Bahan Masukan Draft Laporan Alternatif (Inisiatif)
Kovenan Hak Sipil
dan Hak Politik (Pasal 10):
PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM
DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
(JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA : PERSPEKTIF HAK SIPIL DAN HAK
POLITIK[1]
I. Pendahuluan
Lebih
dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan
ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari
pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh
anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.[2] Sepanjang
tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari
11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325
tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.
Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga
penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak
yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor
polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama, yaitu
Januari hingga Mei 2002, tercatat 9.465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak
Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah
tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53.3%, berada di
rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda. Kondisi
ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus
berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan
dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak
pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. [3] Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan
anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law).
Anak
yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah
melanggar undang-undang hukum pidana.[4] Kemudian Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice[5]
atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefisinikannya sebagai berikut a child or young person who is alleged to
have committed or who has been found to have committed an offence. Dalam perspektif Konvensi Hak Anak/KHA (Convention The Rights of The Child/CRC),[6] anak
yang berkonflik dengan hukum dikategorikan
sebagai anak dalam situasi khusus (children
in need of special protection/CNSP)[7]. UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini
sebagai children
in especially difficult circumstances’ (CEDC) karena
kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan,
berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas institusi negara)[8], membutuhkan proteksi berupa regulasi khsusus[9],
dan membutuhkan perlindungan dan
keamanan diri.[10] Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut
tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan
tempat di mana anak biasanya menjalani hidup.[11]
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatus
penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena
fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik
mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat
dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain.[12] Pencabutan kebebasan
seseorang dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun
Hak Sipil dan Hak Politik, karena menyangkut pemajuan dan perlindungan martabat
dan keutuhan manusia secara individual.
Terdapat 3 (tiga) hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain
untuk mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan
kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga hak
ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna.[13]
Dalam konteks pencabutan kebebasan seseorang,
doktrin Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi yakni sepanjang seseorang
melakukan tindak pidana. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant Civil and Politic
Rights/ICCPR),[14]
sebagai instrument Hukum Hak Asasi Manusia Internasional utama (core
instrument of human rights) yang memayungi hak sipil dan hak politik,
mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang terkait dengan tindak pidana
yang dilakukannya setidaknya dalam pasal-pasal berikut : Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 15.
Namun dalam pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat larangan dan
pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut : diskriminasi (Pasal 2 ayat (1), Pasal 26),
melakukan penyiksaan (Pasal 7), dan menjatuhkan
hukuman mati (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6
ayat (1-6). Malahan negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan
berikut : memperlakukan secara manusiawi (Pasal 10 ayat (1)), menyamakan kedudukan di muka hukum (Pasal
14(1)), menerapkan asas praduga tidak bersalah
(Pasal 14 ayat (2)), menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan
imparsial (Pasal 14), dan menerapkan asas retroaktif (Pasal 15). Pasal-pasal ini dapat dielaborasi
dan diinterprestasikan[15]
dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna
melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi
hak asasi seseorang yang tengah menghadapi proses hukum.
Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut di
atas, nampak dalam praktik negara melalui aparatusnya dalam mewujudkan padunya sistem
peradilan pidana (integrated criminal
justice system). Keterpaduan sistem peradilan pidana dimaknai sebagai “…the
collective institutions through which in accused offender passes until the
accusations have been dispossed of or the assessed punishment concluded…”[16]
Sistem
peradilan pidana terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit
kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang
serasi antar sub sistem untuk mencapai satu tujuan. Hal keterpaduan,
sebagaimana yang dinyatakan Pillai “ …the concept of an Integrated
Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit
or department or as different section on one unified service. Rather, it might
be said to work on the principle of ‘unity in diversity’ somewhat like that
under which the armed forces function. Each of the three main armed services own
its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own
operational method”.[17]
Merujuk pada makna di atas
maka lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem peradilan pidana terpadu di
Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga yang bertugas dalam proses
penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan
, yakni diawali pada institusi
kepolisian, institusi kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi
lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi orang yang
dituduh melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan
penyidikan, tahapan penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani
eksekusi. Artinya sejak penangkapan
sampai menjalani hukuman orang ini akan berhadapan dengan institusi yang
mempunyai kewenangan monopoli secara eksklusif untuk melakukan kekerasan, yakni negara. Selain hal itu, negara secara sah membuat
instrumen represi dan mendayagunakan
instrumen tersebut secara legal dan terlegitimasi.[18]
Instrumen tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana.
Padahal negara secara
definitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia,[19]
oleh karena itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi
pula melanggar hak asasi manusia.
Kesemua rangkaian ini jika dianalisis dengan alas pijak ketentuan-ketentuan
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dengan
koridor proses hukum yang semestinya, maka terdiri dari : hak terdakwa dalam
prapemeriksaan pengadilan; hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil;
dan pembatasan-pembatasan hukum.[20]
Demikian pula halnya jika anak-anak
berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih
besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok
manusia yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain.[21]
Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan (vulnerable group), [22]
konsekuensi yuridisnya kelompok ini
seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok
tersebut, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas
langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur,
terhadap keluarga, masyarakat dan Negara (Pasal 24 (1)).
II.
Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Persepektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile
Justice System)
adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan
kasus-kasus kenakalan anak. Pertama,
polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan
dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan
atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa
dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam
pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.
Yang terakhir, institusi penghukuman.[23]
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang
membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:[24]
- Status Offender adalah perilaku kenakalan anak
yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan,
seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
- Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak
yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau
pelanggaran hukum
Sehubungan dengan
hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki
tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi
pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai
kesejahteraan sosial.[25]
Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu
lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan
ketiga (kesejahteraan sosial).
Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem
peradilan pidana terpadu adalah :
a.
Melindungi masyarakat melalui upaya
penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan
melakukan upaya inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap
masyarakat.
b.
Menegakkan dan memajukan the rule of
law dan penghormatan pada hukum, dengan menjamin adanya due process of
law dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana,
melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh
melakukan kejahatan.
c.
Menjaga hukum dan ketertiban.
d.
Menghukum pelaku kejahatan sesuai
falsafah pemidanaan yang dianut.
e.
Membantu dan memberi nasihat pada korban
kejahatan.
Berkaitan dengan implementasi fungsi sistem peradilan pidana di atas, dalam
menangani anak, maka pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak menjadi tujuan utama
sistem tersebut. Fungsi tersebut harus dilandasi prinsip kepentingan terbaik
untuk anak (the principle of the
best interests of the child). KHA menandaskan kewajiban
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal
3 sebagai berikut :
(1)
Dalam
semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan
sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan
legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan
utama.
(2) Negara-negara
Pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang
diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang
secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif
dan administratif yang tepat.
(3) Negara-negara
Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang
bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus
menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa
yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan
kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang.
Kemudian, KHA menetapkan
kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan
secara khusus (special protection measures) kepada setiap anak yang dirampas
kebebasannya (children deprived of liberty) karena
berkonflik dengan hukum. Kewajiban tersebut nampak pada
pasal-pasal berikut :
a. Pasal 37
Negara-negara
Pihak harus menjamin bahwa :
1.
Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran
penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang
menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan
pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun;
2.
Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya
secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau
pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan
hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang
tepat;
3.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus
diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam
suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama,
setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa
kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai
hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan
kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa.
4.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas
akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk
menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau
penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera
mengenai tindakan apa pun semacam itu.
b. Pasal 39
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah
yang tepat untuk meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis dan integrasi
kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantarana apa pun,
eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam yang
lain apa pun, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, atau konflik bersenjata.
Penyembuhan dan integrasi kembali tersebut harus berlangsung dalam suatu
lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri dan martabat si anak.
c. Pasal 40
(1)
Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang
dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana,
untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa
penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain,
dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi
kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat.
(2) Untuk tujuan
ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen
internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus menjamin
bahwa:
a)
Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh,
atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak
berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu
perbuatan-perbuatan itu dilakukan;
b)
Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh
telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:
1.
Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah
menurut hukum;
2.
Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai
tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali
hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam
mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;
3.
Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu
penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu
pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan
lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si
anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau
wali hukumnya;
4.
Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau
mengaku salah; untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh
keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat
keadilan;
5.
Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka
putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali
oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan
pengadilan menurut hukum;
6.
Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan
cuma-cuma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang
digunakan;
7.
Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada
semua tingkat persidangan.
(3) Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan
undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang
berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau
diakui melanggar hukum pidana, terutama:
a)
Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu
anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
b)
Setiap waktu yang tepat dan diinginkan,
langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan
lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan
perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;
(4) Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan,
perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program
pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus
tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai
dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun
pelanggaran itu.
Sebangun
dengan ketentuan ini, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik, yang menjadi kerangka
hukum (legal framework) dan acuan
bagi rumusan hukum perlindungan hak-hak sipil dan politik bagi kelompok khusus,
menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang yang berhadapan dengan proses
hukum pidana. Pada prinsipnya, secara substansif Kovenan mengatur pembatasan
hukum (legal limit) kewenangan
aparatus manakala berhadapan dengan warga negara yang melakukan tindak pidana. Jaminan Kovenan bagi orang yang melanggar
hukum pidana, tertera dalam pasal-pasal berikut :
a. Pasal 9
1)
Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan
pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan
yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
2)
Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada
saat penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang
dikenakan terhadapnya.
3)
Setiap orang
yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan
ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk
menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu
yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang
yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas
dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan
pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
4)
Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara
penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang
bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan
penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah
menurut hukum.
5)
Setiap orang
yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak
untuk mendapat ganti kerugoan yang harus dilaksanakan.
b. Pasal 10
1)
Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada
diri manusia.
2)
Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang
sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan
diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum
dipidana;
3)
Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat
mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
4)
Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama
memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus
dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status
hukum mereka.
c.
Pasal 14
1)
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya,
atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap
orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan
peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.
Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian
sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu
masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat
pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan
kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara
pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali
bilamana kepentingan anak-anak
menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
2)
Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan
berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
3)
Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan
padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam
persamaan yang penuh:
a)
Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci
dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang
dikenakan terhadapnya;
b)
Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk
mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya
sendiri;
c)
Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak
semestinya;
d)
Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk
membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri,
untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk
mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia
tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;
e)
Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya
saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya
saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan
saksi-saksi yang memberatkannya;
f)
Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah
apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang
digunakan di pengadilan;
g)
Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang
memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.
4)
Dalam kasus orang
di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan
keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
5)
Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas
peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang
lebih tinggi, sesuai dengan hukum.
6)
Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan
keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila
kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta
baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa
telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah
menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti
rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang
tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya
sendiri.
7)
Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum
kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum
atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing
negara.
d.
Pasal 15
1)
Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas
suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan
merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional
maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang
lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut
dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan
yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari
ketentuan tersebut.
2)
Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat
merugikan persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang
dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih
merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.
Dengan
demikian, ketentuan Kovenan sepanjang yang mengatur
persoalan pencabutan kebebasan seseorang
secara umum mutatis mutandis
berlaku pada seorang anak yang melakukan
tindak pidana.[26] Namun,
apabila terdapat ketentuan yang
ruang lingkup berlakunya secara khusus ditujukan bagi anak-anak, maka
ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum yang berbeda. Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi
anak yang dicabut hak-haknya[27]
dengan menggunakan legal term ”terdakwa/terpidana/orang
di bawah umur” (Pasal 10 ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)). Artinya
legal term ini harus dibaca dengan
menginterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan
anak.[28]
Dengan kata lain, anak-anak harus
mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hak-haknya sebagaimana semua
proseder dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi pelaku kriminal
dewasa.[29]
Konsekuensi logis dan yuridisnya,
negara dibebani kewajiban untuk memberikan perlakuan yang berbeda antara orang dewasa dan anak yang melakukan
suatu tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)). Dalam perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena
kedua instrumen ini telah diratifikasi dengan demikian menjadi hukum positif
(Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia),[30]
maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis.
Meskipun hukum pidana menjadi
legitimasi untuk mengurangi dan membatasi penikmatan hak asasi seseorang, namun
terdapat sejumlah hak dan kebebasan yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi
apapun. Sejumlah hak ini dikenal dengan hak-hak non derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh
dikurangi pemenuhannya oleh negara, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.
Terkait dengan seseorang yang berkonflik dengan hukum, h: (i) hak atas hidup; (ii) hak bebas dari
penyiksaan; (iii) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; dan (iv) hak
sebagai subyek hukum, termasuk hak non
derogable (Pasal 4 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik) mutlak
mendapatkan perlindungan dari negara.
Hak atas hidup diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Hak
Politik yang menegaskan :
(1)
Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang
melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun
dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
(2) Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati
hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai
dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak
bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum
Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan
akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
(3) Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus
difahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada
Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun
yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
(4) Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon
pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau
penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
(5) Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap
perempuan yang tengah mengandung.
(6) Tidak ada satu pun dalam Pasal ini
yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh
Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.
KHA
pada Pasal 6 ayat (1) kembali
menegaskan bahwa negara-negara pihak
mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan.
Hak
bebas dari penyiksaan diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik, Pasal 7 yang
menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau
hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Larangan
melakukan penyiksaan terhadap anak diatur dalam Pasal 37 KHA :
Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa:
a) Tidak seorang anak pun dapat
dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi
atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup
tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan
belas tahun;
Karena
kedua konvensi ini tidak mendefinisikan unsur-unsur penyiksaan, larangan
melakukan penyiksaan dielaborasi dalam Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Manusia).[31]
Penyiksaan
dimaknai dalam Pasal 1 sebagai :
“setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa
sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang
untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau
diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau
memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan
pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut
ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan
pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang
semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum
yang berlaku.”
Selanjutnya,
negara-negara peratifikasi konvensi ini diwajibkan mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau
langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam
wilayah hukumnya guna mencegah terjadinya penyiksaan (Pasal 2 ayat (1)). Selanjutnya
Pasal 4 ayat (1) menetapkan bahwa setiap Negara Pihak harus mengatur agar
tindak penyiksaan merupakan tindak pidana menurut ketentuan hukum pidananya.
Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu
tindakan oleh siapa saja yang membantu atau turut serta dalam penyiksaan. Lebih
jauh Pasal 11 mewajibkan harus senantiasa mengawasi secara Sistematik
peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan
dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang
yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan
hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan. KHA
mengatur kewajiban serupa dalam Pasal 19 yang menegaskan :
(1)
Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan
legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi
anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau
penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau
eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selam dalam pengasuhan (para) orang
tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh
anak.
(2) Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai layaknya, seharusnya
mencakup prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan program-program sosial
untuk memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab
perawatan anak, dan juga untuk bentuk-bentuk pencegahan lain, dan untuk
identifikasi, melaporkan, penyerahan, pemeriksaan, perlakuan dan tindak lanjut
kejadian-kejadian perlakuan buruk terhadap anak yagn digambarkan sebelum ini,
dan, sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan pengadilan.
Pasal
ini secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi anak-anak yang berada dalam
institusi negara yang disebabkan
melakukan pelanggaran hukum pidana. Dengan demikian, aparat penegak
hukum dalam menegakkan sistem peradilan pidana terikat kewajiban untuk tidak
melakukan segala bentuk penganiayaan, atau perlakuan kejam
yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
Kebenaran
material yang menjadi titik tuju hukum pidana, tidak akan terwujud apabila hak
atas kesamaan di muka hukum tidak ditegakkan. Kesamaan di muka hukum ditandai dengan
pengakuan sebagai subyek hukum menjadi factor yang significan dalam menjalani
proses peradilan secara fair, imparsial,
dan dibangun atas prinsip due process of
law dan presumption of innocent. Anak
yang berkonflik dengan hukum juga sudah semestinya mendapatkan serupa sehingga
akses perlindungan hukum dan pemenuhan hak-haknya tidak dilanggar.
Rumusan pengakuan setiap orang
sebagai subyek hukum berada pada Pasal 16 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum di mana pun ia berada. Pengakuan anak sebagai subyek menjadi
akses untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana eloborasi Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 KHA
.
Untuk melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan
memenuhi hak asasi anak yang berkonflik
dengan hukum, kedua core instrument Hukum
Hak Asasi Internasional tersebut, dielobarasi lebih jauh melalui interpretasi
dengan mendasarkan pada instrumen Hukum Internasional berupa petunjuk atau
peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa antara lain sebagai berikut :
a. Peraturan-Peraturan Minimum Standar
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (United
Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)) Adopted by
General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985 :
Bagian
satu : Prinsip-prinsip Umum
Butir 5. Tujuan–tujuan peradilan bagi
anak
5.1. Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan
kesejahteraan anak dan akan memastikan
bahwa reaksi apa pun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan
selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya
maupun pelanggaran hukumnya.
Butir 6. Ruang lingkup kebebasan membuat
keputusan
6.1. Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang
beragam dari anak-anak maupun keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang
lingkup yang memadai bagi kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada
seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi
peradilan bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan
pengaturan-pengaturan lanjutannya.
Butir 7. Hak-hak anak
7.1. Langkah-langkah
pelindung prosedural yang mendasar seperti praduga tak bersalah, hak diberitahu
akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak untuk tetap diam, hak akan pengacara,
hak akan kehadiran orang tua wali, hak untuk menghadapi dan memeriksa silang
saksi-saksi dan hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi
akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan.
b.
Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana
Remaja (United
Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines)) Adopted and
proclaimed by General Assembly resolution 45/112 of 14 December 1990
Bagian : Perundang-undangan
dan Administrasi Peradilan Anak
1)
Butir 52.
Pemerintah-pemerintah
agar menyususn dan menegakan prosedur dan undang-undang khusus dalam rangka
memajukan dan melindungi hak-hak dan kesejahteraan remaja.
2) Butir 54.
Tidak seorang anak
atau remajapun yang menjadi obyek langkah-langkah penghukuman yang keras dan
merendahkan marabat di rumah, sekolah atau institusi-institusi lain
3) Butir 58.
Penegakan hukum dan
petugas lain yang relevan dari kedua jenis kelamin, agar dilatih untuk tanggap
terhadap kebutuhan khusus anak dan agar terbiasa dengan dan menerapkan,
semaksimal mungkin, program-program dan kemungkinan-kemungkinan penunjukan
pengalihan anak dari sistem peradilan.
c. Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan
Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United
Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty ) Adopted by General Assembly resolution
45/113 of 14 December 1990
1) Sistem pengadilan bagi anak harus menjunjung
tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental
para anak. Hukuman penjara harus digunakan sebagai upaya akhir.
2) Para anak hanya dapat dihilangkan
kebebasannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang
dituangkan dalam peraturan-peraturan ini dan Peraturan-Peraturan Minimum
Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak
(Peraturan-peraturan Beijing ).
Menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah merupakan suatu keputusan yang
bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta dibatasi pada
kasus-kasus luar biasa. Jangka waktu sanksi harus ditentukan oleh pihak
kehakiman yang berwenang, tanpa mengesampingkan kemungkinan pembebasannya yang
lebih awal.
3) Peraturan ini dimaksudkan untuk menetapkan
standar-standar minimum yang dapat diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
bagi perlindungan anak-anak yang kehilangan kebebasannya dalam segala bentuk,
yang konsisten dengan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan dengan maksud
meniadakan pengaruh-pengaruh merugikan dari semua jenis penahanan dan untuk
membina pengintegrasian dalam masyarakat
4) Peraturan-peraturan
ini harus diterapkan secara tidak berat sebelah, tanpa diskriminasi apa pun
berkaitan dengan ras, warna kulit, kelamin, usia, bahasa, agama, kebangsaan,
pendapat politik atau lainnya, kepercayaan-kepercayaan atau praktek-praktek
budaya, kepemilikan, kelahiran atau status keluarga, asal etnis atau sosial dan
cacat jasmani. Kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek agama dan budaya, serta
konsep moral anak yang bersangkutan harus dihormati.
5) Menghilangkan
kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi keadaan-keadaan yang menjamin
penghormatan hak-hak asasi manusia para anak. Para anak yang ditahan pada
fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan manfaat dari
kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti, yang akan berfungsi untuk
memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka, untuk membina
rasa tanggung jawab mereka dan mendorong sikap-sikap dan
ketrampilan-ketrampilan yang akan membantu mereka dalam mengembangkan potensi
mereka sebagai anggota-anggota masyarakat.
III. Praktik Implementasi Sistem Peradilan
Pidana Anak Terpadu dalam Konteks keindonesiaan
A.
Telaah
Komparatif Substansi Hukum Nasional vs Substansi
Hukum Hak Asasi Internasional
Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak sebagaimana telah
dipaparkan diatas ditegakkannya demi
mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi
anak. Dengan kata lain, Sitem Peradilan
Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).
Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat
dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak
seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas
melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun
fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya
dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip
ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee)
khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan
interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus
terpisahnya anak dari lingkungan orang tua (parental
separation or divorce).[32]
Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap
pelanggaran hukum usia anak. Pada
prinsipnya pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut :[33]
1) Anak-anak
dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah
sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman
bagi anak-anak dengan orang dewasa
2) Bila
dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan
disadarkan.
Dalam perspektif yang lain, dalam konteks kehidupan anak
dalam struktur lapisan masyarakat dan tata kultur yang masih mendasarkan pada
pola relasi antara anak dengan orang dewasa (patron-klien
relationship), maka anak yang melakukan tindak pidana seharusnya dipandang
sebagai korban (child perspective as
victim). Anak melakukan tindak pidana tidak terlepas dari faktor yang
melatarbelakanginya. Bisa jadi faktor pola relasi yang tidak setara antara anak
dengan orang dewasa melatarbelakangi anak melakukan tindak pidana. Dalam titik ini
kuasa orang dewasa terhadap anak dimanfaatkan untuk mempengaruhi, menyuruh atau melibatkan anak dalam suatu
tindak pidana. Disamping itu faktor
ketidakadilan struktural yang mengakibatkan kemiskinan yang massive dan derasnya arus informasi tanpa
regulasi menjadi pemicu anak melakukan tindak pidana.
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya
digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu :[34]
1) Pendekatan
yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
2) Pendekatan
kesejahteraan dengan intervensi hukum
3) Pendekatan
dengan menggunakan/berpatokan pada sistem
peradilan pidana semata
4) Pendekatan
edukatif dalam pemberian hukuman
5) Pendekatan
hukuman yang murni bersifat retributif
Berdasarkan
pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang
berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal
ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara
penuh bertanggung jawab atas tindakannya.[35] Dengan demikian, pendekatan yang dapat
digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan
praktek-praktek negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip,
dan norma KHA adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
(Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum
(Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40).
Berangkat dari konsep
ini, pendekatan dengan model penghukuman
yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam
menangani pelanggar hukum usia anak.
Prinsip ini merupakan hasil
eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan
keadilan. Restorative justice
berlandaskan pada prinsip-prinsip due
process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk
diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan
menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang
proposional dengan kejahatan yang dilakukannya. Selain itu, melalui model ini,
kepentingan korban sangat diperhatikan yang diterjemahkan melalui mekanisme
kompensasi atau ganti rugi dengan tetap memperhatikan hak asasi anak yang
disangka telah melakukan pelanggaran hukum pidana.[36]
Pemulihan yang efektif menjadi hak korban pelanggaran hak asasi atau
kebebasannya, walaupun pelanggaran tersebut
dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi. Kemudian
negara menjamin, bahwa setiap orang yang
menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga
peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga
berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk
mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan (Pasal 2 ayat (3)
huruf a dan b Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik).
Selain pendekatan restorative
justice, pendekatan diversi
dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang
berkonflik dengan hukum. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak
yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa
syarat. Adapun yang menjadi tujuan upaya
diversi adalah :[37]
1) untuk menghindari anak dari penahanan;
2) untuk menghindari cap/label anak
sebagai penjahat;
3) untuk mencegah pengulangan tindak
pidana yang yang dilakukan oleh anak;
4) agar anak bertanggung jawab atas
perbuatannya;
5) untuk melakukan intervensi-intervensi
yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
6) menghindari anak mengikuti proses
sistem peradilan;
7) menjauhkan anak dari pengaruh dan
implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi
dapat menjadi bentuk restoratif justice
jika :
1) mendorong anak untuk bertanggung jawab
atas perbuatannya;
2) memberikan kesempatan bagi anak untuk
mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
3) memberikan kesempatan bagi si korban
untuk ikut serta dalam proses;
4) memberikan kesempatan bagi anak untuk
dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
5) memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi
dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Untuk
dapat melihat sampai sejauhmana landasan hukum nasional dalam menegakkan Sistem
Peradilan Pidana Anak secara substansif
berkesesuaian dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, maka
analisis substansi dengan metode komparasi menjadi signifikan dilakukan.
Tujuannya adalah selain untuk mengeksaminasi kepatuhan Negara Republik
Indonesia sebagai negara pihak perjanjian internasional sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda. Kedua, mengetahui kesenjangan substansi
diantara kedua sistem hukum ini.
Dalam
konteks, pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak, semua proses dan pentahapan
pengadilan anak dan keterlibatan institusi negara dalam proses tersebut perlu
ditelisik lebih jauh. Telisikan ini
mengaju pada instrumen hukum yang menjadi dasar hukum pelaksanaan poses,
pentahapan, dan keterlibatan institusi negara dalam melaksanakan pengadilan
anak. Dengan kata lain bagaimana administration
of justice yang dalam hal ini dimaknai segala hal yang mencakup
tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses
penanganan perkara dan tata cara serta praktek litigasi.[38] Dengan demikian instrumen hukum yang relevan dengan pengadilan anak sebagai berikut :
1)
KUHP dan instrumen hukum lain yang mengatur ketentuan pidana
Instrumen hukum pidana mengatur
pidana dengan ancaman hukum mati perlu
mendapatkan perhatian. Hukuman mati
merupakan ancaman terhadap hak atas hidup yang non-derogable. Jaminan hak atas
hidup perlu mendapatkan perhatian tersendiri karena kecenderungannya banyak
instrumen hukum di Indonesia memberlakukan pidana mati. Sesuai dengan hukum di
Indonesia pidana mati
dijatuhkan atas kasus pembunuhan berencana dan sengaja; usaha membunuh Presiden
atau Wakil Presiden atau yang membuat mereka tak berdaya untuk memerintah;
pengkhianatan; pembunuhan berencana terhadap kepala negara dari negara sahabat;
pembajakan yang menyebabkan kematian; pencurian yang mengakibatkan kematian; menghasilkan,
memproses, menyaring, mengubah atau menyediakan narkotika; kejahatan terhadap
kemanusiaan; dan “terorisme”.[39] Keseluruhan peraturan
perundang-undangan ini tidak secara eksplisit mengatur jika anak “terpaksa” atau “dipaksa” terlibat
dalam tindak pidana yang dikualifikasi dalam tindak pidana dengan ancaman
hukuman pidana mati. Legal term yang
digunakan seringkali menggunakan kalimat barang siapa, legal term ini menunjuk semua orang pada umumnya termasuk di
dalamnya anak-anak. Padahal jika merujuk
pada instrumen Hukum Hak Asasi Internasional, legal term yang digunakan menyebutkan “anak” atau
“seseorang/tersangka/terpidana di bawah
umur”. Situasi ini tentu berpotensi
menjadi ancaman serius jaminan hak anak atas hidup. Meskipun telah ada
larangan untuk mengenakan hukuman mati bagi anak sebagaimana telah tercantum
dalam KUHP, kasus tersebut dapat
dijadikan bukti nyata potensi yang mengancam hak anak atas kehidupan.
Potensi ancaman tersebut sampai saat ini tetap ada jika melihat
fenomena invlasi instrumen hukum yang
memuat hukuman mati, maka dapat
dikatakan instrumen-instrumen tersebut menjadi ancaman bagi anak-anak yang
melakukan tindak pidana yang dikualifikasikan dengan ancaman hukuman mati, misalnya anak yang terlibat peredaran narkotika.[40]
Sumber ancaman ini, berasal dari asas lex specialis derogat legi generalis dan paradigma positivistik
yang masih mendominasi para penegak hukum. Dalam menetapkan hukuman, KUHP menjadi lex generalis[41]
ketentuan pidana yang bisa dikesampingkan
oleh ketentuan pidana instrumen hukum lex specialis.
Padahal standar internasional HAM menetapkan bahwa pidana
mati seharusnya hanya diberikan bagi kejahatan yang paling serius, dan menuju
pada penghapusannya sama sekali. Pasal 6 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menyatakan
bahwa “di
negara-negara yang tidak menghapuskan pidana mati, pidana mati hanya
diberlakukan bagi kejahatan yang paling serius”. Komite HAM PBB (Human Rights Committee) dalam Komentar Umum No. 6 menegaskan bahwa “ekspresi
tentang kejahatan yang paling serius harus diartikan secara terbatas, bahwa pidana
mati hanya dilaksanakan sebagai tindakan luar biasa”. [42]
Ironisnya
, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, justru tidak secara expressive vebris menyatakan jaminan dan
perlindungan anak dari hukuman mati. Ketentuan yang mengatur anak yang
bekonflik dengan hukum antara lain Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 64
tidak satupun mengatur jaminan dan perlindungan tersebut.[43] Bandingkan dengan Pasal 37 huruf (a) KHA yang
secara tegas menyatakan bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran
penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang
menghinakan. Baik hukuman mati atau
pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan
untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur
delapan belas tahun.
2)
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang
cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh
keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Hukum
Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Dengan demikian, setiap proses tahapan proses
beracara di peradilan pidana yakni : tahap penyelidikan; tahap penyidikan;
tahap penuntutan; tahap pemeriksaan pengadilan; dan tahap
pelaksanaan putusan berdasarkan pada ketentuan KUHAP.
Proses dan landasan hukum tersebut berlaku pula pada
proses beracara di peradilan pidana anak. Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan bahwa Hukum Acara yang berlaku diterapkan
pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang- undang
ini. Ketentuan peralihan ini menjadi
legalitas, intervensi negara melalui aparatnya untuk menangani anak yang
melakukan pelanggaran hukum pidana. Kekerasan
negara[44] terhadap anak dimulai
manakala anak bersinggungan dengan proses peradilan pidana anak yang pertama
kali , yakni proses penangkapan. Pasal
43 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Namun, apabila membaca Bab V
mengenai Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat, khususnya Bagian Kesatu Penangkapan dari
Pasal 16 – 19, tidak satupun ketentuan tersebut mengatur mengenai penangkapan
anak yang diduga melakukan tindak pidana. Hal ini jelas bertentangan dengan kewajiban negara untuk berusaha
meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan
lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan
sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana sebagaimana dicantumkan
Pasal 40 ayat (3) KHA. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (4)
yang menetapkan bahwa dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai
harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan
rehabilitasi bagi mereka. Jika kondisi dibiarkan tanpa merubah KUHAP, maka
negara telah melakukan praktek pembenaran[45] terhadap kekerasan negara
terhadap anak pelaku tindak pidana, yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang
berbeda.
3)
UU
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Batas
penetapan usia pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang
ini adalah 8 tahun. Anak adalah orang yang dalam
perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.[46]
Anak Nakal definisikan sebagai :[47]
a) anak yang melakukan tindak pidana; atau
b) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penetapan
usia 8 tahun sebagai titik asumsi batas minimal pertanggungjawaban pidana menurut UU Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, berdasarkan Pandangan Komite Hak Anak (Commitee
on The Rigths of The Child[48]) terlalu rendah.
Dalam pada itu Komite merekomendasikan agar Negara Pihak agar Negara
Indonesia menaikkan batasan usia minimal tanggungjawab kriminal sampai pada
tingkat yang dapat diterima secara internasional. Beijing
Rules menentukan hal yang serupa, paragraf 4.1 menyatakan bahwa konsep usia pertanggungjawaban tindak pidana
tidak dapat ditetapkan terlalu rendah, mengingat pertimbangan kedewasaan
emosional, mental, dan intelektual.
Untuk dapat menentukan batas usia pertanggungjawaban tindak pidana yang
diterima secara internasional dengan merujuk pada praktek-praktek yang
dijalankan oleh negara-negara lain.
Tabel berikut dapat menunjukkan hukum kebiasaan internasional yang dapat
dijadikan parameter untuk menentukan usia pertanggungjawaban pidana.
Nama Negara
|
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
|
Austria
|
14
|
Belgia
|
18
|
Denmark
|
15
|
Inggris
|
10
|
Finlandia
|
15
|
Perancis
|
13
|
Jerman
|
14
|
Yunani
|
12
|
Irlandia
|
7
|
Itali
|
14
|
Luxemburg
|
18
|
Belanda
|
12
|
Irlandia Utara
|
8
|
Portugal
|
16
|
Skotlandia
|
8
|
Spanyol
|
16
|
Swedia
|
15
|
Melihat kecenderungan praktek-praktek negara berdasarkan tabel di atas
dapat disimpulkan bahwa rata-rata negara tersebut menetapkan usia
pertanggungjawaban pidana minimal di atas
12 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai batas minimal usia
pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law).
Legitimasi hukum kebiasaan internasional berasal dari
praktek -praktek umum yang telah diterima sebagai hukum yang hampir semuanya
berisi elemen-elemen yang bersifat konstitutif. Praktek-praktek negara tersebut
bersifat tetap dan seragam dan membentuk suatu kebiasaan. Praktek-praktek
tersebut telah meningkat pelaksanaannya secara universal karena banyak negara
lagi yang telah menggunakannya sebagai kebiasaan. Dengan kata lain, agar bisa
menjadi suatu hukum kebiasaan internasional maka kebiasaan-kebiasaan itu harus
diterima dulu oleh negara-negara yang sudah menyesuaikan diri terhadap
kebiasaan-kebiasaan tersebut, yang sekarang telah menjadi kekuatan hukum yang
mengikat.[49] Penetapan
usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban pidana telah
diterima dalam praktek sebagian negara-negara, maka dapat menjadi sumber hukum
internasional.
Dengan memperhatikan Pandangan Komite dan hukum
kebiasaan internasional di atas dapat dikatakan bahwa UU Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan hukum internasional, khususnya
dalam penetapan usia pertanggungjawaban tindak pidana. Konsekuensi yuridis dan
politisnya, undang-undang tersebut perlu segera diamandemen. Pasal 40 ayat (3)
huruf (a) KHA menandaskan negara-negara
Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur,
para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak
yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana,
terutama:Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap
tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; Jika tidak dilakukan
amandemen, maka rentang usia pertanggungjawaban pidana anak yang demikian luas
(usia 8 – 18 tahun) mempunyai implikasi hukum, yakni anak dengan rentang usia
tersebut berpotensi dikenai hukuman pidana. Kondisi ini jelas berkorelasi
dengan meningkatkan angka kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Pasal 37 ayat (2) KHA menetapkan
kewajiban negara untuk menjamin tidak
seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus
sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain
terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Hal ini selaras dengan
Pasal 14 ayat (4) Kovenan bahwa dalam
kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia
mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
Selain hal di atas, penggunaan legal term anak nakal dalam UU Nomor 3 Tahun 1997, merupakan bentuk
pengingkaran terhadap Riyadh Guidelines. Penggunaan legal term anak nakal merupakan bentuk stigmatisasi (pelabelan)
yang berdampak perkembangan anak. Butir
5 huruf f menegaskan bahwa memberi label pembangkang/nakal kepada anak
seringkali malah berkontribusi terjadinya perkembangan pola perilaku anak yang
tidak dikehendaki oleh anak itu sendiri. Hal serupa diungkapkan
pula oleh Romli Atmasasmita, dalam bukunya Teori dan Kapita Selekta
Kriminologi, menyebutkan menurut teori labeling, label atau cap
dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk
karier kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap/label dengan
sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya.[50]
Dalam persoalan ini, UU Nomor 3 Tahun 1997 itu gagal memberikan
batasan yang konsisten mana tindak pidana (straafbaar) dengan mana yang
merupakan kenakalan anak-anak (juvenile). Dalam UU nomor 3 Tahun 1997
pasal 2 huruf 1 a dan 1 b, diberikan batasan yang secara general karena anak nakal itu adalah anak yang
melakukan tindak pidana. Itu artinya anak yang melakukan delik sesuai dengan ketentuan legal formal
berdasarkan azas legalitas. Dan yang kedua anak nakal adalah anak yang
melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan termasuk perbuatan yang dilarang
menurut ketentuan adat, kebiasaan dan sebagainya.[51]
Definisi kedua dapat berpotensi
melanggar prinsip legalitas yang menjadi basis utama pengadilan pidana. Ketentuan adat dan kebiasaan yang berlaku
pada masyarakat bisa jadi malah merugikan anak, mengingat kultur masyarakat
yang menempatkan anak di bawah kendali orang tua. Limitasi kenakalan anak yang tidak terbatas
ini juga berpotensi digunakan oleh pihak kepolisian untuk membawa anak yang
dianggap melanggar kebiasaan ke meja hijau. Dengan demikian pasal ini berpotensi digunakan
oleh masyarakat dan kepolisian untuk ”mengadili” anak yang dianggap bersalah
karena melanggar adat-istiadat setempat.
Secara normatif ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak
Politik dalam Pasal 15 ayat (1) melarang situasi tersebut. Pasal tersebut
berbunyi : Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana
karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak
pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun
internasional. Larangan serupa
dijumpai dalam Pasal 40 ayat 2 huruf (a) KHA yang menyatakan : Tidak seorang
anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana,
karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum
nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan
Penggunaan legal term “anak nakal” tersebut tidak berkesesuian dengan
ketentuan Pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan
Politik yang berbunyi setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada
diri manusia. Pelabelan ini juga
bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Kovenan yang menyatakan
bahwa setiap orang yang dituduh
melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya
dibuktikan menurut hukum. Hal
krusial lain yang perlu medapatkan perhatian adalah tidak diberikannya limitasi
waktu bagi hakim untuk memeriksa dan memutus perkara anak. Pengadilan anak kerena merupakan bagian dari
peradilan umum, maka proses dan mekanisme hukumnya sama dengan peradilan umum lain.
Dari segi waktu penyelesaian dan mekanisme hukum juga sama dengan
peradilan umum.
Seharusnya untuk perkara anak, hakim diberikan
waktu secepatnya untuk memeriksa dan memutus perkara anak, maksimal 90 hari
kerja seperti Pengadilan Kepailitan dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian dalam upaya hukum tidak perlu melalui mekanisem banding atau kasasi.
Pengadilan Negeri atau pengadilan tingkat pertama putusannya final and binding. Selain itu juga
diarahkan sebagai forum penyelesaiakan dengan mekanisme restorative justice. Butir 20.1 Beijing
rules menyatakan setiap perkara
sejak awal ditangani secara cepat, tanpa penundaan yang perlu. Penanganan tersebut harus dilandasi dengan
tujuan mengutamakan kesejahteraan anak (Butir 5.1) dalam suasana pengertian
yang memungkinkan anak untuk ikut serta di dalmmnya dan untuk menyatakan
dirinya secara bebas (Butir 14.2).
Tujuan mengutamakan kesejahteraan anak sebenarnya merupakan refleksi
dari semangat Pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Politik.
4)
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
Institusi
kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan
kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Dalam menjalankan tugasnya kepolisian
diberikan kewenangan diskresi (discretionary
power). Kewenangan diskresi adalah
kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak
meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat
mengalihkan (diversion) terhadap
suatu perkara anak[52]
sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana
secara formal.
Namun
jika melihat angka statistik kriminal
kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang berusia 0 – 17 tahun (6,45%
dari total pelaku kejahatan berdasar usia) disangka sebagai pelaku tindak
pidana sepanjang tahun 2000, maka dapat dikatakan kewenangan diskresi tidak
pernah dipergunakan untuk menangani perkara anak.[53] Fakta ini menunjukkan kepolisian belum
menggunakan kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak.
Jika
membaca UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dalam konteks
penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur
kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang
secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar
hukum pidana. Pasal 16 ayat (1) menetapkan
bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang
untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan. Selanjutnya
Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri. Ketentuan tersebut dapat menjadi
acuan bagi polisi untuk mengambil
tindakan diskresi, namun penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam
menangani perkara apa.
Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi melalui mekanisme pengalihan. Butir 11.1
menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk
menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan
formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya Butir 11.2 menetapkan polisi, penuntut umum atau
badan-badan lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk
memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa
menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria
yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga
sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. Langkah ini diperlukan karena menurut Butir
13.1 dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai
pilihan langkah terakhir. Dan menurut Butir
13.2 dinyatakan di mana
mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah
alternatif, seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan
pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan.
Ketentuan ini dititahkan oleh
KHA Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara untuk
menjamin tidak seorang anak pun dapat
dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang.
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan
undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan
untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat
ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan
dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan
usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
5)
UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
Jaksa sebagai penuntut umum perkara pidana
mempunyai peran penting dalam menjalankan fungsinya dalam penegakan sistem
pengadilan pidana anak. Melalui tuntutan yang diajukan kepada terdakwa anak dalam
sidang pemeriksaan di pengadilan, hakim
memutus suatu perkara. Dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya, hakim
mengaju pada tuntutan jaksa. Limitasi hukumnya, hakim tidak boleh memutus
perkara lebih dari tuntutan jaksa.
Oleh karenanya, dalam konteks perkara anak, seperti halnya polisi, jaksa
juga mempunyai kewenangan diskresional.
Jaksa dapat mengambil tindakan pengabaian atau tidak meneruskan suatu
perkara anak ke tahap selanjutnya atau memberikan putusan pengalihan dari
proses hukum formal lebih lanjut.[54] Jika merujuk pada UU Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, khusus bagian tugas dan wewenang jaksa, tidak ditemukan
landasan hukum yang secara khusus untuk menangani anak yang melakukan
pelanggaran hukum pidana. Memang
kewenangan diskresi dapat terbaca pada Pasal 35 huruf c yang menyatakan bahwa
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum (deponeering/disposisi);
namun kewenangan tersebut terbatas pada Kejaksaan Agung, tidak dimiliki oleh jaksa
yang menangani suatu perkara.[55]
Situasi ini jelas mempersulit anak untuk mendapatkan haknya untuk mendapatkan
kebebasan, karena seharusnya penahanan oleh kejaksaan merupakan langkah yang
terakhir (Pasal 37 huruf b KHA). Pasahal Beijing Rules Butir 11.1 dan Butir
11.2 dapat dijadikan alas hukum untuk mengabaikan perkara anak. Butir 11.1
menyatakan Pertimbangan
akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum
berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang
berkompeten, yang dirujuk pada peraturan 14.1 di bawah ini.
Sedangkan Butir 11.2 menetapkan
bahwa penuntut umum atau badan-badan
lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan
perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan
pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang
ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai
dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini.
Apabila kewenangan ini
tidak dilaksanakan oleh setiap jaksa yang menangani perkara anak, maka hak anak
untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan karena
statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara
tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama,
asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran (Pasal 24 ayat (1)
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik). Langkah-langkah perlindungan ini dapat
melalui penggunaan kewenangan diskresi kejaksaan dalam rangka menjunjung
martabat yang melekat pada diri manusia
manakala dirampas kebebasannya (Pasal 10 ayat (1) Kovenan).
6)
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Sistem hukum continental\civil
law yang dianut Indonesia, hakim menjadi aktor sentral proses perjalanan
persidangan. Hakim menjadi penentu akhir melalui penalaran hukum yang tertuang
dalam sebuah putusan hakim (vonis). Melalui penalaran hukum hakim memberikan
interpretasi dan konstruksi hukum suatu instrumen hukum.
Dalam
memeriksa perkara anak, hakim seharusnya dengan kewenangannya dapat mengakhiri proses
peradilan setiap saat
seperti yang dicantum dalam Butir 17.4 Beijing Rules. Kewenangan
hakim menghentikan perkara anak tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 4
Tahun 2004. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga
tidak mengatur kewenangan ini. Pasal 24 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
yang menentukan bahwa setiap anak berhak untuk mendapat hak atas
langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur seharusnya dapat
dijadikan sebagai landasan hukum bagi hakim untuk menghentikan perkara
anak. Putusan demikian sah
diberikan karena hakim diberikan kebebasan dalam Pasal 28 ayat (1) untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kemudian pengalihan proses hukum formal ke jalur
penyelesaian non formal sebagaimana ditetapkan Beijing Rules Butir 11.1 melalui
penerapan model restorative
justice dalam menangani perkara anak, dapat dilakukan oleh hakim. Restorative
justice dapat dijadikan rujukan bagi hakim untuk menyelesaikan perkara anak. Pada prinsipnya restorative justice mengakui 3 (tiga)
pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menentukan penyelesaian perkara anak.
Ketiga pihak tersebut terdiri atas : (i) korban; (ii) pelaku; dan komunitas. Restorative justice menjadi wahana
mempertemukan korban dan pelaku dalam rangka mengupayakn pemulihan bagi korban.
Pelaku dibebani kewajiban untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada
korban dan komunitas.[56] Selain itu, pelaku
bertanggung jawab untuk mengakui kejahatannya, dan jika memungkinkan memulihkan penderitaan korban.[57] Namun semangat restorative justice tidak nampak dalam
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, maupun UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hakim tidak diberikan kewenangan secara
eksplisit untuk memutuskan penyelesaian perkara anak dengan sistem penanganan restorative justice.
Penyelesaian
perkara pidana anak yang berorientasi pada kepentingan pelaku sebagaimana
menjadi tujuan pendekatan restorative
justice, berkesesuaian dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
yang menjamin setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.
Restorative
justice merupakan upaya untuk
memperlakukan anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan martabatnya
sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1) KHA.
Pasal ini menetapkan bahwa negara mengakui hak setiap
anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar
hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan
peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali
penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar
orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk
meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif
dalam masyarakat. Hal serupa juga dapat ditemui pada Peraturan-Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya. Butir 1 menetapkan sistem peradilan bagi
anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan
kesejahteraan fisik dan mental para anak. Hukuman penjara harus digunakan
sebagai upaya terakhir. Dengan demikian, pelanggaran hak-hak anak yang
berkonflik dengan hukum salah satunya bersumber pada instrumen hukum yang tidak
berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.
7)
UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan
Proses
Peradilan Pidana Anak berakhir pada institusi pemasyarakatan manakala hakim
memvonis terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana dan diperintahkan
menjalani hukuman pidana penjara. Anak yang dihukum penjara akan ditempatkan di
lembaga pemasyarakatan[58]
oleh jaksa sebagai pelaksana eksekusi. Dengan demikian anak yang ditempatkan di
lembaga peasyarakat berarti dirampas kebebasan pribadinya akibat menjalani
hukuman karena melakukan pelanggaran.
Menghilangkan
kebebasan menurut Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya, dimaknai bentuk penahanan atau hukuman penjara apa pun atau
penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan, di mana orang tersebut tidak
diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah suatu pihak kehakiman,
administrasi atau pihak umum lainnya (Butir 11 huruf (b)). Selanjutnya Butir 12 menentukan menghilangkan
kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan yang
menjamin penghormatan hak-hak asasi manusia para anak. Para anak yang ditahan
pada fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan manfaat dari
kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti, yang akan berfungsi untuk
memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka, untuk membina
rasa tanggung jawab dan mendorong sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan
yang akan membantu mereka dalam mengembangkan potensi mereka sebagai
anggota-anggota masyarakat.
Jika membaca legal
term “menjalani pidana”, “diserahkan pada negara untuk dididik”, dan “atas
permintaan orang tua atau walinya dididik dan ditempatkan” di LAPAS dengan
didasari putusan pengadilan,[59] menunjukkan bahwa negara
diberikan hak untuk mengambilalih kewenangan pengasuhan orang tua. Hal yang perlu dicemaskan adalah diberikannya
kewenangan kepada petugas LAPAS menggunakan kekerasan. Pasal 47 ayat (1) yang menyatakan Kepala LAPAS
berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan
ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya, maka anak akan berada
pada sebuah institusi yang berpotensi
melakukan tindakan kekerasan. Potensi kekerasan semakin ditampakkan Pasal 48 yang menetapkan bahwa pada saat menjalankan
tugasnya, petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan
yang lain. Kondisi ini jelas menempatkan anak pada suatu institusi yang
mengancam kehidupan anak arena ketentuan tersebut tidak memberikan pengecualian
kepada petugas LAPAS Anak. Seharusnya petugas LAPAS Anak tidak perlu
dilengkapi dengan senjata api atau peralatan keamanan lain. Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, Butir 65 menetapkan
bahwa pembawaan dan penggunaan senjata oleh personil fasilitas pemasyarakatan
harus dilarang pada setiap faslitas di mana anak-anak ditahan.
Ketentuan
lain yang berpotensi melanggar hak anak, mengancam martabat anak dan tujuan
pemasyarakatan[60],
yakni ketentuan Pasal 47 ayat (1) yang memberikan kewenangan kepada Kepala
LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan
ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya. Kemudian, ayat (2) menjelaskan
bahwa jenis hukuman disiplin berupa tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari
bagi Narapidana atau Anak Pidana dan atau menunda atau meniadakan hak tertentu
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan ini merupakan tindakan tindakan–tindakan penghukuman yang mencakup
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Butir
67 Peraturan PBB bagi
Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya menegaskan semua tindakan–tindakan
penghukuman yang mencakup perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan harus dilarang keras, termasuk hukuman jasmani, penempatan pada sel
gelap, pengurungan tertutup atau tersendiri atau hukuman lainnya yang dapat
mengancam kesehatan fisik atau mental anak yang bersangkutan. Pengurangan
jumlah makanan dan pembatasan atau penolakan kontak dengan anggota keluarga
dengan tujuan apa pun harus dilarang. Bekerja harus selalu dipandang sebagai
alat pendidikan dan sebagai sarana pemupukan harga diri anak dalam
mempersiapkannya untuk kembali ke masyarakat dan tidak boleh dipaksakan sebagai
suatu sanksi disipliner. Tidak seorang anak pun boleh dikenakan sanksi lebih
dari 1 kali pelanggaran displiner yang sama. Sanksi kolektif harus dilarang.
Kovenan Hak Sipil dan
Politik, Pasal 7 melarang segala bentuk tindak kekerasan seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat setiap manusia.
Segala bentuk penghukuman tersebut jelas tidak konsisten dengan ketentuan
Pasal 10 Kovenan yang mengatur bahwa setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi
dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.
KHA Pasal 37 juga menjamin hal serupa dimana huruf a mengatakan Pasal 37 Negara-negara
Pihak harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran
penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang
menghinakan. Kemudian kewajiban ini
dipertegas kembali pada huruf (c) yang mennetapkan bahwa setiap anak yang
dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat
manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan
kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya.
8)
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat
dijadikan sebagai salah satu referensi
yuridis dalam menangani isu anak. Dalam undang-undang ini hak-hak asasi anak dtelah diatur dan
ditempatkan secara khusus pada Bagian Hak Anak dari Pasal 52 – 66. Pasal-pasal tersebut secara rinci telah
menjamin sejumlah hak-hak anak yang harus dihargai, dilindungi, dan dipenuhi
oleh negara. Pasal 66, secara khusus mengatur hak-hak anak yang dicabut
kebebasannya karena melanggar hukum pidana.
Namun jika kita membaca pasal-pasal tersebut tidak diketemukan secara eksplisit
prinsip-prinsip pemenuhan hak anak sebagaimana dituangkan dalam KHA seperti :
a) Prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam
menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum
b) Keharusan untuk menggunakan mekanisme hukum
peradilan hukum pidana sebagai upaya terakhir. Rumusan hukum yang dipergunakan
Pasal 66 ayat (4) berbunyi : Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak
hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
c)
Pendekatan restorative justice sebagai hak asasi anak
Dalam
perspektif legislative drafting,
kesalahan fundamental undang-undang ini adalah tidak mencantumkan secara rinci
instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang telah diratifikasi dalam
konsideran dasar hukum UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
9)
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dimaksudkan sebagai umbrella’s law
yang secara sui generis mengatur
hak-hak anak. Namun dalam konsideran hukumnya malahan tidak mencantumkan KHA
sebagai referensi yuridis. Muara kesalahannya terletak pada landasan hukum
ratifikasi KHA dengan instrumen hukum Keputusan Presiden. Seperti telah
diketahui KHA diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, oleh
karenanya dalam pembuatan undang-undang yang mengatur implementasi KHA, KHA
sebagai sumber tidak bisa dicantumkan dalam konsideran hukum. Keputusan
Presiden secara hierarkis lebih rendah derajatnya ketimbang undang-undang. Meskipun substansinya dapat diadopsi sebagai
materi undang-undang. UU Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan bahwa asas dan
tujuan perlindungan anak salah satunya berlandaskan pada prinsip-prinsip KHA :
a) non diskriminasi;
b)
kepentingan yang terbaik bagi anak;
c)
hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan
d)
penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum,
undang-undang ini mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan khusus (Pasal
59). Elaborasi kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus
terdapat pada :
a)
Pasal 64
(1)
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan
hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui :
(a) perlakuan
atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
(b) penyediaan
petugas pendamping khusus anak sejak dini;
(c)
penyediaan sarana dan prasarana khusus;
(d) penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
(e) pemantauan
dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum;
(f)
pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga; dan
(g) perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
(a) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di
luar lembaga;
(b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
(c)
pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,
mental, maupun sosial; dan
(d) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Undang-undang ini, secara sumir mengatur persoalan
anak yang berkonflik dengan hukum, dan tidak konsisten dengan ketentuan Pasal
16 ayat (3) yang menyatakan bahwa penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Ketidakkonsistenan ini ditunjukkan dengan tidak diakomodasikannya penyelesaian
perkara anak diluar jalur hukum/pengadilan formal. Pendekatan restorative
justice selayaknya dijadikan solusi untuk menyelesaiakan kasus anak yang
berkonflik dengan hukum.
10)
Perubahan
Konstitusi (Amandemen UUD 1945)
Konstitusi negara demokratis
menyaratkan bahwa salah satu unsur yang
harus terdapat di dalamnya adalah adanya jaminan penghormatan terhadap hak
asasi warga negaranya. Dengan demikian seluruh kompenen bangsa termasuk di
dalamnya kelompok anak mendapatkan perlindungan dari negara. Amendemen UUD 1945 mengatur hak asasi manusia
dalam Pasal 28 (huruf A s/d huruf J).
Pengakuan terhadap jaminan pengakuan eksistensi hak anak diatur dalam, Pasal 28 ayat (2) :
Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Penggunaan legal term
“setiap anak” perlu mendapatkan apresiasi, namun rumusan hukumnya sangat umum
dan hanya mencantumkan prinsip-prinsip perlindungan hak anak dalam KHA.
Selayaknya konstitusi negara sebagai landasan kontrak sosial kehidupan
bernegara mencantumkan semua daftar
hak-hak asasi setiap komponen bangsa secara rinci. Demikian pula halnya dengan hak asasi anak.
Persoalan yang penting yang seharusnya tercamtum di dalamnya adalah hak anak
untuk mendapatkan penyelesaian hukum melalui restorative justice. Daftar
hak-hak asasi manusia yang lengkap yang termuat dalam konstitusi berfungsi
untuk mengeksaminasi dan mengaudit kesesuaian substansi instrumen hukum dengan
substansi konstitusi melalui mekanisme judicial
review dan constitusional complaint.
[61]
B. Praktek-Praktek Implementasi Sistem Peradilan
Pidana Anak oleh Aparatus Negara
Praktek-praktek implementasi
sistem peradilan pidana anak yang menyimpang berkorelasi positif dengan
ketidakkonsistenan Pemerintah Indonesia dalam memformulasikan substansi
instrumen hukum hak asasi internasional yang telah diratifikasi. Pengejawantahan nilai-nilai, prinsip-prinsip,
dan norma-norma hukum hak asasi manusia internasional dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan nasional suatu negara. Ketidakjelasan arah politik hukum Pemerintah
Indonesia menjadi causa prima
penyimpangan substansi dan praktek-praktek hukum di Indonesia. Arah Politik
hukum RI seharusnya berkesesuaian secara substansi dengan merujuk pada
referensi hukum hak asasi internasional yang sudah diratifikasi. Namun realitanya secara substansi malah
menyimpang dari referensi hukum internasional yang dirujuknya.
Dampaknya, aparat hukum yang
melaksanakan undang-undang juga akan melakukan penyimpangan. Dalam konteks
implementasi sistem peradilan pidana penyimpangan tersebut terjadi pada semua
proses dan tahanpan peradilan pidana.
1)
Kepolisian
Metode kekerasan dan penganiayaan oleh aparat kepolisian yang biasa
digunakan untuk menangani pelaku tindak pidana dewasa juga digunakan untuk
menangani perkara anak. Dari beberapa
kasus yang terjadi, metode kekerasan dan
penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terjadi saat penangkapan,
interograsi (memeriksa) dalam proses penyusunan Berita Acara Pemeriksaan, dan
pada saat ditahan di kantor kepolisian.
Tindak kekerasan dan penyiksaan merupakan upaya dari para aparat
kepolisian untuk mendapatkan pengakuan dari anak tentang perbuatan pidana yang
dilakukannya.
Perlakuan kekerasan dan penyiksaan yang
kerap dilakukan sebagai metode untuk mendapat pengakauan baik pada saat
penangkapan, pemeriksaan, maupun dalam masa penahanan, merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan
Martabat Manusia. Pasal 1 Konvensi menyatakan bahwa istilah
"penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja,
sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun
rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang
itu atau dari orang ketiga. Selain konvensi tersebut, tindakan
di atas juga melanggar ketentuan :
a)
Konvensi Hak Anak
(Pasal 37 dan Pasal 40)
b)
Beijing Rules (Butir 5.1., Butir 7.1. Butir 10.3, dan
Butir 13.3.4.5)
c)
Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya (Butir 17 dan butir 18)
d)
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 4 ayat (2),
Pasal 7, dan Pasal 10)
Namun
demikian, sampai saat ini aparat yang melakukan penyiksaan tidak pernah
mendapatkan hukuman. Padahal nyata-nyata ketentuan Konvensi Anti Penyiksaan
menyebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa setiap negara harus mengambil
langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya
untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya. Ayat (2)
selanjutnya menyatakan bahwa setiap Negara Pihak harus mengatur agar tindak
penyiksaan merupakan tindak pidana menurut ketentuan hukum pidananya. Hal yang
sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan
oleh siapa saja yang membantu atau turut serta dalam penyiksaan.
