Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Jumat, 21 Agustus 2015

Paradigma “Qabil vs Habil” dalam Berzakat

Kualitas amal seseorang sangat ditentukan oleh paradigma atau cara pandang yang digunakannya. Orang akan bertindak sesuai dengan apa yang dipahami dan dipikirkannya. Karena itu, memahami konsep Islamic Worldview merupakan hal yang sangat strategis untuk kita lakukan agar cara pandang kita terhadap sesuatu tidak keliru jika dipandang dari perspektif agama. Termasuk diantaranya adalah cara pandang tentang ber-zakat, ber-infak, dan ber-shadaqah (ZIS).

Terkait dengan cara pandang terhadap ibadah ZIS, kita sering mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa sedekah Rp 100 ikhlas lebih baik daripada sedekah Rp 10 ribu tidak ikhlas. Jika ditinjau dari perspektif syariah, tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Hal ini dikarenakan oleh pentingnya keikhlasan dalam segala amal perbuatan yang dilakukan, termasuk dalam bersedekah. Sikap ikhlas akan mengantarkan seseorang pada puncak kualitas amal soleh dan penghambaan terhadap Tuhannya. Ikhlas adalah pondasi dasar yang sangat menentukan kualitas “reward” yang akan diberikan Allah. Karena itu, menjaga keikhlasan dalam beramal merupakan hal mutlak yang perlu dilakukan oleh seorang hamba.

Namun demikian, yang ingin penulis soroti adalah pada bentuk komparasi yang digunakan dalam menghubungkan suatu ibadah dengan sisi keikhlasan. Pada contoh pernyataan di atas, bentuk komparasi yang digunakan berpotensi untuk memberikan persepsi bahwa ikhlas itu selalu identik dengan dengan sesuatu yang lebih kecil. Seolah-olah refleksi ikhlas itu tercermin pada bentuk ibadah yang tidak optimal dan cenderung apa adanya. Ada kesan bahwa untuk ikhlas dalam bersedekah, kita cukup memberi dengan nilai yang sangat minimal. Paradigma yang terbentuk adalah paradigma minimalis dalam bersedekah.

Selain paradigma minimalis, yang juga sering diajarkan adalah paradigma “bekas dan sisa” dalam bersedekah. Sebagai contoh, dalam kegiatan bakti sosial, seringkali kita diajak untuk menyumbangkan pakaian bekas namun masih layak pakai. Sekali lagi, tidak ada yang salah secara syar’i dengan ajakan ini. Akan tetapi, pola-pola seperti ini akan menanamkan persepsi bahwa berbagi itu tidak perlu dengan yang baru, melainkan cukup dengan yang “bekas dan sisa”.

Melihat gambaran tersebut, maka penulis berharap bahwa paradigma sedekah minimalis dan sedekah sisa ini harus diubah menjadi paradigma sedekah optimal dan sedekah terbaik. Caranya adalah dengan mengajak bersedekah ala Habil, dan bukan ala Qabil. Penulis mengistilahkannya dengan Habil Style of Giving dan bukan Qabil Style of Giving.

Sebagaimana diketahui bahwa Qabil dan Habil adalah putera Nabi Adam AS yang berselisih mengenai calon pasangan hidupnya. Qabil ingin dinikahkan dengan saudara kembarnya dan menolak untuk dinikahkan secara silang dengan saudara kembar Habil karena menganggap kembarannya lebih cantik. Syariat saat itu mewajibkan nikah secara silang karena Nabi Adam AS dan Siti Hawa senantiasa melahirkan anak-anak yang kembar sepasang. Singkat cerita, Allah memerintahkan keduanya untuk berqurban mempersembahkan yang terbaik kepada-Nya dari hasil usaha mereka selama ini.

Dalam kisah itu diketahui bahwa profesi Qabil adalah sebagai petani dan Habil adalah peternak. Setelah mendapat perintah Allah SWT, maka yang dilakukan Qabil adalah dengan berqurban menyedekahkan hasil-hasil yang buruk dari panen produk pertaniannya, sementara Habil mempersembahkan hasil ternak yang terbaik. Sejarah kemudian mencatat bahwa persembahan Habil-lah yang diterima oleh Allah SWT.

Kisah ini memberikan pelajaran bahwa dalam berbagi, hendaknya dilakukan secara optimal sesuai dengan kemampuan. Dalam contoh sebelumnya, mestinya doktrin yang disampaikan adalah bersedekah Rp 10 ribu ikhlas itu lebih baik daripada Rp 100 tapi tidak ikhlas. Bakti sosial dengan memberikan pakaian baru dengan ikhlas, jauh lebih baik dibandingkan dengan bakti sosial dengan memberikan pakaian bekas.

Inilah tantangan edukasi zakat, infak dan shadaqah (ZIS). Yaitu, bagaimana kita menumbuhkan semangat Habil Style of Giving dan bukan Qabil Style of Giving. Sehingga, yang kemudian muncul adalah semangat untuk ber-ZIS secara optimal dan senantiasa ingin mempersembahkan yang terbaik.



Sumber: Dikutip dari beberapa sumber
Oleh: Faisal Ahmad Fani (Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar