Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 31 Agustus 2015

Kesalehan Sosial, Modal Utama Pembangunan Bangsa

Islam tidak melulu berbicara mengenai ibadah wajib (mahdhah, vertikal), tapi juga ibadah sosial (ghairu mahdhah, horisontal). Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya. Keduanya harus serimbang, seiring dan sejalan, saling melengkapi serta saling menyempurnakan. Melakukan ibadah wajib semata adalah orang yang merugi, karena belum memberi manfaat kepada sesama (bangsa dan negara). Sedangkan melakukan ibadah sosial tanpa dibarengi ibadah wajib, maka akan sia-sia.

Pada kenyataannya, masih banyak umat Islam di Indonesia yang masih memahami bahwa kesalehan di mata Allah SWT hanya kesalehan pribadi semata. Sementara, kesalehan sosial belum dianggap sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari hidup keseharian. Padahal, dalam ajaran Islam banyak mengandung nilai-nilai sosial yang memiliki peran yang sangat besar dan signifikan dalam pembangunan bangsa.

Berikut beberapa nilai sosial Islam yang bisa dijadikan sebagai modal dasar pembangungan bangsa, di antaranya:

Ta’awun (Tolong-Menolong)

Memiliki sifat suka menolong merupakan salah satu ciri orang yang beriman (At-Taubah: 71). Menolong tanpa pamrih, tulus, dan hanya mengharap keridhaan Allah SWT semata. Bukan menolong karena berharap imbalan materi atau ingin dipuji oleh orang lain. Tolong-menolong harus dalam hal kebaikan dan kemaslahatan, bukan dalam hal keburukan dan kezhaliman. Tolong menolong dalam  skala kecil seperti menolong tetangga atau menolong rekan kerja. Sedangkan menolong dalam skala yang luas, seperti yang kuat menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin, yang berkuasa menolong yang terzhalimi. Suka menolong harus menjadi kesadaran iman bagi setiap Muslim. Buat apa kita rajin beribadah tapi enggan memberikan pertolongan. Buat apa kita kaya-raya tapi hanya untuk diri sendiri dan enggan berbagi. Mengapa kita tidak malu mengaku Muslim jika tidak memiliki kepedulian pada orang lain. Mengapa kita mesti bangga telah menjadi orang sukses, jika di sekitar kita masih banyak orang yang kesusahan. Dan bagaimana kita bisa percaya diri mengaku sebagai pejuang, apabila kita membiarkan penyakit sosial makin merajalela. Menyantuni fakir-miskin, mengurus anak yatim, menolong kaum dhuafa bukanlah tugas pemerintah saja tapi tugas kita semua (tugas setiap orang yang mengaku beriman). Kalau ada tetangga kita yang miskin, kalau ada di kampung kita yang menjadi pengemis, kalau masih banyak di desa kita yang tidak mampu sekolah jangan langsung menyalahkan pemerintah dan salahkan diri kita sendiri. Mengapa kita tidak membantu mereka, mengapa kita tidak peduli dengan mereka. Tolong-menolong dalam lingkup kehidupan bernegara dan berbangsa terjadi antara pemerintah dan rakyat. Kedua elemen tersebut jika tidak saling tolong-menolong, maka pembangunan akan terhambat. Program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah harus mendapat dukungan dan partisipasi dari rakyat. Sedangkan pemerintah harus dengan terbuka menerima masukan dan aspirasi dari rakyat.

Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS)

Kesalehan sosial berikutnya yang memiliki peran besar dalam pembangunan bangsa adalah pelaksanaan zakat, infaq, dan shadaqah. Pada kenyataannya, walau banyak umat Islam yang kaya-raya atau berkelimpahan harta, tapi mereka masih enggan untuk berinfaq atau bersedekah. Termasuk mereka yang memiliki harta-benda yang sudah mencapai nisab, mereka pun belum mau membayar kewajiban zakat. Jika yang kaya menyantuni yang miskin, jika yang kuat dan berkelimpahan harta bersedekah kepada mereka yang dhuafa. Sehingga bisa mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sekaligus menurunkan tindak kriminal. Nilai sosial dari berinfaq dan bersedekah sangat besar perannya dalam pembangunan dan kemaslahatan umat. Maka semangat untuk berbagi, gairah untuk memberdayakan orang lain, dan sikap peduli terhadap mereka yang lemah adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam diri orang beriman. Di sisi lain, sifat-sifat serakah, rakus, zhalim, dan hubbun-dunya harus kita tanggalkan. Sementara zakat pun memiliki andil yang tak kalah pentingnya bagi pembangunan dan kesejahteraan umat. Apabila semua orang Islam yang sudah wajib zakat melaksanakannya kewajibannya dengan baik dan tepat waktu (Al Baqarah: 43), maka kesejahteraan dan kemakmuran yang akan terjadi. Bisa dibayangkan berapa uang dan harta yang akan terkumpul jika penduduk Muslim di Indonesia membayar zakat. Dana zakat yang besar tersebut bisa disalurkan untuk berbagai keperluan, seperti menyantuni fakir-miskin dan yatim piatu, pengembangan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, program dakwah maupun pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan, fasilitas sosial, dan lain-lain. Jadi, alangkah tidak bijak jika kita hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah atau menadahkan tangan meminta-minta. Karena bagaimana pun, rakyat harus proaktif dan partisipatif dalam setiap kegiatan pembangunan. Bahkan untuk mencapai pembangunan yang cepat dan berhasil guna, maka semboyan pemilu pun juga tepat diterapkan dalam hal pembangunan, yaitu "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".

Qurban

Ibadah qurban sangat dianjurkan dalam Islam. Selain bertujuan sebagai pengabdian dan bentuk ketaatan kepada Sang Pencipta, melakukan qurban merupakan perwujudan kesalehan sosial seseorang. Nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya sangatlah tinggi, diantaranya adalah solidaritas sosial, kedermawanan, kepedulian, juga persaudaraan. Dengan berqurban, kita dididik untuk memiliki karakter untuk senang berbagi. Berbagi rejeki, berbagi kebahagiaan, dan berbagi kebersamaan. Fakir-miskin dan kaum dhuafa yang jarang makan daging, bisa merasakan nikmatnya memakan daging. Sedangkan bagi yang berkurban, bisa menghilangkan ketamakan dan cinta harta berlebihan. Peristiwa qurban yang setiap tahun dirayakan umat Muslim di seluruh dunia seharusnya tak lagi hanya dimaknai sebatas proses ritual keagamaan, tetapi juga diletakkan pada peneguhan nilai-nilai sosial-kemanusiaan dan semangat keadilan, sebagaimana pesan Allah SWT dan Rasul-Nya lewat Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain, ibadah qurban bukan hanya bermakna bagaimana manusia berusaha mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama kepada mereka yang fakir-miskin dan dhuafa. Sehingga mencerminkan dengan tegas pesan nilai sosial Islam. Dalam Q.S. Al Hajj: 36 menegaskan bahwa qurban sebagai media untuk ber-taqarrub kepada Allah SWT, selalu terkait dengan anjuran untuk memperhatikan dimensi-dimensi kesejahteraan sosial baik secara material, moral, dan spiritual. Jadi, qurban bukan semata-mata ibadah individual tetapi juga ibadah sosial. Dengan disyari’atkannya qurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama (khairunnas anfa’uhum lin-naas). Di samping itu, ibadah qurban memiliki dimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal ini terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan qurban, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berbaur, berkumpul, dan berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi fakir-miskin, lebih-lebih dalam situasi krisis ekonomi dan moneter seperti sekarang ini sangat tinggi nilainya, saat mereka menerima daging hewan kurban tersebut. Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaan sosialnya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang tinggi. Atas dasar uraian tersebut, secara garis besar, semangat berqurban mempunyai dua nilai, nilai kesalehan spiritual dan nilai kesalehan sosial. Nilai sosial yang bisa diperoleh adalah semakin eratnya hubungan antara si kaya dan si miskin, memperkokoh tali persaudaraan, dan terciptanya kehidupan yang harmonis terutama dalam bidang sosial-ekonomi. Dalam kerangka kehidupan berbangsa, pelaksanaan ibadah qurban bisa membantu program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerataan ekonomi, dan menumbuhkan lapangan kerja baru. Juga memperkuat rasa persatuan dan persaudaraan, berkurangnya jurang pemisah antara si kaya dan miskin, serta timbulnya keadilan sosial dan ekonomi. Itulah beberapa perintah dan ibadah dalam Islam yang mengandung nilai-nilai sosial yang memiliki peranan besar dalam membangun diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila umat Islam di Indonesia mampu melaksanakan berbagai ibadah tersebut dengan baik, secara langsung maupun tidak langsung mereka telah berpartisipasi dan proaktif dalam membangun bangsa.

Tidak sedikit umat Islam yang masih terjebak pada ritualisme, melakukan sebuah ibadah hanya sekedar menjalankan perintah atau untuk mendapatkan pahala semata. Mereka tanpa sadar memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, atau dengan kata lain ibadah yang dilakukannya hanya berefek pada kehidupan akhirat saja.

Akibatnya tak jarang mereka melakukan suatu amalan hanya mengutamakan kuantitas tanpa memperhatikan kualitas, perbuatan yang berulang-ulang, tanpa pemaknaan dan penghayatan. Padahal setiap ibadah yang kita lakukan harus diikuti proses transendensi dan kontemplasi, dan yang terpenting adalah setiap ibadah ritual selalu memiliki implikasi sosial.

Padahal seharusnya dari mulai ibadah rutin keseharian kita, seperti shalat, dzikir, baca Al Qur’an, puasa Senin-Kamis, hingga ibadah pada waktu-waktu tertentu seperti puasa Ramadhan, shalat Id, qurban dan lain-lain. Semua itu, selain berdimensi vertikal, juga memiliki dimensi horisontal (sosial).

Dalam Q.S. Ibrahim: 7 disebutkan bahwa, "tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku". Ini mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan ke dunia ini diperintahkan untuk beribadah baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal. Namun sebagian kita masih mengartikannya secara sempit, yaitu hanya ibadah vertikal saja. Akibatnya masih banyak orang yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, antara kerja dan ibadah.

Hal ini terbukti, ada orang yang sangat rajin beribadah, tapi malas bekerja. Ada yang rutin baca Qur’an, tapi tidak peka sosial. Ada yang rajin berpuasa sunnah, tapi perilaku kesehariannya masih buruk. Kesalehan individual, tidak diikuti dengan kesalehan sosial. Padahal, nilai-nilai sosial Islam yang terkandung dalam ibadah dan ajaran Islam haruslah termanifestasikan dalam kerja dan perilaku sehari-hari.

Sering kita temui, para pemuka agama, pejabat, tokoh politik, yang sekalipun mengaku beragama dan rajin beribadah tapi masih anti-sosial dan serakah, hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok (golongan, partainya). Janji untuk dekat kepada rakyat, berpihak kepada yang lemah, dan membantu yang miskin hanyalah sekedar retorika belaka.

Sudah sepatutnyalah kita mencontoh Rasulullah SAW, para sahabat, alim-ulama, serta para pendiri negeri ini, tentang bagaimana mereka memahami agama dan mempraktikkannya. Selain mereka taat beribadah pada Allah SWT, mereka juga beramal nyata, memiliki rasa kemanusiaan dan kepeduliaan sosial yang tinggi, serta bisa menjadi contoh dan tauladan dalam berbagai hal bagi orang-orang di sekitarnya.

Ibadah yang kita lakukan sehari-hari baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial yang sangat berguna bagi kepentingan dan kemaslahatan umat. Amalan ibadah sekecil apapun, pasti memiliki dimensi sosialnya sendiri.

Nilai-nilai sosial yang terkandung dalam ajaran Islam juga sepadan dengan nilai-nilai universal, seperti musyawarah, persaudaraan, bekerjasama, menghormati orang lain, persamaan, dan sebagainya. Juga dalam ibadah qurban atau zakat, terdapat nilai-nilai universal seperti semangat berbagi, kepedulian, solidaritas, empati, dan lain-lain.

Sudah barang tentu, jika nilai-nilai sosial Islam tersebut dipahami, disadari, dan dilaksanakan oleh setiap Muslim akan memberikan sumbangsih yang sangat besar dan signifikan terhadap pembangunan bangsa dan negara. Apabila kemiskinan dapat dikurangi, ketidakadilan dapat diberantas, serta kesenjangan ekonomi tak lagi kentara, paham-paham seperti radikalisme, anarkisme, hingga terorisme juga dapat diminimalisir. Sebab tindakan-tindakan tersebut lebih dipicu oleh faktor sosial-ekonomi daripada faktor keyakinan atau agama.

Nilai-nilai sosial Islam jika diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan mampu menumbuhkan rasa cinta tanah-air dan nasionalisme. Kepedulian terhadap korban banjir, gempa bumi, tanah longsor, daerah pedalaman, akan menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dan anti-permusuhan.

Akhir kata, mari kita sama-sama kembali menggali nilai-nilai sosial dalam ajaran Islam untuk kemudian kita pahami, kita sadari, dan kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari dengan ibadah yang kita lakukan, kita asah kepekaan sosial kita, kita tingkatkan kepedulian kita untuk menuju Indonesia yang makmur dan sejahtera, serta berkeadilan sosial.


Sumber: Dikutip dari beberapa sumber
Oleh: Faisal Ahmad Fani (Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Kurban, Haji dan Kesalehan Sosial

Tiap tahun dalam bulan Dzulhijjah menjadi sangat istimewa bagi setiap umat muslim. Di dalam bulan ini dimana kita sering mendengarkan khutbah dan ceramah tentang pengorbanan Nabi Ibrahim as atas anaknya Ismail as. Dari sinilah ibadah haji dan kurban bermula serta diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW, hingga apa yang kita lakukan dalam berhaji semata-mata melaksanakan perintah Allah SWT melalui syariat yang dicontohkan Rasulullah. Ibadah haji adalah salah satu dari lima pilar islam yang telah digariskan oleh Allah SWT sebagai amalan wajib yang harus seorang muslim lakukan. Tentu saja pelaksanaannya pun sesuai dengan apa yang telah Rasulullah ajarkan. Ritual haji dalam banyak riwayat dijelaskan memiliki kelebihan yang luar biasa, sehingga tidak heran banyak dari kita memiliki cita-cita untuk dapat menunaikannya. Haji menjadi sangat istimewa dan dapat dikatakan menjadi puncak spiritualitas seorang muslim, dimana lewat haji-lah seorang muslim dapat merasa "bertemu" dengan Sang Pencipta. Selain itu secara sosial masyarakat, haji menjadi gelar sosial yang dicari banyak orang. Inilah berbagai keistimewaan haji yang telah sering kita dengarkan. Seiring dengan haji, ada satu amalan sunnah yang juga mengandung nilai yang tak kalah luar biasa yaitu kurban. Berangkat dari filosofi pengorbanan Nabi Ibrahim, kurban menjadi amalan sunnah yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah SWT. Kurban pun dapat dilakukan oleh mereka yang tidak berada di tanah suci hingga terasa sangat spesial.

Sesungguhnya dalam amalan haji dan kurban terkandung nilai yang sangat tinggi serta pelajaran berharga yang harusnya didapatkan oleh mereka yang melakoninya. Orang yang berangkat haji pasti akan meminta doa kepada kerabat dan berharap pada Allah SWT untuk menjadi haji yang mabrur atau berhasil. Begitupun dengan kurban, baik itu berkurban sapi, domba, kambing, dan hewan ternak lainnya, tentu saja mengharap agar kurban yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT dengan nilai keikhlasan didalamnya.

Indonesia sebagai sebuah negeri yang mayoritas penduduknya beragama islam dan tiap tahunnya menyumbang jamaah haji dalam jumlah besar, yang bahkan sampai membuat daftar antrian jamaah karena tidak semuanya dapat berangkat pada tahun yang sama. Seharusnya menjadi kekuatan baru untuk dapat "memabrurkan" negeri ini. Belum lagi mereka yang juga dapat melakukan kurban tiap tahunnya, tentu juga menjadi aspek yang dapat membangkitkan negeri ini. Tak dipungkiri bahwa, mereka yang dapat naik haji dan berkurban adalah orang dengan tingkat ekonomi menengah keatas. Namun tak sedikit mereka yang ada di golongan ekonomi kebawah, atas izin Allah SWT dapat juga melakukan haji dan kurban. Akan tetapi, apa yang kita banyak jumpai saat ini adalah justru apa yang mereka lakukan di tanah suci hanyalah sekedar ritual haji tanpa makna di sisi Allah SWT. Mabrur tidaknya seorang berhaji adalah predikat yang Allah SWT sematkan pada yang bersangkutan. Namun kita juga dapat menilai berdasarkan apa yang telah para ulama sampaikan, apakah orang yang ber-haji telah menjadi haji yang mabrur atau tidak.

Bukannya bersu'udzon atas niat haji yang telah dilakukan, namun gambaran mereka yang berhaji di negeri ini sesungguhnya justru sangat jauh dari nilai mabrur yang mereka harapkan sendiri. Tidak sedikit dari kalangan selebritis, pengusaha, politikus, negarawan, akademisi bahkan rakyat biasa yang ketika selesai menunaikan ibadah haji tidak mendapatkan predikat mabrur. Hal ini tercermin dari perilaku dan tindakan mereka yang sering kita saksikan melalui berbagai media. Tak sedikit para selebritis yang tidak dapat menjaga tingkah laku mereka setelah berhaji dimana masih banyak diantara mereka yang bermaksiat pada Allah SWT dengan tidak menutupi aurat mereka, bertingkah laku bebas dan sebagainya. Tidak sedikit juga para negarawan dan politikus yang telah bergelar haji tersandung kasus korupsi, kolusi, nepotisme serta masih tidak peka terhadap masyarakat. Dan bahkan tidak sedikit dari masyarakat biasa, bahkan akademisi yang notabene berpendidikan yang telah selesai melaksanakan ibadah haji justru menjadi gila hormat, dimana mereka akan tersinggung jika mereka tidak dipanggil atau ditambahkan namanya dengan gelar "haji". Lebih repotnya lagi, mereka yang "gagal" dalam hajinya adalah mereka yang banyak dijadikan contoh oleh masyarakat dan juga mereka yang mengurusi urusan masyarakat sehingga membuat citra "haji mabrur" menjadi rusak.

Melihat kenyataan ini disekitar kita sungguh sangat disayangkan. Potensi mereka yang berhaji dan berkurban harusnya dapat menjadi indikator perubahan sosial masyarakat menjadi lebih baik (islami), dimana mereka yang ber-haji biasanya menjadi orang yang dicontoh dan menjadi orang yang dapat memberikan contoh yang baik. Harusnya mereka memahami doa mereka sendiri untuk menjadi haji mabrur. Padahal dalam ritual haji dan kurban terdapat pelajaran yang luar biasa dimana mereka yang berhaji tentu saja harus mengorbankan harta dan tenaga yang besar untuk mendapatkannya. Namun begitu sungguh disayangkan jika apa yang mereka korbankan menjadi tanpa nilai disisi masyarakat apalagi di sisi Allah SWT. Haji mengajarkan para pelakunya untuk semakin mendekatkan diri pada Allah SWT, untuk semakin membuat diri mereka berguna bagi masyarakat, dan untuk memabrurkan lingkungan mereka. Dalam haji dan kurban terdapat kesalehan individu dan dapat menular dalam masyarakat, hingga mereka dapat menjadi kontrol terhadap lingkungan sosialnya hingga dapat mewujudkan kesalehan sosial. Ditambah lagi dengan mereka yang juga mampu berkurban, kurban juga mengajarkan pada para pelakunya untuk ikhlas dan siap berkorban dengan ikhlas dalam memberikan tenaga dan materinya terhadap sesama.

Dari sini kita berharap dan selalu mendoakan agar mereka yang berangkat haji benar-benar menjadi haji yang mabrur dan juga kita berdoa agar kita juga dapat berangkat haji dan benar-benar mendapatkan predikat haji mabrur. Semoga ritual haji yang telah dilakukan oleh mereka yang berangkat (utamanya petinggi di negeri ini) dapat menyadarkan mereka agar dapat memperoleh kesalehan individu dan kesalehan sosial terhadap masyarakat yang mereka atur. Dan semoga haji tidak dinegasikan menjadi kesalahan individu dan kesalahan sosial.



Sumber: Dikutip dari beberapa sumber
Oleh: Faisal Ahmad Fani (Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Kesalehan Sosial vs Kesalehan Individual

Berbagai macam cara dilakukan oleh semua orang untuk mendapatkan tujuan dan keinginannya di dunia tanpa mau membedakan mana yang haram dan mana yang halal. Memang ironis sebuah ungkapan yang menyatakan, "Buat apa mencari yang halal, mencari yang haram saja susahnya minta ampun di negara ini...". Sebuah pernyataan klise dan permisif dari seorang anak bangsa yang mencoba untuk mendeskripsikan betapa susahnya membangun moralitas individu dari semua elemen bangsa yang katanya punya karakter bangsa yang berperadaban tinggi.

Patut kita apresiasi seandainya dalam diri setiap orang ada sebuah kesalehan sosial yang melekat dan mengakar dengan kuatnya, sehingga teori perubahan sosial itu bisa berjalan dengan efektif. Namun untuk mencari sosok sang pengubah itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses yang begitu panjang. Walaupun ada, mungkin hanya segelintir orang yang memiliki komitmen kuat dalam hatinya.

Kadang kita tidak menyadarai bahwa kesalehan yang kita miliki itu hina dimata Tuhan, sedangkan kesalehan yang dimilki oleh orang-orang yang menuntut perubahan di negeri ini betul-betul mulia dihadapan Tuhan. Kenapa? Mungkin karena kita hanya asyik dengan ritual-ritual pribadi kita sendiri tanpa mau memperhatikan dan peduli orang-orang di sekitar kita. Hingga saat ini kita belum sadar bahwa pada dasarnya kita masih berjalan pincang dengan ketakwaan dan kesalehan kita. Disatu sisi kita memiliki kesalehan personal yang tinggi pada Tuhan, sementara disisi lain hak-hak sosial dalam diri kita masih sering kita acuhkan.

Padahal agama pada dasarnya diwahyukan untuk memberikan petunjuk dan way of life bagi manusia. Petunjuk tersebut tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks kesalehan personal akan tetapi sebaliknya berlaku secara makro pada tataran kesalehan sosial dan personal. Jika kita tilik secara bijak antara kesalehan personal dan kesalehan sosial keduanya berjalan linier dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik secara vertikal ataupun horizontal.

Hal ini dapat dicontohkan dengan sebuah fakta sosial yang kerap terjadi di lingkungan kita. Diantara kita banyak sekali yang telah menunaikan ibadah haji lebih dari satu kali akan tetapi ironinya kita masih belum memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap para fakir dan miskin yang hidup di sekeliling kita padahal ibadah haji pada dasarnya menjunjung tinggi kesadaran dan empati sosial terhadap sesama bukan dimaknai sebagai tour dan wisata jalan-jalan.
Kelihatannya terlalu idealis untuk menyeimbangkan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, akan tetapi kelihatannya tidak bijak jika kita tidak mencobanya dan menerapkannya dalam kehidupan manusia. Agama akan kering dengan hanya menitikberatkan pada pemaknaan yang bersifat individual tanpa menghadirkan nilai-nilai sosial didalamnya.

Tugas paling besar yang diemban oleh agama adalah transformasi dan kontrol sosial, yang dimaksud disini adalah menggerakkan dinamika ajaran agama menjadi sebuah kerja kreatif yang selalu kontekstual dengan realitas dimana agama tersebut eksis. Sehingga agama tidak kehilangan maknanya dalam dimensi yang berbeda, disamping itu agama juga mutlak ditransformasikan dalam sendi-sendi kehidupan manusia agar agama tidak selamanya melangit hingga tak terjangkau pemahaman manusia. Disinilah mungkin transformasi itu kita tanamkan dikalangan masyarakat yang hanya memahami agama dari sisi vertikal tanpa mau peduli dan peka dengan nilai-nilai horizontal yang ada di masyarakat.

Selain fungsi diatas, agama juga dijadikan sebagai kontrol sosial yang bertujuan membawa norma-norma universal yang mampu memilah kaidah-kaidah susila yang baik dan menolak kaidah yang tabu serta terlarang. Agama juga memilki kekuatan untuk memberi sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggar prinsip universal tersebut dan memberikan pengawasan bagi yang lainnya agar tetap ada pada rel yang seharusnya. Dalam konteks inilah kontrol sosial itu ditujukan buat para pejabat negeri ini yang hanya berkutat untuk membela dan memperkaya kepentingan pribadi, golongan mereka sendiri tanpa mau empati terhadap kepentingan rakyat kecil di negeri ini.

Itu semua kembali kepada individu masing-masing, dari mana dan kapan harus memulainya. Namun dalam bahasa agama dikatakan bahwa setiap manusia berkewajiban untuk memperbaiki saudaranya jika keluar dari jalur yang semestinya dengan sebijak-bijak cara, baik itu dengan kewenangannya, maupun dengan fikiran dan tulisan ataupun hanya sekedar memohonkan petunjuk buat dia agar kembali ke jalan yang benar.



Sumber: Dikutip dari beberapa sumber
Oleh: Faisal Ahmad Fani (Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Minggu, 23 Agustus 2015

The Power of Giving

Ada 2 macam paradigma dalam kehidupan ini, yaitu: mentalitas kelimpahan (abundance mentality) yaitu paradigma bahwa ada banyak di luar sana untuk semua orang dan mentalitas kelangkaan (scarcity mentality) yakni paradigma bahwa hanya ada sedikit untuk semua orang.
Orang dengan paradigma pertama akan bisa bersyukur dan menikmati hidup ini dengan tenang serta senang, karena ia tidak khawatir akan kehabisan berkah. Ia juga akan rela serta banyak memberi, karena ia yakin bahwa hidup ini adalah kaya dan berkelimpahan. Ia juga tidak akan berebut, bersaing keras apalagi mencuri hak orang lain. Pada akhirnya paradigma semacam ini akan semakin menarik banyak kelimpahan untuk datang ke dalam hidupnya.
Orang dengan paradigma kedua akan lebih banyak berkeluh kesah serta senantiasa merasa kurang, ia juga akan menjadi kikir dan serakah karena ia merasa bahwa hidup ini sempit serta terbatas. Ia akan berusaha berebut, bersaing dan berusaha mati-matian demi mendapatkan hasil yang sedikit. Pada akhirnya paradigma semacam ini juga akan membuat hidupnya semakin merana, terus berkekurangan serta jauh dari berkah dan kelimpahan.
Elizabeth Dunn seorang pakar psikologi sosial bersama timnya melakukan penelitian perilaku kepada 109 mahasiswa University of British Columbia, Kanada. Kepada para mahasiswa tersebut diberikan uang sebesar 5 dan 20 dollar untuk dibelanjakan bagi diri sendiri maupun untuk diberikan bagi kepentingan orang lain. Setelah dievaluasi ternyata mahasiswa yang memberikan atau membelanjakan uangnya untuk orang lain lebih berbahagia daripada yang menggunakan uang itu untuk dirinya sendiri.
Penelitian lain juga dilakukan di Tecumseh, Michigan, AS selama 10 tahun terhadap 2.700 orang yang menunjukkan bahwa orang yang melakukan kegiatan sosial secara sukarela memiliki resiko meninggal dunia dua kali lebih rendah daripada mereka yang tidak. Penelitian di Wellesley College terhadap 200 orang juga menunjukkan bahwa mereka yang aktif dalam kegiatan sosial memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih baik.
Majalah ilmiah populer Science Now Daily News edisi 20 Maret 2008 menerbitkan sebuah artikel berjudul: “The Secret of Happiness? Giving” berdasar dari berbagai hasil penelitian. Semua hal ini menunjukkan bahwa aktifitas memberi atau berbuat sesuatu bagi orang lain akan memberikan kebahagiaan serta manfaat untuk diri kita sendiri. 
Ada banyak sekali kisah tentang kedahsyatan dari kekuatan memberi ini. Inilah yang disebut sebagai berkah pelipatgandaan. Ada sebuah pengalaman tentang seseorang yang bersedekah 400 juta dan kemudian mendapatkan “rejeki nomplok” sebesar 21 milyar hanya dalam waktu 2 bulan.
Sebuah kisah nyata tentang keajaiban memberi adalah sebuah kisah tentang seorang mahasiswa kedokteran miskin yang membiayai kuliahnya dengan bekerja menjadi seorang salesman. Suatu ketika ia merasa sangat lelah dan kehausan di jalan sementara uang sakunya sudah hampir habis, dia pun meminta segelas air kepada seorang ibu. Dengan ramah ibu itu kemudian memberinya segelas susu, karena merasa kasihan dengan anak muda tersebut. 
Selang beberapa tahun kemudian ibu itu jatuh sakit sehingga harus dioperasi, meskipun khawatir jika dia tidak sanggup membayar biaya perawatannya namun dia akhirnya tetap menjalani operasi tersebut. Saat dokter memeriksa ibu tersebut betapa kagetnya ia ketika mengetahui bahwa ibu inilah yang dulu pernah memberinya segelas susu bertahun-tahun yang lalu, singkat cerita operasi pun berjalan dengan sukses. Ketika ibu itu kemudian menanyakan kepada petugas administrasi tentang berapa biaya yang harus dibayarnya, dia heran dan terkejut karena cuma menerima sebuah amplop dengan tulisan yang tidak dimengertinya. Pada kertas itu tertulis kalimat: “Telah terbayar lunas oleh segelas susu bertahun-tahun yang lalu”. Ibu ini tidak paham apa maksud kalimat tersebut, setelah bertanya kepada suster tentang jati diri orang yang telah begitu berbaik hati membayar semua tagihannya (yang dia sendiri tidak akan pernah sanggup membayarnya itu) dia pun kemudian berusaha menemui dewa penolongnya itu. Betapa terkejut dan terharunya ibu itu ketika teringat bahwa dokter itulah salesman muda yang dulu pernah mampir ke rumahnya dan meminta segelas air. Ketulusan dan pemberian kecil yang seolah tidak begitu berharga ternyata telah sanggup menyelamatkan nyawanya. Inilah keajaiban dari  kekuatan memberi dan sedekah.
Kasih sayang menemukan ungkapan yang paling alami dan spontan dalam tindakan memberi, pemberian adalah bentuk pelepasan daya yang akan kembali kepada kita secara berlipat ganda. Rasa syukur  dan sedekah bisa mengubah segalanya, tujuan kita bertumbuh adalah agar kita bisa memberi. Tindakan kebaikan dan kemurahan hati pada akhirnya akan menuai kemurahan dari Tuhan dan juga dari orang lain. Dengan banyak memberi maka kita juga akan banyak menerima, dengan banyak memberi kita juga akan berkelimpahan. Tidak ada orang yang jatuh miskin atau bangkrut karena memberi, yang ada justru orang akan semakin makmur, kaya dan berkelimpahan karena banyak memberi. Barang siapa menabur sedikit ia akan menuai sedikit, dan barang siapa menabur banyak ia juga akan menuai banyak. 
Lihatlah orang-orang yang paling kaya  di dunia ternyata juga adalah orang yang paling dermawan di dunia. Kekayaan mereka tidak menjadi surut meskipun telah menyumbang miliaran dollar bahkan justru menjadi semakin berlipat ganda, seperti: Warren Buffet telah menyumbangkan hartanya sebesar 30,7 milyar dollar, Bill Gates sebesar 29 milyar dollar, Li Ka Shing sebesar 10 milyar dollar  serta Oprah Winfrey, Michael Jackson dan Michael Bloomberg yang masing-masing sebesar 300 juta dollar.
Harta bagaikan benih padi, sebagian untuk dimakan dan sebagian untuk ditabur lagi. Tapi yang dimakan akan habis sedang yang ditabur justru akan menjadi berlipat ganda. Alam semesta juga selalu memberi dengan tanpa batas, Tuhan juga selalu memberi tanpa pernah menghitung-hitungnya. Hukum alam mengajarkan kepada kita bahwa apa yang kita beri akan selalu kembali kepada kita, oleh karena itu berikanlah apa yang ingin anda terima. Jika anda menginginkan cinta, maka berikanlah cinta terlebih dahulu. Jika anda ingin mendapatkan harta, maka berikanlah hal itu terlebih dahulu. Apapun yang kita lakukan semuanya akan berbalik dan kembali kepada kita, sehingga tidak ada satupun yang hilang percuma dan juga tidak ada satupun yang sia-sia di alam ini.



Sumber: Dikutip dari beberapa sumber
Oleh: Faisal Ahmad Fani (Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Jumat, 21 Agustus 2015

Paradigma “Qabil vs Habil” dalam Berzakat

Kualitas amal seseorang sangat ditentukan oleh paradigma atau cara pandang yang digunakannya. Orang akan bertindak sesuai dengan apa yang dipahami dan dipikirkannya. Karena itu, memahami konsep Islamic Worldview merupakan hal yang sangat strategis untuk kita lakukan agar cara pandang kita terhadap sesuatu tidak keliru jika dipandang dari perspektif agama. Termasuk diantaranya adalah cara pandang tentang ber-zakat, ber-infak, dan ber-shadaqah (ZIS).

Terkait dengan cara pandang terhadap ibadah ZIS, kita sering mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa sedekah Rp 100 ikhlas lebih baik daripada sedekah Rp 10 ribu tidak ikhlas. Jika ditinjau dari perspektif syariah, tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Hal ini dikarenakan oleh pentingnya keikhlasan dalam segala amal perbuatan yang dilakukan, termasuk dalam bersedekah. Sikap ikhlas akan mengantarkan seseorang pada puncak kualitas amal soleh dan penghambaan terhadap Tuhannya. Ikhlas adalah pondasi dasar yang sangat menentukan kualitas “reward” yang akan diberikan Allah. Karena itu, menjaga keikhlasan dalam beramal merupakan hal mutlak yang perlu dilakukan oleh seorang hamba.

Namun demikian, yang ingin penulis soroti adalah pada bentuk komparasi yang digunakan dalam menghubungkan suatu ibadah dengan sisi keikhlasan. Pada contoh pernyataan di atas, bentuk komparasi yang digunakan berpotensi untuk memberikan persepsi bahwa ikhlas itu selalu identik dengan dengan sesuatu yang lebih kecil. Seolah-olah refleksi ikhlas itu tercermin pada bentuk ibadah yang tidak optimal dan cenderung apa adanya. Ada kesan bahwa untuk ikhlas dalam bersedekah, kita cukup memberi dengan nilai yang sangat minimal. Paradigma yang terbentuk adalah paradigma minimalis dalam bersedekah.

Selain paradigma minimalis, yang juga sering diajarkan adalah paradigma “bekas dan sisa” dalam bersedekah. Sebagai contoh, dalam kegiatan bakti sosial, seringkali kita diajak untuk menyumbangkan pakaian bekas namun masih layak pakai. Sekali lagi, tidak ada yang salah secara syar’i dengan ajakan ini. Akan tetapi, pola-pola seperti ini akan menanamkan persepsi bahwa berbagi itu tidak perlu dengan yang baru, melainkan cukup dengan yang “bekas dan sisa”.

Melihat gambaran tersebut, maka penulis berharap bahwa paradigma sedekah minimalis dan sedekah sisa ini harus diubah menjadi paradigma sedekah optimal dan sedekah terbaik. Caranya adalah dengan mengajak bersedekah ala Habil, dan bukan ala Qabil. Penulis mengistilahkannya dengan Habil Style of Giving dan bukan Qabil Style of Giving.

Sebagaimana diketahui bahwa Qabil dan Habil adalah putera Nabi Adam AS yang berselisih mengenai calon pasangan hidupnya. Qabil ingin dinikahkan dengan saudara kembarnya dan menolak untuk dinikahkan secara silang dengan saudara kembar Habil karena menganggap kembarannya lebih cantik. Syariat saat itu mewajibkan nikah secara silang karena Nabi Adam AS dan Siti Hawa senantiasa melahirkan anak-anak yang kembar sepasang. Singkat cerita, Allah memerintahkan keduanya untuk berqurban mempersembahkan yang terbaik kepada-Nya dari hasil usaha mereka selama ini.

Dalam kisah itu diketahui bahwa profesi Qabil adalah sebagai petani dan Habil adalah peternak. Setelah mendapat perintah Allah SWT, maka yang dilakukan Qabil adalah dengan berqurban menyedekahkan hasil-hasil yang buruk dari panen produk pertaniannya, sementara Habil mempersembahkan hasil ternak yang terbaik. Sejarah kemudian mencatat bahwa persembahan Habil-lah yang diterima oleh Allah SWT.

Kisah ini memberikan pelajaran bahwa dalam berbagi, hendaknya dilakukan secara optimal sesuai dengan kemampuan. Dalam contoh sebelumnya, mestinya doktrin yang disampaikan adalah bersedekah Rp 10 ribu ikhlas itu lebih baik daripada Rp 100 tapi tidak ikhlas. Bakti sosial dengan memberikan pakaian baru dengan ikhlas, jauh lebih baik dibandingkan dengan bakti sosial dengan memberikan pakaian bekas.

Inilah tantangan edukasi zakat, infak dan shadaqah (ZIS). Yaitu, bagaimana kita menumbuhkan semangat Habil Style of Giving dan bukan Qabil Style of Giving. Sehingga, yang kemudian muncul adalah semangat untuk ber-ZIS secara optimal dan senantiasa ingin mempersembahkan yang terbaik.



Sumber: Dikutip dari beberapa sumber
Oleh: Faisal Ahmad Fani (Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Kembalilah Ke Khittah Negara Kesejahteraan

Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mendapat giliran mengucapkan pidato tentang landasan dasar falsafah Undang-Undang Dasar (philosofische grondslag). Sebelum pidato Bung Karno tentang dasar negara, tokoh senior dari unsur Islam dalam keanggotaan BPUPKI dan Ketua Muhammadiyah yaitu Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan pidato dalam sidang bersejarah itu, mengupas pandangan Islam tentang hidup bernegara. Maka tidak heran dalam pidatonya Soekarno, sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus.

Dalam buku Pertumbuhan Histroris Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), Prawoto Mangkusasmito menulis; Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu dokumen yang disusun dan ditanda-tangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9 orang anggota Badan Penyelidik. Rumus Pancasila yang pertama ini kemudian terkenal dengan nama “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter”. Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam Proklamasi dan Konstitusi (1951) menegaskan “Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi”.

Menjelang rapat pengesahan UUD pada 18 Agustus 1945 jiwa besar dan toleransi yang luar biasa ditunjukkan oleh para eksponen pemimpin Islam waktu itu (Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku M. Hasan). Mengikuti saran Bung Hatta, mereka bersedia menghapus kalimat, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari rancangan Mukaddimah UUD. Kalimat itu diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” (konotasinya tauhid, surat Al Ikhlas dalam Al Quran). Perubahan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Dengan demikian, dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang disahkan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 menorehkan pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 belakangan ditetapkan sebagai Hari Konstitusi berdasar Keputusan Presiden No 18 Tahun 2008.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud membicarakan lebih luas seputar lahirnya dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Tetapi satu persoalan yang ingin dikemukakan, ialah sejauh mana konsistensi bangsa Indonesia dan para pemimpinnya menjalankan khittah negara kesejahteraan.

Pidato Bung Karno tentang dasar negara tanggal 1 Juni 1945 secara gamblang menyebut: “Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera…?”.

Dalam konteks negara kesejahteraan sesuai Pancasila, negara bertanggungjawab terhadap fakir miskin dan tidak boleh membiarkan tumbuhnya kesenjangan sosial di masyarakat. Prinsip itu dibakukan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Para pendiri negara, seperti Bung Hatta, menekankan pentingnya “demokrasi ekonomi”, di samping “demokrasi politik”. Demokrasi ekonomi memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan sosial.

Pernyataan Proklamator Kemerdekaan/Wakil Presiden RI Pertama Dr. H. Mohammad Hatta dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 30 Agustus 1975 patut direnungkan kembali. Kata Bung Hatta, ”Kita patut merasa sedih, bahwa suatu hal yang sangat penting dalam kewajiban melaksanakan keadilan sosial, bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sampai sekarang masih sedikit sekali yang terlaksanakan oleh negara. Juga pasal 33 tentang kesejahteraan sosial yang dikemukakan dalam perjuangan kemerdekaan..., masih banyak yang terkatung-katung”.

Dalam tulisan tentang Ilmu dan Agama (1980), Bung Hatta mengemukakan, “Kita bandingkan negara kita dengan negara Barat, mereka tidak mempunyai Pancasila, tapi mereka melaksanakan apa yang dinamakan keadilan sosial itu. Di negara Barat, kalau ada orang sudah berumur 65 tahun sekalipun ia petani, pegawai, bankir, atau apa saja, dia diberi pensiun oleh negara, sebab bagaimana pun dia dianggap berjasa bagi masyarakat. Kita membiarkan orang terlantar, tidak bisa hidup secara baik. Inilah cara kita menjalankan agama kita. Hendaknya ini dijalankan secara baik”.

Ketika menguraikan Pengertian Pancasila (1981) Bung Hatta mengingatkan, “Orang lupa, bahwa kelima sila itu berangkaian, tidak berdiri sendiri-sendiri. Di bawah bimbingan sila yang pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu ikat-mengikat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya”.

Kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan harus ditopang oleh sistem jaminan sosial. Saat ini banyak orang yang tidak paham bahwa lembaga negara harus dikelola seperti lembaga nonprofit. Pengurangan dan pencabutan subsidi APBN menyangkut hajat hidup orang yang mengakibatkan bertambah beratnya beban hidup rakyat dianggap sebagai kewajaran. Monopoli penguasaan kawasan yang didominasi perumahan, pusat bisnis dan apartemen mewah dengan menyingkirkan masyarakat kelas bawah ke daerah pinggiran, sebagaimana disoroti Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Pekan Raya Jakarta 2015, kian menambah kesenjangan sosial.

Dari perspektif ideologi kebangsaan, negara harus hadir untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat di berbagai bidang. Sebuah analisis menyimpulkan mata-rantai kemiskinan takkan pernah bisa diputus jika akar persoalan seperti akses pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya bagi keluarga tidak mampu belum bisa dijangkau oleh setiap penduduk dan warga negara. Untuk itu penerimaan pajak harus selalu menjadi sektor andalan keuangan negara, tapi bukan pajak yang membebani rakyat kecil. Jika pengelolaan negara terdistorsi dengan paradigma profit, maka misi negara untuk melayani rakyat tidak akan pernah berhasil.

Politik perekonomian yang diamanatkan founding fathers negara pada tahun 1945 antara lain menggariskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu, liberalisasi ekonomi dipandang sebagai inkonsistensi dari prinsip dasar kenegaraan kita.

Ketua MPR-RI Zulkifli Hasan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan Wakaf dan Aset-Aset Masjid tanggal 25 Mei 2015 di Jakarta mensinyalir tingginya kesenjangan ekonomi antara masyarakat kaya dan miskin dewasa ini. Kekayaan Indonesia yang melimpah, 40 persennya ternyata hanya dikuasai oleh 23 orang saja. Betapa tidak adilnya kondisi ini hingga memicu kesenjangan yang kian menganga dan jurang antara si kaya dan si miskin. Demikian Zulkifli Hasan.

Dalam rangka kembali ke khittah negara kesejahteraan, peran dan kontribusi umat Islam melalui ekonomi syariah, zakat dan wakaf perlu dioptimalkan. Umat Islam yang mayoritas dari segi jumlah perlu melakukan gerakan kolektif untuk mempertahankan peran di bidang ekonomi agar tidak semakin terpinggirkan di tengah persaingan ekonomi dan kapital asing.

Umat Islam harus memiliki kesadaran membayar zakat, zakat adalah kekuatan umat yang terpendam. Seiring dengan itu diperlukan awareness lembaga zakat untuk menjamin ketersediaan dana zakat bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Fungsi zakat sebagai jaminan sosial dan sumber pembiayaan ekonomi perlu terus dikembangkan untuk kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.



Oleh: M. Fuad Nasar (BAZNAS)

Pembinaan Mental dan Agama, Syarat Memperbaiki Ekonomi

Pemberian modal usaha dalam bentuk pinjaman atau hibah di sektor UKM (Usaha Kecil dan Menengah) telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah secara langsung maupun melalui fasilitas perbankan. Tetapi belum banyak program bantuan modal bagi UKM yang dipadukan dengan pembinaan mental dan agama. Program semacam itu masih jarang, tapi bagi lembaga zakat merupakan sesuatu yang tidak asing lagi.

Oleh karena itu, pembinaan mental dan agama harus diupayakan menyatu dalam setiap program pemberdayaan UKM. Seorang sarjana Barat bernama Richard F. Gill menegaskan, proses perkembangan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor non-ekonomis yang bersumber pada unsur manusia yang terlibat dalam proses ekonomi itu sendiri. Sedangkan manusia seperti diketahui bukanlah semata-mata homo-economicus, tapi juga merupakan homo-methaphysicus atau homo-religiousus.

Dalam tinjauan Islam, kemiskinan wajib ditanggulangi, tidak semata-mata dari ukuran ekonomi, tapi juga ukuran non-ekonomi. Islam sebagai pandangan hidup berasal dari Allah yang menciptakan manusia, mengajarkan konsep kesejahteraan dalam ukuran yang sempurna, yaitu kesejahteraan dalam ukuran fisik material dan mental spiritual sebagaimana tergambar dalam Al Quran, surat Al Quraisy.

Dalam Islam, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya menjadi fakir dan miskin. “Kefakiran membawa seseorang kepada kekufuran.” (H.R. Abu Nu’aim). Kekayaan dalam yang ada di sekitarnya adalah sumber kehidupan bagi semua orang. Semua karunia Allah hanya dapat dinikmati bila manusia mau berikhtiar dan berusaha pada jalan yang halal dan terhormat. Di sisi lain, Islam mengajarkan tolong menolong diantara sesama umat manusia. Sesuai stimulans ajaran Islam dan etos sosial yang perlu ditanamkan dalam kehidupan umat Islam, bahwa yang kaya wajib membantu yang miskin dan mereka yang kuat harus melindungi saudaranya seiman yang lemah.

Mengutip Sjafruddin Prawiranegara dalam bukunya Agama dan Bangsa, Kumpulan Karangan Terpilih, Jilid 3 (Penyunting Ajib Rosidi, Pustaka Jaya, 2011) bahwa pandangan hidup yang bersifat sekuler-materialistik harus dirombak sebagai syarat mutlak untuk memperbaiki ekonomi. Semakin banyak orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbakti kepada masyarakat, semakin besar kemungkinan untuk memperbaiki keadaan materiil masyarakat yang bersangkutan. Hanya jiwa-jiwa yang bersih, jiwa yang tidak mau berbuat aniaya terhadap orang lain dan tidak mau mengambil hak yang bukan haknya, dan senantiasa bersedia berbuat baik terhadap sesama manusia, yang akan sanggup menciptakan masyarakat yang makmur.

Dalam konteks pemberdayaan UKM yang bertujuan mengangkat taraf hidup rakyat jelata, memang tidak semudah membalik telapak tangan. Kegagalan usaha bukanlah berarti “kartu mati”, apalagi buat mereka yang para penerima manfaat dana zakat, infak dan sedekah. Adalah tugas amil zakat untuk tekun membina dan membimbing mereka agar menjadi warga masyarakat yang produktif.

Kita harus melawan “mitos” yang sejak zaman penjajahan ditanamkan bahwa pribumi malas dan pribumi tidak dapat dipercaya. Jika mitos semacam itu tidak dihilangkan, meski belum tentu benar, maka yang menikmati pertumbuhan ekonomi dan menguasai aset-aset produksi adalah lapisan atas yang memiliki modal dan akses pada kekuasaan. Adapun rakyat jelata yang mayoritas adalah umat Islam, tetap saja terpinggirkan sebagai kelompok ekonomi marjinal. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar Ra’d [13]: 11).



Oleh: M. Fuad Nasar (BAZNAS)

Zakat dan Jaminan Sosial

Salah satu isu hangat yang diperbincangkan dalam dua pekan terakhir ini adalah masalah ketidaksesuaian syariah dari BPJS Kesehatan. Alhamdulillah, atas kesadaran semua pihak terkait, baik BPJS, MUI, DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional), OJK, Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan, maka persoalan tersebut akan diatasi melalui pembentukan tim gabungan yang bertugas antara lain memperbaiki aspek-aspek tertentu yang menjadi penyebab ketidaksesuaiannya dengan syariah.

Secara konsep, jaminan sosial merupakan gagasan yang sejalan dengan syariat Islam. Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat memperhatikan kondisi sosial masyarakat, dan menempatkan hal tersebut sebagai salah satu prioritas utama pemerintah atau ulul amri yang harus dilaksanakan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan publik. Apalagi Islam memiliki pranata tersendiri dalam melaksanakan jaminan sosial, terutama bagi orang-orang yang tidak mampu (dhuafa). Zakat, infak, dan shodaqoh adalah jaminan sosial yang abadi bagi kepentingan kaum dhuafa, dengan catatan zakat itu dikelola oleh amil yang amanah, bertanggung jawab, dan profesional, serta didukung oleh pemerintah yang berpihak pada kaum dhuafa.

Surat At-Taubah ayat 60 yang menjelaskan golongan yang berhak menerima zakat atau mustahik telah menempatkan fakir miskin di urutan pertama dan kedua. Oleh karena itu, Rasulullah SAW menyatakan di dalam sebuah hadist bahwa adanya kelaparan atau kekurangan pangan bagi penduduk yang miskin salah satu penyebabnya adalah kebakhilan para Agniya (orang kaya) yang tidak mau berzakat dan berinfak. Ketika zakat itu tertahan di tangan mereka, maka tidak akan ada jaminan sosial bagi orang-orang fakir dan miskin.

Abu Bakar as Siddiq, sebagai khalifah pertama, memberikan peringatan yang keras bagi orang-orang yang tidak mau berzakat dengan ucapannya yang sangat terkenal, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan antara kewajiban shalat dan kewajiban zakat”. Peringatan ini mengindikasikan urgensi peranan zakat di dalam kehidupan seorang Muslim.

Jika dilihat pada kondisi saat ini, sebenarnya gagasan BPJS Syariah dapat diharmonisasikan dengan ibadah zakat. Zakat dapat hadir sebagai salah satu sumber dana bagi pemegang BPJS Syariah yang merupakan golongan fakir miskin. Tentunya, hal ini dapat terealisasi jika ada sinergi dan kerja sama yang baik antara pengelola BPJS dan badan pengelola zakat.

Isu BPJS Syariah ini harus dijadikan peluang dan kesempatan peran pranata Islam seperti zakat, infak, dan shodaqoh sebagai jaminan sosial yang langsung bagi masyarakat dhuafa yang jumlahnya saat ini masih banyak.



Oleh: Prof. Didin Hafidhuddin (BAZNAS)

Peran Pemimpin Islam Sekitar Proklamasi Kemerdekaan

Tanggal 17 Agustus 2015 kemarin, bangsa Indonesia memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-70 Republik Indonesia. Hari paling bersejarah dan terukir dalam hati sanubari anak negeri dari masa ke masa.

Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Islam dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyatakan, “Kemerdekaan RI dicetuskan tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Apa yang tersedia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu? Yang tersedia adalah Rancangan UUD dan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), karena piagam sudah dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan”.

Mengenai Piagam Jakarta, salah seorang pendiri negara Republik Indonesia dan Pahlawan Nasional Mahaputra Prof. Dr. Mr. H. Muhammad Yamin dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia yang diterbitkan tahun 1952 menegaskan, “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah Konstitusi RI serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi”.

Seperti diketahui Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromistis antara golongan Islam (nasionalis islami) yang menginginkan negara Indonesia dibangun di atas dasar-dasar ajaran Islam dan golongan kebangsaan (nasionalis sekuler) yang menginginkan negara nasional dengan pemisahan secara mutlak agama dari kehidupan bernegara. Piagam Jakarta dapat disebut sebagai “jantung” cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dan dokumen kesepakatan tertinggi mengenai dasar negara Republik Indonesia.

Sore hari 17 Agustus 1945, Bung Hatta menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Bung Hatta sendiri lupa namanya, tamu yang datang sebagai utusan Kaigun itu memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap kalimat dalam Piagam Jakarta yang merupakan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka memberi “ultimatum” lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Dalam buku Sekitar Proklamasi, Bung Hatta mengungkapkan, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.” tulis beliau.

Bung Hatta akhirnya menerima keberatan dimaksud dan berjanji akan menyampaikan kepada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, esok harinya. Pagi hari 18 Agustus 1945 sebelum dimulainya sidang PPKI dengan agenda pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi tiga orang anggota PPKI yang mewakili golongan Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dalam keterangan Prawoto, K.H.A.Wahid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa Timur.

Wakil Presiden Pertama RI itu meminta para tokoh Islam tersebut berkenan menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior pada waktu itu semula keberatan. mengingat rumusan kalimat mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam sidang BPUPKI  22 Juni 1945. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Bung Hatta. Keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo.

Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata menyangkut syariat Islam menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Menurut Bung Hatta, “Pada waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan  ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.”

Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo mengemukakan, “Perubahan tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Prawoto Mangkusasmito beberapa tahun setelah itu menanyakan kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “tauhid”.

Dalam kaitan ini Alamsjah Ratu Perwiranegara semasa menjabat Menteri Agama menegaskan: “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia”.

Semoga Tuhan mengaruniakan taufik, hidayah dan inayah kepada seluruh bangsa Indonesia agar senantiasa berada di jalan yang benar, bersatu-padu dalam melaksanakan cita-cita kemerdekaan dengan mewujudkan keadilan, kemakmuran serta menjaga kedaulatan tanah air tercinta.

Dirgahayu 70 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.



Oleh: M. Fuad Nasar (BAZNAS)

Letakkan Dunia di Tanganmu Jangan di Hatimu

Sesusah-susahnya orang menjalani hidup di dunia, dia tetap saja merasa betah tinggal di dalamnya. Saat orang ditawari untuk mati saat ini juga, dia pasti berfikir dua kali untuk meng-iyakannya. Hidup di dunia memang betah. Menikmati tarikan nafas dari udara yang gratis, masih diberi enak makan dan nyenyak tidur, sehat fisik, apalagi kalau diberikan berbagai kemudahan dari rezeki duniawi. Uang banyak, harta berlimpah, istri cantik dan anak-anak yang shaleh shalehah.

Tapi pernahkah kita berfikir bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara saja. Hanya mampir ngombe kalau istilah Jawa. Sehingga segala sesuatu yang menempel dengan urusan duniawi pun hanyalah sementara. jabatan, pangkat, keberlimpahan harta, semuanya sementara. Pada akhirnya tak ada yang akan kita bawa jika maut datang menghampiri kita. Hanyalah selembar kain kafan saja dan amal kebaikan yang akan setia menemani kita.

Istri dan anak-anak yang sangat kita cintai, tak akan pernah mau menemani kita masuk liang lahat, koleksi rumah mewah, kendaraan mahal, emas intan permata, semuanya akan kita tinggalkan. Semuanya pergi, semuanya meninggalkan kita. Semuanya tak akan ada yang mampu menolong dan menyelamatkan kehidupan kita selanjutnya pasca masuk melalui pintu kematian.

Jadi letakkanlah dunia di tanganmu jangan di hatimu. Dunia yang ada di dalam genggaman tangan, akan menjadikan kita tidak terjebak pada sikap terlalu mencintai dunia. Tak akan terjerembab pada laku culas dan kerakusan yang sangat, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Dunia yang diletakkan di dalam genggaman tangan, akan menjadi wasilah kebermaknaan dan kemanfaatan bagi mahluk Tuhan yang lain. Dia akan banyak berterima-kasih pada Tuhan dan sesama manusia lainnya. Saat ia menerima, dia akan segera kasih kepada orang lain, peduli dengan sesama.

Terima…Kasih..! Terimaa…Kasih..! begitulah satu ungkapan kalimat yang sering kita katakan. “terima kasih”. Dia tidak akan berlaku layaknya fir’aun dan qorun yang hobinya mengumpul-ngumpul harta, hingga kunci lemari dan gudangnya pun harus diangkut oleh unta. Dia tidak akan sekali-kali meletakkan dunianya di dalam hati.

Orang yang meletakkan dunia di dalam hati, akan selalu banyak merasa kehilangan, jika hartanya berkurang walau sedikit. Dia akan segan dan sayang untuk berbagi pada sesama, untuk memberi kemanfaatan bagi manusia yang lainnya. Dia akan merasakan sakit, pikiran tegang dan tak akan pernah merasa tenang dalam segala keberlimpahannya.

Ketakutan akan senantiasa menderanya. takut di rampok orang, takut didatangi orang yang meminta sumbangan, takut ditangkap oleh aparat negara, takut kekayaannya hilang dari kehidupannya. Dia akan sangat takut miskin, dan pada akhirnya berharap akan hidup selamanya, takut akan datangnya kematian.

Kemalangan apa yang lebih dalam, selain hati yang diliputi oleh urusan duniawi yang melalaikan. Hati yang sibuk dengan urusan dunia. Hati yang dipenuhi kecintaan terhadap dunia dan membenci kematian, hubbud dunya wa karahiatul maut.

Letakkanlah dunia dalam genggaman tangan, jangan letakkan dunia di dalam hati.



Ditulis oleh Usman Kusmana / Kompasiana.

Sudah Bersyukur Hari ini?

Bismillah, banyak nikmat yang sudah kita peroleh. Kalau mau liat seberapa besar (meskipun tidak akan kehitung) coba main ke pantai, kemudian dari laut yang segitu luasnya, segitu banyak airnya, kita celupkan jari kita. Lalu angkat jari kita, kemudian ada sisa air laut diujung jari kita, nah hanya setetes itu dari lautan yang sangat luas, itulah nikmat dunia.

“Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR. Muslim).

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An Nahl: 18).

Di antara sifat orang beriman adalah ketika mendapat berbagai kenikmatan, dia bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut yaitu Allah. Dia ucapkan: “Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah” dan ucapan yang sejenisnya.

Memang arti syukur sendiri adalah memuji kepada Dzat yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan kebaikan. Tapi cukupkah dengan hanya memuji melalui lisan semata?

Sudah Bersyukur Hari ini? Sebenarnya tidak cukup hanya dengan itu, karena betapa banyaknya orang yang memuji Allah dengan lisan-lisan mereka ketika mendapatkan nikmat tetapi bersamaan dengan itu tetap bergelimang DALAM KEMAKSIATAN.

Syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan. Adapun tugasnya hati adalah pertama: mengakui nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah bukan dari yang lainnya walaupun sebabnya bisa jadi melalui teman, jual beli atau yang lainnya akan tetapi semuanya itu hanyalah sebab atau perantara dalam mendapatkan nikmat akan tetapi pada hahikatnya yang memberinya hanyalah Allah semata; Dan kedua: mencintai Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut demikian juga mencintai nikmat tersebut.

Adapun tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah Ta’ala) dan menahan nikmat tersebut jangan sampai digunakan untuk kemaksiatan kepada-Nya.

Dan sungguh Allah telah menggandengkan SYUKUR dengan IMAN dan mengkhabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengadzab makhluk-Nya apabila mereka bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَءَامَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Allah tidak akan menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (An-Nisaa`:147).

Allah juga mengkhabarkan bahwasanya orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang khusus diberikan ANUGRAH di antara hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلاَءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (Al-An’aam:53).

Dan Allah membagi manusia bahwasanya di antara mereka ada orang-orang yang BERSYUKUR dan ada pula yang KUFUR, maka sesuatu yang paling dibenci oleh Allah adalah kekufuran dan pelakunya dan sebaliknya sesuatu yang paling dicintai oleh Allah adalah rasa syukur dan pelakunya. Allah berfirman:
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Al-Insaan:3).

Dan Dia juga berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kalian memaklumkan: “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya ‘adzab-Ku sangat pedih” (Ibraahiim:7).

Di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala mengaitkan tambahan nikmat dengan SYUKUR, sementara tambahan nikmat dari-Nya tiada akhir/batasnya sebagaimana tidak ada batasnya untuk mensyukuri-Nya, dan Allah menerangkan bahwasanya kebanyakan balasan yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya itu tergantung kehendak-Nya, seperti firman-Nya:
وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ
“Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki” (At-Taubah:28).

Dia juga berfirman tentang masalah ampunan:
وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ
“Dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Al-Maa`idah:40).

Dan Dia berfirman tentang masalah taubat:
وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ
“Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya” (At-Taubah:15).

Allah memutlakkan balasan syukur dengan semutlak-mutlaknya ketika menyebutnya seperti firman-Nya:
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Aali ‘Imraan:145).

Dan ketika musuh Allah, Iblis, mengetahui betapa tingginya kedudukan syukur, dan bahwasanya syukur itu termasuk dari seagung-agung kedudukan dan yang paling tingginya, maka dia (Iblis) menjadikan tujuan (utamanya) adalah berusaha memutuskan manusia dari syukur, lalu dia berkata:
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at)” (Al-A’raaf:17).

Allah telah mensifati orang-orang yang bersyukur bahwasanya mereka adalah orang-orang yang sedikit di antara hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (berterima kasih)” (Saba`:13).

Dan telah tetap di dalam Ash-Shahiihain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Bahwasanya beliau berdiri shalat malam sampai kedua telapak kakinya bengkak-bengkak, maka dikatakan kepada beliau: Mengapa engkau melakukan ini dalam keadaan Allah telah mengampuni seluruh dosa-dosamu yang dahulu maupun yang akan datang? Maka beliau menjawab: “Apakah aku tidak boleh untuk menjadi orang yang bersyukur?”.

Dan telah tetap di dalam Musnad Al-Imam Ahmad bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz: “Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu, maka janganlah kamu lupa untuk mengatakan setelah selesai dari setiap shalat fardhu:
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya”.

Syukur itu pengikat kenikmatan dan sebab bertambahnya nikmat, sebagaimana diucapkan oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz:
“Ikatlah NIKMAT-NIKMAT Allah dengan SYUKUR kepada-Nya”.

Dan Ibnu Abid Dunya telah menyebutkan dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwasanya dia berkata kepada seorang laki-laki dari daerah Hamdzaan: “Sesungguhnya nikmat itu disambung dengan syukur sedangkan syukur itu sendiri berkaitan dengan bertambahnya nikmat, dan keduanya bergandengan pada suatu masa, maka tidak akan terputus tambahan nikmat dari Allah sampai terputusnya rasa syukur dari seorang hamba”.

Berkata Al-Hasan: “Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat ini, karena sesungguhnya menyebutnya merupakan rasa syukur, dan sungguh Allah telah memerintahkan Nabi-Nya agar menceritakan nikmat Rabbnya. Allah berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (Adh-Dhuhaa:11).

Dan Allah senang apabila ditampakkan pengaruh nikmat-Nya kepada hamba-Nya, karena sesungguhnya hal ini merupakan syukur di segala keadaan.

Berkata Syuraih: “Tidaklah seorang hamba ditimpa dengan suatu musibah kecuali Allah memberikan kepadanya tiga kenikmatan: musibah itu TIDAK BERKAITAN DENGAN AGAMANYA; musibah itu tidak lebih besar daripada apa yang telah ada; dan bahwasanya musibah itu mesti terjadi maka sungguh telah terjadi (sebagai ujian baginya)”.

Subhaanallah, seorang muslim tidak boleh sekejap pun untuk melupakan syukur kepada Allah. Mengapa? Tidakkah kita sadari betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita dalam keadaan kita sering terjatuh kepada kemaksiatan akan tetapi Allah tutupi aib-aib kita. Untuk itu bersegeralah kembali dan taubat kepada-Nya serta kita minta kepada-Nya agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang pandai bersyukur. Wallaahul Muwaffiq.



Disadur dari Tazkiyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid dengan beberapa perubahan.