Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 26 November 2014

Guru, Pengabdianmu Tak Lekang oleh Waktu

Apa makna peringatan hari guru? Tentunya hari guru yang diperingati bertepatan dengan lahirnya organisasi PGRI pada 25 November 1945, atau 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut, memiliki makna yang besar. Karena, dari "rahim" para guru inilah, lahir para pemimpin bangsa, pemikir, cendekiawan, dan orang-orang pintar lainnya. Eksistensi guru ini menjadi katalisator bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Para guru ini pun merupakan pilar untuk menegakkan masa depan bangsa ini. Masa depan bangsa, akan bergantung dari out-put dan out-come dari dunia pendidikan yang di dalamnya merupakan pengaruh langsung dari tangan-tangan para guru.
Dalam perspektif pedagogis guru merupakan suatu konsep yang menggambar sosok pribadi mulia yang menjalankan peran mengajar. Dalam tulisan ini mengajar mempunyai dua arti yaitu transfering dan transforming. Mengajar dalam arti transfering yaitu “memindahkan” informasi yang disebut ilmu pengetahuan kepada para siswa yang diajarnya, sedangkan mengajar dalam arti transforming yaitu menamkan nilai budaya positif kepada para siswa yang diajarnya. Dalam menjalankan peran kedua, guru tidak hanya mengajarkan tetapi sekaligus menjadi suri tauladan bagi siswanya. Kedua peran ini diekspresikan secara puitik dalam lirik Hymne Guru, “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan”. Tentunya saja kita tidak bisa, atau bahkan tidak berhak menilai bahwa peran transfering lebih penting daripada peran transforming, atau sebaliknya peran transforming lebih penting daripada peran trasnfering. Keduanya mempunyai peran yang setara karena membentuk keseimbangan antara kompetensi nalar dan kompetensi kepribadian bagi para siswa. Keduanya terangkum dalam hasil pendidikan yang sekarang ini menjadi topik pembicaraan yaitu siswa berkarakter.
Dalam konotasi guru seperti yang diketengahkan di atas, maka sosok guru tidak hanya berarti figur yang berdiri di depan ruang kelas dalam suatu lembaga yang disebut dengan sekolah, tetapi juga mereka yang melakukan fungsi mengajar meskipun tidak berada di dalam gedung sekolah. Mereka adalah tutor yang bertugas mengajar anak-anak yang terdaftar pada Kelompok Belajar (Kejar) Paket A dan B. Mereka yang mengajar anak-anak jalanan juga berhak mendapat predikat sebagai guru meskipun mereka melaksanakan tugas mengajarnya di bawah kolong jembatan. Predikat guru juga berhak disandang oleh mereka yang mengajar anak-anak dengan berkebutuhan khusus. Perbedaan konteks tempat mengajar tidak membedakan predikat mereka sebagai guru. Hal ini lain menjadikan mereka sama-sama berhak menyandang predikat sebagai guru karena dua faktor yaitu dedikasi dan profesionalisme. Dedikasi tidak hanya diukur dengan waktu yang dicurahkan untuk mengajar, tetapi pada kesetiaan mereka untuk melakukan peran mengajar.
Sayangnya, besarnya jasa ujung tombak kemajuan bangsa tersebut masih belum sepadan dengan kesejahteraan yang diterima mereka. Bagi para guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tentu kesejahteraan dalam arti upah tidak terlalu masalah. Dengan perhatian pemerintah yang saat ini semakin besar, kesejahteraan mereka pun terus meningkat. Apalagi bagi guru yang telah bersertifikasi, mereka bisa mempunyai penghasilan bahkan lebih besar dibanding PNS biasa. Namun, tidak demikian dengan guru-guru sukarelawan atau honorer, terutama yang berada di pelosok-pelosok daerah, di lereng-lereng gunung. Saat ini, masih ada guru-guru honorer yang digaji hanya beberapa puluh ribu rupiah setiap bulannya. Ironinya, jumlah guru honorer ini mencapai jutaan orang. Rendahnya kesejahteraan guru honorer ini menjadi potret buram pendidikan Indonesia, yang harus segera dituntaskan. Di saat bangsa ini bertekad meningkatkan kualitas pendidikan masyarakatnya, ternyata kaum pendidik yang berstatus ini tidak terperhatikan. Padahal keberadaan mereka sangat dibutuhkan.
Esensi:
Kini, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada para guru ini. Karena hanya dengan guru yang profesional bisa menghasilkan peserta didik yang berkualitas, yang menjadi awal peningkatan kualitas bangsa sehingga bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Di lain pihak, sebagai pilar masa depan bangsa, sudah seharusnya para guru terus meningkatkan kualitas dirinya, guru jangan sekadar jadi "kuli" pendidikan yang bekerja tanpa memberi makna dalam membangun dan membesarkan anak bangsa. Pengabdian tanpa henti merupakan kata kunci yang harus dicanangkan. Selamat ulang tahun Bapak dan Ibu guru, pengabdianmu tak lekang oleh waktu.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Rabu, 05 November 2014

Momentum Perubahan Menuju Generasi Muda yang Dinamis, Menjunjung Nilai-nilai Agama, dan Menjaga Moral Bangsa

Ketika mendengar kata Generasi Muda, maka yang terbetik dalam benak kita pasti kumpulan anak muda yang ceria dan dinamis. Semangat mereka tak terbantahkan, maka tak heran bila Presiden Soekarno pernah berucap, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”.
Masa depan suatu bangsa rupanya bisa dilihat dari potret kehidupan para pemuda masa kini. Para pemuda harus menjadi sosok historis yang mau dan mampu menjadi motor penggerak kemajuan bangsa, melanjutkan jalan yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Bangga kepada prestasi masa silam adalah bagian dari rasa hormat kepada para pendahulu. Tugas generasi muda adalah menulis sejarah dengan karya yang lebih baik dan mengesankan.
Lantas bagaimana cara membangun generasi muda yang diidamkan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara? Salah satu caranya adalah generasi muda perlu kembangkan pemikiran bebas, sehingga menemukan banyak alternatif solusi persoalan hidup yang kompleks yang mereka hadapi.
Di zaman serba sulit ini, sejak kecil perlu dibantu berpikir bebas. Kembangkan angan-angan dalam berpikir, sehingga menemukan sesuatu yang lebih tinggi daripada yang ada. Pemuda semestinya mempersiapkan diri dengan memperbanyak ilmu pengetahuan, memperkuat mental, fisik, serta menciptakan karakter kepribadian yang kuat.
Membangun generasi muda yang berdaya guna dan tahan banting tentu bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan sinergi lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan bermasyarakat.
Esensi:
Generasi muda sekarang seharusnya sanggup menjawab tantangan dunia baru yang kompetitif dengan prestasi dan berkarya nyata. Generasi muda sekarang seharusnya konsisten terhadap kemajuan dan berpandangan jauh ke depan. Generasi muda sekarang seharusnya hidup damai, harmoni, serta siap bekerja sama dalam kebaikan. Dan generasi muda sekarang seharusnya berakhlak mulia dan menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam pribadinya serta kehidupan sehari-hari.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Melihat ke Bawah akan Membuat Hidup selalu Bersyukur

