Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 14 Oktober 2013

Muhammadiyah dan Pengentasan Kaum Mustadh'afin


MUHAMMADIYAH DAN PENGENTASAN KAUM MUSTADH’AFIN

I.      PENGERTIAN KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang terjadi hampir di seluruh pelosok bumi. Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan berarti ketiadaan rumah, jika sakit tidak dapat berobat ke dokter, tidak dapat bersekolah dan tidak tahu baca-tulis, tidak punya pekerjaan, tidak bisa makan, hidup mengelandang, dan gambaran kesulitan hidup lain. Kemiskinan memiliki banyak wajah, berubah dari waktu ke waktu dan dapat dipaparkan dengan berbagai cara, tetapi yang pasti secara sederhana kemiskinan dapat dikatakan:“poverty is a situation people want to escape”.

Friedmann[1] merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi itu dirumuskan sebagai berikut :
1.    Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya).
2.    Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan).
3.    Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka.
4.    Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia.
5.    Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.

Kemiskinan menurut Gunawan Sumodiningrat[2] bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya. Pendapat tersebut semakna dengan pemikiran Kartasasmita[3] yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh adanya pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi.[4] Hal ini juga senada dengan Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial.[5]

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Sementara Bank Dunia (2003)[6] memetakan beberapa hal yang menjadi penyebab dasar kemiskinan, yaitu:
(a) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(b) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
(c) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor;
(d) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung;
(e) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern);
(f) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (g) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya;
(h) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance);
(i) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.

Di samping itu, kemiskinan dapat dilihat berdasarkan garis batasnya. Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dengan menggunakan patokan 2.100 kalori per hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode 1976 sampai 1993, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Kemudian garis kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan versi Sajogyo[7], yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan menerapkan garis kemiskinan ini ke dalam data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, maka akan diperoleh persentase penduduk yang hidup di bawah kemiskinan.[8]

II.      BEBERAPA BENTUK KEMISKINAN
Menurut Revrisond Baswir[9] dan Gunawan Sumodiningrat[10] secara sosio-ekonomis kemiskinan dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu :

1. Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain.

2. Kemiskinan relatif
Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain.

Selain dua bentuk kemiskinan di atas, terdapat juga bentuk kemiskinan lain yang berbeda dilihat berdasarkan faktor penyebab kemiskinannya. Kemiskinan tersebut dapat dibedakan menjadi: (1) Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan struktural.[11]

1. Kemiskinan Natural
Kemiskinan natural adalah kemiskinan alami atau keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir[12] kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita[13] disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Kemiskinan ini biasaya terjadi di daerah yang pada umumnya kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.

2. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak

mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.[14]

3. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Selanjutnya Sumodiningrat[15] mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita[16] hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pembagian beberapa bentuk kemiskinan berikut karakteristiknya di atas tidak dapat dilepaskan dari cara pandang (paradigma) yang dipakai dalam melihat kemiskinan. Secara umum terdapat tiga paradigma yang dipakai dalam melihat kemiskinan, yaitu:
a.    Paradigma Pembangunan
Suatu paradigma yang melihat pemberdayaan hanya sebagai obat, sebagaimana cara pandang yang melihat kemiskinan bukan berasal dari struktur sosial, melainkan ia berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Kalangan ini melihat bahwa mereka miskin dan melarat disebabkan adanya budaya kemiskinan. Karena itu agar mereka tidak miskin, maka diberilah “obat” pemberdayaan, baik dalam bentuk pinjaman modal maupun pendampingan dan pelatihan. Paradigma obat ini tidak dapat dilepaskan dari landasan teori pembangunan (developmentalism) dan modernisasi yang berpijak pada pemikiran Adam Smith (1776) dengan karyanya “The Wealth of Nation”, termasuk pemikiran David Ricardo, James Mill, Jeremy Bentham, Robert Malthus, dan J.B. Say yang mendasarkan pada filsafat liberalisme. Kemudian merujuk pada teori pertumbuhan ekonomi W.W. Rostow dalam bukunya “The Stages of Economic Growth: a Non-Communist Manifesto”, pemikiran David Mc Clelland (1984) dalam bukunya “The Achievement Motive in Economic Growth” yang melihat bahwa pertumbuhan ekonomi akan terjadi dengan baik, bila the need for achievement (N’ach)-nya tinggi, demikian sebaliknya. Demikian pula mengacu pemikiran Mahbub ul-Haq tentang basic needs, yakni melihat pentingnya strategi langsung pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, air, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, serta pekerjaan dan partisipasi.

b.    Paradigma Mutual
Paradigma ini lebih melihat hubungan kausalitas yang terjadi. Artinya para pemikir dari kalangan ini melihat bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Bagi mereka, bila kondisi sosial ekonomi diperbaiki dengan menghilangkan diskriminasi dan memberikan peluang yang sama, maka dimungkinkan kemiskinan dapat ditekan sekecil-kecilnya. Masyarakat akan dapat dientaskan dari kemiskinan, sebagaimana layaknya masyarakat yang lain. Menurut kaum ini, akar permasalahan mengapa mereka miskin adalah akibat kesenjangan, ketidakadilan, dan perlakuan yang tidak merata secara ekonomi. 

Pemikiran ini dipengaruhi oleh pijakan teoritik yang menyandarkan pada teori ketergantungan (dependensia). Teori ini dilatarbelakangi oleh situasi kemacetan ekonomi negara-negara Amerika Latin, serta keragu-raguan mereka terhadap teori pembangunan. Pertama, Celco Furtado (1969) dalam bukunya “Economic Development of Latin America” menjelaskan adanya center dan periphery sebagai ciri dependensia. Menurutnya, terdapat struktur intern yang diwariskan kolonial (negara maju/center) terhadap negara berkembang (periphery), sehingga negara berkembang selalu bergantung (dependent or underdevelopment) terhadap negara maju. Kedua, Fernando Cardoso dan Enzo Faletto (1969) dalam buku “Dependency and Development in Latin America” mengatakan, bahwa pembangunan ekonomi sebagai campuran berbagai interest kelas dari waktu ke waktu, yang secara historis berubah, meski dalam faktanya menyebabkan ketergantungan ekonomi terhadap pasar dunia atau dalam istilah Paul Baran dan Sweezy disebut monopoly capitalism. Ketiga, pemikiran Theotonio Dos Santos berusaha menganalisis adanya tiga bentuk ketergantungan, yaitu 1) ketergantungan kolonial yang ditandai oleh monopoli perdagangan yang dilengkapi dengan monopoli tanah, tambang dan tenaga kerja di negara jajahan. 2) ketergantungan financial-industry, yakni ketergantungan negara berkembang terhadap konsentrasi kapital (modal). 3) ketergantungan technological-industry, yang ditandai pendirian perusahaan multinasional di negara yang bergantung.  Ketiga pemikiran dari teori dependensia di atas, menurut Sanjaya Lall (1975) dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: 1) dependensia dipercaya selalu membawa kemiskinan. 2) pertumbuhan selalu dibatasi oleh terbatasnya pasar. 3) pertumbuhan itu mungkin, tetapi akan selalu menjadi subordinat dari center.

c.    Paradigma Kritis
Kesenjangan dan kemiskinan bagi kalangan ini terjadi akibat adanya struktur sosial, ekonomi, politik yang melestarikan kondisi tersebut. Seseorang menjadi miskin bukan sebuah pilihan rasional dan efek kemalasan (budaya), melainkan lebih disebabkan adanya eksploitasi oleh kelompok elite, kelas kapitalis ataupun penguasa yang tidak memihak rakyatnya. Pemikiran paradigma ini melihat akar masalah kemiskinan dari perspektif teori kritis. Analisa dan pendekatan teori berpijak pada pemikiran Marxis, Mazhab Frankfrut (Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse), Louis Althuser, Antonio Gramsci maupun Michel Foucault. Menurut Stephen Leonard (1990) dalam bukunya “Critical Theory in Political Practice”, bahwa pemikiran yang ingin dikembangkan lewat teori kritis adalah suatu teori alternatif yang berdimensi praxis dan mengarahkan suatu aksi perubahan sosial yang memberikan kritik terhadap institusi dan praktik sosial politik yang tidak adil yang ada di masyarakat. Praxis dari teori kritis adalah pembebasan dari segala bentuk struktur sosial politik ekonomi yang menindas, korup, otoriter, monopolik, dan membelenggu kekebasan rakyatnya. Kedua, pemikiran Gustavo Guterez (1973) tentang teologi pembebasan dapat disebut sebagai bentuk teori kritis yang berusaha menyingkap nilai kebenaran yang disembunyikan otoritas agama. Kemiskinan dan penindasan menjadi sesuatu yang lumrah dalam bahasa otoritas Katolik. Padahal sejatinya teologi Kristiani menurut Guterez –bila direfleksikan dengan realitas sosial-- mestinya memberi jaminan bagi hilangnya kemiskinan dan penindasan di masyarakat, sebagaimana yang diajarkan Yesus. Ketiga, pemikiran Foucault tentang power-knowledge. Dimana Foucault melihat bahwa akar penindasan dan penguasaan adalah dominasi terhadap suatu diskursus (discourse). Negara-negara maju dapat begitu leluasa mendikte negara-negara berkembang disebabkan mereka memiliki dominasi yang kuat dalam terminologi dan diskursus. Teori pembangunan, women in development, democracy and civil society, human right, good governance dan clean goverment menjadi diskursus yang efektif menekan sekaligus mengontrol dimensi politik, sosial dan ekonomi negara-negara berkembang.


III.      KONSEP ISLAM TENTANG KEMISKINAN DAN KAUM MUSTADH’AFIN

Islam dengan sumber pokoknya al-Qur’an al-Karim banyak membicarakan berbagai hal yang terkait dengan kemiskinan. Berbagai hal yang terkait dengan istilah miskin, fakir ataupun beberapa sifat yang mengarah pada terciptanya kemiskinan tercantum di dalamnya. Di dalam al-Qur’an kata miskin disebut sebanyak 25 kali, yakni 11 kali disebut dalam kata miskin, 12 kali dalam kata masakin, dan 2 kali dalam kata maskanah (kehinaan yang menunjuk sifat kemiskinan). Sementara faqir disebutkan sebanyak 14 kali, yakni 1 kali disebut dalam kata faqr, 1 kali dalam kata

faqirah, 5 kali dalam kata faqir, dan 7 kali dalam kata fuqara’.

Kata miskin dan faqir dengan beberapa padanannya dapat kita temukan di dalam al-Qur’an pada beberapa surat dan ayat, yaitu: al-Maidah: 2, 89, 95, 97; adz-Dzariyat: 19; al-An’am: 52, 136, 137, 141; al-Baqarah: 3, 83, 177, 184, 215, 236; al-Anfal: 41; at-Taubah: 60; al-Muddatsir: 44; al-Ma’arij: 25; al-Haqqah: 34; al-Qalam: 18, 25, 28; al-Hasyr: 7-8; al-Mujadilah: 4, 12, 13; al-Ahqaf: 11; an-Nur: 22, 32; al-Kahfi: 79,90; al-Isra’: 26; Hud: 30; an-Nisa: 6, 8, 135; Ali Imran: 181; ar Rum: 38; al-Fajr: 18; al-Maun: 3; al-Insan: 8; dan QS. al-Balad: 16.
Kemudian dengan melihat akar kemiskinan dan tanggung jawab negara di dalamnya, maka penyebutan yang tepat terhadap mereka yang miskin atau lemah (dhuafa’) adalah istilah mustadh’afin (kaum yang tertindas), yakni kelompok manusia yang berada dalam status sosial “inferior”, tersisih, tertindas secara sosial-ekonomi, dan diperlakukan secara diskriminatif. Istilah mustadh’afin memiliki arti yang kontekstual dan dapat mewakili kelas sosial rendah lainnya, seperti arâdzil (yang tersisih), fuqarâ’ (fakir), maupun masâkin (orang-orang miskin).
Farid Esack —penyandang gelar doktor di bidang tafsir Al-Quran, staf pengajar Universitas Western Cape, Afrika Selatan, dan tokoh senior World Conference on Religion and Peace, serta orang yang berjuang melawan sistem Apharteid di Afrika Selatan— mengatakan seseorang disebut mustadh’afin apabila ada orang yang bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Seseorang hanya menjadi mustadh’afin diakibatkan oleh perilaku atau kebijakan pihak penguasa yang arogan.[17] Sedangkan Hasan Hanafi (1998) dalam refleksi teologisnya mengatakan bahwa kendati pun menurut ayat-ayat al-Qur’an kita ini merupakan umat yang satu (ummatan wahidah), namun sesungguhnya dalam kenyataan yang obyektif kita dipisahkan menjadi dua, yaitu umat yang miskin dan umat yang kaya.


Di dalam al-Qur’an penyebutan kata teraniaya, ditindas, dan lemah disebut secara berulang-ulang dengan beragam makna dan tujuan. Kata “teraniaya” terdapat di dalam: an-Nisa: 148 dan asy-Syuura: 41. Kata “ditindas” terdapat di dalam an-Nisa: 97; al-A’raf: 129, 137; Yunus: 90; dan al-Qashash: 4-5. Adapun penyebutan kata “lemah” di dalam al-Qur’an terdapat pada an-Nisa: : 9, 28, 75, 76, 104, 117, 127; al-Baqarah: 10, 282; Hud: 91; ar-Rum: 54; Ali Imran: 123, 139, 146, 152, 159; Muhammad: 35; al-Ahqaf: 11; al-Mu’min: 47; Shaad: 34; Yasin: 68; Saba: 31-33; Luqman: 14; al-A’raf: 75, 150, 155, 194; al-Ankabut: 10, 41; asy-Syu’ara: 192; al-Hajj: 73; Taha: 44; Maryam: 4, 75; al-Kahfi: 19; an-Nahl: 70; Ibrahim: 21; Yusuf: 94; at-Taubah: 60, 87, 91; al-Maidah: 54; al-Qalam: 42; al-Jin: 24; an-Naziat: 2; al-Munafiqun: 8; al-Haaqah: 16.

Secara lebih seksama kita dapat pula menelaah QS.2: 61; QS. 3:112; QS. 90: 11-20. Kita dapat mengkaji beberapa hal yang disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai penyebab manusia mengalami kemiskinan dan penindasan, yaitu:
Pertama, sifat rakus sebagian manusia (lan nashbira ‘ala tha’amin wahid);
Kedua, eksploitasi lingkungan atau sumber daya alam (mimma tunbitu al-ardhu); Ketiga, buta terhadap kebutuhan manusia yang sebenarnya (‘a tastabdilunal ladzi huwa adna billadzi huwa khair);
Keempat, kufur nikmat (yakfuruna bi ayatillah);
Kelima, mematikan “cita-cita kenabian” (yaqtuluna al-nabiyyina);
Keenam, kedurhakaan dan melampaui batas (ashaau wa kanu ya’tadun);
Ketujuh, tidak menjalin hubungan baik dengan Allah (hablum minallah);
Kedelapan, tidak menjalin hubungan baik dengan sesama manusia (hablun minannas).

Itulah kenapa Islam sangat mengecam umatnya yang beriman tetapi tidak dapat melahirkan amal saleh. Iman tanpa amal saleh adalah seperti pohon tanpa buah. Artinya keimanan dan keyakinannya terhadap Allah tidak membawa pengaruh terhadap perbaikan dan kebaikan bagi manusia. Padahal manusia bukan sekedar hamba, melainkan dia adalah wakil Tuhan di bumi (khalifah fil ardh). Itu berarti tugas menjaga dan memakmurkan dunia merupakan tugas utama manusia, termasuk tugas untuk mensejahterakan setiap individu di dalamnya. 

Perhatian Islam yang demikian besar tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai ibadah mahdhah yang dilaksanakan setiap individu. Ibadah mahdhah setiap muslim ditujukan untuk melahirkan kebaikan hidup yang bermanfaat bagi yang lain. Shalat, zakat, puasa, ataupun haji bukanlah ibadah individual, melainkan ibadah yang diharapkan memberi imbas kebaikan, empati terhadap sesama, saling tolong menolong, dan memiliki kepedulian terhadap orang lain. Demikian halnya jika ibadah mahdah tidak mampu dilaksanakan, maka ia dapat digantikan dengan ibadah sosial (tha’amu miskin, shadaqah, tahriru raqabah, dll). Kita dapat mengkaji beberapa ayat yaitu: QS.2: 184, 196; QS. 4: 92; QS 5: 89; QS. 58: 3; QS. 90: 11-20)

Fakta lain yang menunjukkan keberpihakan Islam terhadap penanganan kemiskinan adalah adanya sanksi berat berupa pelabelan atau cap sebagai pendusta agama terhadap mereka yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin sebagaimana termaktub dalam QS. al-Maun/107: 1-7. Komitmen Islam dapat pula dilihat dari semangat dan langkah pembebasan manusia dari perbudakan klasik dan modern (fakku raqabah), termasuk keharusan untuk selalu membantu kaum yatim dan miskin (ith’amun fi yaumin dzi masyghabah, yatiman dza maqrabah, au miskinan dza matrabah).
Islam tidak terjebak pada kesalehan individual. Tetapi memposisikan kesalehan itu sebagai kesalehan sosial. QS. 2:177 dapat menunjukkan hal itu. Di mana kebajikan sejati (al-birr) bukan dipahami secara simbolik, melainkan kebajikan adalah 1) keimanan kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Kitab Suci, dan Nabi-nabi. 2) memberi kerabat, kaum yatim, miskin, musafir/pengungsi, dan para peminta. 3) membebaskan perbudakan. 4) mendirikan shalat. 5) membayar zakat. 6) menepati janji, bila berjanji. 7) bersabar dalam kesempitan, penderitaan maupun dalam masa perang atau konflik.

Sebagai tindak lanjut kebajikan sejati, maka Islam memberikan salah satu solusi dalam mengentaskan kemiskinan. QS. Al-Taubah/9: 60 mengariskan tentang pemberian zakat dan sedekah kepada 8 kelompok (ashnaf), yaitu: fuqara, masakin, amilin (pengumpul zakat), muallaf (orang baru masuk Islam dan masih lemah hatinya), riqab (budak), gharimin (orang yang terlilit utang), sabilillah (perjuangan di jalan Allah), dan ibn al-sabil (pengungsi, pelajar, gelandangan (tuna wisma), dan lainnya).

Selain zakat, Islam juga mengatur mengenai pentingnya sedekah dan infak bagi terciptanya pemerataan, keseimbangan, keadilan dan kebahagiaan hidup di dalam tatanan masyarakat. Lihat beberapa ayat terkait sebagai bahan kajian dan i’tibar dalam memahami hakekat zakat, sedekah, infak dan pemberian lainnya. Beberapa ayat tersebut adalah sebagai berikut: QS.2: 43, 83, 110, 177, 215, 261-274, 276, 277; QS 23: 4, 60; QS 4: 77, 114, 162; QS 9: 5, 11, 18, 58, 71, 79, 103, 104; QS 14:31; QS 58: 12-13; QS 73:20; QS 33:33; QS 31: 3-5; QS 30:39; QS 27: 3; QS 24: 33, 37, 56; QS 21: 73; QS 22: 41, 78; QS 19: 31, 55; QS 7: 156; QS 5: 12, 55; QS 98: 5; QS 107: 7. Demikian juga pentingnya pembebasan manusia dari perbudakan, pemihakan terhadap kaum perempuan, serta bentuk pemberdayaan lainnya.

Komitmen pengentasan kemiskinan di dalam Islam dapat pula dilihat dari pernyataan Nabi Muhammad SAW dalam beberapa sabdanya, seperti:
         Perumpamaan orang mukmin dalam kasih, sayang, kebersamaannya seperti satu tubuh. bila satu bagian menderita, maka bagian tubuh yang lain ikut merasakannya (HR. Bukhari-Muslim)
         “Siapa yang tidak sayang, tidak disayang”. atau “Siapa yang tidak menyayangi manusia, Allahpun tidak menyayanginya”. (HR. Bukhari Muslim)
         Tidak beriman salah satu dari kamu sebelum menyayangi saudaranya seperti menyayangi dirinya (HR Bukhari Muslim)
         Siapa yang memudahkan kesulitan orang mukmin lain di dunia, Allah pasti membantu kesulitan-kesulitannya di hari kiamat…(HR. Muslim)
         Aku dan Penyayang Anak Yatim itu seperti ini dekatnya. (sambil mengacungkan dua jari telunjuk-tengah)

IV.    TAFSIR AL-MAUN: DARI TEOLOGI SOSIAL KEPADA PRAKSIS SOSIAL MUHAMMADIYAH

Surat al-Maun merupakan surat ke 17 yang terdiri atas 7 ayat dan termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Surat al-Maun diturunkan sesudah surat al-Taakatsur (bermegah-megahan), yakni surat ke 16 dan sebelum al-Kafirun (surat ke 18). Nama al Ma'un diambil dari kata al Ma'un yang terdapat pada akhir ayat. Secara etimologi, al-Ma’un berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan, dan zakat. Menurut Muhammad Asad kata "al-Ma'un" berdasarkan berbagai tafsir klasik dapat dipahami sebagai "comprises the small items needed for one's daily use, as well as the occasional acts of kindnessconsisting in helping out one's fellow-men with such item. In its wider sense, it denotes "aid" or "assistance" in any difficulty" (...kata "al-Ma'un" mencakup hal-hal kecil yang diperlukan orang dalam penggunaan sehari-hari, juga perbuatan kebaikan berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia dalam hal-hal kecil. Dalam maknanya yang lebih luas, kata al-Maun berarti "bantuan" atau "pertolongan"dalam setiap kesulitan ).[18]

Surat ini berdasarkan Asbabun Nuzulnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mudzir adalah berkenaan degan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang beriman. Mereka melakukan shalat dengan riya’, dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya, serta menolak memberikan bantuan kepada orang miskin dan anak yatim. Surat al-Maun paling tidak berisi empat hal pokok, yakni: Pertama, perintah berbuat kebaikan kepada sesama manusia, terutama kepada anak-anak yatim dan fakir miskin yang merupakan kelompok orang-orang yang tertindas (mustadh’afin). Kedua, jangan lupa atau lalai mendirikan shalat. Ketiga, jangan riya’ (pamer) dalam beribadah. Keempat, jangan kikir (pelit) untuk beramal dan berbagi dengan sesama. Keempat hal pokok ini merupakan sifat orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang munafik. Dimana mereka cenderung bermegah-megah dan berfoya-foya dengan harta benda (al-Takatsur), lupa dengan ibadah karena sibuk mencari harta semata, suka memamerkan kebaikan kepada orang lain atau tidak ikhlas dalam beribadah, dan tidak mau member atau berbagi dengan fakir miskin dan orang-orang tertindas lainnya. Itulah kenapa kaum muslimin diperintahkan secara tegas menjauhi keempat perbuatan tidak baik tersebut. Pelanggaran terhadap keempat larangan tersebut disebut sebagai pendusta agama, suatu pelanggaran yang sangat berat sebab mengingkari dan menutup hati kita atas kebenaran dan ketundukan semata karena Allah padahal sebelumnya telah menyatakan iman dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Kelompok pedusta agama ini disebut juga sebagai orang-orang yang telah ingkar dan menutup hatinya dari perintah dan ketaatan hanya kepada Allah atau disebut al-Kafirun. Penafsiran ini tidak jauh berbeda dengan penafsiran Sayyid Quth –yang lahir setelah lama Kiai Ahmad Dahlan meninggal-- dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an Vol. 24:263 menjelaskan bahwa surat al-Maun mampu memecahkan hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur secara total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini sangat berbeda bila dibandingkan definisi lama. Karena kufur (mendustakan agama) di sini diartikan sebagai menghardik anak yatim dan/atau menyakitinya. Logika kufur muncul karena seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati niscaya anak-anak yatim dan orang miskin tentu tidak akan diterlantarkan.

Dalam konteks Muhammadiyah, surat al-Maun memiliki arti yang sangat penting sebab menjadi landasan dasar dan spirit bagi lahirnya gerakan dakwah Muhammadiyah dengan berbagai amal sosialnya berupa rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, rumah miskin, lembaga pendidikan, dan lainnya. Berdasarkan sejarah awal Muhammadiyah tercatat kisah mengenai pengajian surat al-Maun dan tafsir pengamalannya. H. Mohammad Soedja’, salah seorang murid Kyai menceritakan bahwa “Kyai Dahlan dalam pengajian rutin subuh mengajarkan surat al-Maun secara berulang-ulang selama beberapa waktu lamanya tanpa diganti atau ditambah dengan surat atau materi lainnya. Sehingga melahirkan pertanyaan dari muridnya, mengapa materi pengajian tidak ditambah-tambah dan hanya mengulang-ulang surat al-Maun. Mendengar pertanyaan itu, Kyai balik bertanya kepada murid-muridnya, apakah mereka sudah benar-benar mengerti akan maksud surat al-Maun. Para murid serentak menjawab: mereka bukan hanya sudah mengerti, tetapi sudah hafal.  Kyai kemudian kembali bertanya, apakah arti ayat-ayat yang sudah dihafal tersebut sudah diamalkan. Para murid menjawab sambil bertanya, apanya yang diamalkan, bukankah surat al-Maun sudah sering dibaca saat menjalankan shalat. Kyai menjawab, bukan itu maksudnya diamalkan. Tetapi apakah yang dipahami itu sudah dipraktikkan dan dikerjakan. Maka setelah itu, Kyai memerintahkan para murid untuk mencari anak yatim, orang-orang miskin, pengemis dan gelandangan yang banyak terdapat di pasar, di stasiun kereta api dan di jalanan untuk dibawa pulang, dimandikan dengan sabun dan sikat gigi yang baik, diberi pakaian seperti yang biasa mereka pakai, diberi makan dan minum, serta tempat tidur yang layak.Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.”[19] Inilah tafsir al-Maun yang secara teologis menjadi identitas dan spirit gerakan amal Muhammadiyah yang melahirkan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) --sekarang berubah menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat)-- dalam bentuk balai pengobatan, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, dan rumah miskin bagi fakir miskin, kaum dhuafa’ dan mustadh’afin,

Model pembelajaran al-Qur’an di atas sesungguhnya merupakan metode pengajaran yang biasa diberikan oleh Kyai Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Di dalam pokok pikiran dan ajaran Kyai Ahmad Dahlan disebutkan tentang lima jalan dalam memahami al-Qur’an, yaitu:
a.    Yang pertama mengerti artinya;
b.    Kedua memahami tafsir dan maksudnya;
c.    Ketiga jika mendapat larangan dalam al-Qur’an bertanyalah kepada diri sendiri apakah larangan semacam itu sudah ditinggalkan;
d.    Keempat jika mendapat amar atau perintah perbuatan dalam al-Qur’an tersebut, bertanyalah kepada diri sendiri apakah amar atau perintah berbuat tersebut sudah diamalkan; dan
e.    Jika yang keempat belum diamalkan jangan membaca ayat yang lain.[20]

Kyai Ahmad Dahlan menafsirkan surat al-Maun ataupun surat-surat al-Qur’an lainnya tidak berdasarkan pemahaman normatif tekstual semata, melainkan Kyai berani keluar dari mainstream pemikiran demi pencapaian tujuan dakwah Islam yang beliau cita-citakan dalam bentuk tafsir aksi atau praksis sosial. Kyai Ahmad Dahlan memiliki pemahaman teologis yang dalam bukan hanya dalam akal pikirnya, melainkan paham teologi itu harus dipraksiskan dalam amal nyata (aksi sosial) sesuai kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat (umat). Kondisi ini bisa dimengerti jika melihat bahwa Kyai sebagai seorang priyayi Jawa memiliki sifat dan sikap (etos) welas asih sebagai kultur dari etika Jawa. Dr. Soetomo seorang dokter priyayi Jawa tertarik dan terlibat aktif dalam Muhammadiyah, tidak bisa dipungkiri karena melihat kewelas-asihan Kyai. Dalam sambutan pembukaan rumah sakit PKU Muhammadiyah Surabaya di tahun 1924, Dokter Soetomo menyakini bahwa etika welas asih itu sebagai antitesis etika Darwinisme (struggle for the fightest) yang menjadi kekuatan gerakan Muhammadiyah. Kenyataannya Kyai mendirikan rumah sakit, bekerjasama dengan dokter-dokter berkebangsaan Belanda dan beragama Nasrani yang bekerja secara sukarela. Kesediaan dokter-dokter Belanda bekerja di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan Surabaya tanpa dibayar, bukan bagian dari politik kolonial, melainkan didasari komitmen kemanusiaan dokter Belanda ketika melihat kegiatan kesehatan yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan itu diperuntukkan bagi kaum dhuafa’ dan fakir miskin secara cuma-cuma. Nilai profetik kemanusiaan dalam etika welas asih lah yang menjadi titik temu pandangan tersebut.[21]

Pemahaman Kyai Ahmad Dahlan dalam pengajaran surat al-Maun semakna dengan penafsiran beliau mengenai Q.S. al-Taubah/9: 34-35 yang memiliki penekanan berbeda dengan ulama-ulama lain. Kyai Ahmad Dahlan memahami al-Taubah/9: 34-35 bukan hanya dasar kewajiban zakat, menurut Kyai ayat itu tidak saja mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat, akan tetapi juga bagi siapa saja yang menyimpan harta hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak mendermakan di jalan Allah. Lebih lanjut Kyai juga mengajarkan “carilah sekuat tenaga harta yang halal, jangan malas. Setelah mendapat, pakailah untuk kepentingan dirimu sendiri dan anak istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah. Kelebihannya didermakan di jalan Allah”.[22] Pemahaman Kyai Ahmad Dahlan yang demikian semakna dengan pandangan beliau mengenai konsep beragama. Baginya beragama itu adalah beramal, artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur’an dan Sunnah. Orang yang beragama ialah orang yang menghadapkan jiwanya dan hidupnya hanya kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela berkurban baik harta benda miliknya dan dirinya, serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah. Itu pula mengapa Kyai menyebut bahwa rakyat kecil, kaum fakir miskin, para hartawan dan para intelektual adalah medan dan sasaran gerakan dakwah Muhammadiyah.[23]

Secara lebih mendalam dapat kita telusuri pemikiran penting Kyai lainnya yang didokumentasikan dengan judul “Tali Pengikat Hidup Manusia” Almanak 1923 yang sudah diterjemahkan dengan judul “The Humanity of Human Life” oleh Charles Kurzman (2002) dalam bukunya “Modernis Islam: A Sourcebook”. Kemudian tulisan Kyai “Peringatan bagi Setiap Muslimin (Muhammadiyyin)”, prasaran Muhammadiyah dalam Kongres Islam di Cirebon tahun 1921. Dalam tulisan tersebut Kyai menekankan bahwa: “…kebanyakan pemimpin belum menuju baik dan enaknya segala manusia, baru memerlukan kaumnya (golongannya) sendiri. Lebih-lebih ada yang hanya memerlukan badannya sendiri saja, kaumnya pun tiada diperdulikan. Jika badannya sendiri sudah mendapat kesenangan, pada perasaannya sudah berpahala, sudah dapat sampai maksudnya…”.[24]

Selanjutnya Kyai juga menegaskan: “Hidupnya akal yang sempurna, dan agar supaya dapat tetap namanya akal, itu harus ada kumpulnya perkara enam… (antara lain). Pertama, memilih perkara apa-apa harus dengan belas kasihan. Manusia tidak sampai pada keutamaan, bila tidak dengan belas kasihannya itu. Segala perbuatannya bisanya kejadian melainkan dengan kejadiannya kesenangan, yang akhirnya lalu bosan dan terus sia-sia. Kedua, harus bersungguh-sungguh akan mencari. Sebab sembarang yang dimaksudkan kepada keutamaan dunia dan akhirat, itu tidak sekali-kali dapat tercapai bila tidak dicari dengan daya upaya ikhtiar, dengan pembelaan harta benda, kekuataan dan fikir”.[25]

Pemahaman tafsir al-Maun tersebut mengkristal dalam bentuk teologi sosial Muhammadiyah dan tauhid sosial. Dari tafsir ke teologi kemudian kepada fikih al-Maun. Amanat Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang tahun 2005 yang meminta Majelis Tarjih menyusun konsep Teologi al-Maun diterima dan disahkan menjadi keputusan Munas Tarjih ke 27 di Malang pada tanggal 3 April 2010 dengan perubahan nama menjadi Fikih al-Maun. Mungkin debatable penamaan tersebut mengingat istilah fikih yang terkesan kaku dan formil. Tetapi yang terpenting substansi utama konsepsi Fikih al-Maun tidak bergeser dari pemikiran Kyai Ahmad Dahlan ataupun amanat Muktamar, yakni dengan melihat kenyataan bahwa umat Islam sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak di antara warganya yang menjadi penyandang masalah sosial. Penyelesaian masalah ini secara mendasar harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagai basis teologi (tauhid sosial dan teologi al-Maun). Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar bertanggung jawab ambil bagian dalam penyelesaian masalah tersebut dengan menjabarkan tafsir surat al-Maun ke dalam keyakinan teologis dan amal (praksis) sosial. Secara umum Munas Tarjih ke-27 menyepakati bahwa sistematika Fikih al Maun ada dalam “Kerangka Amal al-Ma’un” yang berupa penguatan dan pemberdayaan kekayaan fisik, moral, spiritual, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kemudian “Pilar Amal al-Ma’un” terdiri dari rangkaian berkhidmat kepada yang yatim, berkhitmat kepada yang miskin, mewujudkan nilai-nilai shalat, memurnikan niat, menjauhi riya’, dan membangun kemitraan yang berdayaguna. Sementara “Bangunan Amal al-Ma’un” yang disepakati adalah untuk kesejahteraan individu yang bermartabat, kesejahteraan keluarga (Keluarga Sakinah), kesejahteraan masyarakat yang berjiwa besar, kesejahteraan bangsa dan negara.

Dengan demikian, pemahaman tentang Tafsir al-Maun, Teologi al-Maun ataupun Fikih al-Maun di atas tidak boleh berhenti hanya pada konsepsi pemikiran belaka, melainkan harus dapat dijabarkan dalam realisasi amal sosial yang terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat dan perkembangan zamannya. Dengan begitu, baik penafsiran ayat al-Qur’an, penghayatannya dalam hati sebagai keyakinan hidup (teologi) maupun pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari (fikih) sesuai dengan pemikiran Kiai Ahmad Dahlan yang menekankan “siapa menanam akan mengetam”, dan pemimpin itu sedikit bicara banyak bekerja”. Penafsiran yang bermuara pada hasil amal sosial berarti pula terus menumbuhkan gerak dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan gerakan sosial kemasyarakatan yang bercita-cita untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu masyarakat utama adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).


V.    PEMIHAKAN DAN PEMBERDAYAAN MUHAMMADIYAH DALAM MENGENTASKAN KAUM MUSTADH’AFIN
Pemihakan secara bahasa memiliki makna perbuatan memihak, memilih salah satu, dan membela. Sedangkan pemberdayaan berarti proses, cara, dan perbuatan memberdayakan.[26] Dalam bahasa Inggris pemberdayaan disebut empowerment. Artinya yang punya kekuatan untuk memberdayakan, atau pemberian kemampuan untuk yang lemah, supaya berdaya dengan cara menggali potensi-potensi yang ada pada mereka. Jadi, pemberdayaan bisa diartikan upaya partisipatif dalam memberikan kemampuan kepada orang yang lemah. Pemberian itu tidak terbatas hanya kemampuan ekonomi, tetapi juga kemampuan lainnya yang bisa membuat orang lain berdaya seperti dalam politik, sosial, budaya, agama dan lainnya.
Menurut DuBois dan Miley (dalam Suharto, 2006: 1), pemberdayaan (empowerment) dapat didefinisikan sebagai proses maupun sebagai hasil. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya. Sementara sebagai hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan atau keberkuasaan yang mencakup: (a) state of mind, seperti perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupannya; (b) reallocation of power yang dihasilkan dari pemodifikasian struktur sosial. Dengan demikian, pemberdayaan mencakup tidak hanya peningkatan kemampuan seseorang atau sekelompok orang melainkan pula perubahan sistem dan struktur sosial. Pemberdayaan tidak hanya mencakup peningkatan kemampuan dalam bidang ekonomi (meningkatnya pendapatan), melainkan pula kemampuan dalam sosial-politik (misalnya: menyatakan aspirasi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, menjangkau sumber-sumber kemasyarakatan dan pelayanan sosial).
Ide tentang pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari pergeseran paradigma dalam melihat kemiskinan. Jika sebelumnya kemiskinan dilihat secara individual dan kultural berwajah blaming the victim, kini bergeser ke perspektif institusional dan struktural yang bermuka blaming the system (Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Masyarakat lemah dan miskin (dhuafa’) bukan akibat kesalahan individu bersangkutan malas, tidak mau bekerja, atau tidak memiliki etos usaha. Sebaliknya mereka itu menjadi miskin dan tidak berdaya (mustadh’afin) disebabkan sistem sosial yang ade kuat, tidak adil, dan bahkan menindas. Mereka miskin bukan karena tidak mau bekerja, tetapi karena tidak ada pekerjaan. Mereka dimiskinkan oleh sistem yang tidak memberikan proteksi dan kesempatan kepada kelompok-kelompok kecil, masyarakat pedesaan (rural) atau masyarakat kota (urban) yang marjinal dan dipinggirkan.

Dalam bahasa agama, bisa jadi memang problem perlunya pemberdayaan dan pemihakan terhadap kaum mustadh’afin harus diawali dari pemahaman mengenai keyakinan ideologis (basis agama) dan pemahamannya, seperti gagasan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman yang melihat bahwa ada tiga problem yang dialami orang-orang miskin dan tertindas (dhuafa’ dan mustadh’afin) sehingga tersingkir dalam mobilitas sosial. Pertama, kemiskinan agama sebagai rasionalisasi hidup. Agama yang sekarang menjadi mainstream tidak mampu menjadi kekuatan spiritual dan moralitas yang membela kaum dhuafa’ dan mustadh’afin. Sebab agama tidak menjadikan kaum mustadh’afin sebagai subyek, tetapi hanya sebagai konsumen agama. Kedua, kemiskinan institusi agama, seperti majelis taklim. Tidak ada circle seperti majelis taklim yang menghimpun kaum mustadh’afin, untuk membicarakan nasib dan problem sehari-hari yang mereka alami. Ketiga, kemiskinan di bidang kelembagaan sosial ekonomi. Tidak ada upaya regrouping kaum dhuafa dan mustadh’afin di dalam komunitas ekonomi, yang dengannya mereka bisa memiliki kekuatan ekonomi.

Tetapi gagasan bahwa ada problem teologis Islam dalam pemberdayaan kaum dhuafa dan mustadh’afin seperti dikemukakan Moeslim Abdurrrahman di atas mungkin salah. Sebab menurut Kuntowijoyo di dalam Islam keberpihakan terhadap kaum dhuafa dan mustadh’afin sangat kuat. Islam memiliki spirit yang luar biasa dalam melakukan pemihakan dan pembelaan terhadap kaum dhuafa dan mustadh’afin. Semangat dan kerja pembebasan dari perbudakan (penjajahan sesama manusia), pembelaan terhadap hak-hak minoritas (fakir miskin, kaum perempuan, kulit hitam, dan suku-suku badui), serta penekanan iman yang diukur berdasarkan kualitas amal saleh (kebajikan terhadap sesama) menjadi bukti pemihakan Islam atas hal itu.

Rasulullah Saw pun sangat memperhatikan, menolong, membantu, dan mencintai kaum mustadh’afin dan fakir miskin. “Cintailah (kasihinilah) fakir miskin umatku sebab sesungguhnya mereka memiliki negara kelak pada hari kiamat(HR Hasan). Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Carilah aku di antara orang-orang lemah. Sesungguhnya kalian diberi rezeki dan kemenangan karena orang-orang lemah kalian” (HR Abu Daud).
Pemahaman atas nilai-nilai Islam dalam wujud pemihakan, pemberdayaan, dan kerja sosial terhadap masyarakat lemah dan tertindas (dhuafa dan mustadh’afin) menunjukkan bahwa Islam kaya akan nilai-nilai pemberdayaan. Hadits “kaadal fakru ai yakuna kufran” (kefakiran mengarah pada kekufuran) dapat dipahami bahwa misi dakwah Islam sebagai rahmat lil alamin adalah membebaskan manusia dari segala bentuk kefakiran, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan. Hal ini juga dibuktikan bahwa bagi seorang muslim, puncak tertinggi keimanannya bukanlah ketika dia sudah beriman dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah (Islam), melainkan muslim yang disebut insan kamil (manusia sempurna) adalah muslim yang telah sampai pada taraf ihsan. Yaitu seorang muslim yang mampu memanifestasikan asma’ dan sifat Allah sebagai kebaikan hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Khairun nas, anfauhum lil nas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya).  
Dengan berbagai fakta pemihakan dan pemberdayaan Islam di atas, maka kita kemudian melihat tafsir baru dengan gagasan yang segar pada zamannya dalam bentuk aksi atau gerakan sosial KH Ahmad Dahlan dan para murid-muridnya. Di mana pada saat kaum dhuafa dan mustadh’afin percaya bahwa penyakit yang dideritanya adalah akibat “lelembut” atau roh yang marah, Kyai Ahmad Dahlan justru mendirikan “Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO)” --yang kemudian menjadi rumah sakit-- dengan pengobatan gratis. Ketika umat yang bodoh dan miskin memandang bangsa Belanda itu kafir, Kyai malah mendirikan Balai Pengobatan dengan dukungan tenaga dokter Belanda dan priyayi abangan tanpa bayaran sepeserpun. Sekolah yang dipandang umat sebagai tradisi orang kafir dan kristiani, dipilih Kyai sebagai media pembebasan umat dari kebodohan dan keterbelakangan. Kyai pun mendirikan sekolah pertama dengan menjadikan ruang tamu rumahnya sebagai kelas.  

Apa yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan tersebut tidak bisa dilepaskan dari visinya tentang dunia dan pemahamannya mengenai al-Qur’an.[27] Visi Kyai Ahmad Dahlan “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”; “siapa menanam akan mengetam”; dan pemimpin itu sedikit bicara banyak bekerja” merupakan visi hidup yang dalam dan sarat dengan nilai-nilai pemberdayaan. Visi itu kemudian melahirkan berbagai gagasan dan kerja sosial yang menuntut kesadaran Kyai Ahmad Dahlan untuk mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), balai pengobatan, rumah sakit, rumah miskin, panti asuhan, panti jompo, panti korban perang, sekolah, hingga penerbitan media cetak yang ditujukan sebagai upaya mengamalkan nilai Islam agar bermanfaat bagi pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat yang tertindas (mustadh’afin), serta pencerdasan umat yang bodoh dan terbelakang.

Dalam bentuk lain dengan berdasar pada penafsiran surat al-Maun yang diajarkan Kyai Ahmad Dahlan lahirlah beragam praksis sosial pemberdayaan masyarakat fakir, miskin, dan kaum mustadh’afin lainnya oleh Muhammadiyah. Seperti dikatakan Kyai Ahmad Dahlan untuk terus menerus menyerukan agar setiap orang yang mampu bersedia memenuhi hak-hak dan berlaku adil kepada orang miskin dan para fakir, anak yatim dan orang-orang terlantar dan menderita. Gerakan penyeruan pemenuhan hak-hak fakir miskin dan orang-orang terlantar tersebut kemudian melahirkan gerakan mengelola zakat dan zakat fitrah untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin, orang terlantar di jalan, mereka yang menderita karena berbagai sebab.[28] Praksis sosial dari teologi al-Maun tersebut kemudian tidak sekedar mendirikan balai pengobatan, rumah sakit, rumah sakit jiwa, mendirikan panti jompo, rumah miskin, panti asuhan yatim piatu, rumah orang terlantar ataupun rumah singgah, melainkan juga ditandai dengan pembentukan satuan kerja penyantunan dan perbaikan kehidupan yatim piatu, fakir miskin dan orang yang ditimpa musibah atau kesusahan. Sementara gerakan mengelola zakat yang telah dimulai sejak tahun 1920, saat ini dilakukan dengan manajemen pengelolaan zakat yang lebih profesional dengan keberadaan Lazizmu (Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah). Kesemua praksis sosial dan kerja amal untuk kemanusiaan tersebut tidak lepas dari pengajaran dan sesuai pesan Kyai Ahmad Dahlan bahwa “Berbuat dan bekerja itu lebih baik dan lebih penting dari berbicara”.[29]

Selanjutnya praksis sosial untuk kemanusiaan dari pemahaman atas teologi al-Maun tampak pula pada gerakan dakwah Muhammadiyah saat ini yang memiliki jangkauan lebih luas dan beragam, seperti keaktifan Muhammadiyah dalam Pokja Pemberantasan Korupsi, penuntasan mafia pajak dan hukum, pemberantasan flu burung dan TB (tubercolosis) yang banyak menimpa kelompok masyarakat miskin, fatwa kurban dan bencana alam yang menekankan agar kurban diberikan berdasarkan prioritas nilai manfaat dan kebutuhan masyarakat terutama yang menjadi korban bencana, serta pendirian MDMC (Muhammadiyah Disaster Center) untuk penanganan tanggap darurat bencana agar lebih cepat dan lebih efektif dalam menolong korban bencana.

Terakhir, yang perlu diperhatikan adalah menjaga kesinambungan gerakan sosial di atas tidak sekedar menjadi rutinitas dan aktifitas program yang sepi dari kreatifitas dan semangat awal untuk tujuan dakwah sosial kemasyarakatan. Muhammadiyah saat ini dan pada masa yang akan datang menghadapi tantangan yang lebih berat, mengingat tidak hanya dituntut tetap menjaga semangat dan nilai pengajaran Kyai Ahmad Dahlan, melainkan harus terus mampu melakukan terobosan baru untuk kerja sosial dalam berbagai bentuknya sesuai kebutuhan masyarakat dan kondisi zamannya. Ke depan diharapkan akan dilahirkan lebih banyak lagi rumah sakit baru yang lebih modern dengan kelengkapan teknologi kedokteran, keunggulan dalam mutu dan kualitas pelayanan, integrasi nilai indigenious dan modern dalam pengobatan, serta tetap terjaganya spirit dan amal sosial rumah sakit untuk melayani sepenuhnya fakir miskin yang sakit. Panti asuhan atau rumah singgah dikembangkan bukan hanya sebagai tempat penampungan sementara dengan pelatihan keterampilan pendukung, tetapi juga diarahkan agar dapat difungsikan sebagai sentra kerajinan dan home industry yang mampu memberi kecukupan secara ekonomi kepada penghuninya. Demikian pula terkait dengan pengelolaan zakat, lembaga pendidikan, pengembangan ekonomi mikro, lembaga penanganan bencana, serta program-program sosial kemasyarakatan lainnya. Dengan begitu, zaman dan manusia boleh berubah, tetapi spirit perjuangan dan gerakan dakwah (amal sosial) Muhammadiyah atas dasar surat al-Maun tetap terpelihara untuk mampu secara terus menerus melahirkan kerja sosial dan amal baik untuk kepentingan dan kemaslahatan fakir, miskin, para dhuafa’, dan kaum mustadh’afin.            











Daftar Pustaka

M. Quraish Shihab, 2006, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati
M. Dawam Rahadjo, 1997, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina
Jalaluddin Rakhmat, 1995, Rekayasa Sosial Revolusi atau Reformasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sayyid Qutb, 2000, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press
Muhammad Qutb, 2005, Islam Agama Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka
Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit P.T. Percetakan Persatuan
-------------------, 2007, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: penerbit Suara Muhammadiyah
-------------------, 2010, Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
-------------------, 2010, Marhaenis Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit Galangpress
-------------------, 2007, Sufi Pinggiran Menembus Batas-Batas, Yogyakarta: IMPULSE dan Penerbit Kanisius
-------------------, 2003, Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, Jakarta: Penerbit Erlangga
-------------------, 2003, Islam Sejati Kiai Ahmad Dahlan dan Petani Muhammadiyah, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Tim AIKA UMM, 1990, Muhammadiyah Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta: PT Tiara Wacana dan UMM Press
Arief Budiman, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Asghar Ali Engineer, 1993, Islam dan Pembebasan, Yogyakarta: LKiS
--------------------------, 1999, Islam dan Teologi Pembebasan Asia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan
-----------------, 2004, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan
Francis Wahono, 1986, Teologi Pembebasan Sejarah Metode Praksis dan Isinya, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Moeslim Abdurrahman, 2003, Islam sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Penerbit Erlangga
John Freidman, 1992, Empowerment: The Politics of Alternative Development, Cambridge: Blackwell Book
Ginanjar Kartasasmita, 1997, Kemiskinan, Jakarta: Balai Pustaka
Gunawan Sumodiningrat, 1989, Poverty in Indonesia: Concept, Fact and Policy Alleviation, Paper Presented at Indonesia’s New Order: Past, Present, Future, 4-8 Desember 1989, Canberra: The Australian national University
----------------------, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan (Teori, Masalah, dan Kebijakan), Edisi I, Yogyakarta: UPP AMP YKIN
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Revrisond Baswir, 1997, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
World Bank Poverty Net, 2003, Measuring Poverty: Understanding and Responding to Poverty, dalam http://www.worldbank.org/poverty/mission/up2.htm





[1] John Freidman, 1992, Empowerment: The Politics of Alternative Development, Cambridge: Blackwell Book, hal. 92
[2] Gunawan Sumodiningrat, 1989, Poverty in Indonesia: Concept, Fact and Policy Alleviation, Paper Presented at Indonesia’s New Order: Past, Present, Future, 4-8 Desember 1989, Canberra: The Au
stralian national University
[3] Ginanjar Kartasasmita, 1997, Kemiskinan, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 234
[4] Ibid
[5] John Freidman, Ibid, hal. 123
[6] World Bank Poverty Net, 2003, Measuring Poverty: Understanding and Responding to Poverty, dalam http://www.worldbank.org/poverty/mission/up2.htm
[7] Sajogyo, 1996, Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan, Yogyakarta: Aditya Media dalam Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan (Teori, Masalah, dan Kebijakan), Edisi I, Yogyakarta: UPP AMP YKIN, hal. 116
[8] Mudrajad Kuncoro, Ibid
[9] Revrisond Baswir, 1997, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 23
[10] Gunawan Sumodiningrat, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 90
[11] Ginanjar Kartasasmita, 1996, Pembangunan untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan), Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo, hal. 235, Lihat juga Gunawan Sumodiningrat, 1998, Ibid, hal. 67 dan Revrisond Baswir, Ibid, hal. 23
[12] Revrisond Baswir, Ibid
[13] Ginanjar Kartasasmita, Ibid
[14] Revrisond Baswir, Ibid
[15] Gunawan Sumodiningrat, Ibid
[16] Ginanjar Kartasasmita, Ibid
[17] Farid Essack, 2000, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, Terjemahan Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, hal. 73
[18] Muhammad Asad, 2004, The Messege of the Qur’an, Watsonville California: The Book Foundation, hal .102
[19] Abdul Munir Mulkhan, 2007, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: penerbit Suara Muhammadiyah, hal. 193-194
[20] Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit PT Percetakan Persatuan, hal. 60

[21] Abdul Munir Mulkhan, 2010, Kyai Ahmad Dahlan : Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 1-3

[22] Khoiruddin Bashori, Keserakahan Ummat di Mata K.H. Ahmad Dahlan dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 23/69/1989, atau lihat dalam Tim AIKA UMM, 1990, Muhammadiyah Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta: PT Tiara Wacana dan UMM Press, hal. 32-33
[23] Abdul Munir Mulkhan, 1990, hal. 64-66
[24] Ibid, hal. 5
[25] Ibid
[26] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 300 dan 1071
[27] Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit PT Percetakan Persatuan, hal. 132
[28] Abdul Munir Mulkhan, 2007, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, hal. 194, lihat juga Abdul Munir Mulkhan, 1990, Ibid, hal 82
[29] Abdul Munir Mulkhan, 1990, Ibid, hal. 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar