Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 15 September 2014

Keteladanan dalam Memberantas Korupsi

Usai dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung mengangkat kapak perang terhadap korupsi . Ia memulai dari dirinya sendiri. Dia lepas seluruh kekayaannya, termasuk kuda-kuda Persianya, perkakas rumah tangga, sampai minyak wangi di sudut almari. Semua lalu dijual seharga 23.000 dinar (setara 10 miliar), kemudian diserahkan sepenuhnya ke Baitul Maal (Ibnu Sa’ad dalam Kitab Thabaqat, Jilid V hal.330).

Sebagai menantu mantan Khalifah Abdul Malik, Umar merasa hartanya yang diperoleh dari berdagang, tetap tidak steril dari pengaruh kekuasaan sang mertua. Maka, dengan sifat zuhudnya, dia tak merasa berhak memilikinya saat diangkat menjadi khalifah.

Setelah itu, Umar menoleh pada isterinya, si cantik putri mantan Khalifah Abdul Malik. “Dinda, engkau boleh memilih mengembalikan perhiasanmu ke Baitul Maal atau ijinkan aku berpisah darimu. Sebab aku tidak akan tahan terhadap panasnya hartamu itu, “ kata Umar.

“Suamiku, seandainya aku memiliki perhiasan yang jauh lebih banyak dari ini sekalipun, aku akan tetap memilihmu, “ jawab sang isteri sambil menyerahkan semua perhiasan yang dia kenakan dan simpan.

Selanjutnya, Umar menyita semua tanah garapan dan mencabut hak-hak istimewa Bani Umayyah, yang dia curigai diperoleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Begitulah, keteladanan dan ketegasan Umar bin Abdul Aziz mengantar negeri Islam menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

Maka, pada 10 Februari 1976, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa hidup sederhana. Salah satu anjuran dalam fatwa itu kepala negara adalah memberatkan hukuman atas tindak pidana korupsi dengan perundang-undangan seperlunya, antara lain dengan usaha memasukkan Hukum Pidana Islam.

Alangkah indahnya bila tingkah pejabat negeri seelok laku penguasa Islam Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun, Yusril Ihza Mahendra benar ketika mengatakan ia lebih percaya kepada sistem ketimbang manusia. Kalau ada sistem yang kuat, orang jahat tak dapat mewujudkan niat jahatnya. Contohnya, orang Jakarta jika tingal di Singapura seminggu saja, tepaksa akan menjadi orang disiplin. Karena Singapura punya sistem kuat. Siapa melawan sistem, akan digilas oleh sistem itu. Syarwan Hamid, mantan Mendagri itu, pernah kepergok merokok di dalam lift di Singapura dan langsung kena denda. Lha kalau di sini?

Islam pun bukan sistem yang hanya bertopang kepada kesadaran dan ketaqwaan individu. Islam juga ditegakkan dengan kepedulian masyarakat dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menyuruh pribadi-pribadi pelaku korupsi untuk bertaubat dan menyerahkan kembali harta curang hasil korupsinya kepada negara atau rakyat yang dirugikan, serta melarang yang bersangkutan menempuh jalan buruk dengan berkelit di balik prosedur hukum formal adalah salah satu bagian dari tindakan amar ma’ruf nahi munkar.

Abdurrahman Al Baghdadi dalam Hukmul Islam fi malil Ghulul minal Hikkam wa Muwazhzhafid Daulah mengatakan, kekayaan gelap pejabat adalah kekayaan yang diperoleh para penguasa, para kepala daerah dan para pejabat lainnya secara tidak sah, baik yang berasal dari kekayaan negara maupun penduduk. Harta kekayaan gelap itu harus dikembalikan kepada pemiliknya jika diketahui dengan jelas. Jika tidak, maka disita dan dimasukkan ke Baitul Maal.

Mengemban amanah tersebut, Nabi Muhammad Saw mengejar harta korupsi itu hingga ke liang kubur. Memang, beliau wanti-wanti, jangan menyebut orang yang sudah meninggal kecuali kebaikan-kebaikannya. Namun demi hukum, ada pengecualian dari larangan tersebut. Itu karena penguasa benar-benar serius mengejar harta korupsi pejabat. Ia tak ingin menjadi ustadz di kampung maling.

Sumber:
http://www.lazisnu.or.id/artikel/detail/tafakur/10/keteladanan-dalam-memberantas-korupsi.html

Wajah Multikulturalisme Pesantren


Judul Buku: Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren
Penulis: Dr. Abdullah Aly, M. Ag
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: xvi + 368halaman
Peresensi: Supriyadi *)

Dalam praktik pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar yang bernaung pada lembaga pendidikan, kerap kali terjadi diskriminasi yang diakibatkan oleh berbagai perbedaan. Di antara perbedaan tersebut adalah perbedaan kultur, agama, etnis, ras, dan lain sebagainya bahkan hingga perbedaan umur dan gender. Tidak jarang pula berbagai perbedaan tersebut berpengaruh pada proses pendidikan. Akhirnya, dalam hal itu terjadilah kesenjangan.
Sebagai sebuah solusi, pendidikan multikultural menawarkan pendidikan yang tidak melihat berbagai perbedaan tersebut, melainkan penghargaan segala perbedaan. Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajarmenjadi efektif danmudah.Ruh atau esensi dari pendidikan multikultural itu sendiri adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Dengan demikian, fungsi dan tujuan dari pada pendidikan multikultural itu adalah melatih dan membangun karakter para peserta didik agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh realitas kehidupan yang diskriminatif di Amerika Serikat. Oleh karena itu, muncullah gerakan hak-hak sipil yang memperjuangkan anti diskriminasi. Gerakan tersebut dikarenakan adanya praktik-praktik kehidupan yang diskriminatif, baik di tempat-tempat publik, di rumah-rumah, di tempat-tempat kerja, hingga di berbagai lembaga pendidikan.

Praktik kehidupan yang diskriminatif ini terjadi karena selama tahun 1950-an, Amerika hanya mengenal kebudayaan yang dominan dan mayoritas, yaitu kebudayaan kulit putih. Sementara golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka. Padahal secara faktual, Amerika ketika itu dihuni oleh penduduk yang beragam asal-usulnya (hlm. 88).

Menguatnya gerakan-gerakan anti diskriminasi tersebut menjadi tonggak sejarah konsep multikulturalisme dalam pendidikan. Namun demikian, jauh sebelum zaman tersebut, telah terjadi pendidikan multikultural di dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu tercermin dari berbagai lembaga pendidikan yang peserta didiknya berasal dari berbagai etnis, agama, umur, ras, dan lain sebagainya. Bahkan orang-orang Eropa pun menekuni ilmu pengetahuan di Timur (Islam) ketika Dinasti Abbasiyah berada pada puncak kejayaannya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan).

Dalam konteks Indonesia era kini, pendidikan multikultural juga perlu diaplikasikan. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bernuansakan agama (Islam). Dalam implementasi pendidikan di pesantren, suasana multikultural sangat lekat. Di dalam sebuah pesantren, terdapat berbagai para peserta didik yang beragam. Dalam pesantren, terdapat para peserta didik yang berbeda-beda, baik dari segi etnis, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur.

Berbagai perbedaan tersebut sangat mampu dihargai oleh pesantren. Meski demikian, dalam pesantren tersebut hanya ada satu keragaman dalam beragama, yakni Islam. Multikulturalisme di pesantren hanya tidak menjangkau dalam ranah agama karena terkait dengan tujuan pesantren itu sendiri yang mengajarkan agama Islam. Meski demikian, justru agama bisa dijadikan media sebagai pembelajaran pendidikan multikultural secara teoretis dan pembekalan terhadap para peserta didik terhadap sikap yang demokratis, humanis, dan pluralis.

Walaupun mono-agama, pesantren sangat terbuka dengan berbagai perbedaan. Di dalam pesantren, terdapat berbagai peserta didik dari berbagai daerah yang membawa adat-istiadat mereka masing-masing ke pesantren. Berbagai umur peserta didik pun tidak dipermasalahkan dalam pesantren. Apalagi pesantren tradisional yang benar-benar menekankan kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Sementara ajaran agama (Islam) juga mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan anti diskriminasi. Dengan demikian, agama menjadi media dan alat untuk mengajarkan pendidikan multikultural.

Dr Abdullah Aly, MAg telah melakukan penelitian terhadap aplikasi pendidikan multikultural dalam sebuah pesantren, yakni di Pesantren Modern Islam Assalam, Surakarta. Dalam kesimpulannya, dinyatakan bahwa dalam dokumen kurikulum pesantren tersebut memuat nilai-nilai multikultural dan nilai yang kontradiktif terhadap nilai-nilai multikultural sekaligus (hlm. 338).

Penelitian yang dilakukan oleh Dr Abdullah Aly, MAg tersebut termaktub dalam buku yang berjudul “Pendidikan Islam Multikultural Pesantren”. Dengan membaca buku tersebut, para pembaca diajak untuk menjelajahi dunia pendidikan di pesantren yang berbasis agama Islam. Meskipun penelitian pada sebuah pesantren, hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur secara mutlak dalam referensi kepesantrenan dan multikulturalisme pesantren secara universal karena masing-masing pesantren yang ada juga memiliki berbagai karakteristik. Paling tidak, wajah multikulturalisme pesantren sedikit tersibak.

Akhirnya, pendidikan multikultural sangat perlu diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia. Telah kita ketahui bahwa di Indonesia ini terdapat berbagai etnis, agama, ras, dan berbagai perbedaan lainnya yang ada dari Sabang sampai Merauke. Untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, implementasi pendidikan multikultural sangat solutif.

Sumber:
http://www.lazisnu.or.id/artikel/detail/buku-pilihan/12/wajah-multikulturalisme-pesantren.html

Kamis, 11 September 2014

Iman dan Layanan Sosial

SETIAP orang pasti tidak suka kalau jatuh martabat dan rugi. Bukan saja sekedar tidak suka, melainkan sangat-sangat tidak suka. Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, manusia merupakan makhluk yang paling baik, paling lengkap, paling luhur keterciptaannya dibandingkan dengan makhluk yang lain ( At-Tin [95]: 4).

Hanya manusia yang memiliki hubungan antara badan kasar dengan pikirannya, hubungan antara badan kasar dengan perasaannya, dan hubungan antara badan kasar dengan keyakinannya. Jika pikirannya (inteligensinya) berjalan normal, maka sehat badan kasarnya, jika perasaannya (emosinya) terganggu, maka terganggulah kesehatan badan kasarnya, dan jika lurus dan kuat keyakinannya (spiritualnya), maka tampak tegar penampilan hidupnya. Kebenaran hubungan-hubungan ini semuanya dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, benar kalau dikatakan bahwa manusia itu memiliki martabat yang paling baik, paling lengkap dan paling luhur kalau dibandingkan dengan makhluk lain. Seperti makhluk hewan (hayawanat), makhluk tumbuh-tumbuhan (nabatat), dan makhluk benda beku (jamadat: benda padat, cair, dan gas)

Sungguhpun demikian, Allah SwT juga mengingatkan, bahwa manusia itu pada hakikatnya merupakan makhluk yang “mudah lupa”, yang karena itu disebut dengan istilah insaan (At-Tin [95]: 4). Lupa tentang apa? Pertama, lupa terhadap hal-hal yang remeh dan memang hal-hal yang remeh tersebut tidak perlu dingat-ingat. Contoh: lupa tentang berapa kilogram beras yang telah dimakan selama ini, berapa ribu liter air yang pernah melalui kerongkongannya, berapa ribu meter kubik udara yang pernah lewat paruparunya, berapa ribu kilometer kakinya telah dipakai untuk berjalan, berapa ribu jam tidur yang telah dialaminya, dan berapa liter urine yang telah dikeluarkan selama ini. Kedua, lupa terhadap hal-hal yang penting yang kalau hal-hal tersebut dilupakan, maka seseorang lalu dinilai melenceng dari tata nilai (benar menjadi salah, baik menjadi buruk, indah menjadi jelek, manfaat menjadimudlarat/merusak). Contoh: lupa terhadap

rumus ilmu, lupa terhadap berbakti kepada orangtua, lupa terhadap kerapihan, dan lupa menjaga diri dari minum minuman keras. Ketiga, lupa terhadap hal yang mutlak penting yang kalau sampai ditinggalkan,

maka seseorang akan kehilangan pegangan hidup. Dalam hal ini adalah jika lupa terhadap Tuhan. Jika sifat “lupa” ini, khususnya lupa yang kedua dan ketiga, sampai dikerjakan dengan sengaja oleh seseorang apalagi dibiasakan maka menurut Al-Qur’an, orang semacam itu akan dijatuhkan martabatnya oleh Allah SwT ke martabat serendah-rendahnya, (At-Tin [95]: 5).

Sekalipun sebagian ulama tafsir memaknai kata-kata “asfala safilin” itu dengan pengertian “neraka”, namun dalam tulisan ini penulis lebih cenderung memaknai kata-kata tersebut sebagai kejatuhan martabat di atas. Selanjutnya, manusia juga sangat tidak suka terhadap apa yang disebut rugi. Semua manusia sangat senang kalau merasa memiliki untung. Hakikat untung di sini adalah bertambah, sedangkan hakikat rugi adalah berkurang, dalam arti berkurang dari apa yang diinginkan untuk dimiliki. Contoh: Orang merasa sangat senang kalau bertambah kekayaan ilmunya atau makin tajam analisanya, orang akan merasa sangat senang kalau bertambah tinggi pangkatnya atau kuat kekuasaannya, orang akan sangat senang kalau bertambah kekayaannya, orang akan sangat senang kalau bertambah sehat atau kebugaran tubuhnya, dan sebagainya. Tetapi, lagi-lagi manusia diingatkan Al-Qur’an, bahwa dirinya selalu diberi cobaan penyakit “lupa” di atas. Sebab, ayat Al-Qur’an yang berbicara dalam konteks masalah “rugi” ini juga memakai kata “insaan” ketika menyebut dunia manusia (Al-’Ashr [103]: 2). Jadi, kalau sampai manusia menjadi “lupa” (lupa model, kedua dan ketiga di atas), maka manusia tersebut pasti akanmengalami apa yang disebut “rugi”.

Bagaimana jalan keluarnya agar manusia tidak turun martabatnya dan sekaligus tidak rugi? Jawabannya adalah: beriman dan beramal shalih (At-Tin [95]: 6; Al-‘Ashr [103]: 3).

Dalam konteks pembicaraan ini, beriman di sini inti artinya adalah seluruh tindakan manusia diniatkan hanya untuk beribadah kepada Allah SwT (Adz-Dzariyat [51]: 56).

Ini artinya, bekerja karena niat beribadah, menghormati orang lain karena niat beribadah, menolong orang lain karena niat beribadah, berhemat juga karena berniat ibadah, dan sebagainya. Katakanlah, ketika bergerak di permukaan planet bumi ini dalam kesehariannya senantiasa dicantolkan kepada “Yang di Atas” (Allah SwT). Kalau itu dilakukan, akan aman, benar, baik, indah, dan bermanfaat dalam arti yang sebenar-benarnya.

Selanjutnya, beramal shalih di sini inti artinya adalah lebih banyak memberi daripada meminta. Jadi, lebih banyak memperhatikan “orang lain” daripada sekadar memuaskan kepentingan “diri sendiri”. Ini artinya, melayani orang lain atau layanan sosial jauh lebih menjadi perhatian daripada melayani untuk diri sendiri (layanan untuk diri pribadi). Bukti-bukti simbolik dalam peribadatan yang diajarkan agama Islam cukup banyak. Sebagai contoh, dalam ibadah shalat. Ketika memulai shalat, seorang Mukmin yang mengerjakannya senantiasa memulainya dengan menyebut “takbir”, Allahu akbar; ini adalah urusan vertical (hablun mina-’l-laah). Ketika mengakhiri shalat, seorang Mukmin menyebut ucapan “salam”, assalamu ’alaikum wa rahmatullah: ini adalah urusan horizontal (hablun mina-’n-naas). Ucapan “salam” ini pada hakikatnya adalah “memberi”, bukan ingin “diberi”. Ini artinya, bahwa anjuran “memberi” merupakan tema besar dalam keseharusan dalam hidup secara sosial ini. Atau dengan lain kata, layanan sosial tidak lepas dari sifat pokok bagi seseorang yang mengatakan “dirinya beriman”. Iman dan layanan social bagaikan dua wajah dalam sekeping koin.

Agama Islam tidak mengajari untuk cenderung ekstrem) pada salah satu sisi dari dua wajah tersebut. Pahala dan harga manusia beriman bisa terukur lewat layanan sosialnya.

Wallaahu a’lam bishshawaab.l



Oleh: Dr. Muhammad. Damami, M.Ag

Sumber:
http://www.lazismu.org/index.php/k2/latest-items-1-column/item/68-iman-dan-layanan-sosial

Mas Priyo dan Keadilan yang Tertunda

Tidak banyak orang yang bersedia untuk bersabar selama kurang-lebih sebelas tahun untuk menunggu kembalinya hak yang terampas. Kalaupun ada, Mas Priyo adalah satu dari ribuan orang, atau bahkan jutaan orang yang bisa dikecualikan. Seorang "kawula alit" (sebutan mas Priyo untuk dirinya, ketika dia menggangap dirinya sebagai rakyat kecil yang tak berdaya). Apa yang terjadi pada Mas Priyo? Inilah yang menarik untuk diceriterakan.

Mas Priyo adalah salah seorang aktivis masjid di sebuah kampung kecil di sudut kota Yogyakarta. Tidak banyak yang kenal dengan dirinya, kecuali para jamaah masjid yang memang rajin hadir dalam shalat jamaah dan pengajian rutin mingguan Selasa Pagi, utamanya para ustadz yang secara rutin memberikan siraman ruhani pada jamaah pengajian di masjid itu. Dan, tentu saja pengurus (takmir) masjid yang sehari-hari bergelut dengan persoalan kemasjidan di kampung itu, sangat mengenalnya.

Penunggu masjid yang satu ini adalah orang yang hidupnya sangat sederhana, namun di tengah kesederhanaannya sekaligus ia adalah seseorang yang mampun bersikap qana'ah. Ia tak pernah mengeluh dengan keluhan yang terkesan meminta belas-kasihan. Kalaupun pernah mengeluh, dia hanya mengeluh soal dirinya yang tak kunjung bisa beribadah dengan khusyu. Ia rindukan kekhusyuan shalat dan seluruh ibadahnya dalam kesehariannya, dan yang terpenting menurutnya adalah: bisa melaksanakan shalat jamaah di masjid dengan tepat waktu. Dan dengan wajah berseri selalu dia katakan: hari ini saya benar-benar puas, karena bisa melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah dengan tepat waktu. Satu hal yang juga ditanyakan oleh Mas Priyo: Di manakah keadilan, dan kapan datangnya?

Menurut hasil bacaan Mas Priyo, Islam menyeru manusia untuk menegakkan keadilan dalam setiap sikap dan perbuatan. Para Rasul pun diutus ke tengah kaum atau bangsanya juga untuk menegakkan keadilan. Nabi Muhammad saw, misalnya, ini diutus ke tengah umatnya untuk menegakkan keadilan di tengah kezaliman dan kejahiliyahan bangsa Arab ketika itu. Keadilan menurut pemahaman Mas Priyo harus ditegakkan dalam segala bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun kehidupan politik. Seperti yang tersebut dalam Al-Qur'an: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia (maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. " (Q.s. An-Nisaa [4]: 135).

Dalam sejarah politik umat Islam, menurut bacaan Mas Priyo, kehancuran umat dan pemerintahan Islam dahulu terjadi karena mereka menjalankan kezaliman dan kurang peduli untuk menegakkan keadilan. Misalnya, mereka umat Islam, dan utamanya para pemangku negeri cuma memberi dan menjatuhkan hukuman terhadap rakyat kecil, sedangkan pencuri dari kalangan atas mereka diamkan saja dan dibiarkan terus. Mereka abaikan empat hal yang menjadi indikator terciptanya keadilan.

Pertama, mereka abaikan prinsip muswaha (egalitarianisme); tidak memperlakukan sama atau membedakan seseorang dengan yang lain, karena pertimbangan-pertimbangan subjektif. Termasuk di dalamnya perilaku hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Sang Hakim misalnya yang seharusnya menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, ternyata tidak berbuat semestinya. Mereka tidak cukup bersikap amanah, dan bahkan mengkhianati sumpahnya sendiri. Padahal Al-Qur'an telah mengisahkan tentang dua orang berperkara yang datang kepada Nabi Daud as untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus. Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (Q.s. Shaad [38]: 23), Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan". Mereka tak peduli terhadap pesan moral ayat tersebut, dan bahkan menuruti kemauan hawa nafsunya.

Kedua, mereka abaikan prinsip tawazun (keseimbangan). Mereka rusak keseimbangan diri dan keteraturannya dengan sikap rakusnya. Padahal, Allah telah mengingatkan dengan firmanNya: "Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan dirimu seimbang." (Q.s. Al-Infithar [82]: 6-7). Bagaikan tubuh seseorang manusia, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Demikian juga dengan keseimbangan alam raya bersama ekosistemnya, yang dalam hal ini pun Allah mengingatkan: "Allah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang? " (Q.s. Al-Mulk [67]: 3)

Ketiga, mereka abaikan hak-hak individu dengan tidak memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, bahkan mereka telah banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Hingga banyak orang yang terzalimi tanpa ada perlindungan dari siapapun yang seharusnya melindunginya.

Keempat, mereka abaikan hak Allah terhadap dirinya. Mereka yang seharusnya menjadikan Allah sebagai satu-satu illah (Tuhan yang berhak disembah), justru lebih condong ber-illah kepada yang lain. Mereka lebih taat, patuh, pasrah dan mencintai thagut (memberhalahan sesuatu, termasuk harta dan tahta yang selalu dikejarnya). Padahal Allah telah memberikan peringatan dini dalam Q.s. Ali Imran [3]: 18): Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Para penegak hukumnya pun dengan sangat berani melanggar amanahnya, pada hal Nabi Muhammad saw telah mengingatkan: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di mata Allah berada di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, berada di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla. Yaitu mereka yang berbuat adil ketika menetapkan putusan hukum, dan adil terhadap pengikut dan rakyatnya." (HR Muslim dari Abdullah bin 'Amr).

Pengalaman pribadi Mas Priyo membuktikan bahwa ketidakadilan itu hingga kini masih menjadi fenomena yang setiap hari ia saksikan. Dia, yang telah menunggu hak waris tunggalnya dari kedua orangtuanya yang telah meninggal berupa sebuah rumah tinggal dan beberapa ratus meter tanah pekarangan di desanya, karena ketidakmampuannnya untuk menuntut haknya, karena diserobot oleh sejumlah orang "kuat" yang sebenarnya tidak memiliki hak atasnya. Dia biarkan selama sebelas tahun (seluruh haknya) tersia-siakan. Sampai pada akhirnya bertemu dengan salah seorang pengacara Muslim yang berbaik hati untuk membantu menemukan kembali haknya.

Singkat kisah, setelah berproses di pengadilan, atas jasa sang Pengacara Muslim itu, Mas Priyo mendapatkan seluruh haknya (berupa sebuah rumah tinggal dan beberapa ratus meter tanah pekarangan peninggalan kedua orang tuanya). Dan Mas Priyo, yang dulu tinggal di kamar sempit sebelah masjid, kini tinggal disebuah rumah permanen dan sebidang pekarangannya yang sangat membuat dirinya bahagia.

Dan gumamnya di depan para jamaah masjid, dengan senyum simpulnya, ternyata untuk mendapatkan keadilan yang sempat pergi entah ke mana diperlukan waktu (kurang-lebih) sebelas tahun. Dan mas Priyo semakin yakin dengan nasihat-nasihat para ustadznya yang selalu menasihatinya agar selalu bersikap sabar dan syukur, ternyata sikap sabar dan syukurnya itu, kini telah menuai hasil yang luar biasa.

Selamat Mas Priyo! Begitu saya teriakkan kepadanya. Dan bertepatan dengan happy-ending-nya kisah perjalanan hidup Mas Priyo ini, Alarm HP saya pun berbunyi Krriiing, saatnya menunaikan qiyamullail. Saya pun terbangun. Kontan saya ucapkan alhamdulilah, ternyata dalam tidurku pun Allah masih bersedia menyapaku dengan sebuah kisah perjalanan hidup Mas Priyo yang sangat indah, yang ternyata kini belum pernah saya temui dalam seluruh perjalanan hidup saya. Dari kisah Mas Priyo dalam mimpi saya ini setelah menunaikan qiyamullail, sayapun berdoa kepada Allah dengan penuh harap, mudah-mudahan cerita mas Priyo ini bisa menjadi kenyataan bagi siapa pun yang masih memiliki sikap sabar dan syukur, termasuk bagi diri saya. Insya Allah.



Oleh: MUHSIN HARIYANTO (Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Tidak Tetap STIKES Aisyiyah Yogyakarta)

Sumber:
Majalah SUARA MUHAMMADIYAH nomor : 21/ tahun ke-95/ 1- 15 November 2010.
http://www.lazismu.org/index.php/k2/latest-items-1-column/item/69-mas-priyo-dan-keadilan-yang-tertunda

Kiai Dahlan dan Pencerahan Kemanusiaan

Di tengah praktik hidup hedonis dan korup elit negeri ini, penting dibaca ulang etos gerakan pembaruan di awal Muhammadiyah didirikan Kiai Ahmad Dahlan. Hal itu merupakan hasil penafsiran ulang ajaran yang selama ini dipahami publik bagi gerakan pemberdayaan umat, sehingga bebas penderitaan akibat kemiskinan, ketertindasan, dan kepenyakitan. Pengelolaan ibadah yang bersifat publik dirasionalisasi bagi fungsi sosial, ekonomi, dan budaya. Sekurangnya, menempatkan seseorang pada posisi bermartabat atau ngewongke (memanusiawikan orang). Adalah revolusi mental ketika para ndoro dan priyayi (ingat, Kiai Dahlan adalah seorang abdi dalem, hanya beberapa biji se nusantara) menyediakan diri berbagi harta bagi wong cilik.

Tafsir Al-Maa'un melahirkan pembaruan pengelolaan zakat dan fitrah, ibadah korban, hingga infak dan sedekah untuk membiayai aksi-aksi sosial. Kini telah tumbuh sebagai tradisi sosio-ritual umat bersama tradisi ngaji. Di masa lalu, Kiai memulai dengan anjuran agar seorang Muslim memastikan dua sifat utama: menjadi murid, berarti selalu menyediakan diri menimba ilmu pada siapa pun, sekaligus menjadi guru dalam arti selalu sedia mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Bersamaan itu dikembangkan program "guru keliling"  yaitu penempatan setiap diri aktivis sebagai penganjur Islam yang terus mencari murid di sembarang tempat dan waktu. Program ini kemudian berkembang menjadi tradisi ngaji bersama rasionalitas ibadah pemberdayaan umat.

Ironinya, gagasan dasar pendiri Muhammadiyah itu kurang ditangkap generasi pelanjut yang kini mulai mengambil alih kepemimpinan. Gerakan modernis terbesar itu seolah tersandera produk pembaruan Kiai saat banyak orang yang tidak secara formal mengaku sebagai warga gerakan mulai mengambil posisi strategis dalam berbagai lembaga modern. Sebuah media nasional melaporkan bahwa posisi amal usaha pendidikan Muhammadiyah konon kini tidak lagi berada pada posisi terdepan. Meski laporan itu perlu dicermati mengenai sumber data yang dipakai. Namun bisa jadi gejala itu menjadi bukti transformasi kultural umat negeri ini ke dalam peta gerakan yang dulu dipandang haram seperti pendidikan modern dan berbagai praktik ritual sosial.

Di usia lebih 1 abad waktunya generasi baru gerakan ini melakukan rasionalisasi lebih produktif ibadah bermatra sosial seperti zakat, haji dan kurban menyembelih hewan. Pertanyaan sederhana yang mungkin menyentak basis teologi ialah Apakah ibadah kurban berhenti pada dataran konsumtif; menyembelih hewan lalu memakannya setelah berbagi pada fakir-miskin? Ibadah itu melibatkan dana amat besar yang bisa dikelola lebih profesional dan produktif bagi kepentingan peradaban dan pembebasan umat dari berbagai praktik ketidakadilan dan penderitaan. Soalnya, posisi generasi muda gerakan modernis ini di tengah belitan kemiskinan yang masih menjerat lebih 50 juta umat negeri ini?

Sekedar contoh bisa dihitung besaran dana yang bisa dikumpulkan dari salah satu ibadah berdimensi sosial yaitu ibadah kurban menyembelih hewan di Hari Nahar itu. Di saat Hari Nahar tersebut diperkirakan 3 - 4% (sekitar 7,2 - 9,6 juta orang) warga negeri ini menyerahkan sebagian hartanya untuk membeli hewan guna disembelih. Jika rata-rata yang disembelih adalah hewan setara kambing seharga 1 juta rupiah, maka di Hari Adha itu nilai hewan yang dikurbankan sebesar 7,2 - 9,6 trilyun rupiah.

Nilai daging yang menjadi hak dluafa dan fakir-miskin senilai 2/3 dari 7.2 sd 9,6 trilyun = kurang lebih 4,8 sd 6,2 trilyun rupiah. Banyak program pembebasan belitan kemiskinan yang menyandera umat Islam negeri ini dan dunia dengan uang sejumlah itu yang sudah tentu perlu mempertimbangkan ketentuan syariat. Bea siswa anak-anak keluarga dhuafa dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sesuai kebutuhan warga dhuafa seperti kedokteran dan pertanian. Program pelatihan keterampilan mengolah hasil tani dan nelayan bisa dibiayai dari dana ini. Demikian pula pelatihan dan pembiayaan pedagang kecil, kaki lima, dan pedagang infornal, selain pengembangan perkebunan. Hubungan amil dan dana dluafa itu bisa diatur sesuai prinsip syariah melalui proses ijab qobul penyerahan hak kelola hak dluafa dari pembagian daging kurban.

Melalui rasionalisasi ritual seperti dilakukan Kiai Dahlan seperti tersebut di atas tersedia ruang bagi banyak pihak untuk lebih memahami Islam yang fungsional bagi pemecahan masalah kemanusiaan, bahkan terlibat di dalamnya. Jika dibaca secara jernih kekuatan utama gerakan Muhammadiyah periode awal, ialah etika dan semangat ke-welas-asih-an atas sesama, sikap terbuka dan toleransi. Awalnya, pendukung gerakan ini bukanlah semata-mata datang dari kaum santri, tapi juga orang-orang Belanda, China dan priyayi Jawa. Ketika Dahlan gencar menggerakkan masyarakat membela mereka yang tertindas, terlantar, dan gelandangan, dukungan datang dari berbagai penjuru. Semua itu dilakukan Kiai bukan bermaksud mengubah keyakinan keagamaan, tapi semata hendak menunjukkan ke-welas-asihan berbasis Kitab Suci dan Sunnah Nabi.

Sikap terbuka, toleran dan membela yang menderita dari Kiai Dahlan itulah yang membuat dokter Soetomo, elit priyayi Jawa, salah seorang pemimpin Budi Otomo (berdiri 1908), kepincut gerakan Muhammadiyah. Dokter ini menyebut fokus, asas dan etos utama gerakan itu ialah ke-welasasih-an pada sesama, terutama rakyat kecil yang terancam dan tertindas. Karena itu Soetomo kemudian bersedia menjadi advisor HB (Hooft Bestuur) Muhammadiyah bidang kesehatan. Di sini letak fungsi strategis pembaruan sosial-kemanusiaan Kiai bagi pemberdayaan dan pembebasan umat dari penderitaan kemiskinan struktural tersebut.

Dalam suatu riwayat dikisahkan Nabi Khidzir sedang memberi tausiah Nabi Musa tentang reward (balasan) langsung dari Tuhan. Khidzir berkata: Jika Musa bisa memberi pakaian orang yang telanjang karena tidak bias membeli baju, memberi makan orang yang kelaparan karena tidak bias bekerja memperoleh sesuap nasi, membuat tentram orang yang ketakutan karena terancam dan tertindas, Tuhan akan memberi balasan langsung. Pahala langsung dari Allah tidak diberikan bagi shalat di masjid atau ibadah formal lain, karena ibadah itu sudah merupakan kewajiban bukan perbuatan istimewa yang membutuhkan revolusi mental.

Di zaman terbuka saat agama-agama besar saling berebut pengaruh mencari pengikut sebanyak-banyaknya, tidak jarang memicu konflik disertai kekerasan fisik dan psikis, bisakah pemimpin gerakan Islam mengedepankan ke-welas-asih-an pada sesama tanpa melihat agama dan bangsanya? Jika itu bisa dilakukan, boleh jadi gerakan ini sedang memasuki era baru pencerahan kemanusiaan untuk tidak menyebut agar aktivis gerakan ini tidak lagi merasa tersaingi pengikut-pengikut baru yang tetap tidak bersedia melamar mencari NBM.



Oleh: ABDUL MUNIR MULKHAN (GURU BESAR FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA, KOMISIONER KOMNAS HAM, ANGGOTA DIKTI PP MUHAMMADIYAH 2005-2015)

Sumber:
MAJALAH SUARA MUHAMMADIYAH No. 23 / Tahun ke - 96 / 1-15 Desember 2011.
http://www.lazismu.org/index.php/k2/latest-items-1-column/item/70-kiai-dahlan-dan-pencerahan-kemanusiaan

Menjaga Semangat Berbagi

Salah seorang ulama besar di zaman kejayaan Islam, Imam Hasan al Bashri rahimahullah, ketika ditanya oleh murid-muridnya mengenai ciri-ciri orang yang ibadahnya diterima Allah SWT, menyatakan dengan sebuah kalimat sederhana: “an yakuunaa ahsanu min qoblu”. Artinya, perilakunya (pasca menjalankan ibadah) menjadi lebih baik ketika dibandingkan dengan sebelum melaksanakan ibadah tersebut. Karena itu, tanda apakah ibadah shaum yang kita lakukan selama sebulan penuh diterima oleh Allah atau tidak, sangat ditentukan oleh perilaku kita pasca Ramadhan.

Jika sebelumnya kita sering lalai dalam melaksanakan shalat sebelum Ramadhan, lalu pasca Ramadhan kita menjadi semakin rajin dan bersemangat melaksanakan shalat, maka artinya ibadah shalat dan shaum yang kita laksanakan di bulan suci tersebut insya Allah diterima oleh-Nya. Kita menjadi semakin dekat dengan-Nya sehingga mampu menghadirkan Allah dalam seluruh aktivitas sehari-hari. Karena itu, jika perilaku pasca Ramadhan malah semakin jauh dari ketentuan Allah, kembali pada kemaksiatan dan korupsi, maka menurut Imam Hasan al Bashri, itu adalah tanda tidak diterimanya ibadah seseorang. Na’uudzubillah.

Salah satu ibadah yang perlu dijaga kualitas dan kuantitasnya pasca Ramadhan adalah ibadah zakat, infak dan shadaqah (ZIS). Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa salah satu ibadah yang sangat gencar dilakukan selama bulan Ramadhan adalah ZIS. Dimana-mana kita menyaksikan fenomena masyarakat yang berlomba-lomba untuk saling berbagi. Mulai dari pergiliran jadwal donasi ta’jil setiap hari, santunan anak yatim, penunaian zakat fitrah dan zakat maal, dan aktivitas berinfak serta bershadaqah lainnya. Bahkan kebiasaan berbagi ini pun turut dilakukan pada saat merayakan lebaran di kampung. Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah dana yang dibawa oleh para pemudik mencapai angka Rp 96 trilyun.

Tentu saja semangat berbagi di bulan suci ini adalah sesuatu yang sangat baik dan luar biasa. Tinggal bagaimana caranya agar semangat berbagi ini tetap bisa dijaga hingga sebelas bulan berikutnya. Agar semangat berbagi ini bisa dapat terus terjaga, maka dibutuhkan konsistensi dan semangat untuk istiqomah. Untuk itu, ada tiga hal yang perlu kita perhatikan agar kita bisa konsisten dalam menjaga semangat beribadah, termasuk ibadah ZIS, pasca ibadah di bulan Ramadhan.

Pertama, menjaga komitmen niat dan orientasi hidup hanya karena Allah. Allah-lah tujuan kita dan hanya untuk-Nya-lah semua aktivitas hidup kita lakukan. Kekuatan niat akan sangat mempengaruhi kualitas amal dan perbuatan. Karena itu, persoalan niat ini sangat esensial dalam ajaran Islam. Memperbarui niat setiap saat merupakan salah satu cara agar kita bisa istiqomah dalam kebaikan.

Kedua, membangun lingkungan yang baik (bi’ah shalihah). Akan sangat berat bagi seseorang untuk dapat konsisten dalam beribadah apabila tidak didukung oleh lingkungan yang mendukung. Paling tidak, lingkungan keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat harus dididik untuk komitmen dalam menjaga ibadah ZIS ini. Semangat berbagi harus dijadikan sebagai gaya hidup keluarga.

Ketiga, hendaknya cara menunaikan ibadah ZIS ini disesuaikan dengan tuntunan agama dan contoh Rasulullah SAW. Untuk zakat, hendaknya disalurkan melalui institusi amil resmi seperti BAZNAS baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan infak dan shadaqah di luar zakat, Islam memberi dua opsi, yaitu disalurkan melalui lembaga zakat resmi ataupun disalurkan sendiri secara langsung. Jika ingin disalurkan langsung, maka harus dengan cara yang baik, antara lain dengan mendatanginya secara langsung dan tidak melakukan tindakan yang merendahkan martabat penerimanya. Dengan cara ini, kita berharap agar kejadian meninggalnya para mustahik akibat mengantri untuk menerima sedekah dapat dihilangkan di masa yang akan datang.

Wallahu ‘alam.



Oleh: Irfan Syauqi Beik (Staf Ahli BAZNAS)

Sumber:
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/menjaga-semangat-berbagi/

Keragaman Mazhab Perkaya Pengembangan Zakat dan Wakaf

Dua hal prinsipil yang menjadi entry point ketika membicarakan pengembangan dan implementasi zakat dan wakaf sebagai sektor keuangan Islam di Indonesia, yaitu:

Pertama, negara memiliki otoritas dan kepentingan untuk mengatur, memfasilitasi serta memberi kepastian hukum kepada umat Islam dalam menunaikan ibadah dan muamalah sesuai ketentuan syariah, antara lain mencakup zakat dan wakaf. Zakat dan wakaf tidak masuk ke dalam neraca keuangan dan kekayaan negara, tetapi pemerintah dapat mengambil tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan yang merugikan kepentingan masyarakat.

Kedua, negara tidak mengambil mazhab fiqih tertentu sebagai mazhab resmi yang dijadikan acuan bagi pengembangan hukum zakat dan wakaf di Indonesia. Pengembangan hukum Islam tentang zakat dan wakaf lebih dinamis, karena mengakomodir keragaman mazhab pemikiran fiqih yang terdapat di Dunia Islam. Walaupun pengaruh corak pemikiran mazhab Syafi’i cukup dominan pada sebagian besar masyarakat muslim Indonesia, tetapi dalam konten regulasi perzakatan dan perwakafan tidak terjadi kekakuan mazhab, apalagi “syafi’i oriented” atau “syafi’i minded”, melainkan secara dinamis mengedepankan “maqashid syariah” sebagai tolok ukurnya. Hal itu dapat dilihat pada fiqih terapan mengenai zakat perusahaan, zakat penghasilan profesi, wakaf uang, wakaf dalam jangka waktu tertentu, dan lainnya, mencerminkan khazanah hukum Islam yang kaya dengan metode ijtihad, istinbath dan istihsan.

Selain itu, kalau kita amati sumber-sumber keuangan Islam yang pernah membuat umat Islam berjaya di masa lalu, sejatinya banyak sekali, dan bukan hanya zakat dan wakaf. Dalam rentang perjalanan sejarah masyarakat Islam di abad modern, sumber-sumber keuangan umat yang banyak itu sepertinya luput dari perhatian. Seandainya semua itu dikelola dan dikembangkan dengan baik, niscaya masalah ekonomi umat dan kemiskinan sebagai isu global akan lebih mudah diatasi di negara-negara muslim.

Pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama yakni Kementerian Agama senantiasa mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi perekonomian umat. Zakat dan wakaf dalam hal ini adalah bagian dari sistem perekonomian umat yang memerlukan pengembangan dan sekaligus penataan. Kita menyadari zakat dan wakaf adalah pranata sosial keagamaan yang melandasi tumbuh dan berkembangnya kekuatan sosial ekonomi umat Islam. Sebagaimana kita tahu, kewajiban zakat pada umat Islam semula adalah kewajiban kepada  negara dan menjadi sumber penerimaan negara yang pokok. Dalam konteks keindonesiaan dewasa ini, zakat dan wakaf berperan sebagai sumber pendanaan umat untuk penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan sosial.

Dalam dekade terakhir kesadaran umat Islam Indonesia tentang arti penting zakat dan wakaf kian menggembirakan. Kita mensyukuri tingginya animo masyarakat untuk mengambil bagian dalam pengelolaan zakat dan wakaf. Setelah lahirnya Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 23 Tahun 2011) dan Undang-Undang Wakaf (UU No 41 Tahun 2004) telah semakin mengkristal paradigma modern di masyarakat bahwa zakat dan wakaf, di samping sebagai ibadah, sekaligus sebagai sebuah sistem keuangan sosial umat Islam yang memiliki peran dan kontribusi yang strategis dalam penanggulangan problema sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.

Dinamika pengembangan zakat dan wakaf di masa depan diharapkan akan mendorong tumbuhnya gerak sinergis umat Islam dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan umat Islam yang belum sebanding dengan jumlah kita yang besar. Pengembangan dan implementasi zakat dan wakaf di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan fenomena pertumbuhan kelas menengah tercepat di kawasan Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir perlu  diakselerasi sehingga memenuhi syarat sebagai pusat kajian dunia.

Menurut hemat saya, sedikitnya 3 faktor yang perlu dibenahi untuk mengoptimalkan sektor keuangan Islam khususnya zakat dan wakaf, yaitu:

Pertama, kinerja lembaga pengelola zakat dan wakaf dalam menghimpun dan mendayagunakan potensi zakat dan wakaf. Lembaga pengelola zakat dan wakaf harus lebih mendekatkan akses umat Islam terhadap sumber dana serta manfaat zakat dan wakaf yang dikelola.

Kedua, pola koordinasi dan sinergi antar-sesama lembaga pengelola zakat dan wakaf perlu diperkuat dalam kerangka yang strategis.

Ketiga, kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Amil zakat dan nazhir wakaf haruslah mengerti dan menguasai substansi pengembangan hukum dan permasalahan zakat dan wakaf. Jadi tidak sekedar kreator program. Amil dan nazhir merupakan pilar utama dalam pengelolaan zakat dan wakaf.

Akhirnya, perlu digaris-bawahi bahwa regulasi tentang zakat dan wakaf adalah sebuah keniscayaan, tetapi bukan segalanya. Untuk pengembangan zakat dan wakaf di dunia modern, kita butuh sosialisasi dan edukasi publik, kita butuh trust building, kita butuh best practices, kita butuh role model dan kita butuh partnerhip dan kerjasama di antara sesama negara-negara muslim.

Wallahu a’lam bisshawab.



Oleh: M. Fuad Nasar (Wakil Sekretaris BAZNAS)
_________________

Disarikan dari makalah penulis pada acara The Third International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development, di Bank Indonesia, Kamis 28 Agustus 2014.

Sumber:
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/keragaman-mazhab-perkaya-pengembangan-zakat-dan-wakaf/

Selasa, 02 September 2014

Islamic Poverty Line: Pendekatan Penentuan Garis Kemiskinan dalam Islam

Islam adalah satu-satunya agama yang syumuliah. Atau dalam arti kata lain adalah bahwa Islam adalah agama yang memiliki sistem atau tata nilai yang memuat segala aspek dan lini kehidupan, baik ekonomi, sosial budaya dan politik dll. Sehingga Islam memiliki aturan yang dapat memberikan jalan keluar atas segala persoalan kehidupan yang ada.
Islam tak hanya mengatur aspek-aspek ibadah ritual saja, namun ajaran Islam juga telah mengatur urusan-urusan bersifat keduniaan seperti bagaimana kita bermuamalah atau berinteraksi dengan orang lain. Bahkan, Islam juga telah mengajarkan secara detail bagaimana kita beraktivitas dalam ruang lingkup ekonomi. Seperti, Islam telah mengharamkan riba dan mengharamkan perjudian. Namun masih membolehkan umatnya bersinggungan dengan dunia perbankan asalkan perbankan tersebut menganut dan mengandung prinsip-prinsip syariah.
Dalam tataran yang lebih makro, Islam juga telah menjawab persoalan mengenai cara menghitung atau menetapkan standar kemiskinan. Jika Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan standar kebutuhan dasar (basic needs) dalam menentukan standar kemiskinan (dan telah mengundang sejumlah krikit dari kalangan ekonom), Islam memiliki dua pendekatan penghitungan yang jauh berbeda dengan standar BPS. Yakni menggunakan pendekatan had al kifayah dan menggunakan garis nishab zakat.
Standar had al kifayah merupakan parameter standar kemiskinan yang telah diterapkan di Malaysia. Penilaian yang dibuat dalam menentukan had al kifayah ini merangkum lima faktor yang perlu mendapatkan proteksi yaitu agama, kekayaan, akal, keturunan dan diri/jiwa. Berbeda dengan standar kemiskinan yang dipakai pemerintah saat ini yang melihat garis kemiskinan hanya dari sisi pendapatan dan pengeluaran berdasarkan standar makanan dan bukan makanan. Selain itu, had al kifayah menghitung berapa tingkat kebutuhan yang diperlukan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan garis kemiskinan hanya berbicara pada aspek pendapatan minimal yang diperlukan. Karena itu, had al kifayah diyakini lebih bersifat komprehensif, holistik dan lebih baik dibandingkan dengan pendekatan garis kemiskinan yang ada.
Pendekatan yang kedua dalam menentukan standar kemiskinan dalam Islam adalah dengan menggunakan nishab zakat, yang menjadi parameter penetapan status seseorang apakah dikategorikan sebagai muzakki (wajib zakat) atau mustahik (penerima zakat). Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa ada dua kelompok dhuafa yang mendapat prioritas dalam penerimaan zakat yaitu kelompok fakir dan kelompok miskin. Menurut mazhab Syafi’I dan Hambali, kelompok fakir adalah kelompok yang tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali, sementara kelompok miskin adalah mereka yang memiliki sumber daya pendapatan namun tidak mencukupi kebutuhan dasarnya.
Ada dua opsi penghitungan nishab zakat. Pertama menggunakan nishab zakat emas perak dan yang kedua menggunakan nishab zakat pertanian. Jika nishab zakat emas perak yang digunakan dalam konteks perekonomian Indonesia, maka garis kemiskinan angkanya mencapai Rp. 3,67 juta per bulan per rumah tangga dan Rp. 782,2 ribu per bulan per kapita (dengan menggunakan asumsi harga emas Rp.520 ribu dan rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4,7 orang/rumah tangga). Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin jika pendapatannya kurang dari Rp. 782,2 ribu per bulan atau Rp. 26.073,00 per hari (USD 3,02/hari). Jika dilihat, angka ini lebih tinggi dari kemiskinan standar Bank Dunia yang ditetapkan sebesar USD 2/hari.
Sebaliknya, jika nishab zakat pertanian yang digunakan maka garis kemiskinannya menjadi Rp.3,668 juta per rumah tangga per bulan atau Rp.780,4 ribu per bulan per kapita (dengan menggunakan nishab beras zakat senilai 524 kg dan harga beras seharga Rp.7.000) . Artinya seseorang disebut miskin apabila pendapatannya kurang dari Rp.780,4 ribu/bulan atau Rp.26.014,00/hari (USD 3,019/hari). Jika kita bandingkan antara hasil penghitungan nishab zakat emas dan perak dengan zakat pertanian maka hasil yang didapatkan hampir sama, yaitu mencapai angka Rp.780,4 ribu/bulan.
Menurut Dr. Irfan Syauqi Beik selaku sekretaris Eksekutif Pusat kajian Pembangunan Syariah (PKPS) IPB dalam acara Intelectual Discussion yang diadakan IMZ bekerjasama dengan IKAZ Malaysia dan LPPM IPB menyampaikan bahwa “Perhitungan dengan menggunakan standar nishab sebagai batasan garis kemiskinan jauh lebih normal dan rasional bila dibandingkan dengan penghitungan BPS. Hasil perhitungan pun menunjukkan bahwa garis kemiskinan berbasis nishab lebih besar dari garis kemiskinan versi Bank Dunia. Dari sisi perspektif kesejahteraan masyarakat, maka pilihan untuk menerapkan nishab sebagai garis kemiskinan merupakan pilihan yang tepat, karena memiliki orientasi keberpihakan yang kuat terhadap kaum dhuafa. Sehingga barangkali pemerintah mulai dapat mempertimbangkan usulan standar garis kemiskinan berdasarkan perspektif syariah”. Wallahu alam.

(Sumber: http://risetadvokasi.wordpress.com/2012/04/02/islamic-poverty-line-pendekatan-penentuan-garis-kemiskinan-dalam-islam/)

Yatim dan Fakir Miskin dalam Ekonomi Islam

Ayat-ayat tentang (anak) yatim berulangkali dijumpai dalam al Quran yang pada dasarnya merupakan perintah Allah agar kaum beriman memerhatikan kondisi yatim baik terkait masalah kebutuhan ekonominya seperti makan dan minum, sandang papan, maupun yang lebih bersifat psikologis berupa kasih sayang, pendidikan, rasa aman dan nyaman. Definisi yatim menurut sejumlah ulama adalah anak (dibawah usia baligh) yang ditinggal wafat ayah, sedangkan anak yang ditinggal wafat ibu dan anak yang ditinggal karena perceraian tidaklah dikatakan yatim. Jadi yatim adalah anak-anak dibawah usia baligh yang ditinggal wafat ayah sementara pada periode itu anak-anak masih membutuhkan santunan dan kasih sayang.
Di Indonesia dikenal juga istilah piatu bagi mereka yang ditinggal mati orangtuanya dan disebagian daerah istilah yatim piatu dimaksudkan sebagai anak sebatangkara yakni kehilangan ayah dan ibunya, jadi istilah piatu dikonotasikan sebagai ibu. Sementara al Quran menyebut yatim saja sebagai anak yang kehilangan (wafat) ayahnya. Dalam Islam kedudukan ayah sebagai kepala rumah tangga dan imam keluarga sangat penting dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga dimulai dari kebutuhan pokok yakni makan minum, sandang papan hingga kebutuhan rasa aman dan nyaman di dalam kehidupan keluarga.
Oleh karenanya ayat-ayat yang berisi tentang yatim senantiasa dikaitkan dan terkait dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas mulai dari memberikan makan anak yatim, menjaga harta anak yatim hingga memberikan kasih sayang. Pendek kata anak yatim perlu disantuni dan disayangi. Perintah menyantuni dan menyayangi anak yatim tidak disekat dengan batasan suku, etnis, dan asal usul termasuk latar belakang agama. Namun tentu kita mesti memerhatikan anak-anak yatim yang ditinggal ayahnya yang beragama Islam, tetapi bila dilingkungan sekitar ada anak yatim non Muslim yang perlu dibantu maka kita harus menyantuni dan membimbingnya dengan kasih sayang sekaligus ini merupakan lahan dakwah umat Islam.  
Memberikan makan bagi kaum yang membutuhkan seperti anak yatim dan memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya agar mereka sejahtera lahir dan batin merupakan perintah agama terkait aktivitas ekonomi yang berdasarkan syariah. Sesungguhnya ajaran Islam sangat lengkap dalam menuntun umatnya beraktivitas ekonomi tanpa perlu berkiblat pada ekonomi non syariah yang landasan filosofi (worldview) mereka berbeda. Asal usul ilmu ekonomi dari rumpun ilmu sosial, menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan dan tentu berbeda karakter dengan ilmu pasti alam yang terkait dan berhubungan dengan aspek-aspek selain manusia. Oleh karena menyangkut aspek manusia dan setiap umat manusia itu memiliki worldview sendiri, maka temuan ilmu atau pendapat pakar dalam bidang ekonomi tentu membawa serta worldview yang melekat dalam dirinya.
Worldview yang melekat erat itu merupakan " a basic belief system that guides action, deals with the first principles or ultimates, and defines for its holder the nature of the world, the individual's place in it, and the range of possible relationships to that world and its parts" (Aref Atari dalam Prolegomena for an Islamic Perspective of Educational Management. The American Journal of Islamic Sciences 16:1, Spring: 1999 page 68), sehingga temuan-temuan keilmuan (apalagi ilmu tersebut berhubungan dengan interaksi antar manusia) tidak terlepas dari cara pandang, keyakinan, prinsip dan filosofi ilmuwan itu sendiri. Ini berarti temuan prinsip ekonomi liberal yang merambah luas dikalangan masyarakat Islam sudah sepatutnya dikiritisi dengan worldview Islam yang bersumber pada ayat-ayat qawliiyyah dan contoh-contoh Nabi atau mungkin juga dari hasil ijtihad sosial para ilmuwan muslim yang tercerahkan.
Proses mengkonsultasikan temuan pakar ilmu sosial termasuk ekonomi dengan sumber-sumber ajaran Islam perlu dimulai dari hulu pemikiran sang pakar bukannya di hilir yakni manakala ilmu tersebut telah meluas menjadi disiplin ilmu terapan seperti manajemen. Hal ini dimaksudkan agar proses konsultasi temuan dengan worldview Islam itu menjadi lebih efektif dan dari titik ini sesungguhnya pihak ilmuwan Islam dapat melanjutkannya dengan menyusun konsep, teori ilmu yang berdasarkan nilai-nilai Islam dan dapat diperluas dalam bidang-bidang terapan seperti manajemen yang merupakan disiplin terapan dari ilmu ekonomi liberal.    
Kembali ke persoalan kesejahteraan anak yatim, bahwa seandainya ekonomi Islam yang berdasarkan syariah ini benar-benar menjadi landasan ekonomi suatu bangsa, dipastikan pemerataan pembangunan ekonomi dapat terlaksana, sehingga kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite tetapi juga oleh kaum yang membutuhkan bantuan seperti anak yatim. Ayat-ayat al Quran sesungguhnya banyak membahasa persoalan muamalah yang tentunya berhubungan dengan urusan ekonomi umat manusia. Muslim yang sedang menuntut ilmu apalagi ilmu-ilmu sosial sudah seharusnya menggali konsep dan teori ekonomi melalui/melandasi pengkajian mendalam pada tebaran ayat-ayat qawliiyyah yang demikian banyak.
Al Quran yang sudah ada sejak lama membahas masalah ekonomi umat ternyata baru mulai dirujuk oleh para ekonom beberapa dekade dengan adanya kajian-kaian tentang ekonomi Islam di perguruan tinggi. Di Indonesia meski sudah dirintis dan dijalankan berbagai aktivitas ekonomi yang mengacu pada syariah, tapi perkembangannya belum signifikan sebagaimana yang diharapkan. Penerapan ekonomi syariah masih dibatasi oleh kegiatan perbankan, keuangan dan asuransi. Padahal ekonomi Islam sangat lengkap membahas tentang kesejahteraan umat di dunia dan hal ini memang merupakan tujuan suatu sistem ekonomi itu diimplemntasikan yakni bagi kmakmuran dan kesejahteraan manuysia dimuka bumi. Ekonomi syariah bukan hanya meliputi lembaga keuangan, asuransi dan perbankan tetapi lebih luas dari itu yakni menuntun manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi mulai dari hulu hingga hilir yang sasaran akhirnya adalah mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan yang diridhoi Allah SWT.
Ekonomi Islam dalam setiap aktivitasnya senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip keterbukaan, kebersamaan, keadlian, solidaritas sosial, kepedulian, dan tulus ikhlas semata-mata karena Allah dan mengharap ridhoNya inilah yang membedakan dengan sistem ekonomi manapun di dunia. Menyangkut persoalan muamalah ekonomi perlu mendasarkannya pada al Quran dan Hadist sebagai patokan dan rujukan pihak-pihak yang terlibat dibidang ekonomi. Kepedulian atas nasib kaum dhuafa, pelarangan manusia menyembah harta, selalu mawas diri  akan kehidupan dunia yang semu nan sementara serta aktivitas ekonomi sebagai ladang berbuat kebajikan di dunia sebagai bekal di akherat kelak. Hal-hal ini merupakan uraian dan keterangan yang disampaikan al Quran dan Hadist Nabi yang seharusnya menjadi keyakinan setiap orang beriman.
Islam tidak hanya mengajarkan ayat-ayat al Quran digunakan sebatas dibaca saja tetapi jauh lebih penting adalah menerapkan isi kandungan ajaran Islam, sehingga menjadi suatu yang nyata dan niscaya. Dalam konteks ini ada contoh konkrit di negara kita tentang upaya KH Ahmad Dahlan pendiri organisasi persyarikatan Muhammadiyah yang menguji santrinya apakah telah benar-benar mempraktekkan surat al Maun yaitu dengan menyantuni anak yatim dan memberi makan orang miskin. Beliau setiap memimpin sholat subuh selalu membaca surat al Maun yang kemudian diprotes atau ditanyakan oleh santrinya perihal tersebut, lalu sang kyai balik bertanya tentang apakah para santri telah melaksanakan perintah-perintah surat al Maun? Para santri pun tersentak dan menyadari bahwa selama ini belum melakukan perbuatan signifikan membantu kaum yang memerlukan perhatian sebagaimana terkandung dalam surat al Maun, sehingga setelah peristiwa itu santri KH Ahmad Dahlan berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat) hingga kegiatan berbuat kebajikan ini terus berkembang dan meluas dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu hingga kini.
Sayangnya praktek-praktek langsung ajaran agama yang dirintis KH Ahmad Dahlan ini belum diikuti secara masif oleh umat Islam Indonesia dan masih berupa pekerjaan rumah cukup besar bagi pemerintah Indonesia yang diberi amanah rakyat untuk mengurus negara ini. Faqir miskin dan anak terlantar dipelihara negara (Pasal 34 UUD 45) tetapi dalam kenyataannya pemerintah kepayahan mengurus mereka yang dari ke hari bukannya berkurang malah bertambah. Bukankah fenomena makin banyaknya kaum dhuafa di Indonesia merupakan bukti kegagalan pembangunan ekonomi bangsa atau paling tidak belum terwujudnya pemerataan kesejahteraan dikalangan rakyat Indonesia secara luas.  
Oleh karena itu tugas umat Islam terutama para ekonom dan penggiat atau pelaku ekonomi Muslim untuk menemu-kenali dan menumbuh-kembangkan sistem ekonomi Islam berdasar syariah. Tidak hanya dalam wawasan konsep, teori dan paradigma tetapi juga pada tataran konkrit yang diejawantahkan dalam praktek-praktek ekonomi sehari-hari. Dalam mencapai keberhasilan mewujudkan ekonomi syariah secara teori dan praktek diperlukan komitmen pemerintah karena masyarakat yang berbangsa dan bernegara memang memerlukan tangan-tangan penguasa dalam mengambil kebijakan. Penguasa yang mayoritas Muslim sebenarnya memudahkan terwujudnya ekonomi syariah yang diharapkan, namun kesadaran dan tingkat keyakinan dari pihak yang memegang amanah tampaknya belum sesuai harapan kita.

DITULIS OLEH ARIES MUSNANDAR | http://uin-malang.ac.id:8080/index.php?option=com_content&view=article&id=4562:faqir-miskin-dan-yatim-dalam-ekonomi-islam&catid=35:artikel&Itemid=210

Mendikbud: Kebangkitan Kaum Duafa akan Segera Tiba

Beasiswa Bidikmisi telah memantik harapan baru bagi bangsa ini. Pasalnya, beasiswa ini akan menjadi sarana kebangkitan kaum dhuafa dalam 5 sampai 10 tahun ke depan. Anak-anak dari keluarga miskin, atas fasilitas beasiswa Bidikmisi, siap bangkit menjadi kaum terpelajar yang berdiri di garda terdepan pembangunan bangsa.
Kabar gembira itu sampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Prof Dr  Mohamad Nuh, DEA dalam orasi ilmiah dalam Dies Natalis ke-49 Universitas Negeri Semarang (Unnes). Ia menyebutkan, Bidikmisi telah mendobrak batas mungkin dan tidak mungkin.
“Dulu ada olok-olok orang miskin dilarang kuliah. Saya bilang, tidak usah dilarang, dibiarkan pun mereka tidak bisa. Sekarang, batas-batas itu sudah bisa ditembus. Anak-anak yang tidak berani mimpi untuk kuliah, mereka bisa menikmati pendidikan tinggi,” katanya.
Bak gayung bersambut, beasiswa mendorong mahasiswa Bidikmisi mencapai prestasi tertinggi. Terbukti, mahasiswa Bidikmisi bisa memperoleh IPK  cum laude. Mereka juga hanya memerlukan waktu 3,5 tahun untuk menyelesaikan pendidikan S1.
“Bukan hanya sepuluh dua puluh. Yang berprestasi seperti itu jumlahnya puluhan ribu,” lanjutnya.
Nuh menyebut, kebangkitan kaum dhuafa akan segera tiba karena selain Bidikmisi, pemerintah sedang menyiapkan beasiswa bagi alumnus Bidikmisi untuk melanjutkan pendidikan S2 dan S3. Tidak berlebih kalau ia menyebut “Akan segera muncul generasi baru intelektual dari kalangan masyarakat tidak mampu.”

(Sumber: http://unnes.ac.id/berita/mendikbud-kebangkitan-kaum-dhuafa-akan-segera-tiba/)