Dalam perkembangan kehidupan sosial dewasa
ini stigma dan diskriminasi selalu terjadi. Stigma dipahami sebagai cara
pandang negatif terhadap pribadi dan kelompok sosial tertentu. Karena itu
stigma juga merupakan bentuk diskriminasi. Secara lebih spesifik kita jumpai
stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Ditilik dari sisi epidemiologi, AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan
oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini merusak sistem kekebalan
tubuh manusia tanpa terkecuali.
Stigma terhadap ODHA merupakan sebuah bentuk
diskriminasi sosial. Cara pandang yang keliru, sempit, dan bahkan negatif turut
mendiskriminasi para pengidap virus tersebut.Mereka selalu dikaitkan dengan
penyakit moralitas. Dan, bahkan bukan rahasia lagi, pengidap HIV/AIDS disangkal
dan diusir oleh keluarga sendiri. Ini adalah beban sosial yang akhirnya
ditanggung ODHA.
Ada beberapa karakteristik darinya yang perlu
dijelaskan berikut ini. Pertama, soal ketidaktahuan. Masyarakat awam bahkan
tenaga kesehatan sekalipun, tidak tahu persis cara penularan HIV, sehingga
menimbulkan ketakutan tertular jika berada bersama pengidap HIV/AIDS. Akibat
ketidaktahuan ini, masyarakat awam menjadi takut bukan hanya terhadap virusnya
melainkan juga takut pada pengidap HIV. Perlu dicermati bahwa yang ditakuti
adalah HIV bukan pengidap HIV. Virus ini tertular melalui cairan darah akibat
penggunaan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah yang tercemar HIV, cairan
sperma dan cairan vagina akibat hubungan seksual berganti-ganti pasangan, dan
air susu ibu terkena HIV kepada bayinya. HIV tidak menular melalui ciuman (air
liur), sentuhan (keringat), memakai peralatan makan bersama, renang bersama,
gigitan nyamuk atau serangga lain, bahkan tinggal serumah dengan ODHA.
Kedua, perilaku ODHA.Ada tiga domain
perilaku yang melekat pada individu yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.
Keterlibatan mereka dalam ranah yang memungkinkan mereka terkena HIV/AIDS
membuat mereka terstigma secara sosial. Atas dasar itu, maka kiranya ODHA harus
memiliki pengetahuan memadai perihal kompleksitas penyakit dan implikasi lanjut
terhadap kesehatan diri dan masyarakat. ODHA pun perlu memiliki sikap berani
untuk yakinkan masyarakat bahwa eksistensi dirinya di tengah masyarakat
bukanlah hantu mematikan. Dalam dan melalui jaringan ODHA, mereka kiranya perlu
bersikap terbuka dalam relasi yang intens terhadap publik.
Bukan satu hal yang buruk apabila semua
dimulai dari kelemahan satu dua sisi. Kompleksitas determinan stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA perlu disikapi secara sinergis oleh pemerintah,
masyarakat, LSM, akademisi dan media berdasarkan tupoksi masing-masing.
Stakeholder ini dalam menjalankan peran, kiranya tidak berjalan sendirian
melainkan ada kerja sama antara satu dengan yang lain. Semua hal ini tertuju
untuk mengeliminasi beban sosial yang ditanggung sepihak oleh ODHA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar