didik. Guru harus tetap cerdas untuk menyiasati kebijakan tersebut tanpa kehilangan identitas dan kesejatiannya.
Guru sejati adalah sumber inspirasi bagi para anak didiknya. Guru sejati adalah ruang yang memberi keleluasan bagi anak didiknya untuk berinteraksi dengan kehidupannya. Guru sejati harus selalu menyediakan waktu untuk bermetamorfosis dari sekadar pengajar menjadi pendidik, pengukir sejarah, yang mengajarkan hikmah kepada para anak didiknya untuk menjadi manusia-manusia utuh dan memberikan keteladanan dalam kehidupannya. Guru sejati senantiasa mengasah diri lahir batin untuk dapat menjadi pribadi yang mampu mengenali setiap potensi para anak didiknya dan berkemampuan membangkitkan potensi tersebut. Guru sejati memiliki cara pandang yang luas buat mengelola dunia anak-anak agar menjadi anak-anak peradaban yang memiliki akar pada nilai-nilai agama dan budaya yang teguh, sekaligus mampu menjangkau peradaban global.
Guru sejati harus mampu membimbing anak didik menemukan konsep dirinya. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita (Jalaluddin Rakhmat, 2001 : 99). Konsep diri ini akan sangat menentukan tentang kepribadian kita sebenarnya. Salah satu faktor yang amat menentukan konsep diri seseorang adalah lingkungannya. Maka, guru yang baik, sejatinya mampu menciptakan lingkungan yang baik bagi anak didiknya untuk tumbuh dan berkembang. Senyuman, pujian, penghargaan dan pelukan pelukan kasih sayang seorang guru akan menciptakan konsep diri positif pada anak didiknya. Begitu pula ejekan, cemoohan dan hardikan akan membuat anak didik menilai dirinya secara negatif. Tulisan ini ingin diakhiri dengan kutipan bait-bait puisi yang dikarang oleh Dorothy Law Nolte berikut ini :

Anak Belajar dari Kehidupannya

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.


SELAMAT HARI GURU !!!

Senin, 16 Desember 2013

Hari Guru Nasional : Momentum Mengenal Diri Sendiri untuk Memilih Menjadi Guru Terhormat atau Gila Hormat

Setiap profesi memiliki kode etik yang bersifat mengingat bagi seluruh anggotanya. Setiap orang yang merupakan anggota suatu profesi harus menegakkan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah disepakati. Guru sebagai sebuah profesi juga tidak luput dari ketentuan kode etik yang dimaksud. Kode etik guru, sebagaimana dikemukakan oleh Saondi (2010), adalah suatu norma atau aturan tata susila yang mengatur tingkah laku guru.
Kode etik guru telah ditetapkan dalam Kongres PGRI XIII tahun 1973 di Jakarta, dan disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 di Jakarta, bahkan dilengkapi dengan Ikrar Guru Indonesia (lihat Saondi, 2010). Kode etik dan ikrar tersebut merupakan konsensus nasional, yang mencerminkan kebulatan tekad guru Indonesia. Konsensus nasional inilah yang harus ditegakkan dan dijunjung tinggi oleh setiap guru dalam menjalankan profesinya, apabila ingin dihormati atau memiliki kedudukan yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat dan peserta didik.
Namun dewasa ini ada kecenderungan sebagian guru mengabaikan kode etik dan ikrarnya sendiri, menciderai sendiri martabat dan citra profesinya. Sebagian guru tidak memuliakan dan menghormati profesinya sendiri. Beberapa tingkah laku (prilaku) guru, mencerminkan diri sebagai individu yang lebih suka dihormati daripada menjelankan profesinya secara terhormat. Kondisi seperti itu menyebabkan profesi guru dewasa ini kurang dihormati oleh masyarakat dan peserta didik. Tidak sedikit yang meremehkan atau melecehkan profesi guru.
Guru ingin dihargai oleh peserta didik dan lingkungan masyarakatnya, tetapi tidak sedikit di antara guru yang tidak disiplin dalam melaksanakan tugasnya, tidak melaksanakan tugasnya secara profesional, mengedepankan emosi dalam mendidik siswa, dan melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya dalam kehidupan sosial. Beberapa gejala yang dapat menggambarkan tentang hal tersebut dapat dikemukakan, antara lain : 1) datang terlambat dan tidak menyusun perangkat pembelajaran sesuai tuntutan profesi dengan berbagai alasan, merupakan hal yang masih akrab dalam kehidupan sebagian guru; 2) masih lemahnya kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasi hasil belajar, lebih menempatkan diri sebagai pengajar dari pada mendidik dan melatih, pembelajaran yang dilaksanakan tidak berpusat pada peserta didik dan masih dikelola dengan cara-cara konvensional, serta kurang memiliki kemauan dalam mengembangkan kompetensinya secara berkelanjutan; 3) masih terdapat oknum guru yang melakukan pemukulan atau tindak kekerasan kepada siswanya karena sebab yang sepele; 4) terdapat oknom guru yang bertindak asusila dengan siswa atau dengan orang lain, terlibat menggunakan narkoba, dan sebagainya.
Kondisi di atas mencerminkan bahwa guru dalam menkalankan profesinya ingin dihormati dan dimuliakan, tetapi tidak semua guru dapat menghormati dan memuliakan diri dan profesinya sendiri. Ketidak mampuan guru menjunjung tinggi martabat dan citra profesinya, tergambar pula dalam kemampuan berkomunikasi dan intraksi sosialnya. Dalam berkomunikasi dengan peserta didik, masih terdapat banyak guru yang belum mampu berkomunikasi dengan efektif, dan tutur bahsanya kurang baik. Tidak sedikit juga guru yang tidak pandai berintraksi dengan peserta didik dan masyarakat, masih terdapat kecederungan mengganggap diri lebih mampu dan tinggi. Sehingga di antara mereka, bukannya terlibat aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan, tetapi justru mengasingkan diri dalam intraksi sosial. Gejala ini memposisikan sebagian guru sebagai individu-individu yang gila hormat, bukan dihormati.
Gila hormat pada seorang guru juga bisa timbul dari tingkah laku guru yang ingin mempertontonkan identitas dan status sosialnya. Umumnya guru, memaknai penghasilan yang diperoleh, baik melalui gaji maupun tunjangan profesi, sebagai kekayaan, bukan kesejahteraan. Sehingga, guru merasa tidak cukup dengan penghasilan yang diperolehnya. Untuk memenuhi keinginannya menjadi orang kaya, tidak sedikit guru yang berhutang di bank atau lembaga lainnya. Uang yang diperoleh dari hasil berhutang tersebut, dimanfaatkan untuk membeli atau menimbun asset-aset kekayaan dan bergaya hidup mewah, bukan dimanfaatkan dalam rangka pengembangan profesionalismenya (lihat Atmadja, 2008). Bahkan untuk memenuhi hasratnya menjdi orang kaya, banyak juga guru yang berkerja sambilan, baik yang sesuai dengan profesinya maupun di luar profesi mereka, terkadang ada sebagian guru yang secara totalitas lebih menekuni kegiatan sambilan daripada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah (lihat Saondi, 2010).
Sesungguhnya profesi guru adalah terhormat dan mulia, sekaligus merupakan pekerjaan yang berat dan tidak bisa dilaksanakan secara serampangan. Tidak semua orang dapat menjadi guru, dibutuhkan keahlian khusus serta dituntut untuk mampu menegakkan dan menjunjung tinggi kode etik dan ikrar guru. Keahlian khusus yang harus dimiliki adalah menguasai empat kompetensi yang dipersyaratkan, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Untuk mampu melaksanakannya, setiap guru hendaknya mampu menyeimbangkan antara unsur-unsur (dimensi) yang ada pada diri, yaitu tubuh (badan/hasrat), pikiran (akal budi) dan ruh (lihat Sugiharto, 2007; Nurdin, 2011). Kemampuan menyeimbangkan ketiga dimensi yang tidak terpisahkan itu, akan mampu mengantarkan setiap guru untuk memiliki berbagai kecerdesan yang dituntut dalam profesi keguruan, yaitu kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ), kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ), dan kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ) (Azzet, 2011). Kecerdasan ini sangat membantu setiap guru untuk mampu menilai dirinya sendiri guna mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (lihat Saondi, 2010).
Kemampuan menilai diri sendiri, berarti seorang guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dijiwai prinsip, meminjam istilah Mulyasana (2011), berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khaerot). Prinsip seperti ini melahirkan sosok guru yang profesional, dan menjadi guru favorit bagi peserta didik. Guru profesional berarti guru yang mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan. Sedangkan guru favorit bagi peserta didik, ditandai dengan ciri-ciri : 1) dekat dengan peserta didik; 2) dapat membangun suasana yang menyenangkan; 3) bisa berperan sebagai orangtua kedua; 4) mampu menjadi motivator; 5) menjadi sahabat dalam belajar; 6) berkepribadian layak ditiru; 7) bersikap kasih dan sayang; 8) sabar dalam mengajar; 9) bisa membuat tertawa; 10) pembebas bagi anak didiknya; 11) bisa menjadi pendengar dan penengah; 12) tidak angkuh atau sombong; 13) tidak ketinggalan zaman; 14) mempunyai jiwa seni; 15) segera memberi bantuan;16) tidak segera menyalahkan; dan 17) menyenangi aktivitas mengajar (lihat Azzet, 2011).
Gambaran ideal sebagaimana dipeparkan di atas yang akan mengantarkan profesi guru menjadi terhormat dan mulia di hati peserta didik dan masyarakat. Hal ini berarti guru telah mampu menghormati dan memuliakan profesinya sendiri, berhasil menegakkan martabat dan citra keguruannya dengan menjunjung tinggi etika dan ikhtiar yang telah ditetapkan. Pencapaian ini memang tidak mudah, dibutuhkan adanya usaha yang sungguh-sungguh dari setiap guru, karena itu merupakan konsekwensi dari profesi yang telah kita pilih dalam kehidupan. Berbuat yang terbaik untuk mencapai tujuan adalah sikap seorang profesional.

Untuk menginstrospeksi (mengevaluasi) diri tentang tugas dan fungsi yang telah kita laksanakan, maka hari guru nasional tahun ini merupakan momentum yang tepat. Sehingga kita mengenal diri kita sendiri, baik menyangkut kekuatan maupun kelemahan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi keguruan yang kita geluti. Dengan demkian setiap guru dapat menetapkan langkah-langkah strategis untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang pernah dihadapi sebelumnya, dan selanjutnya menentukan langkah-langkah yang tepat dalam rangka menuju yang terbaik dari sebelumnya. Sehingga akan lahir sosok guru yang profesional dan menjadi guru favorit bagi peserta didik. Usaha ini memerlukan motivasi dan kemauan diri yang kuat dan sungguh-sungguh. Tanpa adanya kemauan berubah dengan didorong oleh motivasi diri, maka cita-cita menjadi guru profesional dan favorit tidak akan pernah tercapai, dan profesi guru akan tetap dibaluti oleh berbagai persoalan, seperti sudah dipaparkan di muka, yang dilakukan oleh oknom-oknom guru. Hal ini berarti menunutut seorang guru untuk menetapkan pilihan, apakah memilih menjadi guru yang gila hormat dengan tidak mematuhi kode etik serta tidak melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional, atau memilih menjadi guru yang terhormat dengan mematuhi kode etik dan melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional. Penentuan pilihan ini sangat tergantung pada diri individu masing-masing guru.

Minggu, 15 Desember 2013

Hari Guru Nasional

Hari Guru Nasional, Tema yang diusung adalah “Memacu Profesionalisme Guru Melalui Peningkatan Kompetensi dan Penegakan Kode Etik. Pengertian dari Profesionalisme menurut KBBI adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yg profesional, sedangkan Kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu); kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah. 
Makna yang tersirat dari tema yang diusung untuk peringatan hari guru nasional, menuntut guru meningkatkan mutu dan kualitas kemampuan berdasarkan mata pelajaran masing-masing. Sementara ini kaitannya dengan kemungkinan perubahan kurikulum untuk tahun depan, mata pelajaran akan dikembangkan berdasarkan kompetensi, disitus kemdikbud.go.id menjelaskan secara singkat  Berubahnya kurikulum akan merubah empat aspek yang terkait di dalamnya, yaitu standar isi, standar proses, standar kelulusan, dan standar penilaian. Setelah berubah pun, kurikulum bukanlah hanya sebagai pajangan, tap harus diterjemahkan lagi dalam buku pengantar pelajaran yang akan disampaikan ke siswa. Tentang standar lulusan, perubahan akan tergambar dari soft skill dan hard skill yang diterjemahkan sebagai kompetensi para lulusan. Kedua kompetensi tersebut harus dinaikkan dan diseimbangkan dengan melibatkan tiga domain, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Dari sisi isi, ada kedudukan mata pelajaran dan pendekatannya. Kalau sekarang kompetensi itu diturunkan dari mata pelajaran, ke depan akan berubah menjadi mata pelajaran yang dikembangkan dari kompetensi. “Jadi mata pelajaran itu kendaraan saja. Kalau mau nyebrang lautan ya pakai kapal. Naik gunung pakai sepeda gunung,” kata Mendikbud M. Nuh.
Dilain pihak pada editorial Media Indonesia dalam survey yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2011, pelaksanaan sertifikasi guru tidak mempengaruhi terhadap pengingkatan kualitas pendidikan, sebagai guru bukan membela korp tapi setidaknya dalam penilaian keberhasilan dan tidaknya PBM bukan terletak pada satu hal saja. Menurut J. Drost, SJ (2006) menjelaskan rendahnya kualitas guru  ada beberapa faktor: Di daerah memang tidak ada guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, Kualitas guru juga dipengaruhi oleh calon guru itu sendiri, Mutu Pendidikan calon guru, Sarana prasarana yang terdapat di sekolah, Pelaksanaan UN yang bersifat Nasional, sedangkan PBM antar daerah berbeda-beda sehingga pelaksanaan UN untuk menentukan kelulusan siswa kurang tepat. Dari beberapa faktor tadi sangat banyak pekerjaan rumah untuk meningkatkan profesionalisme guru melalui peningkatan kompetensi, seperti tulisan saya ketika anak bercerita rasanya sangat miris apabila masih ada metode CBSA saat ini, apalagi dilakukan di Sekolah Dasar.
Mudah-mudahan amanat baru untuk para guru dapat dilaksanakan dengan baik, mari kita sambut Hari Guru Nasional dengan mereaktualisasi semangat mengajar, walaupun UN masih tetap jadi penentu kelulusan. Agar tema yang diusung bukan hanya slogan yang tak memiliki makna secara aplikasi.

Sabtu, 14 Desember 2013

Guru “Penggerak” Pendidikan di Era Globalisasi (Selamat Hari Guru Nasional)

25 November, seluruh guru di tanah air memperingati hari Guru Nasional ke-20 dan HUT PGRI ke-68. Guru yang merupakan penggerak pendidikan, sejenak merenungkan sudah sampai dimana kemajuan pendidikan tanah air kita, sudah dimanakah posisi pendidikan tanah air kita bila dibandingkan dengan Negara-negara lain. Tidak usah jauh-jauh, sudah sampai dimana level pendidikan kita bila dibandingkan dengan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura? Sungguh ironis, bila kita membandingkan kemajuan dunia pendidikan kita dengan Negara tetangga, Negara serumpun Malaysia, Negara kita tertinggal jauh, jika dulu tahun 1969 atau masa Presiden Soekarno, Guru-guru di Negara kita sangat begitu dihargai dan diakui kualitasnya, sehingga Negara seperti Malaysia dan Singapura banyak belajar dan mendatangkan mereka sebagai tenaga pengajar, maka kini situasinya berbalik 180 derajat, dimana kita yang lebih banyak belajar dari metode pendidikan mereka.
Suasana Upacara, Himne Guru dinyanyikan dengan Khidmat. PGRI yang telah berusia 68 tahun masih banyak mengalami masalah pendidikan, mulai dari sikap dan perilaku peserta didik yang sudah sampai ke hal-hal yang abnormal, misalnya: tawuran yang makin merajalela, sampai-sampai membajak bus, penyiraman air keras (soda) dan tidak lagi menghargai guru, tidak memiliki minat belajar yang tinggi, mengakibatkan dunia pendidikan dan system pendidikan kita menjadi mandek. Kita tidak bisa menutup mata atas kejadian-kejadian seperti ini. Sudah saatnya kita sama-sama untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Boleh saja kita mengatakan kita telah mempunyai Kurikulum 2013, yang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui angketnya direspon masyarakat dengan positif, namun kenyataan di lapangan, system ini mandek karena peserta didik sebagai output (hasil) dari system pendidikan (kurikulum 2013/kurikulum KTSP) yang guru terapkan ternyata masih stagnan (begitu-begitu saja).
Untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga Tujuan Pendidikan Nasional seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat terwujud, telah banyak yang oleh Pemerintah lakukan, misalnya: menaikkan Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan sebesar 20%, mengganti kurikulum setiap ganti kabinet atau ganti Menteri dan menyatakan bahwa Kurikulum ini adalah kurikulum paling pas, padahal itu adalah adopsi dari kurikulum Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura. Mengadopsi dan Mengadaptasikan kurikulum dari Negara lain bukanlah tindakan yang bijak bagi pendidikan tanah air, karena letak geografis, situasi dan kondisi, latar belakang budaya bangsa kita, pola pikir dan karakter kita sungguh berbeda dengan Negara-negara lain. Pemerintah seharusnya mengidentifikasi, meneliti, merumuskan serta memutuskan pendidikan yang seperti apa yang cocok di tanah air kita untuk dikembangkan. Sehingga Kurikulum yang kita punya tidak seperti “proyek” yang banyak digerogoti.
Meningkatkan profesionalisme guru dan pendidik, memberikan penghargaan, memberikan sarana dan prasarana yang layak serta sebisa mungkin mengurangi atau memberantas korupsi adalah program yang harus disinergikan oleh pemerintah dan guru dalam hal proses meningkatkan mutu pendidikan nasional kita. Pemerintah seharusnya tetap pada program peningkatan profesionalisme Guru dan pendidik. Bagi guru-guru muda seperti saya, masih sangat membutuhkan pelatihan-pelatihan, sehingga pengetahuan saya akan wawasan dan kebijakan-kebijakan dunia pendidikan semakin bertambah. Dengan adanya seminar dan pelatihan yang berkelanjutan maka Guru memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (Penelitian Tindakan Kelas), evaluasi pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas (sekolah) serta perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai ujung tombak perkembangan Pendidikan di tanah air. TIK memiliki peranan yang sangat vital dalam era globalisasi ini untuk mengembangkan pendidikan dan sebagai hasil dari pendidikan itu sendiri. Profesi Guru yang telah dibuktikan dengan Sertifikasi sudah memberikan semangat bagi guru untuk memberikan pengajaran. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa belum semua guru memiliki sertifikat profesi, sehingga program ini masih berjalan.

Sungguh, masih banyak PR kita jika kita ingin dunia pendidikan kita maju, semua pihak harus bersinergi untuk memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan kita dan bagi anak-anak bangsa kita, sebab Negara kita ditentukan oleh anak-anak yang kita didik. Selamat Hari Guru Nasional yang ke-20 dan HUT PGRI yang ke-68. Guru Jaya, Pendidikan Jaya…!!!.