Hidup ini singkat, hanya mampir sebentar, kemudian mati, selesai. Kita ini hidup sekali, sangat merugi apabila kita menghabiskan hari-hari kita dengan merasa tidak cukup dengan apa yang sekarang pada kita. Tidak akan pernah ada puasnya, nafsu manusia itu sebesar gunung dan seluas samudra. Namun, apabila kita mampu mengontrolnya dengan baik. Maka sifat Qanaah akan muncul dengan sendirinya, yang membuat hidup kita menjadi selalu tersenyum dan menikmati dengan kebahagiaan yang sempurna.
Bersyukur. Minimal dengan mengucapkan alhamdulillah adalah hal yang sepatutnya dan sepantasnya harus selalu dilakukan oleh kita semua. Apapun keadaannya, baik di kala sedih. Terlebih lagi dikala senang, kita harus bisa bersyukur. Karena apapun yang terjadi pada diri kita, Dia-lah yang mengatur. Kita sebagai makhluk-Nya, harus bisa menerima dengan ikhlas. Karena itulah yang terbaik untuk kita. Bersyukur akan membuat hidup kita akan lebih bermakna. Membuat hidup kita lebih tenang, karena tidak terlalu memburu dunia.
Ketika kita merasa bosan dengan hidangan makanan karena sudah berulang kali makan dengan menu yang sama, bersyukurlah karena kita masih diberikan kemudahan untuk makan dengan lauk pauk yang cukup. Ingat, di luar sana masih banyak yang menahan lapar karena tak ada yang bisa dimakan.
Ketika kita mengeluh tentang pekerjaan yang menumpuk dan membuat pikiran kita lelah, bersyukurlah karena kita masih beruntung mendapatkan pekerjaan. Karena diluar sana, jutaan orang hampir putus asa karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Ketika kita merasa sendiri, tidak punya teman. Bersyukurlah karena setidaknya kita masih punya Tuhan yang akan selalu menemani kita setiap saat, dimanapun dan kapanpun kita berada.
Ketika kita kesal karena rumah kita terlihat kotor, bersyukurlah setidaknya kita dapat berlindung dari teriknya matahari dan dinginnya hujan di malam hari. Masih banyak di luar sana yang luntang-lantung harus menahan teriknya matahari dan dinginnya hujan, karena tak ada rumah yang bisa mereka tempati.
Esensi:
Ya, bersyukur itu amat sederhana sekali. Seringlah memandang ke bawah dan kita akan melihat bahwa masih banyak orang yang keadaannya jauh lebih sulit daripada yang kita alami. Dengan begitu akan timbul sikap rendah hati kita, ikhlas, sabar, syukur nikmat, dan pada akhirnya kita akan tergolong manusia-manusia yang Bersyukur dan selalu berucap Alhamdulilah…

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Indahnya Berkegiatan Sosial, Semangat Berkarya Menebar Kebaikan

“Hari Gini Kok Mau Sih Kerja Sosial? Emang Dapat Apa?”. Begitulah celoteh tanya seorang teman, dia tertawa dan tak habis pikir untuk sebuah cita-cita ideal yang terpatri di benak orang-orang yang berjuang mengorbankan apa yang mereka punya untuk kepentingan orang lain. Ya, orang menyebutnya kerja sosial alias kerja amal. Baginya cita-cita ideal itu non sense diwujudkan, apalagi di jaman yang semakin susah seperti sekarang ini.
Saya selalu terkesan pada mereka yang banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk berbagi kepada sesama dalam sebuah kegiatan sosial dan amal. Seakan mereka tak pernah lelah dan kehabisan energi. Terlebih kala mereka sebenarnya bukan datang dari kalangan yang memiliki segalanya. Baik waktu yang lapang, maupun rejeki yang melimpah.
Pastilah begitu banyak tantangan dalam sebuah kerja sosial. Kelelahan fisik, mental, kekurangan dana dan keterbatasan waktu adalah sederet hal yang niscaya. Inilah juga yang sering menjadi alasan orang menyerah menghentikan langkah mulianya. Karena bila memberi dalam keadaan lapang tentu ini hal yang lazim adanya. Namun memberi saat kita ada dalam keterbatasan, rasanya ini menjadi sangat luar biasa. Karena disanalah kesabaran dan mental diuji.
Begitulah kerja sosial, apapun bentuknya. Tak ada imbalan materi yang dikejar, hingga tantangan sebesar apapun harusnya tak akan pernah menyurutkan langkah. Justru hal itu akan melecut semangat untuk membuktikan bahwa apa yang kita lakukan bisa bermanfaat bagi orang banyak.
Kerja sosial akan memfilter siapa yang bersungguh-sungguh dalam berbuat, mengingat begitu terjal jalan yang harus dilalui. Butuh pengorbanan tak hanya fisik dan mental, tapi sekaligus juga moril materil. Mereka yang mudah menyerah akan berguguran ditengah jalan. Kerja sosial tak menimbang penghargaan manusia, hanya ridho Tuhan yang dinanti. Menjadi sebentuk amal jariah yang melengkapi amal fardhu lainnya.
Sesungguhnya keberkahan bisa berbagi manfaat dalam kegiatan sosial tak pernah putus adanya sampai kaki kita lelah sendiri untuk melangkah. Kemudahan dan keberkahan itu akan terus mengalir menjadi energi yang selalu bisa meletupkan dan menumbuhkan semangat baru. Mereka yang mengabdikan dirinya untuk sesama, sejatinya adalah kepanjangan tangan Tuhan dalam menebar manfaat di muka bumi. Keberadaan mereka menjadi cermin yang mampu menginspirasi dan memberi spirit pada orang lain untuk terus berbagi kebaikan.
Hingga tak perlu menunggu kaya untuk bisa memberi. Tak perlu menunggu lapang untuk bisa berbuat. Sekecil apapun itu, meski hanya bisa menggores manfaat melalui sebuah tulisan, setidaknya kita sudah berbagi manfaat dan menebar kebaikan.
Sayapun ingin menjadi bagian dari barisan ini. Semogalah kedua kaki inipun tak pernah surut dalam melangkah, walau jalan yang saya lalui dalam melakoninya pun tak kurang terjalnya. Tersandung, terseok adalah cerita. Yang meski kadang sakit, namun menjadi bagian indah yang bisa dikenang. Menjadi sebuah bekal perjalanan spiritual yang semoga kelak akan Tuhan hitung sebagai amal mulia. Bukankah tak pernah ada cerita merugi dalam berniaga dengan-Nya? Hingga untuk sebuah kerja sosial tak perlu lagi ada pertanyaan, Wani Piro?
Esensi:
Berkegiatan sosial itu ternyata menyenangkan. Selain mengasah kepekaan kita terhadap orang lain, juga mengasah batin dan memperkaya diri dengan pengalaman spiritual. Mungkin ini jawabannya mengapa hingga sekarang saya masih terus melakukannya.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Dengan Semangat Sumpah Pemuda, Mari Wujudkan Pemuda yang Berkemanfaatan

Sumpah pemuda adalah wujud optimisme yang digaungkan oleh para pemuda pada masanya. Siapa yang mampu membayangkan, Indonesia dapat memerdekakan diri di tahun 1928 atau siapa yang mampu membayangkan indonesia menjadi sebuah bangsa di tahun 1928. Akan tetapi, ditengah segala keterbatasan dan ancaman, pemuda masa itu berani mengikrarkan diri untuk menjadi satu bangsa. Mungkin, jika dikontekskan dengan kondisi saat ini, siapa yang mampu membayangkan bahwa indonesia menjadi negara kuat dan sejahtera? Saat ini, angan-angan menjadi negara kuat dan sejahtera sepertinya hanya menjadi bualan, lelucon dan terus menjadi mimpi. 
Tentu bukannya tanpa alasan, keterpurukan negeri ini didukung oleh perilaku elit yang korup, masayarakat umum yang tidak terdidik dan miskin serta pemuda yang terperangkap dalam apatisme. Alhasil, kebanggaan terbesar bangsa ini, yang selalu diajarkan sejak bangku SD, yaitu sumber daya alam yang melimpah tidak dapat kita nikmati.
Selain mengalami kerusakan sumber daya manusia kita juga mengalami bencana sumber daya alam. Tanah kita dijual, ikan yang ada dilaut kita dipancing oleh orang asing atau dijual kepihak asing, hutan kita dibabat dan Pancasila menjadi abu-abu serta tidak bermakna. Kita seolah mengalami masalah yang tidak berujung. Pemecahan persoalan kebangsaan ini menjadi sangat sulit dan entah mau dimulai dari mana.
Ditengah pesimisme, sebenarnya pemuda (senior-senior kita) ditahun 1928 sudah mengajarkan kita untuk terus bersemangat dan membagikan rasa optimistik. Jika melihat pemuda masa lalu yang masih memakai blankon, dengan pakaian khas jawa tradisional, keterbatasan informasi dan teknologi dan ditengah ancaman penjajahan mampu menularkan semangat perjuangan. Kita dapat melihat, hal-hal kecil yang pemuda masa lalu lakukan dapat melahirkan suatu perubahan besar di masa mendatang. Siapa sangka, hasil dari diskusi-diskusi kecil diruang kuliah dan lab anatomi stovia mampu melahirkan kebangkitan nasional, dan 20 tahun kemudian, diskusi-diskusi kecil tersebut mampu melahrikan kongres pemuda Indonesia (sumpah pemuda). Sebuah peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa ini, dan siapa yang sangka, hanya kurang dari 20 tahun kemudian, kongres atau pertemuan pemuda itu berefek pada indonesia merdeka di tahun 1945. Di tahun 1945 itu, penduduk indonesia berjumlah 70 juta dan 90% diantara buta huruf dan saat ini, penduduk Indonesia berjumlah 240 juta orang dan hanya kurang dari 5% penduduk kita yang buta huruf. Hanya sedikit bangsa yang mampu melakukan perubahan sedahsyat itu. Sebuah proses rentetan sejarah yang awalnya hanya berasal dari hal-hal kecil. 
Melihat perjalanan sejarah keindonesiaan, menempatkan peran pemuda sebagai pencetus kebangkitan nasional. Kabar baiknya adalah, di tahun 2030 penduduk Indonesia akan didominasi oleh usia produktif. Inilah bonus demografi yang sering disebut sebagai generasi emas indonesia. Untuk menuju generasi emas tersebut tentu harus dipersiapkan dengan cermat. Pengisi posisi strategis di 2030 nantinya adalah orang-orang yang menjadi mahasiswa sekarang ini, sehingga kapasitas dan kemampuan mahasiswa saat ini harus kita persiapkan. 
Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara ternyata bermula dari semangat yang tak kenal henti dan dari hal-hal yang yang kecil. Dengan semangat sumpah pemuda, mari kita perbaiki hal-hal kecil disekitar kita dan mari kita menebar semangat perubahan pada lingkungan sekitar kita. Tidak ada yang sangka perubahan kecil tersebut mungkin mampu menjadi pondasi perubahan besar di masa mendatang. Amin.
Esensi:
Pemuda cerdas adalah pemuda yang dapat bertindak cerdas dalam melihat suatu keadaan di sekitar lingkungannya. Mari wujudkan rasa nasionalisme dalam tiap diri kita, agar menghasilkan karya nyata, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan bangsa yang kita cintai ini, yaitu berupa prestasi-prestasi. Jangan sampai kerja keras para pemuda terdahulu sia-sia dengan kondisi kita sekarang. Sebagai penutup, menurut seorang bijak ”Kesejatian seorang pemuda bukanlah dari apa yang dipikirkan atau yang diyakininya, tetapi dari apa yang ia perbuat untuk bangsanya”.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Mendidik Hati untuk Peduli terhadap Sesama

Belajar peduli dengan sesama adalah sebuah pelajaran berharga yang telah mengubah cara bersikap dan bepikir saya melihat keadaan sosial di lingkungan sekitar. Artinya di luar sana ada banyak orang yang sangat membutuhkan uluran tangan kita dan itu harus menjadi salah satu orientasi kita dalam menjalani hidup. Apapun kesuksesan yang kita raih, tidak akan berarti apa-apa tanpa kita mau peka dan peduli dengan orang lain.
Orang beriman senantiasa dipanggil untuk punya kepedulian terhadap sesamanya. Mengapa? Karena orang beriman telah diciptakan dengan hati yang lembut. Hati itu digunakan untuk mudah tersentuh oleh penderitaan sesamanya. Memang, tidak mudah orang memiliki hati yang mudah tersentuh oleh penderitaan sesamanya. Namun kita bisa belajar dari pengalaman sesama kita yang peduli terhadap hidup sesamanya.
Salah satu penyebab kurangnya kepedulian manusia terhadap sesamanya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya rasa empati dari dirinya. Empati lebih dalam dari rasa simpati, dimana seseorang benar-benar merasakan posisi dan kondisi yang sedang dialami orang lain. Seseorang yang tidak memiliki rasa empati dalam dirinya, tidak akan mampu merasakan penderitaan atau kesusahan yang sedang dialami oleh orang lain. Akibatnya, dia tidak akan berbelas kasihan bahkan terkesan cuek ketika menyaksikan sesamanya mengalami kesusahan. Dia tidak akan merasa terpanggil untuk memberikan bantuan kepada sesama mereka itu. Kita sebagai manusia dipanggil untuk mengasah rasa empati kita setiap saat dalam kehidupan yang kita jalani sehingga kita mampu merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain dan dapat berbelas kasihan kepada mereka yang membutuhkan bantuan.
Menolong sesama memang tak cukup hanya niat, tapi juga melibatkan kesungguhan hati dan perjuangan. Dan ketika berbuat baik pada seseorang, jangan memikirkan reaksi orang. Karena apa pun bentuknya, jika dilakukan dengan ikhlas tentu akan ada kenikmatan tersendiri.
Esensi:
Mari kita bersyukur atas indahnya hidup ini. Sambil bersyukur, kita mendidik hati kita untuk mudah tersentuh oleh penderitaan sesama kita. Dengan demikian, hidup ini semakin baik dan indah.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Menumbuhkan Semangat untuk Berbagi

Memang sudah selayaknya kita mulai saling peduli terhadap sesama masyarakat, bukankah budaya gotong-royong, saling membantu adalah salah satu nilai budaya luhur bangsa ini? yang akhir-akhir ini mulai terpinggirkan oleh sikap kita yang terbawa arus kritis terhadap jalannya pemerintahan.
Saling peduli adalah sikap terbaik yang ada pada kualitas manusia, disinilah terdapat kekuatan untuk saling mengasihi dan akan berdampak untuk saling bersatu, bahwa kita memperhatikan nasib masyarakat lainnya didaerah-daerah yang masyarakatnya tak kita kenal, namun kita tau problematika yang mereka hadapi.
Kenapa kita harus menunggu atau bahkan menyalahkan pemerintah karena tidak melakukan sesuatu, disaat kita pun bisa melakukan sesuatu terhadapnya ("Better light a candle, then curse the darkness"). Bila kita memiliki niat dan kesungguhan, sebenarnya kita mampu melakukan hal-hal tersebut atas dasar tanggung jawab moral kita terhadap sesama anak bangsa.
Esensi:
Tak harus kita menunggu kaya, untuk saling berbagi dan saling peduli. Bukankah harta kita tak hanya materi, namun termasuk juga keahlian dan juga kemampuan yang bisa kita lakukan dengan cara kreatif untuk membuat kesadaran bersama untuk peduli dari masyarakat untuk masyarakat.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Menuju Pemuda yang Berkemanfaatan

Separah dunia politik bangsa ini yang tampak sudah terlalu rumit, mengapa kita tak memulai untuk saling peduli sesama masyarakat? Jangan lagi kita menjadi masyarakat koalisi atau oposisi, sudah seharusnya kita sebagai masyarakat memikirkan nasib masyarakat lainnya untuk bersama-sama demi membangun harkat dan martabat bangsa ini.
Begitu ragam permasalahan yang mereka alami namun juga begitu banyak keahlian dan kemampuan kita dalam berbagi baik ilmu, tenaga, gagasan, dan kebersamaan untuk membantu sesama anak bangsa. Apa yang kita mampu lakukan, maka lakukanlah.
Mungkin memang sudah saatnya masyarakat bersatu bersama membangun bangsa ini, dengan meningkatkan rasa kepedulian. Inilah bagian dari tanggung jawab moral sosial kita sebagai sesama anak bangsa, saudara setanah air.
Esensi:
Sudah saatnya para sobat, kita benahi pola pikir kita yang selama ini sudah terlalu jauh terjerumus dengan drama politik. Mari kita gunakan kemampuan kita untuk sebuah hal yang bernilai positif. Dengan kita melakukan sesuatu hal yang positif, maka kita pun akan dipenuhi rasa syukur yang tinggi serta tindakan yang tak ternilai. Saling berbagi terhadap kepedulian. Inilah saatnya kita bersatu dalam membangun harkat dan martabat sesama anak bangsa.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Menjadi Manusia yang Dikenang Karena Manfaatnya

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama.
Untuk dapat dikenang orang, tidak harus menjadi orang besar seperti Bung Karno. Setiap orang dapat menjadi manusia yang dikenang, tidak hanya ketika masih hidup tetapi juga ketika sudah tiada lagi di dunia ini. Untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama, tidak ada batasan suku, budaya, kepercayaan ataupun usia.
Esensi:
Sebagai seorang manusia, kita diberikan kebebasan oleh Tuhan untuk memilih. Menjadi manusia yang dikenang karena bermanfaat bagi orang lain, atau menjadi manusia yang dilupakan karena kehadirannya di dunia ini tidak berarti apapun bagi sesama.

Faisal Ahmad Fani (Ketua Umum Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)