Selain hal tersebut di atas,
tingginya anak yang berkonflik dengan hukum usia 0-17 tahun, menjalani proses
peradilan pidana (angka penahan) menjadi permasalahan yang perlu mendapatkan
perhatian serius. Menurut data BPS, hingga Juli 2003 di Indonesia terdapat
136.00 anak yang berkonflik dengan hukum. Setiap tahun, sedikitnya 4000 kasus
pelanggaran hukum dilakukan oleh anak.[62]
Selanjutnya, berdasarkan angka statistik kepolisian tahun 2000 angka penahanan sebesar
11.344 kasus, bandingkan tahun 1999
dengan 6.029 kasus dan tahun 1998 dengan 10.025 kasus.[63]
Kemudian berdasarkan data
skunder yang diperoleh dari Poltabes Palembang tentang perkara pidana anak, antara tahun 2000
s/d 2003, terdaftar sejumlah 75 kasus anak. Dari keseluruhan tersangka anak
tersebut ternyata semuanya dikenakan penahanan.[64] Data
berikut juga memperlihatkan kondisi serupa. Sepanjang Januari sampai dengan
Juli 2003 terjadi 43 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dengan jumlah
pelaku 94 orang, yang diduga dan disangka sebagai pelaku tindak pidana di
Sumatera Utara. Artinya 13 orang anak akan dipenjara setiap bulan.[65]
Tingginya angka penahanan
menunjukkan kewenangan diskresi yang melekat pada aparat kepolisian, yakni
mempergunakan penahanan sebagai alternatif terakhir dalam menangani anak tidak pernah dipergunakan. Tindakan ini jelas
bertentangan dengan :
a)
Konvensi Hak Anak (Pasal
40)
b)
Beijing Rules (Butir 6 dan Butir 11.1, 2, 3, 4)
c)
Konvensi Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10 ayat (4), Pasal 14 ayat (4))
Permasalahan yang mendasar yang
seringkali dilanggar adalah hak untik mendapatkan pendampingan oleh penasihat
hukum. Hak ini selain merupakan akses bagi anak untuk dipenuhi hak-haknya, juga
terkait dengan due process of law. Namun, dalam banyak kasus hak ini seringkali
diabaikan oleh aparat kepolisian sehingga anak-anak mengalami tindakan
kekerasan dan penyiksaan. Pengabaian ini
bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 huruf d KHA, Butir 18 huruf a Peraturan PBB bagi
Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya , yang
menetapkan setiap anak yang dirampas
kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang
tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di
hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil,
dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu. Kovenan Hak
Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (2) huruf b mengatur hal yang serupa dimana
dinyatakan dalam menentukan tindak pidana
yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal untuk
diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan
berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri.
Pengalaman menjalani tahanan bersama orang dewasa juga
banyak ditemui oleh anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut data
UNICEF, 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara, 84 % di antaranya ditempatkan di penjara dewasa.[66]
Situasi ini jelas merupakan pelanggaran hak anak sebagaimana diatur dalam :
a) Pasal
10 ayat (3), Kovenan Hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang
dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
b) Pasal 37 huruf (c), KHA yang menyatakan setiap anak
yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati
martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan
kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas
kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa.
c) Butir 7.1., Butir 13.4, Beijing
rules
d) Butir 27 dan Butir 29, Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya
Merujuk pada paparan di
atas, spesialisasi polisi anak sudah semestinya segera direalisasikan untuk
meminimalisasi tindakan kekerasan dan penyiksaan dalam menangani anak. Butir 12.1, Beijing Rules mengatur
bahwa agar dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan sebaik
mungkin, perwira-perwira polisi yang sering atau khusus menangani anak-anak
atau yang terutama terlibat dalam pencegahan kejahatan anak akan dididik dan
dilatih secara khusus. Di kota-kota besar, unit kepolisian khusus seharusnya dibentuk untuk tujuan
itu. Kewajiban senada juga disebutkan
dalam Peraturan PBB bagi
Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya bahwa petugas harus
mendapatkan latihan sedemikian rupa sehingga memungkinkan mereka menjalankan
tanggung jawab mereka secara efektif, khususnya latihan dalam psikologi anak,
kesejahteraan anak dan standar-standar serta norma-norma hak asasi manusia dan
hak asasi anak, termasuk peraturan-peraturan ini. Petugas harus menjaga dan
meningkatkan pengetahuan dan kesanggupan profesional mereka dengan mengikuti
kursus-kursus ‘latihan sewaktu penugasan’, yang perlu diadakan secara berkala
pada kesempatan yang memungkinkan sepanjang karier mereka. Spesilisasi
ini merupakan langkah awal untuk menepati komitemen negara untuk melaksanakan
kewajibannya negara sebagaimana ditetapkan Pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Hak
Politik.
2) Kejaksaan
Pada
tahap penuntutan oleh jaksa penuntut umum, anak-anak juga mengalami tindak
kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh
jaksa memang bukan tindak kekerasan langsung, melainkan kekerasan struktural. [67] Kekerasan ini bersumber dari keengganan jaksa
untuk menggunakan kewenangannya untuk mengabaikan perkara anak. Meskipun
UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak secara tegas memberikan kewenangan deskresi untuk menutup
perkara, namun jika membaca KUHAP, sebagai pedoman untuk melaksanakan proses
litigasi perkara pidana, telah memberi alas hukum bagi jaksa untuk menutup
perkara demi hukum. Ketentuan-ketentuan tersebut berada di dalam pasal 14 jo Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Kewenangan untuk
menutup perkara belum dipergunakan oleh jaksa dalam menangani perkara anak.
Kasus di bawah ini membuktikan masih dominannya pendekatan penghukuman.
Kasus tersebut tidak
perlu terjadi jika, kepolisian dan kejaksaan menggunakan kewenangan
diskresionalnya sehingga anak-anak tersebut tidak perlu menjalani proses hukum
formal sehingga anak tidak perlu mengalami penahanan di ruang tahanan. Sementara itu berdasarkan data Poltabes Palembang tentang perkara
pidana anak, antara tahun 2000 s/d 2003, terdaftar sejumlah 75 kasus anak. Dari
keseluruhan tersangka anak tersebut ternyata semuanya dikenakan penahanan.[68]
Penahanan
sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan
untuk jangka waktu sesingkat mungkin, demikian aturan Butir 13.1, Beijing
Rules. Butir 13.2 ,
menetapkan bahwa di mana mungkin, penahanan sebelum
pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan
secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada
suatu tempat atau rumah pendidikan. Selain kewajiban tersebut, Butir 13.4 menyatakan anak-anak yang berada di
bawah penahanan sebelum pengadilan akan ditempatkan terpisah dari orang-orang
dewasa dan akan ditahan pada suatu lembaga terpisah atau pada suatu bagian
terpisah dari suatu lembaga yang juga menahan orang-orang dewasa.
Jika
mengacu pada kasus diatas dan realitas yang terjadi, maka dapat disimpulkan
jaksa sebagai pelaku pelanggaran hak-hak anak karena Butir 13.3, Beijing Rules menegaskan bahwa anak-anak yang berada di
bawah penahanan sebelum pengadilan berhak akan semua hak dan jaminan dari
Peraturan-Peraturan Minimum Standar bagi Perlakuan terhadap Narapidana yang
telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penempatan anak oleh jaksa pada ruang tahanan
nyata-nyata melanggar ketentuan :
a) Beijing Rules (Butir
13.1, 2,3, 4,5 )
b) Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Butir 1, Butir 28)
Keengganan kejaksaan untuk menutup atau mengabaikan atau tidak melanjutkan perkara
anak merupakan pelanggaran hak anak sebagaimana telah diatur dalam :
a)
KHA (Pasal 37 huruf b)
b)
Beijing Rules (Butir
11.1, 2, 3, 4 dan Butir 13.1, 2)
c)
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (4))
Di samping itu, pada saat menjalani proses penuntutan
anak-anak ditahan diruang tahanan bersama tahanan dewasa. Kondisi ini nyata-nyata melanggar ketentuan :
a)
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal
10 ayat (3), Pasal 14 ayat (4))
b)
KHA (Pasal 37 huruf b dan huruf c)
Layak apabila dikatakan hakim
sebagai pelaku pelanggaran hak anak melalui putusannya. Putusan hakim dalam
menangani perkara dapat dikatakan telah memraktekkan kekerasan yang dilakukan
oleh negara. Pada titik ini hakim seharusnya
dengan kewenanganya[70] dapat melakukan hal berikut :
a) Mengesampingkan
perkara anak/anak dibebaskan (Beijing
Rules Butir 10.2, Butir 17.1,4, Butir 20.1, ; Peraturan PBB bagi
Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, Butir 1, 2; KHA Pasal 3 ayat (1), Pasal 40 huruf b butir
iii; Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
Pasal 9 ayat (3), (4));
b) Mengalihkan
perkara anak ke jalur non formal ( Beijing Rules Butir 11.1,2,3,4; KHA
Pasal 4, Pasal 37 huruf b; Kovenan Hak
Sipil dan Hak Politik, Pasal 24 ayat (1))
c) Menerapkan
pendekatan restoratif justice (Beijing
Rules, Butir 5.1., Butir 14.1,2, Butir 18.1; KHA Pasal 3 ayat (2), Pasal 40
ayat (1); Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Pasal 2 ayat 3 huruf b)
Namun jika melihat realita yang ada, kewenangan ini tidak
dipergunakan oleh hakim. Kondisi ini,
selain diakibatkan karena hukum positif secara eksplisit belum mengakomodasikan
dalam rumusan hukum yang khusus. Kedua masih mendominasinya pemikiran positivisme hukum di kalangan
hakim. Apa yang dikatakan undang-undang
adalah hukum.[71]
Kasus Raju merefleksikan, dominannya penganut pemikiran ini. Hakim yang menyidangkan Raju dilandasi keyakinan
bahwa tindakannya semata-mata mematuhi
ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di mana ditentukan
bahwa anak yang telah berusia 8 tahun dapat dituntut pertanggungjawaban atas
tindak pidana yang dilakukannya.
Jika kita sandingkan
kekukuhan hakim tersebut dengan instrumen hukum internasional maka tindakan ini
bertentangan dengan ketentuan sebagai berikut hakim tersebut :
a) Beijing Rules :
1)
Butir 4.1. : Pada sistem-sistem hukum yang mengakui konsep
usia pertanggungjawaban kriminal bagi anak-anak, awal usia itu tidak dapat
ditetapkan pada tingkat usia yang lebih rendah, mengingat kenyataan-kenyataan
kedewasaan emosional, mental dan intelektual.
2)
Butir 5.1. : Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan
kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun terhadap
pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan
keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran
hukumnya.
3)
Butir
6.1. : Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak-anak maupun
keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi
kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses
peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak,
termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan peraturan-peraturan
lanjutannya.
4)
Butir 7.1 : Langkah-langkah
pelindung prosedural yang mendasar seperti praduga tak bersalah, hak diberitahu
akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak untuk tetap diam, hak akan pengacara,
hak akan kehadiran orang tua/wali, hak untuk menghadapi atau memeriksa silang
sanksi-sanksi dan hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi
akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan.
5)
Butir 10.2 : Seorang
hakim atau pejabat atau badan berwenang lainnya akan, tanpa penundaan,
mempertimbangkan isu pembebasan.
6)
Butir
11.1 : Pertimbangan akan diberikan, bilamana layak,
untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan
formal oleh pihak berwenang yang berkompeten
7)
Butir 14.2 : menetapkan bahwa proses-proses
peradilan akan kondusif bagi kepentingan-kepentingan utama anak itu dan akan
dilaksanakan dalam suasana pengertian, yang akan memungkinkan anak itu untuk ikut
serta di dalamnya dan untuk menyatakan dirinya secara bebas.
b) Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya :
1)
Butir 1 : Sistem peradilan bagi anak harus menjunjung
tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental
para anak. Hukuman penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir.
2)
Butir 2 : Menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah
merupakan suatu keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang
minimum serta dibatasi pada kasus-kasus luar biasa. Jangka waktu sanksi harus
ditentukan oleh pihak kehakiman yang berwenang, tanpa mengesampingkan
kemungkinan pembebasannya yang lebih awal.
3)
Butir 17 : Para anak yang
ditahan di bawah penangkapan atau tengah menunggu peradilan (“belum diadili”)
harus dianggap tidak bersalah dan harus diperlakukan sebagai orang yang tidak
bersalah. Penahanan sebelum peradilan sedapat mungkin dihindarkan dan dibatasi
pada keadaan-keadaan yang luar biasa. Dengan demikian, segala upaya harus
dilakukan untuk menerapkan tindakan-tindakan alternatif lain. Namun demikian,
jika penahanan preventif digunakan, pengadilan-pengadilan bagi anak dan
badan-badan pengusut harus memberi prioritas tertinggi pada penanganan yang
tercepat terhadap kasus-kasus demikian untuk menjamin agar masa penahanan
sesingkat mungkin. Para anak yang ditahan dan belum diadili harus dipisahkan
dari para anak yang telah dijatuhi hukuman.
c) KHA :
1) Pasal 3 ayat (1) : Dalam semua tindakan mengenai
anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau
swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif,
kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.
2) Pasal 4 : Negara-negara
Pihak akan melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan
lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.
3) Pasal 12 : Anak terutama harus diberi kesempatan
untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan dan
administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui
suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan
peraturan-peraturan prosedur hukum nasional.
4) Pasal 37 huruf b :
Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar
hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya
sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat;
5) Pasal 37 huruf d :
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke
bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal
keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa
lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan
apa pun semacam itu.
6) Pasal 40 ayat (1) :
Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai
tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan
dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga
diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan
umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan
pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat.
7) Pasal 40 ayat 2 huruf b :Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar
hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:
·
Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;
·
Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan
terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan
mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan
menyampaikan pembelaannya;
·
Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang,
mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil
menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan
kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si anak, terutama,
dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya;
·
Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk
memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan
pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan;
d)
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik :
1) Pasal 10 ayat (1) : Setiap orang yang dirampas
kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati
martabat yang melekat pada diri manusia.
2) Pasal 10 ayat (3) : Terdakwa di bawah umur harus
dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang
pengadilan
3) Pasal 14 ayat (1) : Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan
dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam
menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak
atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan
yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan
masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena
alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat
yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan
dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan
keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana
maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana
kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut
berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
4) Pasal 14 ayat (2) : Setiap orang yang dituduh
melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan
menurut hukum
5) Pasal 14 ayat (4) : Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi
mereka
Perkara
Raju mungkin dapat mewakili potret pelanggaran hak anak yang terstruktur dan
sistematis melalui institusi peradilan. Situasi ini tidak terlepas dari substansi
hukum yang melandasi hakim dalam melakoni tugas dan kewenangangannya. Secara
substansi UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak berperspektif
anak sebagai korban. Spirit undang-undang ini adalah pemidanaan karena anak telah diberi stigma lebih dahulu sebagai ”anak nakal” atau crime
actor. Legal term ini berbeda dengan legal term KHA yakni ”children
in conflict with law” atau anak yang
berkonflik dengan hukum. Dalam
perspektif KHA, anak diasumsikan belum mempunyai legal capacity untuk melakukan tindak pidana mengingat kondisi dan
sifatnya yang masih tergantung pada orang dewasa, tingkat usia, perkembangan
fisik, mental, moral, dan spiritualnya belum matang. Dengan demikian negara justru harus melakukan
intervensi secara khusus dalam rangka melindungi anak, bukan malah sebaliknya
anak dihadapkan vis a vis dengan
kekuasaan negara untuk mempertanggungjawabkan secara pidana.
Perspektif pendekatan
penghukuman ini, justru nampak pada UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak yang secara sui generis ruang
lingkupnya ditujukan untuk mengadili perkara anak. Pasal-pasal berikut menunjukkan hal tersebut
:
a) Pasal 1 angka 2 : Anak Nakal adalah :
1) anak yang melakukan tindak pidana; atau
2) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan
b) Pasal 4 ayat 1 : Batas umur Anak Nakal yang
dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
c) Pasal 5 :
1)
Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan oleh Penyidik.
2)
Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali,
atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang
tua, wali, atau orang tua asuhnya.
3)
Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali,
atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen
Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
d) Pasal 22 : Terhadap Anak Nakal hanya
dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
e) Pasal 23 :
1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan.
2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
·
pidana penjara;
·
pidana kurungan;
·
pidana denda; atau
·
pidana pengawasan.
3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
f) Pasal 24 :
1)
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
·
mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
·
menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau
·
menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan
yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
g)
Pasal 25 :
1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24.
Pasal-pasal di atas jelas tidak mengakomodasi
pendekatan kesejahteraan sebagaimana menjadi nafas KHA dan Beijing Rules. UU ini memang menawarkan konsep tindakan (maatregel) sebagai upaya alternatif
selain penjatuhan pidana (straaft). Namun alternatif ini tidak dijadikan sebagai model penyelasaian yang diprioritaskan. Padahal
secara konseptual, hukum pidana merupakan
ultimum remidium, bukan upaya yang utama. Seharusnya konstruksi hukumnya
tindakan baru penjatuhan pidana. Ironisnya UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindugan anak juga tidak mengadopsi pendekatan restorative justice sebagai content of act. Undang-undang ini hanya
mengkategorisasikan anak yang berkonflik dengan hukum memerlukan perlindungan
khusus dan mendefinisikan anak yang berkonflik dengan hukum. Elaborasi konsep
ini tidak terformulasikan dalam ketentuan yang rinci.
Secara
konseptual model pendekatan kesejahteraan yang tepat untuk menyelesaikan perkara anak adalah pendekatan
restorative justice, karena
pendakatan ini mencakup hal-hal berikut :
a) Mengidentifikasi dan menentukan langkah-langkah
pemulihan kerugian
b) Melibatkan semua stake holders dalam menyelesaikan perkara
c) Mentransformasi relasi tradisional antara
masyarakat dan pemerintah dalam merespon tindak pidana.[72]
Hal
lain yang esensial adalah dilibatkannya korban dan komunitas dalam suatu proses
yang holistik termasuk pihak-pihak lain berdasarkan prinsip pertanggungjawaban,
resolusi, dan pemulihan. Penekanan
lainnya adalah terdapatnya proses healing
dan upaya membangun pertanggungjawaban moral komunitas. Proses ini berbanding terbalik dengan
pendekatan pemidanaan yang lebih menekankan penghukuman, menguntungkan pihak tertentu, dan
cenderung birokrat.[73]
Meskipun
pendekatan ini berbasis korban (berperspektif hak anak) dan melibatkan stakeholders yang lain, model ini belum
dijadikan sebagai referensi oleh hakim dalam menangani perkara anak karena 2
(dua) persoalan berikut :
a) Instrumen hukum yang melandasi sistem peradilan
pidana anak belum mengadopsi pendekatan ini secara utuh
b) Interpretasi dan konstruksi hakim dibangun berdasarkan pendekatan
positivisme hukum
c) Hakim yang mengadili perkara anak tidak memiliki
keberpihakan pada korban dan tidak memiliki pemahaman tentang hak-hak anak
4) Institusi
Penahanan dan Pemasyarakatan
Institusi yang penahanan sebagai supporting system peradilan pidana juga
berkontribusi melanggar hak asasi anak. Penahanan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara
atau di tempat tertentu oleh penyidik ataupun penuntut umum atau hakim. Orang
yang ditahan berarti setiap orang yang dirampas kebebasan pribadinya kecuali
sebagai akibat hukuman karena suatu pelanggaran. Mengenai
anak-anak yang ditahan karena menunggu proses peradilan, secara normatif penahanan
terhadap anak-anak yang disangka atau dituduh telah melakukan pelanggaran hukum
pidana hanya boleh dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir dan dalam waktu sesingkat mungkin dengan
jaminan pemenuhan atas semua hak-haknya sebagai orang yang ditahan dan hak-haknya
sebagai anak. Hak-hak anak yang ditahan di antaranya adalah hak untuk
diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah, hak memperoleh semua bantuan
yang diperlukan dalam setiap tahapan peradilan, ditahan dalam tempat yang
khusus untuk anak, dipisahkan dari terpidana dan hak pemenuhan kebutuhan khusus
sesuai dengan usia dan jenis kelaminnya.[74]
Sedangkan yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah bagian dari tata
peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara
dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu
(dilaksanakan bersama-sama dengan aparat penegak hukum) dengan tujuan agar
mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang
baik. Orang yang dipenjara berarti siapa pun yang dirampas kebebasan pribadinya
sebagai akibat hukuman karena suatu pelanggaran. Dalam perkara anak, putusan
pidana penjara adalah pilihan terakhir dan harus diputuskan dengan amat
hati-hati dengan pertimbangan yang seksama bahwa tidak ada alternatif lain yang
memadai untuk merehabilitasi anak pelaku pelanggaran hukum pidana. Terhadap
anak-anak ini telah diberikan hak atas jaminan standar perlakuan minimum
orang-orang yang dipidana penjara dan haknya sebagai anak. Hak tersebut di
antaranya adalah hak ditahan di tempat yang khusus bagi anak dan jaminan bahwa
anak-anak ini memperoleh manfaat atas program-program kegiatan yang dilakukan
oleh lembaga, hak untuk tidak menjadi sasaran hukuman dan penganiayaan dan
jaminan atas kebutuhan-kebutuhannya yang khas sesuai umur, jenis kelamin,
pelanggaran dan minatnya.[75]
Namun realita berbicara lain, institusi penahanan dan
pemasyarakatan menjadi tempat di mana
anak-anak mendapatkan kekerasan dari negara melalui aparatisnya dan kekerasan akibat pola relasi yang tidak
setara. Kekerasan pertama bersifat
horisontal, sedangkan kekerasan yang disebut kemudian bersifat horisontal.
Perpektif Galtungian, menyebut kekerasan oleh negara merupakan kekerasan struktural yang bersumber pada
kebijakan. Kekerasan langsung sumbernya
berasal dari perilaku komunitas itu
sendiri.
Pola pelanggaran
tersebut, pasti juga menimpa anak-anak yang berada pada LAPAS, karena kondisi
tersebut terjadi pada semua rutan/lapas di seluruh tanah air. Dengan demikian
kondisi over capacity yang berdampak
pada ancaman terpenuhinya hak asasi juga dialami oleh anak-anak yang menghuni
LAPAS. Kondisi LAPAS Anak yang over
capacity tergambar di bawah ini :
a)
LPA
Anak Tangerang terpaksa menampung 343 anak laki-laki dengan rentang usia jauh,
12 hingga 26 tahun. Padahal, kapasitas LP Anak Tangerang hanya 220 anak.
Akibatnya sel berukuran 1x1,5 meter yang seharusnya hanya untuk satu anak, kini
terpaksa dihuni 3 anak tanpa alas.[76]
b)
Rutan Pondok Bambu yang idealnya menampung 504 orang
ternyata kini dihuni 854 tahanan perempuan dan 364 anak laki-laki, yang variasi
umurnya 14 hingga 22 tahun.[77]
c)
Rutan Kebon Waru, narapidana yang masih dalam kategori
anak menjadi warga rutan berama para napi dewasa. Para tahanan anak ada ruangan
seluas 5x10 meter yang diisi 22 tahanan anak.
Rutan ini berpenghuni 1.482 orang, melebihi batas kapasitas daya tampung
780 orang.[78]
Kondisi
over capacity tersebut, berimplikasi
terhadap akses pemenuhan hak-hak anak yang lain seperti: jaminan ketersediaan
pangan yang layak dan memadai, air bersih, pakaian, tempat tidur, sanitasi,
kesehatan, pendidikan, privasi.
Jika
situasi dan kondisi ini dibiarkan terus berlangsung negara telah mengingkari
ketentuan hukum internasional sebagai berikut :
a) Beijing
rules :
1)
Butir 26.2. : Anak-anak yang berada di
lembaga-lembaga pemasyarakatan akan menerima perawatan, perlindungan dan semua
bantuan yang diperlukan –sosial, pendidikan, keterampilan, psikologis,
pengobatan dan fisik– mungkin mereka diperlukan karena usia, jenis kelamin dan
kepribadian mereka dan demi kepentingan keseluruhan pertumbuhan mereka
2)
27.2. Upaya-upaya
akan dilakukan untuk melaksanakan sejauh mungkin prinsip-prinsip yang relevan
yang telah ditetapkan dalam Peraturan-Peraturan Minimum Standar bagi Perlakuan
terhadap Narapidana agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anak yang
khususnya sesuai usia, jenis kelamin dan kepribadian mereka.[79]
b) Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya :
1)
Butir 3 : Peraturan-peraturan ini
dimaksudkan untuk menetapkan standar-standar minimum yang dapat diterima oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi perlindungan para anak yang kehilangan
kebebasannya dalam segala bentuk, yang konsisten dengan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan dasar, dan dengan maksud meniadakan pengaruh-pengaruh
merugikan dari semua jenis penahanan dan untuk membina pengintegrasian dalam
masyarakat.
2)
Butir 12 : Menghilangkan kebebasan harus dikenakan pada
kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan yang menjamin penghormatan hak-hak asasi
manusia para anak. Para anak yang ditahan pada fasilitas-fasilitas
pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan dan
program-program yang berarti, yang akan berfungsi untuk memajukan dan
mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka, untuk membina rasa tanggung
jawab dan mendorong sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan yang akan
membantu mereka dalam mengembangkan potensi mereka sebagai anggota-anggota
masyarakat.
3)
Butir
13 : Para
anak dihilangkan kebebasannya tidak boleh, untuk alasan apa pun yang berkaitan
dengan status mereka, diingkari hak-hak sipil, ekonomi, politik sosial atau
budaya yang berhak mereka miliki berdasarkan hukum nasional ataupun
internasional dan yang sesuai penghilangan kebebasannya.
4)
Butir 31 : Anak-anak
yang kehilangan kebebasannya mempunyai hak akan fasilitas-fasilitas dan
pelayanan-pelayanan yang memenuhi semua persyaratan kesehatan dan harga diri
manusia.
5)
Butir 32 : Rancang-bangun fasilitas
pemasyarakatan untuk anak dan lingkungan fisiknya harus sesuai dengan tujuan
rehabilitasi pengasuhan di tempat tinggal, dengan perhatian yang seimbang
terhadap kebutuhan anak akan privasi.
6)
Butir 33 : Akomodasi-akomodasi
untuk tidur umumnya harus terdiri dari bangsal-bangsal tidur untuk
kelompok-kelompok kecil atau kamar-kamar individual, dengan mempertimbangkan
nilai-nilai setempat. Selama jam-jam tidur harus terdapat pengawasan yang
teratur, tidak mengganggu terhadap sesama daerah tempat tidur, termasuk
kamar-kamar individual dan bangsal-bangsal kelompok, agar dapat menjamin
perlindungan setiap anak. Setiap anak harus, sesuai dengan standar-standar
setempat atau nasional, disediakan perlengkapan tempat tidur yang terpisah dan
cukup, yang harus dalam keadaan bersih saat diberikan, dirawat dan cukup sering
diganti untuk menjamin kebersihan.
7)
Butir 34 : Tempat-tempat sanitasi harus ditempatkan
sedemikian rupa dan berstandar cukup untuk memungkinkan setiap anak untuk,
sebagaimana dibutuhkan, membuang hajat dalam keprivasian dan dalam cara yang
bersih dan pantas.
8)
Butir
35 : Pemilikan barang-barang pribadi adalah unsur dasar hak privasi dan penting
untuk kesejahteraan anak. Hak setiap anak untuk memiliki barang-barang pribadi
dan untuk barang-barang itu harus sepenuhnya diakui dan dihormati.
9)
Butir
36 : Sejauh mungkin, anak harus mempunyai hak untuk menggunakan pakaiannya
sendiri. Fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus menjamin bahwa setiap anak
memiliki pakaian pribadi yang sesuai dengan iklim dan cukup untuk menjamin
kesehatan yang baik, dan yang tidak boleh merendahkan atau memalukan.
10) 37. Setiap fasilitas
pemasyarakatan harus menjamin bahwa setiap anak menerima makanan yang disiapkan
secara pantas dan disajikan pada waktu-waktu makan yang normal dan berjumlah
serta bermutu cukup untuk memenuhi standar diet, kebersihan dan kesehatan,
serta sejumlah mungkin persyaratan-persyaratan keagamaan dan budaya. Air minum
bersih harus tersedia bagi setiap anak pada setiap saat.
11)
Butir
41 : Setiap anak patut menerima perawatan kesehatan yang memadai, baik
pencegahan maupun pemulihan, termasuk perawatan gigi, mata, kejiwaan, maupun
produk-produk farmasi dan diet-diet khusus sesuai petunjuk dokter. Semua
perawatan kesehatan tadi harus, sedapat mungkin, diberikan pada anak yang
ditahan melalui fasilitas-fasilitas dan pelayanan-pelayanan kesehatan
masyarakat yang layak di mana terletak fasilitas pemasyarakatan, untuk mencegah
pencederaan anak itu dan mengembangkan harga diri dan integrasi dengan
masyarakat.
c)
KHA
:
1)
Pasal
37 huruf (c) : Setiap anak
yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati
martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan
kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas
kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu
dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan
kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam
keadaan-keadaan luar biasa
2) Pasal 39 : Negara-negara Pihak harus mengambil
semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuhan fisik dan psikologis
dan integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk
penelantarana apa pun, eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan atau
bentuk perlakuan kejam yang lain apa pun, tidak manusiawi atau hukuman yang
menghinakan, atau konflik bersenjata. Penyembuhan dan integrasi kembali
tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan kesehatan,
harga diri dan martabat si anak.
3) Pasal 40
·
Negara-negara Pihak mengakui
hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah
melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan
peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali
penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar
orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk
meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif
dalam masyarakat.
·
Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan
pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan
dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan
kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu
cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan
mereka maupun pelanggaran itu.
d)
Kovenan
Hak Sipil dan Politik :
1) Pasal 10
·
Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada
diri manusia.
·
Sistem pemasyarakatan harus
memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam
memperlakukan narapidana.
Muara permasalahan over
capasity sebagai terurai di atas bersinggungan dengan ranah politik hukum dan
politik kebijakan anggaran publik. Muara
pertama disebabkan karena child
protection paradigm dan konsep restorative justice tidak dijadikan basis pembentukan
perundang-undangan yang mengatur sistem peradilan pidana anak. Padahal
ketentuan-ketentuan berikut seharusnya mengikat secara hukum (legal binding) untuk dipatuhi oleh
pemerintah Indonesia :
a) Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya :
1)
Butir 5 : Peraturan-peraturan ini dirancang untuk
digunakan sebagai standar rujukan yang sesuai dan untuk memberikan dorongan dan
tuntunan bagi para praktisi yang terlibat dalam pengelolaan sistem peradilan
bagi anak.
2)
Butir
7 : Di mana sesuai, negara-negara harus memasukkan peraturan-peraturan ini ke
dalam perundang-undangan mereka atau menyesuaikannya dan memberikan
jawaban-jawaban yang efektif jika dilanggar, termasuk ganti rugi jika terjadi
cidera pada anak. Negara-negara juga harus mengawasi pelaksanaan
peraturan-peraturan ini.
b)
Pedoman
PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines)
1)
Butir 5 : Agar
diakui kebutuhan akan dan pentingnya kebijakan-kebijakan progresif mengenai
pencegahan tindak pidana dan studi sistematis serta penjabaran terhadap
upaya-upaya. Agar dihindari kriminalisasi (criminalizing) dan penalisasi
(penalizing) atas suatu perilaku anak yang tidak menyebabkan kerugian serius
terhadap perkembangan anak atau membahayakan orang lain.
2)
Butir 5 huruf b : Filosofi dan pendekatan-pendekatan yang
khusus mengenai pencegahan tindak pidana, berdasarkan undang-undang, proses,
institusi-institusi dan jaringan pelayanan jasa yang ditujukan untuk mengurangi
motivasi, keutuhan dan peluang atau kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran
3)
Butir 5 huruf d : Perlindungan kesejahteraan,
perkembangan, hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan seluruh anak;
4)
Butir 52. Pemerintah-pemerintah
agar menyusun dan menegakkan prosedur dan undang-undang khusus dalam rangka
memajukan dan melindungi hak-hak dan kesejahteraan anak.
c)
KHA
:
1) Pasal 3 :
·
Dalam semua tindakan mengenai anak, yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta,
pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif,
kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama
·
Negara-negara Pihak
harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang
bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus
menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa
yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan
kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang.
2) Pasal 4
Negara-negara Pihak akan
melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang
tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan
tindakan-tindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum mungkin dari
sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam kerangka
kerjasama internasional
3) Pasal 19
·
Negara-negara Pihak
harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan
yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental,
luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan
buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selam dalam pengasuhan
(para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung
jawab mengasuh anak.
·
Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai
layaknya, seharusnya mencakup prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan
program-program sosial untuk memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang
mempunyai tanggung jawab perawatan anak, dan juga untuk bentuk-bentuk
pencegahan lain, dan untuk identifikasi, melaporkan, penyerahan, pemeriksaan,
perlakuan dan tindak lanjut kejadian-kejadian perlakuan buruk terhadap anak
yagn digambarkan sebelum ini, dan, sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan
pengadilan.
·
Pasal 40 ayat (3) .
Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang,
prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus
pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum
pidana, terutama:
o
Pembentukan umur
minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan
untuk melanggar hukum pidana;
o
Setiap waktu yang
tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu
tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa
hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;
d) Kovenan Hak
Sipil dan Politik :
1) Pasal 2 ayat (2) : Apabila belum diatur dalam ketentuan
perundang-undangan atau kebijakan lainnya yang ada, setiap Negara Pihak dalam
Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai
dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan - ketentuan dalam Kovenan ini,
untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang
diperlukan untuk memberlakuka hak-hak yang diakui dalam Kovenan
Muara
kedua berpangkal pada anggaran publik
yang ditetapkan pemerintah. Mustahil
anak-anak yang berkonflik dengan hukum terpenuhi hak-haknya apabila alokasi
anggarannya tidak tersedia. KHA secara khusus mengamanatkan kewajiban ini. Pasal 4 menyatakan bahwa Negara-negara Pihak akan
melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang
tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan
tindakan-tindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum mungkin dari
sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam kerangka
kerjasama internasional. Pedoman PBB
dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh
Guidelines) Butir 52
menetapkan kewajiban serupa, pemerintah-pemerintah agar menyusun
dan menegakkan prosedur dan undang-undang khusus dalam rangka memajukan dan
melindungi hak-hak dan kesejahteraan anak.
Hak
atas pendidikan sebagai prasyarat fundamnetal untuk dapat menikmati hak-hak
yang lain karena. Selain itu pendidikan juga penting karena akan memperkuat hak
asasi manusia.[80]
Namun anak-anak yang berada dalam lembaga pemasyarakatan dan rutan terancam
tidak bisa melanjutkan pendidikannya.
Dalam penikmatan hak atas pendidikan anak-anak ini mendapatkan perlakuan
yang berbeda (diskriminatif). Hanya
anak-anak yang menghuni Lapas Anak Tangerang yang bisa memperoleh
pendidikan dari sekolah di dalam lapas.
Namun bagi anak-anak yang dihukum di Rutan Pondok Bambu, serta banyak LP
maupun Rutan lain, mereka terpaksa harus putus sekolah. [81] Konsep Rutan Kebon Waru yang berbeda dengan
Lapas menjadi alasan mengapa rutan Kebon Waru tidak menyelenggarakan pendidikan
bagi tahanannya.[82]
Seharusnya perlakuan diskriminasi ini
tidak perlu terjadi karena KHA ditegakkan atas prinsip non diskriminasi. Beijing Rules, butir 2.1. Tertutupnya akses untuk mendapatkan hak atas
pendidikan merupakan pengingkaran Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang
Kehilangan Kebebasannya, Butir 38-39.
Permasalahan lain akan
terus melingkupi anak yang berkonflik dengan dan juga sekaligus berpotensi melanggar hak
anak jika pola pemidanaan tetap menjadi mind
set dalam menangani perkara anak. Jika mengikuti logika peradilan umum, maka
anak akan menjalani masa dicerabut kebebasannya pada institusi berikut:
1) Tahanan
kepolisian à
pembuatan BAP
2) Tahanan
kejaksaan à
penuntutan
3) Tahanan
pengadilan negeri à
pengadilan tingkat pertama
4) Tahanan
pengadilan tinggi à
pengadilan tingkat banding
5) Tahanan
Mahkamah Agung à
pengadilan tingkat kasasi
6) Pemasyarakatan
à menjalani eksekusi putusan hakim
Selama proses tersebut
berlangsung, realita yang terjadi adalah :
1)
Bercampur
dengan orang dewasa
Anak
yang ditempatkan dalam lembaga penahanan adalah anak-anak yang menjalani masa penahanan
sebelum persidangan atau sebelum perkaranya memiliki ketetapan hukum.Sedangkan
anak yang menjalani seringkali ditahan bersama orang-orang dewasa. Kondisi
Rutan Kebon Waru, menggambarkan situasi ini, anak-anak yang ditahan membaur
dalam satu lingkungan dengan tahanan dewasa. [83]
Kemungkinan pada saat anak-anak menjalani hukuman penjara di lembaga
pemasyarakatan anak-anak juga bercampur dengan narapidana dewasa. Keterbatasan
jumlah lembaga pemasyarakatan anak di Indonesia bisa menjadi pembenar asumsi
ini. Berikut daftar lembaga pemasyarakatan anak di Indonesia (2002):[84]
No.
|
Lapas
|
Propinsi
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
|
Lapas
Anak Medan
Lapas
Anak Tanjung Pati
Lapas
Anak Pekanbaru
Lapas
Anak Muara Bulian
Lapas
Anak Palembang
Lapas
Anak Kota Bumi
Lapas
Anak Pria
Lapas
Anak Wanita
Lapas
Anak Kutoarjo
Lapas
Anak Blitar
Lapas
Anak Sungai Raya
Lapas
Anak Pontianak
Lapas
Anak Martapura
Lapas
Anak Pare-Pare
Lapas
Anak Tomohon
Lapas
Anak Gianyar
Lapas
Anak Kupang
|
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Lampung
Tangerang
Tangerang
Jawa
Tengah
Jawa
Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Selatan
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Utara
Bali
Nusa
Tenggara Timur
|
Keterbatasan
ini tentu menimbulkan pertanyaan besar bagaimana dengan nasib anak-anak yang
berkonflik dengan hukum yang mendiami propinsi, kabupaten dan kota yang tidak
ada fasilitas LAPAS anak ? Mengingat
saat ini jumlah wilayah administrasi di Indonesia yang terdiri dari 33 propinsi, 349 kabupaten, dan 91 kota.[85]
Kondisi ini jelas merupakan ancaman besar terhadap pemenuhan hak-hak anak yang
berperkara pidana.
2)
Mengalami kekerasan fisik dan penyiksaan
Penyiksaan
sebagai salah satu manifestasi tindak kekerasan merupakan bentuk pelanggaran
hak asasi manusia yang berat. Disiplin
hak asasi manusia mengkategorikan hak bebas dari penyiksaan sebagai hak yang
tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-deragable
rigths).[86] Instrumen hukum hak asasi manusia telah
mengatur kewajiban negara untuk melindungi setiap warga negaranya dari
penyiksaan. Bahkan telah diatur dalam
konvensi tersendiri berdasarkan tematic
issue (sui generis).
Dalam
konteks anak yang berada pada institusi negara, yakni LAPAS dan rutan,
kekerasan yang dialami berasal dari sesama penghuni (horisontal) maupun
dilakukan oleh aparat (vertikal). Keduanya bersumber dari ketidaksetaraan
relasi diantara para pihak. Kekerasan horisontal bersumber dari relasi antara
penghuni yang senior (penghuni lama) vs yunior.
Sedangkan kekerasan vertikal anak berhadapan vis a vis dengan pemegang otoritas di lembaga pemasyarakatan. Kedua kekerasan ini berdimensi kekerasan langsung
dan kekerasan kultural. Sedangkan kekerasan vertikal selain berdimensi kekerasan
langsung dan kultural, mempunyai dimensi yang spesifik karena bersinggungan
dengan institusi yang dilekati otoritas.
Praktek-praktek
kekerasan yang terjadi di LAPAS Anak pada dasarnya dipergunakan sebagai
mekanisme tawar menawar untuk mendapatkan “kenyamanan” di penjara. Petugas dan
penghuni berkolaborasi dalam menjalankan bisnis jasa keamanan. Artinya untuk
mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan dan mendapatkan fasilitas di
penjara, orang tua anak harus membayar sejumlah uang. Realita berikut menjadi fakta bahwa kekerasan
memang didesain oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam perspektif hak asasi
manusia kekerasan dan penganiayaan di lembaga pemasyarakatan merupakan
pelanggaran hak anak yang dilakukan melalui tindakan (act by commission) maupun pembiaran (act by ommission). Kekerasan yang dilakukan oleh negara di atas,
tidak terlepas dari legitimasi yang diberikan oleh UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 47 ayat (1) kepada petugas LAPAS. Pasal tersebut menyatakan Kepala LAPAS
berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan
ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya. Ketentuan ini akan memberikan wilayah diskresi yang luas terhadap petugas
LAPAS memberikan hukuman dengan dalih
menegakkan disiplin dan tata tertib LAPAS.
Bahkan sampai saat ini bentuk-bentuk penghukuman yang tidak manusia dan
menghina martabat anak masih sering dipraktekkan. Hukuman isolasi diruang
tertutup masih digunakan sebagai alat mendisplinkan penghuni LAPAS. Bagi para
penghuni LAPAS baru dimasukkan ruang
karantina untuk proses adaptasi.
IV. Penutup
Kekerasan
oleh negara terhadap anak yang menghadapi sistem peradilan pidana anak
berdasarkan paparan di atas. tidak terlepas dari berbagai faktor berikut :
1)
Tidak
jelasnya arah politik hukum Pemerintah RI dalam mengimplementasikan ketentuan
hukum hak asasi internasional yang telah diratifikasi. Ketidakjelasan ini
diterjemahkan dalam produk hukum yang secara substansif malah bertentangan dengan sumber rujukan
yuridisnya. Pertentangan ini salah
satunya bersumber dari dianutnya paradigma perspektif partikularisme pembuat
undang-undang dalam memaknai hak asasi manusia. Paradigma yang dikedepankan
Negara Indonesia memiliki perspektif yang lain dalam memaknai hak asasi manusia
yakni bersumber pada budaya bangsa Indonesia
2)
Substansi
produk hukum yang menyimpang tersebut, pada akhirnya dijadikan rujukan bagi
aparat penegak hukum dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam menegakkan
sistem peradilan pidana anak. Akibatnya
terjadi praktek-praktek pelanggaran hak anak yang sistematis dan terstruktur.
V. Rekomendasi
1)
Implementasi hukum hak asasi internasional tidak cukup
hanya pada ranah substansi hukum, namun ranah tata laksana (struktur) hukum dan
ranah budaya hukum juga perlu mendapatkan perhatian yang sama. Namun demikian amandemen produk hukum yang
mengimplementasikan instrumen hukum internasional yang secara substansi masih
menyimpang perlu dilakukan segera.
Langkah ini sangat signifikan untuk merubah praktek-praktek aparat
penegak hukum yang bertanggungjawab dalam mewujudkan sistem peradilan pidana
anak.
2)
Mengadopsi konsep restorative
justice dalam suatu produk hukum yang mengatur secara khusus sistem
peradilan pidana anak
3)
Menaikkan anggaran publik yang layak yang secara khusus ditujukan untuk memenuhi
hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum
4)
Memperbanyak lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan anak
sesuai dengan jumlah kabupaten/kota di Indonesia
5)
Membuat mekanisme pengawasan dan sanksi hukum bagi semua
aparat yang bertanggungjawab dalam mewujudkan sistem peradilan anak berbasis
hak asasi anak
[1] Disampaikan sebagai bahan
masukan bagi upaya penyusunan Laporan Alternatif (Inisiatif) Implementasi
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang
dikoordinasi oleh HRWG
[2]
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System)
di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, hal. I
[3] Tim Analisa Situasi dalam Kata Pengantar, ibid, hal. ii-iii
[4]
Lihat Pasal 40 ayat (1) KHA
[5]
General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985
[6]
Pemerintah Republik Indonesia
telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
[7]
Lihat KHA Pasal 37, 39 ,dan 40
[8]
Judth Enew, Difficult
Circumstances:Some Reflections on “Street Children” in Africa , Children, Youth and Environments
13(1), Spring 2003, hal. 7 - 8
[9]
Myles Ritchie, CHILDREN IN ‘ESPECIALLY DIFFICULT CIRCUMSTANCES’:
CHILDREN LIVING ON THE STREET. CAN THEIR SPECIAL NEEDS BE MET
THROUGH SPECIFIC LEGAL PROVISIONING?
CONSULTATIVE PAPER PREPARED FOR THE SOUTH AFRICAN
LAW COMMISSION, 1999, hal. xii
[10]
Wanjku Kaime-Atterhög, The Social Context
of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC), ESCAP HRD Course
on Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited
Children and Youth, tanpa tahun, hal. I-
6, 7
[11]
ibid
[12]
Haji N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum
Bagi Orang yang Didakwa Melakukan
Kejahatan, dalam Hak Sipil dan
Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta, Elsam, 2001,
hal. 180
[13]
Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan,
hal. 128
[14]
Pemerintah Republik Indonesia
telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
[15]
Interpretasi yang digunakan dalam
laporan alternative ini adalah
interpretasi sistematis dan ekstensif. Interpretasi yang pertama adalah
penafsiran yang mengkaitkan suatu ketentuan konvensi dengan ketentuan konvensi
lainnya, sedangkan yang kedua penafsiran dengan memperluas cakupan suatu
ketentuan. Selain itu interpretasi
komparatif dipergunakan untuk melengkapi interpretasi kedua interpretasi tersebut. Interpretasi
komparatif ialah penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu
sistem hukum dengan peraturan yang ada pada sistem hukum yang lainnya. Lihat
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum
dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung ,
CV. Utomo, 2006, hal. 213-214
[16]
Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem
Peradilan Pidana Terpadu, 2003, www.pemantauperadilan.com
[17]
ibid
[18] Samuel Gultom, Mengadili
Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, Jakarta, Elsam,
2003, hal. 7-8
[19]
Paparan Rafendi Djamin dalam Pelatihan Advokasi Step by Step, YPHA, 2006
[20]
Haji N.A. Noor Muhammad, op. cit., hal.
183
[21]
Lihat Mukadimah KHA : Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal HAM, Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan
bantuan khusus. Kemudian mengingat bahwa
seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, "anak, karena
alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan
pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan
juga sesudah kelahiran. Lebih lanjut Pasal 2 menegaskan :
(1). Negara-negara Pihak harus menghormati dan
menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang
berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa
menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik
atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta
kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak
atau wali hukum anak.
(2). Negara-negara Pihak harus mengambil semua
langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk
diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang
diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota
keluarga anak.
[22]
Menurut HumanRights Reference disebutkan,
bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees,
b, Internally
Displaced Persons (IDPs);
c. National
Minorities, d. Migrant Workers;
e. Indigenous
Peoples, f. Children;
dan g. Women.
Lihat Iskandar Hoesin, PERLINDUNGAN
TERHADAP KELOMPOK RENTAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA, Makalah
Disajikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003,
Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003.
[23]
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk, mengutip Robert
C. Trajanowics and Marry Morash, dalam Juvenile Delinquency : Concept and Control,
op. cit, hlm. 2
[24]
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk, mengutip Harry
E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction
in America : An Introduction, ibid
[25]
Mappi FHUI, loc. cit
[26]
Lihat mukadimah KHA yang menyatakan : Mengingat bahwa kebutuhan untuk
memberikan pengasuhan khusus kepada anak, telah dinyatakan dalam Deklarasi
Jenewa mengenai Hak-hak Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-hak Anak yang
disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam
Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama
pasal 10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen yang relevan dari
badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang memperhatikan
kesejahteraan anak,
[27]
Lihat paragraph 11 butir b Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang
Kehilangan Kebebasannya menegaskan bahwa menghilangkan kebebasan berarti bentuk
penahanan atau hukuman penjara ataupun penempatan seseorang pada suatu tempat
penahanan, di mana orang tersebut tidak diperkenankan pergi sesukanya, atas
perintah sesuatu pihak kehakiman, administratif atau pihak umum lainnya.
[28]
Lihat Pasal 1 KHA yang menyatakan bahwa untuk tujuan-tujuan Konvensi ini,
seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali
menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.
[29]
OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE
INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION, HUMAN RIGHTS IN THE ADMINISTRATION OF JUSTICE: A Manual on
Human Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers UNITED NATIONS New York and
Geneva, 2003, hal. 441
[30]
Hal yang patut dicatat meskipun kedua instrumen Hukum Hak Asasi Manusia ini
bersumber pada konvensi/perjanjian internasional, namun manakala Pemerintah Indonesia meratifikasi kedua
instrument tersebut menggunakan instrumen hukum dengan derajat yang berbeda. KHA melalui Keputusan Presiden, sedangkan Kovenan Hak
Sipil dan Politik melalui Undang-Undang. Perbedaan ini akan berimplikasi secara
hukum pada saat mengimplementasikan KHA dalam tataran operasionalisasi. Dalam legislative drafting, KHA tentu saja
tidak dapat dijadikan sebagai konsideran hukum, sebagai contoh UU Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak mencantumkan KHA sebagai landasan
hukum pembuatan undang-undang ini. Kedua dalam tataran praktek, hakim jarang
menggunakan KHA karena derajatnya hukumnya lebih rendah ketimbang UU Perlindungan Anak. Asas hukum lex superior derogat lege inferiori
dapat menjadi amunisi hakim untuk mengesampingkan KHA.
[31] Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi KHA
melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
[32]
Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation
Handbook for The Convention on The Rigts of The Child, UNICEF, New York , 1998, hal. 39
[33]
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk menyitir Stewart
Asquith, Children and Young People in Conflict with the Law, op.
cit., hlm. 72
[35]
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk menyitir John
Muncie, dalam Youth and Crime : A
Critical Introduction, ibid, hal.
73
[36]
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk menyitir Stewart
Asquith, ibid, hal 74
[37]
Ruben Achmad, UPAYA PENYELESAIAN MASALAH ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI
KOTA PALEMBANG, Simbur Cahaya No. 27
Tahun X Januari 2005, hal. 5-6
[38]
Mappi FHUI, op. cit, hal. 12
[39] Khususnya,
pidana mati diberikan dalam ketetapan KUHP berikut: Pasal 104 (Usaha dengan
sengaja menghilangkan nyawa Presiden atau Wakil Presiden atau menghilangkan
kebebasan mereka atau membuat mereka tidak cocok untuk memerintah); 111 (kolusi
dengan kekuatan asing yang mengakibatkan perang); 123 (masuk pelayanan militer
di sebuah negara yang perang dengan Indonesia); 124 (membantu musuh); 127
(penipuan dalam menyampaikan bahan-bahan militer pada saat perang); 140
(pembunuhan berencana terhadap kepala negara dari negara sahabat); 340
(pembunuhan dengan sengaja dan terencana); 365 (pencurian yang mengakibatkan
kematian); dan 444 (pembajakan yang mengakibatkan kematian seseorang). Undang-undang berikut juga berisi ketetapan yang
memperbolehkan pidana mati sebagai hukuman maksimum: Undang-undang Darurat No.
12/1951; KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer); Undang-undang No.
5/1997 tentang Obat Psikotropik; Undang-undang No. 22/1997 tentang Narkotika;
Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; dan Undang-undang No. 15/2003
tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme. Lihat Amnesty
International, Indonesia Urusan Tentang Pidana Mati, 2004, hal. 3-4
[40] UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat
(1) menggunakan legal term barang siapa.
Pasal tersebut menyatakan bahwa Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, alat menukar
narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak RP. 1.000.000.000,00 (satu miyar rupiah);
[41] Lihat Pasal 47 ayat (2) yang menyatakan jika perbuatan
itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Ketentuan serupa juga terdapat pada RUU KUHP
Pasal 126 ayat (3) yang menegaskan
jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana yang
dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
[42] Amnesty Internationa, op. cit. hal. 11
[43]
Padahal Pasal 2 menyatakan bahwa Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak, di mana salah satu
prinsipnya adalah hak untuk hidup dan kelangsungan hidup anak.
[44]
Yang dimaksud kekerasan negara adalah ketika penggunaan kekerasan melalui
instrument represi itu dilakukan di luar kewenangan negara, dan yan menjadi
batas kewenangannya adalah kebebasan individu berikut hak-hak turunannya yang
sebagain besar terangkum dalam instrument Hak Asasi Manusia Internasional.
Lihat Samuel Gultom, op. cit. hal. 8
[45]
Praktek pembenaran mengacu pada proses persidangan pengadilan pidana anak yang
masih menjadikan instrument hukum pidana yang bertentangan dengan norma hukum
hak asasi manusia internasional sebagai landasan hukum dalam proses tersebut.
Mengadopsi pemikiran Samuel Gultom, ibid
[46]
Lihat Pasal 1 angka 1
[47]
Lihat Pasal 1 angka 2
[48]
Pandangan Komite atas Laporan Negara Indonesia berdasarkan Ketentuan Pasal 44 KHA pada
siding Komite yang ke-35. Lihat paragraph
77 dan rekomendasinya pada paragraph 78
[49]
Sumaryo Suryokusumo, Aspek Moral dan
Etika dalam Penegakan Hukum Internasional, Seminar Mengenai Pembangunan Hukum Nasional VIII,
Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14 -18 Juli 2003
[50]
Melani, Setop Penayangan
& Hindari Pemenjaraan Anak, www.pikiran
rakyat.com/cetak/0603/16/teropong
[51] Mappi FH UI, Pengadilan Anak, www.pemantauperadilan.com
[52] Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, op.cit, hal. 74
[53]
supra catatan kaki no. 2
[54]
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk menyitir Stewart
Asquith, op.cit, hal. 84
[55]
Pasal 30 ayat (1) menyatakan di bidang
pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b.
melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c.
melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.
melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.
melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
[56]
Vermont Agency of Human Services, Promoting
Youth Justice Through Restorative Alternatives Planning
Division September, 2003 . Konsep restorative
justice dalam sistem hukum Indonesia
dapat ditemui dalam UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Undang-undang ini
mengadopsi penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu di luar pengadilan (out court system)
[58]
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Lihat Pasal 1
angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
[59]
Berdasarkan UU
Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 angka 8 mengkategorikan anak didik pemasyarakatan menjadi 3 (tiga) :
1.
Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
2.
Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan
pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
3.
Anak Sipil yaitu
anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun.
[60]
Butir 66 Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya,
menyatakan bahwa Tindakan-tindakan dan
prosedur-prosedur penghukuman apa pun harus mempertahankan kepentingan keamanan
dan kehidupan masyarakat yang teratur dan harus konsisten dengan penghormatan
martabat yang melekat pada anak itu dengan tujuan dasar pengasuhan pada
fasilitas pemasyarakatan, yaitu menanamkan ras keadilan, harga diri dan
penghormatan bagi hak-hak asasi dasar setiap orang.
[62]
www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124.htm
[64]
Ruben Achmad, op.cit, hal.8
[65]
Ariffani, Anak Nakal: Dari Terminoligi
sampai Implementasi, Majalah Kalingga, Edisi November-Desember 2003, PKPA-UNICEF,
hal. 8
[66]
www.unicef.org/indonesia/id/protection_3146.html
[67] Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) yaitu kekerasan
langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung
adalah sebuah peristiwa (event); kekerasan struktural adalah sebuah
proses; sedangkan kekerasan kultural adalah
sesuatu yang bersifat permanen. Kekerasan langsung mewujud dalam
perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan
struktur atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam konteks, sistem, dan
struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan
kesehatan. Kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang
dianut dalam masyarakat misalnya ,kebencian, ketakutan, rasisme, seksisme, ketidaktoleranan. Johan Galtung, Studi Perdamaian :
Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya , Pustaka Eureka, 2003, hal. 438
[68]
Ruben Ahmad, op.cit
[69]
Sulaiman Zuhdi Manik, Anak yang Berkonlik
dengan Hukum : Antara Hukuman dan Perlindungan, dalam Majalah Kalingga, op. cit, hal. 2
[70]
Pasal 28 ayat ( 1) UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Lihat pula Butir 6.1. Bejing Rules
yang menyatakan mengingat
kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak-anak maupun keragaman
langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi kebebasan untuk
membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses peradilan dan pada
tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan,
penuntutan, pengambilan keputusan dan peraturan-peraturan lanjutannya.
[71]
Armada Riyanto positivisme pada kata latin ponere-posui-positus yang
berarti meletakkan, memaksudkan bahwa
tindakan manusia itu adil atau tidak, sepenuhnya bergantung pada peraturan atau
hukum yang diberlakukan. Lihat, Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang , Bayumedia, 2006, hal. 86
[72]
Nancy D. Erbe, Appraising Surge in Legal Scholarship Regarding Restorative Justice and Discovering Lenses to the South: Is Global Criminal Justice Necessarily Different Than United States Ideal?,
Straus Institute for Dispute Resolution,
Pepperdine University School of Law, 2005, hal.14
[75] ibid
[76]
www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124.htm
[77]
ibid
[78]
www.kompas.com/kompas-cetak/0411/26/muda/1400764.htm
[79]
Penjelasan butir ini
menyatakan beberapa perlindungan dasar yang mencakup pelanggar-pelanggar hukum
berusia anak yang ditahan di lembaga-lembaga pemasyarakatan terkandung dalam
Peraturan-Peraturan Minimum Standar bagi Perlakuan terhadap Narapidana
(penginapan, arsitektur, perlengkapan tempat tidur, pakaian,
pengaduan-pengaduan dan permohonan-permohonan, kontak dengan dunia luar,
makanan, perawatan pengobatan, ibadah keagamaan, pemisahan berdasarkan usia,
susunan petugas, pekerjaan, dll.). Tidak akan layak merubah peraturan-peraturan
minimum standar itu menurut ciri-ciri khusus dari lembaga-lembaga
pemasyarakatan pelanggar-pelanggar hukum berusia anak di dalam lingkup
peraturan-peraturan hukum berusia anak di dalam lingkup Peraturan-Peraturan
Minimum Standar bagi Administrasi Peradilan bagi Anak.
[80] Manfred Nowak, Hak
ata Pendidikan dalam Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, Jakarta,
Elsam, 2001, hal. 212-213
[81] www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124/html.
[82] www.kompas.com/kompas-cetak/0411/26/muda/1400764.htm
[83]
www.kompas.com/kompas-cetak/0411/26/muda/1400764.htm
[85] http://id.wikipedia.org/wiki/Jumlah_Wilayah_Administratif_di_Indonesia
[86]
Lihat Pasal 4 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar