Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 31 Desember 2014

Merayakan Tahun Baru 2015 dengan Kontemplasi dan Sikap Positif


Berbagai cara dilakukan dalam memperingati pergantian tahun, banyak yang merayakannya dengan pesta pora namun tidak sedikit yang melakukan kontemplasi atau perenungan. Apapun itu bagi saya makna tahun baru adalah hanyalah sebuah kesepakatan. Tidak ada yang istimewa dengan tahun baru, semuanya sama tidak ada yang berubah. Matahari masih tetap terbit dari timur ke barat, manusia tetap hidup dalam ketidakpastian menunggu datangnya kepastian yaitu kematian. Masa lalu adalah jejak, hari ini kehidupan dan besok adalah misteri. Tahun baru hanyalah sebutan yang disepakati berdasarkan konsensus bersama umat manusia.

Tahun baru adalah terminal, terminal untuk menentukan kembali tujuan akhir kita. Terminal untuk menentukan kembali kendaraan apa yang bisa membawa kita sampai ke tujuan tersebut, terminal untuk melihat kebelakang apakah jalan yang selama ini kita tempuh sudah searah dengan tujuan akhir kita. Terminal untuk menentukan kembali kawan-kawan yang akan menemani kita dalam perjalanan.

Tahun baru adalah sebuah spasi, spasi untuk jeda sejenak melihat rangkaian kalimat kehidupan yang telah kita lalui. Spasi untuk menentukan kata berikutnya yang akan kita pakai dalam mengarahkan rangkaian kalimat kehidupan, spasi untuk memberi ruang bagi kata-kata prioritas yang akan kita gunakan dalam rangkaian kalimat kehidupan kedepan.
Tahun baru adalah peringatan, peringatan bahwa kita tidak bisa melawan waktu. Peringatan bahwa beralihnya tahun adalah pertanda makin dekatnya lonceng kematian, peringatan bahwa rencana tidak harus sama dengan realisasi namun melakukan sesuatu dengan rencana hasilnya jauh lebih baik dari pada menunggu sesuatu apa adanya.

Tahun baru adalah anugerah, anugerah bahwa kita masih diberi kesempatan untuk hidup. Anugerah bahwa kita masih dapat menambahkan segala yang kurang ditahun-tahun sebelumnya, anugerah bahwa banyak hal yang dapat dipelajari untuk membuat hidup kedepan lebih bermakna.

Tahun baru adalah iya dan tidak. Iya untuk menyesuaikan diri terhadap kehidupan dengan segala kesulitan dan tantangannya. Tidak untuk mengeluh. Iya untuk mengembangkan dan mempertahankan sikap positif terhadap kehidupan serta memandangnya sebagai rangkaian kesempatan maupun peluang. Tidak untuk berputus asa. Iya untuk membina setiap relasi dengan sebaik-baiknya. Tidak untuk dendam. Iya untuk kesadaran tentang arah dan tujuan hidup serta bekerja dengan hikmat untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak untuk terombang-ambing dibawa arus kehidupan. Iya untuk belajar lebih keras tentang esensi kehidupan, memperbaiki diri sendiri. Tidak untuk bermalas diri serta hidup sekadarnya. Iya untuk bekerja keras dan tidak menyia-nyiakan waktu. Tidak untuk bermalas diri. Iya untuk selalu bersikap jujur. Tidak untuk sesuatu yang tidak amanah.

Esensi:
Mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah diberikan penghidupan pada tahun sebelumnya. Merenungi pencapaian yang didapat selama setahun terakhir, agar tahun berikutnya dapat lebih baik lagi. Menjalin hubungan kebersamaan, sebab selain Idul Fitri atau hari besar lainnya. Biasanya di tahun baru adalah waktu yang pas untuk berkumpul bersama dengan keluarga. Untuk itu, mari kita pergunakan peringatan tahun baru 2015 ini dengan kegiatan yang bermanfaat dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Oleh:
Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik
Faisal Ahmad Fani

Kamis, 04 Desember 2014

Dengan Peringatan Hari Disabilitas Internasional, Mari Hapus Hambatan dan Wujudkan Msayarakat Inklusif

Setiap 3 Desember 2014 diperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI). Pengarusutamaan disabilitas menjadi isu nasional dan lintas sektor. Dimana, masyarakat diajak menciptakan suasana inklusi yaitu dengan membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka bagi penyandang disabilitas dan membangun tanggung jawab kolektif para pemangku kepentingan untuk kemajuan. Selain itu, juga memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dari aspek sosial, ekonomi, budaya, sipil dan politik menjadi tujuan yang bisa diwujudkan bersama.
Menurut Kementerian Sosial RI dalam lima tahun ke depan ditargetkan penyandang disabilitas Indonesia terbebas dari berbagai hambatan kehidupan, baik sebagai individu maupun warga negara. Kementerian Sosial sebagai leading sector penanganan penyandang disabilitas telah menyiapkan kebijakan dan program pemberdayaan. Memang, sudah saatnya warga negara penyandang disabilitas mendapat perhatian yang lebih besar dan hak. Saatnya dunia disabilitas Indonesia bangkit.
Esensi:
Harapan saya, mari menumbuhkan sikap kepedulian kita terhadap kaum disabilitas. Mengajak kepada semua lapisan masyarakat untuk mengenal dan mempedulikan mereka, memahami apa yang mereka rasakan serta menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap mereka. Karena kita dan mereka sama-sama ciptaan tuhan, namun kita hanya sedikit lebih beruntung dari mereka. Hidup ini bukan hanya sekedar bangun, kemudian sarapan dan berangkat beraktifitas, setelah itu tidur kembali. Tetapi kita juga harus memikirkan dan membantu saudara-saudari kita yang sedang mengalami kesulitan serta membutuhkan bantuan kita (hablum minannas). Seperti sabda dari Rosulullah Muhammad SAW, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. Dalam hidup bukan soal menjadi yang terbaik ataukah menjadi yang terburuk. Yang penting adalah bagaimana kita melakukan hal terbaik bagi sesama tanpa harus memandang siapa, agama, dan bagaimana mereka. Serta sebisa dan sekuatnya kita menghindari hal terburuk, walau terkadang setelah kesudahan yang buruk ada hikmah emas yang tercantum di dalamnya.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Rabu, 26 November 2014

Guru, Pengabdianmu Tak Lekang oleh Waktu

Apa makna peringatan hari guru? Tentunya hari guru yang diperingati bertepatan dengan lahirnya organisasi PGRI pada 25 November 1945, atau 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut, memiliki makna yang besar. Karena, dari "rahim" para guru inilah, lahir para pemimpin bangsa, pemikir, cendekiawan, dan orang-orang pintar lainnya. Eksistensi guru ini menjadi katalisator bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Para guru ini pun merupakan pilar untuk menegakkan masa depan bangsa ini. Masa depan bangsa, akan bergantung dari out-put dan out-come dari dunia pendidikan yang di dalamnya merupakan pengaruh langsung dari tangan-tangan para guru.
Dalam perspektif pedagogis guru merupakan suatu konsep yang menggambar sosok pribadi mulia yang menjalankan peran mengajar. Dalam tulisan ini mengajar mempunyai dua arti yaitu transfering dan transforming. Mengajar dalam arti transfering yaitu “memindahkan” informasi yang disebut ilmu pengetahuan kepada para siswa yang diajarnya, sedangkan mengajar dalam arti transforming yaitu menamkan nilai budaya positif kepada para siswa yang diajarnya. Dalam menjalankan peran kedua, guru tidak hanya mengajarkan tetapi sekaligus menjadi suri tauladan bagi siswanya. Kedua peran ini diekspresikan secara puitik dalam lirik Hymne Guru, “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan”. Tentunya saja kita tidak bisa, atau bahkan tidak berhak menilai bahwa peran transfering lebih penting daripada peran transforming, atau sebaliknya peran transforming lebih penting daripada peran trasnfering. Keduanya mempunyai peran yang setara karena membentuk keseimbangan antara kompetensi nalar dan kompetensi kepribadian bagi para siswa. Keduanya terangkum dalam hasil pendidikan yang sekarang ini menjadi topik pembicaraan yaitu siswa berkarakter.
Dalam konotasi guru seperti yang diketengahkan di atas, maka sosok guru tidak hanya berarti figur yang berdiri di depan ruang kelas dalam suatu lembaga yang disebut dengan sekolah, tetapi juga mereka yang melakukan fungsi mengajar meskipun tidak berada di dalam gedung sekolah. Mereka adalah tutor yang bertugas mengajar anak-anak yang terdaftar pada Kelompok Belajar (Kejar) Paket A dan B. Mereka yang mengajar anak-anak jalanan juga berhak mendapat predikat sebagai guru meskipun mereka melaksanakan tugas mengajarnya di bawah kolong jembatan. Predikat guru juga berhak disandang oleh mereka yang mengajar anak-anak dengan berkebutuhan khusus. Perbedaan konteks tempat mengajar tidak membedakan predikat mereka sebagai guru. Hal ini lain menjadikan mereka sama-sama berhak menyandang predikat sebagai guru karena dua faktor yaitu dedikasi dan profesionalisme. Dedikasi tidak hanya diukur dengan waktu yang dicurahkan untuk mengajar, tetapi pada kesetiaan mereka untuk melakukan peran mengajar.
Sayangnya, besarnya jasa ujung tombak kemajuan bangsa tersebut masih belum sepadan dengan kesejahteraan yang diterima mereka. Bagi para guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tentu kesejahteraan dalam arti upah tidak terlalu masalah. Dengan perhatian pemerintah yang saat ini semakin besar, kesejahteraan mereka pun terus meningkat. Apalagi bagi guru yang telah bersertifikasi, mereka bisa mempunyai penghasilan bahkan lebih besar dibanding PNS biasa. Namun, tidak demikian dengan guru-guru sukarelawan atau honorer, terutama yang berada di pelosok-pelosok daerah, di lereng-lereng gunung. Saat ini, masih ada guru-guru honorer yang digaji hanya beberapa puluh ribu rupiah setiap bulannya. Ironinya, jumlah guru honorer ini mencapai jutaan orang. Rendahnya kesejahteraan guru honorer ini menjadi potret buram pendidikan Indonesia, yang harus segera dituntaskan. Di saat bangsa ini bertekad meningkatkan kualitas pendidikan masyarakatnya, ternyata kaum pendidik yang berstatus ini tidak terperhatikan. Padahal keberadaan mereka sangat dibutuhkan.
Esensi:
Kini, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada para guru ini. Karena hanya dengan guru yang profesional bisa menghasilkan peserta didik yang berkualitas, yang menjadi awal peningkatan kualitas bangsa sehingga bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Di lain pihak, sebagai pilar masa depan bangsa, sudah seharusnya para guru terus meningkatkan kualitas dirinya, guru jangan sekadar jadi "kuli" pendidikan yang bekerja tanpa memberi makna dalam membangun dan membesarkan anak bangsa. Pengabdian tanpa henti merupakan kata kunci yang harus dicanangkan. Selamat ulang tahun Bapak dan Ibu guru, pengabdianmu tak lekang oleh waktu.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Rabu, 05 November 2014

Momentum Perubahan Menuju Generasi Muda yang Dinamis, Menjunjung Nilai-nilai Agama, dan Menjaga Moral Bangsa

Ketika mendengar kata Generasi Muda, maka yang terbetik dalam benak kita pasti kumpulan anak muda yang ceria dan dinamis. Semangat mereka tak terbantahkan, maka tak heran bila Presiden Soekarno pernah berucap, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”.
Masa depan suatu bangsa rupanya bisa dilihat dari potret kehidupan para pemuda masa kini. Para pemuda harus menjadi sosok historis yang mau dan mampu menjadi motor penggerak kemajuan bangsa, melanjutkan jalan yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Bangga kepada prestasi masa silam adalah bagian dari rasa hormat kepada para pendahulu. Tugas generasi muda adalah menulis sejarah dengan karya yang lebih baik dan mengesankan.
Lantas bagaimana cara membangun generasi muda yang diidamkan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara? Salah satu caranya adalah generasi muda perlu kembangkan pemikiran bebas, sehingga menemukan banyak alternatif solusi persoalan hidup yang kompleks yang mereka hadapi.
Di zaman serba sulit ini, sejak kecil perlu dibantu berpikir bebas. Kembangkan angan-angan dalam berpikir, sehingga menemukan sesuatu yang lebih tinggi daripada yang ada. Pemuda semestinya mempersiapkan diri dengan memperbanyak ilmu pengetahuan, memperkuat mental, fisik, serta menciptakan karakter kepribadian yang kuat.
Membangun generasi muda yang berdaya guna dan tahan banting tentu bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan sinergi lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan bermasyarakat.
Esensi:
Generasi muda sekarang seharusnya sanggup menjawab tantangan dunia baru yang kompetitif dengan prestasi dan berkarya nyata. Generasi muda sekarang seharusnya konsisten terhadap kemajuan dan berpandangan jauh ke depan. Generasi muda sekarang seharusnya hidup damai, harmoni, serta siap bekerja sama dalam kebaikan. Dan generasi muda sekarang seharusnya berakhlak mulia dan menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam pribadinya serta kehidupan sehari-hari.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Melihat ke Bawah akan Membuat Hidup selalu Bersyukur

Hidup ini singkat, hanya mampir sebentar, kemudian mati, selesai. Kita ini hidup sekali, sangat merugi apabila kita menghabiskan hari-hari kita dengan merasa tidak cukup dengan apa yang sekarang pada kita. Tidak akan pernah ada puasnya, nafsu manusia itu sebesar gunung dan seluas samudra. Namun, apabila kita mampu mengontrolnya dengan baik. Maka sifat Qanaah akan muncul dengan sendirinya, yang membuat hidup kita menjadi selalu tersenyum dan menikmati dengan kebahagiaan yang sempurna.
Bersyukur. Minimal dengan mengucapkan alhamdulillah adalah hal yang sepatutnya dan sepantasnya harus selalu dilakukan oleh kita semua. Apapun keadaannya, baik di kala sedih. Terlebih lagi dikala senang, kita harus bisa bersyukur. Karena apapun yang terjadi pada diri kita, Dia-lah yang mengatur. Kita sebagai makhluk-Nya, harus bisa menerima dengan ikhlas. Karena itulah yang terbaik untuk kita. Bersyukur akan membuat hidup kita akan lebih bermakna. Membuat hidup kita lebih tenang, karena tidak terlalu memburu dunia.
Ketika kita merasa bosan dengan hidangan makanan karena sudah berulang kali makan dengan menu yang sama, bersyukurlah karena kita masih diberikan kemudahan untuk makan dengan lauk pauk yang cukup. Ingat, di luar sana masih banyak yang menahan lapar karena tak ada yang bisa dimakan.
Ketika kita mengeluh tentang pekerjaan yang menumpuk dan membuat pikiran kita lelah, bersyukurlah karena kita masih beruntung mendapatkan pekerjaan. Karena diluar sana, jutaan orang hampir putus asa karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Ketika kita merasa sendiri, tidak punya teman. Bersyukurlah karena setidaknya kita masih punya Tuhan yang akan selalu menemani kita setiap saat, dimanapun dan kapanpun kita berada.
Ketika kita kesal karena rumah kita terlihat kotor, bersyukurlah setidaknya kita dapat berlindung dari teriknya matahari dan dinginnya hujan di malam hari. Masih banyak di luar sana yang luntang-lantung harus menahan teriknya matahari dan dinginnya hujan, karena tak ada rumah yang bisa mereka tempati.
Esensi:
Ya, bersyukur itu amat sederhana sekali. Seringlah memandang ke bawah dan kita akan melihat bahwa masih banyak orang yang keadaannya jauh lebih sulit daripada yang kita alami. Dengan begitu akan timbul sikap rendah hati kita, ikhlas, sabar, syukur nikmat, dan pada akhirnya kita akan tergolong manusia-manusia yang Bersyukur dan selalu berucap Alhamdulilah…

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Indahnya Berkegiatan Sosial, Semangat Berkarya Menebar Kebaikan

“Hari Gini Kok Mau Sih Kerja Sosial? Emang Dapat Apa?”. Begitulah celoteh tanya seorang teman, dia tertawa dan tak habis pikir untuk sebuah cita-cita ideal yang terpatri di benak orang-orang yang berjuang mengorbankan apa yang mereka punya untuk kepentingan orang lain. Ya, orang menyebutnya kerja sosial alias kerja amal. Baginya cita-cita ideal itu non sense diwujudkan, apalagi di jaman yang semakin susah seperti sekarang ini.
Saya selalu terkesan pada mereka yang banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk berbagi kepada sesama dalam sebuah kegiatan sosial dan amal. Seakan mereka tak pernah lelah dan kehabisan energi. Terlebih kala mereka sebenarnya bukan datang dari kalangan yang memiliki segalanya. Baik waktu yang lapang, maupun rejeki yang melimpah.
Pastilah begitu banyak tantangan dalam sebuah kerja sosial. Kelelahan fisik, mental, kekurangan dana dan keterbatasan waktu adalah sederet hal yang niscaya. Inilah juga yang sering menjadi alasan orang menyerah menghentikan langkah mulianya. Karena bila memberi dalam keadaan lapang tentu ini hal yang lazim adanya. Namun memberi saat kita ada dalam keterbatasan, rasanya ini menjadi sangat luar biasa. Karena disanalah kesabaran dan mental diuji.
Begitulah kerja sosial, apapun bentuknya. Tak ada imbalan materi yang dikejar, hingga tantangan sebesar apapun harusnya tak akan pernah menyurutkan langkah. Justru hal itu akan melecut semangat untuk membuktikan bahwa apa yang kita lakukan bisa bermanfaat bagi orang banyak.
Kerja sosial akan memfilter siapa yang bersungguh-sungguh dalam berbuat, mengingat begitu terjal jalan yang harus dilalui. Butuh pengorbanan tak hanya fisik dan mental, tapi sekaligus juga moril materil. Mereka yang mudah menyerah akan berguguran ditengah jalan. Kerja sosial tak menimbang penghargaan manusia, hanya ridho Tuhan yang dinanti. Menjadi sebentuk amal jariah yang melengkapi amal fardhu lainnya.
Sesungguhnya keberkahan bisa berbagi manfaat dalam kegiatan sosial tak pernah putus adanya sampai kaki kita lelah sendiri untuk melangkah. Kemudahan dan keberkahan itu akan terus mengalir menjadi energi yang selalu bisa meletupkan dan menumbuhkan semangat baru. Mereka yang mengabdikan dirinya untuk sesama, sejatinya adalah kepanjangan tangan Tuhan dalam menebar manfaat di muka bumi. Keberadaan mereka menjadi cermin yang mampu menginspirasi dan memberi spirit pada orang lain untuk terus berbagi kebaikan.
Hingga tak perlu menunggu kaya untuk bisa memberi. Tak perlu menunggu lapang untuk bisa berbuat. Sekecil apapun itu, meski hanya bisa menggores manfaat melalui sebuah tulisan, setidaknya kita sudah berbagi manfaat dan menebar kebaikan.
Sayapun ingin menjadi bagian dari barisan ini. Semogalah kedua kaki inipun tak pernah surut dalam melangkah, walau jalan yang saya lalui dalam melakoninya pun tak kurang terjalnya. Tersandung, terseok adalah cerita. Yang meski kadang sakit, namun menjadi bagian indah yang bisa dikenang. Menjadi sebuah bekal perjalanan spiritual yang semoga kelak akan Tuhan hitung sebagai amal mulia. Bukankah tak pernah ada cerita merugi dalam berniaga dengan-Nya? Hingga untuk sebuah kerja sosial tak perlu lagi ada pertanyaan, Wani Piro?
Esensi:
Berkegiatan sosial itu ternyata menyenangkan. Selain mengasah kepekaan kita terhadap orang lain, juga mengasah batin dan memperkaya diri dengan pengalaman spiritual. Mungkin ini jawabannya mengapa hingga sekarang saya masih terus melakukannya.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Dengan Semangat Sumpah Pemuda, Mari Wujudkan Pemuda yang Berkemanfaatan

Sumpah pemuda adalah wujud optimisme yang digaungkan oleh para pemuda pada masanya. Siapa yang mampu membayangkan, Indonesia dapat memerdekakan diri di tahun 1928 atau siapa yang mampu membayangkan indonesia menjadi sebuah bangsa di tahun 1928. Akan tetapi, ditengah segala keterbatasan dan ancaman, pemuda masa itu berani mengikrarkan diri untuk menjadi satu bangsa. Mungkin, jika dikontekskan dengan kondisi saat ini, siapa yang mampu membayangkan bahwa indonesia menjadi negara kuat dan sejahtera? Saat ini, angan-angan menjadi negara kuat dan sejahtera sepertinya hanya menjadi bualan, lelucon dan terus menjadi mimpi. 
Tentu bukannya tanpa alasan, keterpurukan negeri ini didukung oleh perilaku elit yang korup, masayarakat umum yang tidak terdidik dan miskin serta pemuda yang terperangkap dalam apatisme. Alhasil, kebanggaan terbesar bangsa ini, yang selalu diajarkan sejak bangku SD, yaitu sumber daya alam yang melimpah tidak dapat kita nikmati.
Selain mengalami kerusakan sumber daya manusia kita juga mengalami bencana sumber daya alam. Tanah kita dijual, ikan yang ada dilaut kita dipancing oleh orang asing atau dijual kepihak asing, hutan kita dibabat dan Pancasila menjadi abu-abu serta tidak bermakna. Kita seolah mengalami masalah yang tidak berujung. Pemecahan persoalan kebangsaan ini menjadi sangat sulit dan entah mau dimulai dari mana.
Ditengah pesimisme, sebenarnya pemuda (senior-senior kita) ditahun 1928 sudah mengajarkan kita untuk terus bersemangat dan membagikan rasa optimistik. Jika melihat pemuda masa lalu yang masih memakai blankon, dengan pakaian khas jawa tradisional, keterbatasan informasi dan teknologi dan ditengah ancaman penjajahan mampu menularkan semangat perjuangan. Kita dapat melihat, hal-hal kecil yang pemuda masa lalu lakukan dapat melahirkan suatu perubahan besar di masa mendatang. Siapa sangka, hasil dari diskusi-diskusi kecil diruang kuliah dan lab anatomi stovia mampu melahirkan kebangkitan nasional, dan 20 tahun kemudian, diskusi-diskusi kecil tersebut mampu melahrikan kongres pemuda Indonesia (sumpah pemuda). Sebuah peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa ini, dan siapa yang sangka, hanya kurang dari 20 tahun kemudian, kongres atau pertemuan pemuda itu berefek pada indonesia merdeka di tahun 1945. Di tahun 1945 itu, penduduk indonesia berjumlah 70 juta dan 90% diantara buta huruf dan saat ini, penduduk Indonesia berjumlah 240 juta orang dan hanya kurang dari 5% penduduk kita yang buta huruf. Hanya sedikit bangsa yang mampu melakukan perubahan sedahsyat itu. Sebuah proses rentetan sejarah yang awalnya hanya berasal dari hal-hal kecil. 
Melihat perjalanan sejarah keindonesiaan, menempatkan peran pemuda sebagai pencetus kebangkitan nasional. Kabar baiknya adalah, di tahun 2030 penduduk Indonesia akan didominasi oleh usia produktif. Inilah bonus demografi yang sering disebut sebagai generasi emas indonesia. Untuk menuju generasi emas tersebut tentu harus dipersiapkan dengan cermat. Pengisi posisi strategis di 2030 nantinya adalah orang-orang yang menjadi mahasiswa sekarang ini, sehingga kapasitas dan kemampuan mahasiswa saat ini harus kita persiapkan. 
Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara ternyata bermula dari semangat yang tak kenal henti dan dari hal-hal yang yang kecil. Dengan semangat sumpah pemuda, mari kita perbaiki hal-hal kecil disekitar kita dan mari kita menebar semangat perubahan pada lingkungan sekitar kita. Tidak ada yang sangka perubahan kecil tersebut mungkin mampu menjadi pondasi perubahan besar di masa mendatang. Amin.
Esensi:
Pemuda cerdas adalah pemuda yang dapat bertindak cerdas dalam melihat suatu keadaan di sekitar lingkungannya. Mari wujudkan rasa nasionalisme dalam tiap diri kita, agar menghasilkan karya nyata, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan bangsa yang kita cintai ini, yaitu berupa prestasi-prestasi. Jangan sampai kerja keras para pemuda terdahulu sia-sia dengan kondisi kita sekarang. Sebagai penutup, menurut seorang bijak ”Kesejatian seorang pemuda bukanlah dari apa yang dipikirkan atau yang diyakininya, tetapi dari apa yang ia perbuat untuk bangsanya”.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Mendidik Hati untuk Peduli terhadap Sesama

Belajar peduli dengan sesama adalah sebuah pelajaran berharga yang telah mengubah cara bersikap dan bepikir saya melihat keadaan sosial di lingkungan sekitar. Artinya di luar sana ada banyak orang yang sangat membutuhkan uluran tangan kita dan itu harus menjadi salah satu orientasi kita dalam menjalani hidup. Apapun kesuksesan yang kita raih, tidak akan berarti apa-apa tanpa kita mau peka dan peduli dengan orang lain.
Orang beriman senantiasa dipanggil untuk punya kepedulian terhadap sesamanya. Mengapa? Karena orang beriman telah diciptakan dengan hati yang lembut. Hati itu digunakan untuk mudah tersentuh oleh penderitaan sesamanya. Memang, tidak mudah orang memiliki hati yang mudah tersentuh oleh penderitaan sesamanya. Namun kita bisa belajar dari pengalaman sesama kita yang peduli terhadap hidup sesamanya.
Salah satu penyebab kurangnya kepedulian manusia terhadap sesamanya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya rasa empati dari dirinya. Empati lebih dalam dari rasa simpati, dimana seseorang benar-benar merasakan posisi dan kondisi yang sedang dialami orang lain. Seseorang yang tidak memiliki rasa empati dalam dirinya, tidak akan mampu merasakan penderitaan atau kesusahan yang sedang dialami oleh orang lain. Akibatnya, dia tidak akan berbelas kasihan bahkan terkesan cuek ketika menyaksikan sesamanya mengalami kesusahan. Dia tidak akan merasa terpanggil untuk memberikan bantuan kepada sesama mereka itu. Kita sebagai manusia dipanggil untuk mengasah rasa empati kita setiap saat dalam kehidupan yang kita jalani sehingga kita mampu merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain dan dapat berbelas kasihan kepada mereka yang membutuhkan bantuan.
Menolong sesama memang tak cukup hanya niat, tapi juga melibatkan kesungguhan hati dan perjuangan. Dan ketika berbuat baik pada seseorang, jangan memikirkan reaksi orang. Karena apa pun bentuknya, jika dilakukan dengan ikhlas tentu akan ada kenikmatan tersendiri.
Esensi:
Mari kita bersyukur atas indahnya hidup ini. Sambil bersyukur, kita mendidik hati kita untuk mudah tersentuh oleh penderitaan sesama kita. Dengan demikian, hidup ini semakin baik dan indah.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Menumbuhkan Semangat untuk Berbagi

Memang sudah selayaknya kita mulai saling peduli terhadap sesama masyarakat, bukankah budaya gotong-royong, saling membantu adalah salah satu nilai budaya luhur bangsa ini? yang akhir-akhir ini mulai terpinggirkan oleh sikap kita yang terbawa arus kritis terhadap jalannya pemerintahan.
Saling peduli adalah sikap terbaik yang ada pada kualitas manusia, disinilah terdapat kekuatan untuk saling mengasihi dan akan berdampak untuk saling bersatu, bahwa kita memperhatikan nasib masyarakat lainnya didaerah-daerah yang masyarakatnya tak kita kenal, namun kita tau problematika yang mereka hadapi.
Kenapa kita harus menunggu atau bahkan menyalahkan pemerintah karena tidak melakukan sesuatu, disaat kita pun bisa melakukan sesuatu terhadapnya ("Better light a candle, then curse the darkness"). Bila kita memiliki niat dan kesungguhan, sebenarnya kita mampu melakukan hal-hal tersebut atas dasar tanggung jawab moral kita terhadap sesama anak bangsa.
Esensi:
Tak harus kita menunggu kaya, untuk saling berbagi dan saling peduli. Bukankah harta kita tak hanya materi, namun termasuk juga keahlian dan juga kemampuan yang bisa kita lakukan dengan cara kreatif untuk membuat kesadaran bersama untuk peduli dari masyarakat untuk masyarakat.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Menuju Pemuda yang Berkemanfaatan

Separah dunia politik bangsa ini yang tampak sudah terlalu rumit, mengapa kita tak memulai untuk saling peduli sesama masyarakat? Jangan lagi kita menjadi masyarakat koalisi atau oposisi, sudah seharusnya kita sebagai masyarakat memikirkan nasib masyarakat lainnya untuk bersama-sama demi membangun harkat dan martabat bangsa ini.
Begitu ragam permasalahan yang mereka alami namun juga begitu banyak keahlian dan kemampuan kita dalam berbagi baik ilmu, tenaga, gagasan, dan kebersamaan untuk membantu sesama anak bangsa. Apa yang kita mampu lakukan, maka lakukanlah.
Mungkin memang sudah saatnya masyarakat bersatu bersama membangun bangsa ini, dengan meningkatkan rasa kepedulian. Inilah bagian dari tanggung jawab moral sosial kita sebagai sesama anak bangsa, saudara setanah air.
Esensi:
Sudah saatnya para sobat, kita benahi pola pikir kita yang selama ini sudah terlalu jauh terjerumus dengan drama politik. Mari kita gunakan kemampuan kita untuk sebuah hal yang bernilai positif. Dengan kita melakukan sesuatu hal yang positif, maka kita pun akan dipenuhi rasa syukur yang tinggi serta tindakan yang tak ternilai. Saling berbagi terhadap kepedulian. Inilah saatnya kita bersatu dalam membangun harkat dan martabat sesama anak bangsa.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Menjadi Manusia yang Dikenang Karena Manfaatnya

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama.
Untuk dapat dikenang orang, tidak harus menjadi orang besar seperti Bung Karno. Setiap orang dapat menjadi manusia yang dikenang, tidak hanya ketika masih hidup tetapi juga ketika sudah tiada lagi di dunia ini. Untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama, tidak ada batasan suku, budaya, kepercayaan ataupun usia.
Esensi:
Sebagai seorang manusia, kita diberikan kebebasan oleh Tuhan untuk memilih. Menjadi manusia yang dikenang karena bermanfaat bagi orang lain, atau menjadi manusia yang dilupakan karena kehadirannya di dunia ini tidak berarti apapun bagi sesama.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Senin, 15 September 2014

Keteladanan dalam Memberantas Korupsi

Usai dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung mengangkat kapak perang terhadap korupsi . Ia memulai dari dirinya sendiri. Dia lepas seluruh kekayaannya, termasuk kuda-kuda Persianya, perkakas rumah tangga, sampai minyak wangi di sudut almari. Semua lalu dijual seharga 23.000 dinar (setara 10 miliar), kemudian diserahkan sepenuhnya ke Baitul Maal (Ibnu Sa’ad dalam Kitab Thabaqat, Jilid V hal.330).

Sebagai menantu mantan Khalifah Abdul Malik, Umar merasa hartanya yang diperoleh dari berdagang, tetap tidak steril dari pengaruh kekuasaan sang mertua. Maka, dengan sifat zuhudnya, dia tak merasa berhak memilikinya saat diangkat menjadi khalifah.

Setelah itu, Umar menoleh pada isterinya, si cantik putri mantan Khalifah Abdul Malik. “Dinda, engkau boleh memilih mengembalikan perhiasanmu ke Baitul Maal atau ijinkan aku berpisah darimu. Sebab aku tidak akan tahan terhadap panasnya hartamu itu, “ kata Umar.

“Suamiku, seandainya aku memiliki perhiasan yang jauh lebih banyak dari ini sekalipun, aku akan tetap memilihmu, “ jawab sang isteri sambil menyerahkan semua perhiasan yang dia kenakan dan simpan.

Selanjutnya, Umar menyita semua tanah garapan dan mencabut hak-hak istimewa Bani Umayyah, yang dia curigai diperoleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Begitulah, keteladanan dan ketegasan Umar bin Abdul Aziz mengantar negeri Islam menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

Maka, pada 10 Februari 1976, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa hidup sederhana. Salah satu anjuran dalam fatwa itu kepala negara adalah memberatkan hukuman atas tindak pidana korupsi dengan perundang-undangan seperlunya, antara lain dengan usaha memasukkan Hukum Pidana Islam.

Alangkah indahnya bila tingkah pejabat negeri seelok laku penguasa Islam Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun, Yusril Ihza Mahendra benar ketika mengatakan ia lebih percaya kepada sistem ketimbang manusia. Kalau ada sistem yang kuat, orang jahat tak dapat mewujudkan niat jahatnya. Contohnya, orang Jakarta jika tingal di Singapura seminggu saja, tepaksa akan menjadi orang disiplin. Karena Singapura punya sistem kuat. Siapa melawan sistem, akan digilas oleh sistem itu. Syarwan Hamid, mantan Mendagri itu, pernah kepergok merokok di dalam lift di Singapura dan langsung kena denda. Lha kalau di sini?

Islam pun bukan sistem yang hanya bertopang kepada kesadaran dan ketaqwaan individu. Islam juga ditegakkan dengan kepedulian masyarakat dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menyuruh pribadi-pribadi pelaku korupsi untuk bertaubat dan menyerahkan kembali harta curang hasil korupsinya kepada negara atau rakyat yang dirugikan, serta melarang yang bersangkutan menempuh jalan buruk dengan berkelit di balik prosedur hukum formal adalah salah satu bagian dari tindakan amar ma’ruf nahi munkar.

Abdurrahman Al Baghdadi dalam Hukmul Islam fi malil Ghulul minal Hikkam wa Muwazhzhafid Daulah mengatakan, kekayaan gelap pejabat adalah kekayaan yang diperoleh para penguasa, para kepala daerah dan para pejabat lainnya secara tidak sah, baik yang berasal dari kekayaan negara maupun penduduk. Harta kekayaan gelap itu harus dikembalikan kepada pemiliknya jika diketahui dengan jelas. Jika tidak, maka disita dan dimasukkan ke Baitul Maal.

Mengemban amanah tersebut, Nabi Muhammad Saw mengejar harta korupsi itu hingga ke liang kubur. Memang, beliau wanti-wanti, jangan menyebut orang yang sudah meninggal kecuali kebaikan-kebaikannya. Namun demi hukum, ada pengecualian dari larangan tersebut. Itu karena penguasa benar-benar serius mengejar harta korupsi pejabat. Ia tak ingin menjadi ustadz di kampung maling.

Sumber:
http://www.lazisnu.or.id/artikel/detail/tafakur/10/keteladanan-dalam-memberantas-korupsi.html

Wajah Multikulturalisme Pesantren


Judul Buku: Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren
Penulis: Dr. Abdullah Aly, M. Ag
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: xvi + 368halaman
Peresensi: Supriyadi *)

Dalam praktik pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar yang bernaung pada lembaga pendidikan, kerap kali terjadi diskriminasi yang diakibatkan oleh berbagai perbedaan. Di antara perbedaan tersebut adalah perbedaan kultur, agama, etnis, ras, dan lain sebagainya bahkan hingga perbedaan umur dan gender. Tidak jarang pula berbagai perbedaan tersebut berpengaruh pada proses pendidikan. Akhirnya, dalam hal itu terjadilah kesenjangan.
Sebagai sebuah solusi, pendidikan multikultural menawarkan pendidikan yang tidak melihat berbagai perbedaan tersebut, melainkan penghargaan segala perbedaan. Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajarmenjadi efektif danmudah.Ruh atau esensi dari pendidikan multikultural itu sendiri adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Dengan demikian, fungsi dan tujuan dari pada pendidikan multikultural itu adalah melatih dan membangun karakter para peserta didik agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh realitas kehidupan yang diskriminatif di Amerika Serikat. Oleh karena itu, muncullah gerakan hak-hak sipil yang memperjuangkan anti diskriminasi. Gerakan tersebut dikarenakan adanya praktik-praktik kehidupan yang diskriminatif, baik di tempat-tempat publik, di rumah-rumah, di tempat-tempat kerja, hingga di berbagai lembaga pendidikan.

Praktik kehidupan yang diskriminatif ini terjadi karena selama tahun 1950-an, Amerika hanya mengenal kebudayaan yang dominan dan mayoritas, yaitu kebudayaan kulit putih. Sementara golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka. Padahal secara faktual, Amerika ketika itu dihuni oleh penduduk yang beragam asal-usulnya (hlm. 88).

Menguatnya gerakan-gerakan anti diskriminasi tersebut menjadi tonggak sejarah konsep multikulturalisme dalam pendidikan. Namun demikian, jauh sebelum zaman tersebut, telah terjadi pendidikan multikultural di dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu tercermin dari berbagai lembaga pendidikan yang peserta didiknya berasal dari berbagai etnis, agama, umur, ras, dan lain sebagainya. Bahkan orang-orang Eropa pun menekuni ilmu pengetahuan di Timur (Islam) ketika Dinasti Abbasiyah berada pada puncak kejayaannya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan).

Dalam konteks Indonesia era kini, pendidikan multikultural juga perlu diaplikasikan. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bernuansakan agama (Islam). Dalam implementasi pendidikan di pesantren, suasana multikultural sangat lekat. Di dalam sebuah pesantren, terdapat berbagai para peserta didik yang beragam. Dalam pesantren, terdapat para peserta didik yang berbeda-beda, baik dari segi etnis, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur.

Berbagai perbedaan tersebut sangat mampu dihargai oleh pesantren. Meski demikian, dalam pesantren tersebut hanya ada satu keragaman dalam beragama, yakni Islam. Multikulturalisme di pesantren hanya tidak menjangkau dalam ranah agama karena terkait dengan tujuan pesantren itu sendiri yang mengajarkan agama Islam. Meski demikian, justru agama bisa dijadikan media sebagai pembelajaran pendidikan multikultural secara teoretis dan pembekalan terhadap para peserta didik terhadap sikap yang demokratis, humanis, dan pluralis.

Walaupun mono-agama, pesantren sangat terbuka dengan berbagai perbedaan. Di dalam pesantren, terdapat berbagai peserta didik dari berbagai daerah yang membawa adat-istiadat mereka masing-masing ke pesantren. Berbagai umur peserta didik pun tidak dipermasalahkan dalam pesantren. Apalagi pesantren tradisional yang benar-benar menekankan kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Sementara ajaran agama (Islam) juga mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan anti diskriminasi. Dengan demikian, agama menjadi media dan alat untuk mengajarkan pendidikan multikultural.

Dr Abdullah Aly, MAg telah melakukan penelitian terhadap aplikasi pendidikan multikultural dalam sebuah pesantren, yakni di Pesantren Modern Islam Assalam, Surakarta. Dalam kesimpulannya, dinyatakan bahwa dalam dokumen kurikulum pesantren tersebut memuat nilai-nilai multikultural dan nilai yang kontradiktif terhadap nilai-nilai multikultural sekaligus (hlm. 338).

Penelitian yang dilakukan oleh Dr Abdullah Aly, MAg tersebut termaktub dalam buku yang berjudul “Pendidikan Islam Multikultural Pesantren”. Dengan membaca buku tersebut, para pembaca diajak untuk menjelajahi dunia pendidikan di pesantren yang berbasis agama Islam. Meskipun penelitian pada sebuah pesantren, hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur secara mutlak dalam referensi kepesantrenan dan multikulturalisme pesantren secara universal karena masing-masing pesantren yang ada juga memiliki berbagai karakteristik. Paling tidak, wajah multikulturalisme pesantren sedikit tersibak.

Akhirnya, pendidikan multikultural sangat perlu diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia. Telah kita ketahui bahwa di Indonesia ini terdapat berbagai etnis, agama, ras, dan berbagai perbedaan lainnya yang ada dari Sabang sampai Merauke. Untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, implementasi pendidikan multikultural sangat solutif.

Sumber:
http://www.lazisnu.or.id/artikel/detail/buku-pilihan/12/wajah-multikulturalisme-pesantren.html

Kamis, 11 September 2014

Iman dan Layanan Sosial

SETIAP orang pasti tidak suka kalau jatuh martabat dan rugi. Bukan saja sekedar tidak suka, melainkan sangat-sangat tidak suka. Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, manusia merupakan makhluk yang paling baik, paling lengkap, paling luhur keterciptaannya dibandingkan dengan makhluk yang lain ( At-Tin [95]: 4).

Hanya manusia yang memiliki hubungan antara badan kasar dengan pikirannya, hubungan antara badan kasar dengan perasaannya, dan hubungan antara badan kasar dengan keyakinannya. Jika pikirannya (inteligensinya) berjalan normal, maka sehat badan kasarnya, jika perasaannya (emosinya) terganggu, maka terganggulah kesehatan badan kasarnya, dan jika lurus dan kuat keyakinannya (spiritualnya), maka tampak tegar penampilan hidupnya. Kebenaran hubungan-hubungan ini semuanya dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, benar kalau dikatakan bahwa manusia itu memiliki martabat yang paling baik, paling lengkap dan paling luhur kalau dibandingkan dengan makhluk lain. Seperti makhluk hewan (hayawanat), makhluk tumbuh-tumbuhan (nabatat), dan makhluk benda beku (jamadat: benda padat, cair, dan gas)

Sungguhpun demikian, Allah SwT juga mengingatkan, bahwa manusia itu pada hakikatnya merupakan makhluk yang “mudah lupa”, yang karena itu disebut dengan istilah insaan (At-Tin [95]: 4). Lupa tentang apa? Pertama, lupa terhadap hal-hal yang remeh dan memang hal-hal yang remeh tersebut tidak perlu dingat-ingat. Contoh: lupa tentang berapa kilogram beras yang telah dimakan selama ini, berapa ribu liter air yang pernah melalui kerongkongannya, berapa ribu meter kubik udara yang pernah lewat paruparunya, berapa ribu kilometer kakinya telah dipakai untuk berjalan, berapa ribu jam tidur yang telah dialaminya, dan berapa liter urine yang telah dikeluarkan selama ini. Kedua, lupa terhadap hal-hal yang penting yang kalau hal-hal tersebut dilupakan, maka seseorang lalu dinilai melenceng dari tata nilai (benar menjadi salah, baik menjadi buruk, indah menjadi jelek, manfaat menjadimudlarat/merusak). Contoh: lupa terhadap

rumus ilmu, lupa terhadap berbakti kepada orangtua, lupa terhadap kerapihan, dan lupa menjaga diri dari minum minuman keras. Ketiga, lupa terhadap hal yang mutlak penting yang kalau sampai ditinggalkan,

maka seseorang akan kehilangan pegangan hidup. Dalam hal ini adalah jika lupa terhadap Tuhan. Jika sifat “lupa” ini, khususnya lupa yang kedua dan ketiga, sampai dikerjakan dengan sengaja oleh seseorang apalagi dibiasakan maka menurut Al-Qur’an, orang semacam itu akan dijatuhkan martabatnya oleh Allah SwT ke martabat serendah-rendahnya, (At-Tin [95]: 5).

Sekalipun sebagian ulama tafsir memaknai kata-kata “asfala safilin” itu dengan pengertian “neraka”, namun dalam tulisan ini penulis lebih cenderung memaknai kata-kata tersebut sebagai kejatuhan martabat di atas. Selanjutnya, manusia juga sangat tidak suka terhadap apa yang disebut rugi. Semua manusia sangat senang kalau merasa memiliki untung. Hakikat untung di sini adalah bertambah, sedangkan hakikat rugi adalah berkurang, dalam arti berkurang dari apa yang diinginkan untuk dimiliki. Contoh: Orang merasa sangat senang kalau bertambah kekayaan ilmunya atau makin tajam analisanya, orang akan merasa sangat senang kalau bertambah tinggi pangkatnya atau kuat kekuasaannya, orang akan sangat senang kalau bertambah kekayaannya, orang akan sangat senang kalau bertambah sehat atau kebugaran tubuhnya, dan sebagainya. Tetapi, lagi-lagi manusia diingatkan Al-Qur’an, bahwa dirinya selalu diberi cobaan penyakit “lupa” di atas. Sebab, ayat Al-Qur’an yang berbicara dalam konteks masalah “rugi” ini juga memakai kata “insaan” ketika menyebut dunia manusia (Al-’Ashr [103]: 2). Jadi, kalau sampai manusia menjadi “lupa” (lupa model, kedua dan ketiga di atas), maka manusia tersebut pasti akanmengalami apa yang disebut “rugi”.

Bagaimana jalan keluarnya agar manusia tidak turun martabatnya dan sekaligus tidak rugi? Jawabannya adalah: beriman dan beramal shalih (At-Tin [95]: 6; Al-‘Ashr [103]: 3).

Dalam konteks pembicaraan ini, beriman di sini inti artinya adalah seluruh tindakan manusia diniatkan hanya untuk beribadah kepada Allah SwT (Adz-Dzariyat [51]: 56).

Ini artinya, bekerja karena niat beribadah, menghormati orang lain karena niat beribadah, menolong orang lain karena niat beribadah, berhemat juga karena berniat ibadah, dan sebagainya. Katakanlah, ketika bergerak di permukaan planet bumi ini dalam kesehariannya senantiasa dicantolkan kepada “Yang di Atas” (Allah SwT). Kalau itu dilakukan, akan aman, benar, baik, indah, dan bermanfaat dalam arti yang sebenar-benarnya.

Selanjutnya, beramal shalih di sini inti artinya adalah lebih banyak memberi daripada meminta. Jadi, lebih banyak memperhatikan “orang lain” daripada sekadar memuaskan kepentingan “diri sendiri”. Ini artinya, melayani orang lain atau layanan sosial jauh lebih menjadi perhatian daripada melayani untuk diri sendiri (layanan untuk diri pribadi). Bukti-bukti simbolik dalam peribadatan yang diajarkan agama Islam cukup banyak. Sebagai contoh, dalam ibadah shalat. Ketika memulai shalat, seorang Mukmin yang mengerjakannya senantiasa memulainya dengan menyebut “takbir”, Allahu akbar; ini adalah urusan vertical (hablun mina-’l-laah). Ketika mengakhiri shalat, seorang Mukmin menyebut ucapan “salam”, assalamu ’alaikum wa rahmatullah: ini adalah urusan horizontal (hablun mina-’n-naas). Ucapan “salam” ini pada hakikatnya adalah “memberi”, bukan ingin “diberi”. Ini artinya, bahwa anjuran “memberi” merupakan tema besar dalam keseharusan dalam hidup secara sosial ini. Atau dengan lain kata, layanan sosial tidak lepas dari sifat pokok bagi seseorang yang mengatakan “dirinya beriman”. Iman dan layanan social bagaikan dua wajah dalam sekeping koin.

Agama Islam tidak mengajari untuk cenderung ekstrem) pada salah satu sisi dari dua wajah tersebut. Pahala dan harga manusia beriman bisa terukur lewat layanan sosialnya.

Wallaahu a’lam bishshawaab.l



Oleh: Dr. Muhammad. Damami, M.Ag

Sumber:
http://www.lazismu.org/index.php/k2/latest-items-1-column/item/68-iman-dan-layanan-sosial

Mas Priyo dan Keadilan yang Tertunda

Tidak banyak orang yang bersedia untuk bersabar selama kurang-lebih sebelas tahun untuk menunggu kembalinya hak yang terampas. Kalaupun ada, Mas Priyo adalah satu dari ribuan orang, atau bahkan jutaan orang yang bisa dikecualikan. Seorang "kawula alit" (sebutan mas Priyo untuk dirinya, ketika dia menggangap dirinya sebagai rakyat kecil yang tak berdaya). Apa yang terjadi pada Mas Priyo? Inilah yang menarik untuk diceriterakan.

Mas Priyo adalah salah seorang aktivis masjid di sebuah kampung kecil di sudut kota Yogyakarta. Tidak banyak yang kenal dengan dirinya, kecuali para jamaah masjid yang memang rajin hadir dalam shalat jamaah dan pengajian rutin mingguan Selasa Pagi, utamanya para ustadz yang secara rutin memberikan siraman ruhani pada jamaah pengajian di masjid itu. Dan, tentu saja pengurus (takmir) masjid yang sehari-hari bergelut dengan persoalan kemasjidan di kampung itu, sangat mengenalnya.

Penunggu masjid yang satu ini adalah orang yang hidupnya sangat sederhana, namun di tengah kesederhanaannya sekaligus ia adalah seseorang yang mampun bersikap qana'ah. Ia tak pernah mengeluh dengan keluhan yang terkesan meminta belas-kasihan. Kalaupun pernah mengeluh, dia hanya mengeluh soal dirinya yang tak kunjung bisa beribadah dengan khusyu. Ia rindukan kekhusyuan shalat dan seluruh ibadahnya dalam kesehariannya, dan yang terpenting menurutnya adalah: bisa melaksanakan shalat jamaah di masjid dengan tepat waktu. Dan dengan wajah berseri selalu dia katakan: hari ini saya benar-benar puas, karena bisa melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah dengan tepat waktu. Satu hal yang juga ditanyakan oleh Mas Priyo: Di manakah keadilan, dan kapan datangnya?

Menurut hasil bacaan Mas Priyo, Islam menyeru manusia untuk menegakkan keadilan dalam setiap sikap dan perbuatan. Para Rasul pun diutus ke tengah kaum atau bangsanya juga untuk menegakkan keadilan. Nabi Muhammad saw, misalnya, ini diutus ke tengah umatnya untuk menegakkan keadilan di tengah kezaliman dan kejahiliyahan bangsa Arab ketika itu. Keadilan menurut pemahaman Mas Priyo harus ditegakkan dalam segala bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun kehidupan politik. Seperti yang tersebut dalam Al-Qur'an: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia (maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. " (Q.s. An-Nisaa [4]: 135).

Dalam sejarah politik umat Islam, menurut bacaan Mas Priyo, kehancuran umat dan pemerintahan Islam dahulu terjadi karena mereka menjalankan kezaliman dan kurang peduli untuk menegakkan keadilan. Misalnya, mereka umat Islam, dan utamanya para pemangku negeri cuma memberi dan menjatuhkan hukuman terhadap rakyat kecil, sedangkan pencuri dari kalangan atas mereka diamkan saja dan dibiarkan terus. Mereka abaikan empat hal yang menjadi indikator terciptanya keadilan.

Pertama, mereka abaikan prinsip muswaha (egalitarianisme); tidak memperlakukan sama atau membedakan seseorang dengan yang lain, karena pertimbangan-pertimbangan subjektif. Termasuk di dalamnya perilaku hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Sang Hakim misalnya yang seharusnya menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, ternyata tidak berbuat semestinya. Mereka tidak cukup bersikap amanah, dan bahkan mengkhianati sumpahnya sendiri. Padahal Al-Qur'an telah mengisahkan tentang dua orang berperkara yang datang kepada Nabi Daud as untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus. Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (Q.s. Shaad [38]: 23), Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan". Mereka tak peduli terhadap pesan moral ayat tersebut, dan bahkan menuruti kemauan hawa nafsunya.

Kedua, mereka abaikan prinsip tawazun (keseimbangan). Mereka rusak keseimbangan diri dan keteraturannya dengan sikap rakusnya. Padahal, Allah telah mengingatkan dengan firmanNya: "Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan dirimu seimbang." (Q.s. Al-Infithar [82]: 6-7). Bagaikan tubuh seseorang manusia, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Demikian juga dengan keseimbangan alam raya bersama ekosistemnya, yang dalam hal ini pun Allah mengingatkan: "Allah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang? " (Q.s. Al-Mulk [67]: 3)

Ketiga, mereka abaikan hak-hak individu dengan tidak memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, bahkan mereka telah banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Hingga banyak orang yang terzalimi tanpa ada perlindungan dari siapapun yang seharusnya melindunginya.

Keempat, mereka abaikan hak Allah terhadap dirinya. Mereka yang seharusnya menjadikan Allah sebagai satu-satu illah (Tuhan yang berhak disembah), justru lebih condong ber-illah kepada yang lain. Mereka lebih taat, patuh, pasrah dan mencintai thagut (memberhalahan sesuatu, termasuk harta dan tahta yang selalu dikejarnya). Padahal Allah telah memberikan peringatan dini dalam Q.s. Ali Imran [3]: 18): Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Para penegak hukumnya pun dengan sangat berani melanggar amanahnya, pada hal Nabi Muhammad saw telah mengingatkan: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di mata Allah berada di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, berada di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla. Yaitu mereka yang berbuat adil ketika menetapkan putusan hukum, dan adil terhadap pengikut dan rakyatnya." (HR Muslim dari Abdullah bin 'Amr).

Pengalaman pribadi Mas Priyo membuktikan bahwa ketidakadilan itu hingga kini masih menjadi fenomena yang setiap hari ia saksikan. Dia, yang telah menunggu hak waris tunggalnya dari kedua orangtuanya yang telah meninggal berupa sebuah rumah tinggal dan beberapa ratus meter tanah pekarangan di desanya, karena ketidakmampuannnya untuk menuntut haknya, karena diserobot oleh sejumlah orang "kuat" yang sebenarnya tidak memiliki hak atasnya. Dia biarkan selama sebelas tahun (seluruh haknya) tersia-siakan. Sampai pada akhirnya bertemu dengan salah seorang pengacara Muslim yang berbaik hati untuk membantu menemukan kembali haknya.

Singkat kisah, setelah berproses di pengadilan, atas jasa sang Pengacara Muslim itu, Mas Priyo mendapatkan seluruh haknya (berupa sebuah rumah tinggal dan beberapa ratus meter tanah pekarangan peninggalan kedua orang tuanya). Dan Mas Priyo, yang dulu tinggal di kamar sempit sebelah masjid, kini tinggal disebuah rumah permanen dan sebidang pekarangannya yang sangat membuat dirinya bahagia.

Dan gumamnya di depan para jamaah masjid, dengan senyum simpulnya, ternyata untuk mendapatkan keadilan yang sempat pergi entah ke mana diperlukan waktu (kurang-lebih) sebelas tahun. Dan mas Priyo semakin yakin dengan nasihat-nasihat para ustadznya yang selalu menasihatinya agar selalu bersikap sabar dan syukur, ternyata sikap sabar dan syukurnya itu, kini telah menuai hasil yang luar biasa.

Selamat Mas Priyo! Begitu saya teriakkan kepadanya. Dan bertepatan dengan happy-ending-nya kisah perjalanan hidup Mas Priyo ini, Alarm HP saya pun berbunyi Krriiing, saatnya menunaikan qiyamullail. Saya pun terbangun. Kontan saya ucapkan alhamdulilah, ternyata dalam tidurku pun Allah masih bersedia menyapaku dengan sebuah kisah perjalanan hidup Mas Priyo yang sangat indah, yang ternyata kini belum pernah saya temui dalam seluruh perjalanan hidup saya. Dari kisah Mas Priyo dalam mimpi saya ini setelah menunaikan qiyamullail, sayapun berdoa kepada Allah dengan penuh harap, mudah-mudahan cerita mas Priyo ini bisa menjadi kenyataan bagi siapa pun yang masih memiliki sikap sabar dan syukur, termasuk bagi diri saya. Insya Allah.



Oleh: MUHSIN HARIYANTO (Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Tidak Tetap STIKES Aisyiyah Yogyakarta)

Sumber:
Majalah SUARA MUHAMMADIYAH nomor : 21/ tahun ke-95/ 1- 15 November 2010.
http://www.lazismu.org/index.php/k2/latest-items-1-column/item/69-mas-priyo-dan-keadilan-yang-tertunda

Kiai Dahlan dan Pencerahan Kemanusiaan

Di tengah praktik hidup hedonis dan korup elit negeri ini, penting dibaca ulang etos gerakan pembaruan di awal Muhammadiyah didirikan Kiai Ahmad Dahlan. Hal itu merupakan hasil penafsiran ulang ajaran yang selama ini dipahami publik bagi gerakan pemberdayaan umat, sehingga bebas penderitaan akibat kemiskinan, ketertindasan, dan kepenyakitan. Pengelolaan ibadah yang bersifat publik dirasionalisasi bagi fungsi sosial, ekonomi, dan budaya. Sekurangnya, menempatkan seseorang pada posisi bermartabat atau ngewongke (memanusiawikan orang). Adalah revolusi mental ketika para ndoro dan priyayi (ingat, Kiai Dahlan adalah seorang abdi dalem, hanya beberapa biji se nusantara) menyediakan diri berbagi harta bagi wong cilik.

Tafsir Al-Maa'un melahirkan pembaruan pengelolaan zakat dan fitrah, ibadah korban, hingga infak dan sedekah untuk membiayai aksi-aksi sosial. Kini telah tumbuh sebagai tradisi sosio-ritual umat bersama tradisi ngaji. Di masa lalu, Kiai memulai dengan anjuran agar seorang Muslim memastikan dua sifat utama: menjadi murid, berarti selalu menyediakan diri menimba ilmu pada siapa pun, sekaligus menjadi guru dalam arti selalu sedia mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Bersamaan itu dikembangkan program "guru keliling"  yaitu penempatan setiap diri aktivis sebagai penganjur Islam yang terus mencari murid di sembarang tempat dan waktu. Program ini kemudian berkembang menjadi tradisi ngaji bersama rasionalitas ibadah pemberdayaan umat.

Ironinya, gagasan dasar pendiri Muhammadiyah itu kurang ditangkap generasi pelanjut yang kini mulai mengambil alih kepemimpinan. Gerakan modernis terbesar itu seolah tersandera produk pembaruan Kiai saat banyak orang yang tidak secara formal mengaku sebagai warga gerakan mulai mengambil posisi strategis dalam berbagai lembaga modern. Sebuah media nasional melaporkan bahwa posisi amal usaha pendidikan Muhammadiyah konon kini tidak lagi berada pada posisi terdepan. Meski laporan itu perlu dicermati mengenai sumber data yang dipakai. Namun bisa jadi gejala itu menjadi bukti transformasi kultural umat negeri ini ke dalam peta gerakan yang dulu dipandang haram seperti pendidikan modern dan berbagai praktik ritual sosial.

Di usia lebih 1 abad waktunya generasi baru gerakan ini melakukan rasionalisasi lebih produktif ibadah bermatra sosial seperti zakat, haji dan kurban menyembelih hewan. Pertanyaan sederhana yang mungkin menyentak basis teologi ialah Apakah ibadah kurban berhenti pada dataran konsumtif; menyembelih hewan lalu memakannya setelah berbagi pada fakir-miskin? Ibadah itu melibatkan dana amat besar yang bisa dikelola lebih profesional dan produktif bagi kepentingan peradaban dan pembebasan umat dari berbagai praktik ketidakadilan dan penderitaan. Soalnya, posisi generasi muda gerakan modernis ini di tengah belitan kemiskinan yang masih menjerat lebih 50 juta umat negeri ini?

Sekedar contoh bisa dihitung besaran dana yang bisa dikumpulkan dari salah satu ibadah berdimensi sosial yaitu ibadah kurban menyembelih hewan di Hari Nahar itu. Di saat Hari Nahar tersebut diperkirakan 3 - 4% (sekitar 7,2 - 9,6 juta orang) warga negeri ini menyerahkan sebagian hartanya untuk membeli hewan guna disembelih. Jika rata-rata yang disembelih adalah hewan setara kambing seharga 1 juta rupiah, maka di Hari Adha itu nilai hewan yang dikurbankan sebesar 7,2 - 9,6 trilyun rupiah.

Nilai daging yang menjadi hak dluafa dan fakir-miskin senilai 2/3 dari 7.2 sd 9,6 trilyun = kurang lebih 4,8 sd 6,2 trilyun rupiah. Banyak program pembebasan belitan kemiskinan yang menyandera umat Islam negeri ini dan dunia dengan uang sejumlah itu yang sudah tentu perlu mempertimbangkan ketentuan syariat. Bea siswa anak-anak keluarga dhuafa dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sesuai kebutuhan warga dhuafa seperti kedokteran dan pertanian. Program pelatihan keterampilan mengolah hasil tani dan nelayan bisa dibiayai dari dana ini. Demikian pula pelatihan dan pembiayaan pedagang kecil, kaki lima, dan pedagang infornal, selain pengembangan perkebunan. Hubungan amil dan dana dluafa itu bisa diatur sesuai prinsip syariah melalui proses ijab qobul penyerahan hak kelola hak dluafa dari pembagian daging kurban.

Melalui rasionalisasi ritual seperti dilakukan Kiai Dahlan seperti tersebut di atas tersedia ruang bagi banyak pihak untuk lebih memahami Islam yang fungsional bagi pemecahan masalah kemanusiaan, bahkan terlibat di dalamnya. Jika dibaca secara jernih kekuatan utama gerakan Muhammadiyah periode awal, ialah etika dan semangat ke-welas-asih-an atas sesama, sikap terbuka dan toleransi. Awalnya, pendukung gerakan ini bukanlah semata-mata datang dari kaum santri, tapi juga orang-orang Belanda, China dan priyayi Jawa. Ketika Dahlan gencar menggerakkan masyarakat membela mereka yang tertindas, terlantar, dan gelandangan, dukungan datang dari berbagai penjuru. Semua itu dilakukan Kiai bukan bermaksud mengubah keyakinan keagamaan, tapi semata hendak menunjukkan ke-welas-asihan berbasis Kitab Suci dan Sunnah Nabi.

Sikap terbuka, toleran dan membela yang menderita dari Kiai Dahlan itulah yang membuat dokter Soetomo, elit priyayi Jawa, salah seorang pemimpin Budi Otomo (berdiri 1908), kepincut gerakan Muhammadiyah. Dokter ini menyebut fokus, asas dan etos utama gerakan itu ialah ke-welasasih-an pada sesama, terutama rakyat kecil yang terancam dan tertindas. Karena itu Soetomo kemudian bersedia menjadi advisor HB (Hooft Bestuur) Muhammadiyah bidang kesehatan. Di sini letak fungsi strategis pembaruan sosial-kemanusiaan Kiai bagi pemberdayaan dan pembebasan umat dari penderitaan kemiskinan struktural tersebut.

Dalam suatu riwayat dikisahkan Nabi Khidzir sedang memberi tausiah Nabi Musa tentang reward (balasan) langsung dari Tuhan. Khidzir berkata: Jika Musa bisa memberi pakaian orang yang telanjang karena tidak bias membeli baju, memberi makan orang yang kelaparan karena tidak bias bekerja memperoleh sesuap nasi, membuat tentram orang yang ketakutan karena terancam dan tertindas, Tuhan akan memberi balasan langsung. Pahala langsung dari Allah tidak diberikan bagi shalat di masjid atau ibadah formal lain, karena ibadah itu sudah merupakan kewajiban bukan perbuatan istimewa yang membutuhkan revolusi mental.

Di zaman terbuka saat agama-agama besar saling berebut pengaruh mencari pengikut sebanyak-banyaknya, tidak jarang memicu konflik disertai kekerasan fisik dan psikis, bisakah pemimpin gerakan Islam mengedepankan ke-welas-asih-an pada sesama tanpa melihat agama dan bangsanya? Jika itu bisa dilakukan, boleh jadi gerakan ini sedang memasuki era baru pencerahan kemanusiaan untuk tidak menyebut agar aktivis gerakan ini tidak lagi merasa tersaingi pengikut-pengikut baru yang tetap tidak bersedia melamar mencari NBM.



Oleh: ABDUL MUNIR MULKHAN (GURU BESAR FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA, KOMISIONER KOMNAS HAM, ANGGOTA DIKTI PP MUHAMMADIYAH 2005-2015)

Sumber:
MAJALAH SUARA MUHAMMADIYAH No. 23 / Tahun ke - 96 / 1-15 Desember 2011.
http://www.lazismu.org/index.php/k2/latest-items-1-column/item/70-kiai-dahlan-dan-pencerahan-kemanusiaan

Menjaga Semangat Berbagi

Salah seorang ulama besar di zaman kejayaan Islam, Imam Hasan al Bashri rahimahullah, ketika ditanya oleh murid-muridnya mengenai ciri-ciri orang yang ibadahnya diterima Allah SWT, menyatakan dengan sebuah kalimat sederhana: “an yakuunaa ahsanu min qoblu”. Artinya, perilakunya (pasca menjalankan ibadah) menjadi lebih baik ketika dibandingkan dengan sebelum melaksanakan ibadah tersebut. Karena itu, tanda apakah ibadah shaum yang kita lakukan selama sebulan penuh diterima oleh Allah atau tidak, sangat ditentukan oleh perilaku kita pasca Ramadhan.

Jika sebelumnya kita sering lalai dalam melaksanakan shalat sebelum Ramadhan, lalu pasca Ramadhan kita menjadi semakin rajin dan bersemangat melaksanakan shalat, maka artinya ibadah shalat dan shaum yang kita laksanakan di bulan suci tersebut insya Allah diterima oleh-Nya. Kita menjadi semakin dekat dengan-Nya sehingga mampu menghadirkan Allah dalam seluruh aktivitas sehari-hari. Karena itu, jika perilaku pasca Ramadhan malah semakin jauh dari ketentuan Allah, kembali pada kemaksiatan dan korupsi, maka menurut Imam Hasan al Bashri, itu adalah tanda tidak diterimanya ibadah seseorang. Na’uudzubillah.

Salah satu ibadah yang perlu dijaga kualitas dan kuantitasnya pasca Ramadhan adalah ibadah zakat, infak dan shadaqah (ZIS). Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa salah satu ibadah yang sangat gencar dilakukan selama bulan Ramadhan adalah ZIS. Dimana-mana kita menyaksikan fenomena masyarakat yang berlomba-lomba untuk saling berbagi. Mulai dari pergiliran jadwal donasi ta’jil setiap hari, santunan anak yatim, penunaian zakat fitrah dan zakat maal, dan aktivitas berinfak serta bershadaqah lainnya. Bahkan kebiasaan berbagi ini pun turut dilakukan pada saat merayakan lebaran di kampung. Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah dana yang dibawa oleh para pemudik mencapai angka Rp 96 trilyun.

Tentu saja semangat berbagi di bulan suci ini adalah sesuatu yang sangat baik dan luar biasa. Tinggal bagaimana caranya agar semangat berbagi ini tetap bisa dijaga hingga sebelas bulan berikutnya. Agar semangat berbagi ini bisa dapat terus terjaga, maka dibutuhkan konsistensi dan semangat untuk istiqomah. Untuk itu, ada tiga hal yang perlu kita perhatikan agar kita bisa konsisten dalam menjaga semangat beribadah, termasuk ibadah ZIS, pasca ibadah di bulan Ramadhan.

Pertama, menjaga komitmen niat dan orientasi hidup hanya karena Allah. Allah-lah tujuan kita dan hanya untuk-Nya-lah semua aktivitas hidup kita lakukan. Kekuatan niat akan sangat mempengaruhi kualitas amal dan perbuatan. Karena itu, persoalan niat ini sangat esensial dalam ajaran Islam. Memperbarui niat setiap saat merupakan salah satu cara agar kita bisa istiqomah dalam kebaikan.

Kedua, membangun lingkungan yang baik (bi’ah shalihah). Akan sangat berat bagi seseorang untuk dapat konsisten dalam beribadah apabila tidak didukung oleh lingkungan yang mendukung. Paling tidak, lingkungan keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat harus dididik untuk komitmen dalam menjaga ibadah ZIS ini. Semangat berbagi harus dijadikan sebagai gaya hidup keluarga.

Ketiga, hendaknya cara menunaikan ibadah ZIS ini disesuaikan dengan tuntunan agama dan contoh Rasulullah SAW. Untuk zakat, hendaknya disalurkan melalui institusi amil resmi seperti BAZNAS baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan infak dan shadaqah di luar zakat, Islam memberi dua opsi, yaitu disalurkan melalui lembaga zakat resmi ataupun disalurkan sendiri secara langsung. Jika ingin disalurkan langsung, maka harus dengan cara yang baik, antara lain dengan mendatanginya secara langsung dan tidak melakukan tindakan yang merendahkan martabat penerimanya. Dengan cara ini, kita berharap agar kejadian meninggalnya para mustahik akibat mengantri untuk menerima sedekah dapat dihilangkan di masa yang akan datang.

Wallahu ‘alam.



Oleh: Irfan Syauqi Beik (Staf Ahli BAZNAS)

Sumber:
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/menjaga-semangat-berbagi/

Keragaman Mazhab Perkaya Pengembangan Zakat dan Wakaf

Dua hal prinsipil yang menjadi entry point ketika membicarakan pengembangan dan implementasi zakat dan wakaf sebagai sektor keuangan Islam di Indonesia, yaitu:

Pertama, negara memiliki otoritas dan kepentingan untuk mengatur, memfasilitasi serta memberi kepastian hukum kepada umat Islam dalam menunaikan ibadah dan muamalah sesuai ketentuan syariah, antara lain mencakup zakat dan wakaf. Zakat dan wakaf tidak masuk ke dalam neraca keuangan dan kekayaan negara, tetapi pemerintah dapat mengambil tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan yang merugikan kepentingan masyarakat.

Kedua, negara tidak mengambil mazhab fiqih tertentu sebagai mazhab resmi yang dijadikan acuan bagi pengembangan hukum zakat dan wakaf di Indonesia. Pengembangan hukum Islam tentang zakat dan wakaf lebih dinamis, karena mengakomodir keragaman mazhab pemikiran fiqih yang terdapat di Dunia Islam. Walaupun pengaruh corak pemikiran mazhab Syafi’i cukup dominan pada sebagian besar masyarakat muslim Indonesia, tetapi dalam konten regulasi perzakatan dan perwakafan tidak terjadi kekakuan mazhab, apalagi “syafi’i oriented” atau “syafi’i minded”, melainkan secara dinamis mengedepankan “maqashid syariah” sebagai tolok ukurnya. Hal itu dapat dilihat pada fiqih terapan mengenai zakat perusahaan, zakat penghasilan profesi, wakaf uang, wakaf dalam jangka waktu tertentu, dan lainnya, mencerminkan khazanah hukum Islam yang kaya dengan metode ijtihad, istinbath dan istihsan.

Selain itu, kalau kita amati sumber-sumber keuangan Islam yang pernah membuat umat Islam berjaya di masa lalu, sejatinya banyak sekali, dan bukan hanya zakat dan wakaf. Dalam rentang perjalanan sejarah masyarakat Islam di abad modern, sumber-sumber keuangan umat yang banyak itu sepertinya luput dari perhatian. Seandainya semua itu dikelola dan dikembangkan dengan baik, niscaya masalah ekonomi umat dan kemiskinan sebagai isu global akan lebih mudah diatasi di negara-negara muslim.

Pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama yakni Kementerian Agama senantiasa mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi perekonomian umat. Zakat dan wakaf dalam hal ini adalah bagian dari sistem perekonomian umat yang memerlukan pengembangan dan sekaligus penataan. Kita menyadari zakat dan wakaf adalah pranata sosial keagamaan yang melandasi tumbuh dan berkembangnya kekuatan sosial ekonomi umat Islam. Sebagaimana kita tahu, kewajiban zakat pada umat Islam semula adalah kewajiban kepada  negara dan menjadi sumber penerimaan negara yang pokok. Dalam konteks keindonesiaan dewasa ini, zakat dan wakaf berperan sebagai sumber pendanaan umat untuk penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan sosial.

Dalam dekade terakhir kesadaran umat Islam Indonesia tentang arti penting zakat dan wakaf kian menggembirakan. Kita mensyukuri tingginya animo masyarakat untuk mengambil bagian dalam pengelolaan zakat dan wakaf. Setelah lahirnya Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 23 Tahun 2011) dan Undang-Undang Wakaf (UU No 41 Tahun 2004) telah semakin mengkristal paradigma modern di masyarakat bahwa zakat dan wakaf, di samping sebagai ibadah, sekaligus sebagai sebuah sistem keuangan sosial umat Islam yang memiliki peran dan kontribusi yang strategis dalam penanggulangan problema sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.

Dinamika pengembangan zakat dan wakaf di masa depan diharapkan akan mendorong tumbuhnya gerak sinergis umat Islam dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan umat Islam yang belum sebanding dengan jumlah kita yang besar. Pengembangan dan implementasi zakat dan wakaf di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan fenomena pertumbuhan kelas menengah tercepat di kawasan Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir perlu  diakselerasi sehingga memenuhi syarat sebagai pusat kajian dunia.

Menurut hemat saya, sedikitnya 3 faktor yang perlu dibenahi untuk mengoptimalkan sektor keuangan Islam khususnya zakat dan wakaf, yaitu:

Pertama, kinerja lembaga pengelola zakat dan wakaf dalam menghimpun dan mendayagunakan potensi zakat dan wakaf. Lembaga pengelola zakat dan wakaf harus lebih mendekatkan akses umat Islam terhadap sumber dana serta manfaat zakat dan wakaf yang dikelola.

Kedua, pola koordinasi dan sinergi antar-sesama lembaga pengelola zakat dan wakaf perlu diperkuat dalam kerangka yang strategis.

Ketiga, kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Amil zakat dan nazhir wakaf haruslah mengerti dan menguasai substansi pengembangan hukum dan permasalahan zakat dan wakaf. Jadi tidak sekedar kreator program. Amil dan nazhir merupakan pilar utama dalam pengelolaan zakat dan wakaf.

Akhirnya, perlu digaris-bawahi bahwa regulasi tentang zakat dan wakaf adalah sebuah keniscayaan, tetapi bukan segalanya. Untuk pengembangan zakat dan wakaf di dunia modern, kita butuh sosialisasi dan edukasi publik, kita butuh trust building, kita butuh best practices, kita butuh role model dan kita butuh partnerhip dan kerjasama di antara sesama negara-negara muslim.

Wallahu a’lam bisshawab.



Oleh: M. Fuad Nasar (Wakil Sekretaris BAZNAS)
_________________

Disarikan dari makalah penulis pada acara The Third International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development, di Bank Indonesia, Kamis 28 Agustus 2014.

Sumber:
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/keragaman-mazhab-perkaya-pengembangan-zakat-dan-wakaf/