MUHAMMADIYAH DAN PENGENTASAN KAUM
MUSTADH’AFIN
I. PENGERTIAN KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan masalah kompleks
yang terjadi hampir di seluruh pelosok bumi. Kemiskinan adalah kelaparan.
Kemiskinan berarti ketiadaan rumah, jika sakit tidak dapat berobat ke dokter,
tidak dapat bersekolah dan tidak tahu baca-tulis, tidak punya pekerjaan, tidak
bisa makan, hidup mengelandang, dan gambaran kesulitan hidup lain. Kemiskinan
memiliki banyak wajah, berubah dari waktu ke waktu dan dapat dipaparkan dengan
berbagai cara, tetapi yang pasti secara sederhana kemiskinan dapat dikatakan:“poverty
is a situation people want to escape”.
Friedmann[1]
merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang
dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi
itu dirumuskan sebagai berikut :
1.
Kebutuhan
minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan
sebagainya).
2.
Pelayanan
esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada
umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan
fasilitas kesehatan dan pendidikan).
3.
Partisipasi
masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka.
4.
Terpenuhinya
tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak
dasar manusia.
5.
Penciptaan
lapangan kerja (employment) baik
sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.
Kemiskinan menurut Gunawan
Sumodiningrat[2]
bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi,
budaya, politik dan aspek lainnya. Pendapat tersebut semakna dengan pemikiran
Kartasasmita[3]
yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang
ditandai oleh adanya pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat
menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan
berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh
dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi.[4]
Hal ini juga senada dengan Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai
akibat dari ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial.[5]
Bappenas (2004)
mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak-hak dasar
masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan
hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun
laki-laki.
Sementara Bank Dunia (2003)[6]
memetakan beberapa hal yang menjadi penyebab dasar kemiskinan, yaitu:
(a) kegagalan kepemilikan
terutama tanah dan modal;
(b) terbatasnya
ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
(c) kebijakan pembangunan
yang bias perkotaan dan bias sektor;
(d) adanya perbedaan
kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung;
(e) adanya perbedaan sumber
daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus
ekonomi modern);
(f) rendahnya produktivitas
dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (g) budaya hidup yang dikaitkan
dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya;
(h) tidak adanya tata
pemerintahan yang bersih dan baik (good
governance);
(i) pengelolaan sumber daya
alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Di samping itu, kemiskinan
dapat dilihat berdasarkan garis batasnya. Batas garis kemiskinan yang digunakan
setiap negara berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi
dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas
miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dengan menggunakan patokan 2.100 kalori per hari.
Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk
perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode 1976 sampai
1993, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan
kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis
kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Kemudian garis
kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan versi Sajogyo[7],
yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan garis kemiskinan yang
didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan
sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan
menerapkan garis kemiskinan ini ke dalam data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, maka akan diperoleh persentase
penduduk yang hidup di bawah kemiskinan.[8]
II. BEBERAPA
BENTUK KEMISKINAN
Menurut Revrisond Baswir[9]
dan Gunawan Sumodiningrat[10] secara
sosio-ekonomis kemiskinan dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu :
1.
Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolut adalah suatu
kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis
kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan
pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita, pengeluaran
konsumsi dan lain-lain.
2.
Kemiskinan relatif
Kemiskinan relatif adalah kemiskinan
yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan
tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu)
pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa
yang lain.
Selain dua bentuk
kemiskinan di atas, terdapat juga bentuk kemiskinan lain yang berbeda dilihat
berdasarkan faktor penyebab kemiskinannya. Kemiskinan tersebut dapat dibedakan
menjadi: (1) Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural, dan (3)
Kemiskinan struktural.[11]
1. Kemiskinan Natural
Kemiskinan natural adalah kemiskinan
alami atau keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok
masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang
memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan,
atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat
imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir[12]
kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah
seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi
kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita[13]
disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau
turun temurun. Kemiskinan ini biasaya terjadi di daerah yang pada umumnya
kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.
2. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan
yang mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang
disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa
hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini
tidak
mudah untuk diajak berpartisipasi
dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat
kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang
dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir bahwa ia
miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.[14]
3. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi
yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi
serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat
tertentu. Selanjutnya Sumodiningrat[15]
mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya
menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam
program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan
sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan
masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat
yang timpang. Menurut Kartasasmita[16]
hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak
dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Pembagian
beberapa bentuk kemiskinan berikut karakteristiknya di atas tidak dapat dilepaskan
dari cara pandang (paradigma) yang dipakai dalam melihat kemiskinan. Secara
umum terdapat tiga paradigma yang dipakai dalam melihat kemiskinan, yaitu:
a.
Paradigma Pembangunan
Suatu
paradigma yang melihat pemberdayaan hanya sebagai obat, sebagaimana cara
pandang yang melihat kemiskinan bukan berasal dari struktur sosial, melainkan
ia berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Kalangan ini
melihat bahwa mereka miskin dan melarat disebabkan adanya budaya kemiskinan.
Karena itu agar mereka tidak miskin, maka diberilah “obat” pemberdayaan, baik
dalam bentuk pinjaman modal maupun pendampingan dan pelatihan. Paradigma obat
ini tidak dapat dilepaskan dari landasan teori pembangunan (developmentalism) dan modernisasi yang
berpijak pada pemikiran Adam Smith (1776) dengan karyanya “The Wealth of
Nation”, termasuk pemikiran David Ricardo, James Mill, Jeremy Bentham,
Robert Malthus, dan J.B. Say yang mendasarkan pada filsafat liberalisme. Kemudian merujuk pada teori pertumbuhan
ekonomi W.W. Rostow dalam bukunya “The
Stages of Economic Growth: a Non-Communist Manifesto”, pemikiran David Mc Clelland
(1984) dalam bukunya “The Achievement Motive in Economic Growth” yang
melihat bahwa pertumbuhan ekonomi akan terjadi dengan baik, bila the need
for achievement (N’ach)-nya tinggi, demikian sebaliknya. Demikian pula mengacu
pemikiran Mahbub ul-Haq tentang basic needs, yakni melihat
pentingnya strategi langsung pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar,
seperti makanan, air, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, serta
pekerjaan dan partisipasi.
b.
Paradigma Mutual
Paradigma ini
lebih melihat hubungan kausalitas yang terjadi. Artinya para pemikir dari
kalangan ini melihat bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Bagi
mereka, bila kondisi sosial ekonomi diperbaiki dengan menghilangkan
diskriminasi dan memberikan peluang yang sama, maka dimungkinkan kemiskinan
dapat ditekan sekecil-kecilnya. Masyarakat akan dapat dientaskan dari
kemiskinan, sebagaimana layaknya masyarakat yang lain. Menurut kaum ini, akar
permasalahan mengapa mereka miskin adalah akibat kesenjangan, ketidakadilan,
dan perlakuan yang tidak merata secara ekonomi.
Pemikiran
ini dipengaruhi oleh pijakan teoritik yang menyandarkan pada teori
ketergantungan (dependensia). Teori ini dilatarbelakangi oleh situasi kemacetan
ekonomi negara-negara Amerika Latin, serta keragu-raguan mereka terhadap teori
pembangunan. Pertama, Celco Furtado
(1969) dalam bukunya “Economic
Development of Latin America” menjelaskan adanya center dan periphery
sebagai ciri dependensia. Menurutnya, terdapat struktur intern yang diwariskan
kolonial (negara maju/center) terhadap negara berkembang (periphery), sehingga
negara berkembang selalu bergantung (dependent or underdevelopment)
terhadap negara maju. Kedua, Fernando Cardoso dan Enzo Faletto (1969) dalam buku “Dependency
and Development in Latin America” mengatakan, bahwa pembangunan ekonomi
sebagai campuran berbagai interest kelas dari waktu ke waktu, yang secara
historis berubah, meski dalam faktanya menyebabkan ketergantungan ekonomi
terhadap pasar dunia atau dalam istilah Paul Baran dan Sweezy disebut monopoly
capitalism. Ketiga, pemikiran
Theotonio Dos Santos berusaha menganalisis adanya tiga bentuk ketergantungan,
yaitu 1) ketergantungan kolonial yang ditandai oleh monopoli perdagangan yang
dilengkapi dengan monopoli tanah, tambang dan tenaga kerja di negara jajahan.
2) ketergantungan financial-industry, yakni ketergantungan negara berkembang
terhadap konsentrasi kapital (modal). 3) ketergantungan technological-industry,
yang ditandai pendirian perusahaan multinasional di negara yang
bergantung. Ketiga pemikiran dari teori
dependensia di atas, menurut Sanjaya Lall (1975) dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yakni: 1) dependensia dipercaya selalu membawa kemiskinan. 2) pertumbuhan
selalu dibatasi oleh terbatasnya pasar. 3) pertumbuhan itu mungkin, tetapi akan
selalu menjadi subordinat dari center.
c.
Paradigma Kritis
Kesenjangan
dan kemiskinan bagi kalangan ini terjadi akibat adanya struktur sosial,
ekonomi, politik yang melestarikan kondisi tersebut. Seseorang menjadi miskin
bukan sebuah pilihan rasional dan efek kemalasan (budaya), melainkan lebih
disebabkan adanya eksploitasi oleh kelompok elite, kelas kapitalis ataupun
penguasa yang tidak memihak rakyatnya.
Pemikiran
paradigma ini melihat akar masalah kemiskinan dari perspektif teori kritis.
Analisa dan pendekatan teori berpijak pada pemikiran Marxis, Mazhab Frankfrut
(Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse), Louis Althuser, Antonio Gramsci
maupun Michel Foucault. Menurut Stephen Leonard (1990) dalam bukunya “Critical
Theory in Political Practice”, bahwa pemikiran yang ingin dikembangkan
lewat teori kritis adalah suatu teori alternatif yang berdimensi praxis dan
mengarahkan suatu aksi perubahan sosial yang memberikan kritik terhadap
institusi dan praktik sosial politik yang tidak adil yang ada di masyarakat.
Praxis dari teori kritis adalah pembebasan dari segala bentuk struktur sosial
politik ekonomi yang menindas, korup, otoriter, monopolik, dan membelenggu
kekebasan rakyatnya. Kedua, pemikiran
Gustavo Guterez (1973) tentang teologi pembebasan dapat disebut sebagai bentuk
teori kritis yang berusaha menyingkap nilai kebenaran yang disembunyikan
otoritas agama. Kemiskinan dan penindasan menjadi sesuatu yang lumrah dalam
bahasa otoritas Katolik. Padahal sejatinya teologi Kristiani menurut Guterez
–bila direfleksikan dengan realitas sosial-- mestinya memberi jaminan bagi
hilangnya kemiskinan dan penindasan di masyarakat, sebagaimana yang diajarkan
Yesus. Ketiga, pemikiran Foucault
tentang power-knowledge. Dimana
Foucault melihat bahwa akar penindasan dan penguasaan adalah dominasi terhadap
suatu diskursus (discourse). Negara-negara maju dapat begitu leluasa
mendikte negara-negara berkembang disebabkan mereka memiliki dominasi yang kuat
dalam terminologi dan diskursus. Teori pembangunan, women in development,
democracy and civil society, human
right, good governance dan clean
goverment menjadi diskursus yang efektif menekan sekaligus mengontrol
dimensi politik, sosial dan ekonomi negara-negara berkembang.
III. KONSEP
ISLAM TENTANG KEMISKINAN DAN KAUM MUSTADH’AFIN
Islam dengan sumber pokoknya
al-Qur’an al-Karim banyak membicarakan berbagai hal yang terkait dengan
kemiskinan. Berbagai hal yang terkait dengan istilah miskin, fakir ataupun
beberapa sifat yang mengarah pada terciptanya kemiskinan tercantum di dalamnya.
Di dalam al-Qur’an kata miskin disebut
sebanyak 25 kali, yakni 11 kali disebut dalam kata miskin, 12 kali dalam kata masakin,
dan 2 kali dalam kata maskanah (kehinaan
yang menunjuk sifat kemiskinan). Sementara faqir
disebutkan sebanyak 14 kali, yakni 1 kali disebut dalam kata faqr, 1 kali dalam kata
faqirah, 5 kali dalam kata faqir, dan 7 kali dalam kata fuqara’.
Kata miskin dan faqir dengan
beberapa padanannya dapat kita temukan di dalam al-Qur’an pada beberapa surat
dan ayat, yaitu: al-Maidah: 2, 89, 95, 97; adz-Dzariyat: 19; al-An’am: 52, 136,
137, 141; al-Baqarah: 3, 83, 177, 184, 215, 236; al-Anfal: 41; at-Taubah: 60;
al-Muddatsir: 44; al-Ma’arij: 25; al-Haqqah: 34; al-Qalam: 18, 25, 28;
al-Hasyr: 7-8; al-Mujadilah: 4, 12, 13; al-Ahqaf: 11; an-Nur: 22, 32; al-Kahfi:
79,90; al-Isra’: 26; Hud: 30; an-Nisa: 6, 8, 135; Ali Imran: 181; ar Rum: 38;
al-Fajr: 18; al-Maun: 3; al-Insan: 8; dan QS. al-Balad: 16.
Kemudian dengan melihat akar
kemiskinan dan tanggung jawab negara di dalamnya, maka penyebutan yang tepat
terhadap mereka yang miskin atau lemah (dhuafa’)
adalah istilah mustadh’afin (kaum yang
tertindas),
yakni kelompok manusia yang berada dalam status sosial “inferior”, tersisih, tertindas secara
sosial-ekonomi, dan diperlakukan
secara diskriminatif. Istilah
mustadh’afin memiliki
arti yang kontekstual dan dapat mewakili kelas sosial rendah lainnya, seperti arâdzil (yang
tersisih), fuqarâ’ (fakir), maupun masâkin (orang-orang miskin).
Farid
Esack —penyandang gelar
doktor di bidang tafsir Al-Quran, staf pengajar Universitas Western Cape,
Afrika Selatan, dan tokoh senior World Conference on Religion and Peace, serta orang yang berjuang melawan
sistem Apharteid di Afrika Selatan— mengatakan seseorang disebut
mustadh’afin apabila ada orang yang
bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Seseorang hanya menjadi mustadh’afin
diakibatkan oleh perilaku atau kebijakan pihak penguasa yang arogan.[17]
Sedangkan Hasan Hanafi
(1998) dalam refleksi teologisnya mengatakan bahwa kendati pun menurut
ayat-ayat al-Qur’an kita ini merupakan umat yang satu (ummatan wahidah),
namun sesungguhnya dalam kenyataan yang obyektif kita dipisahkan menjadi dua,
yaitu umat yang miskin dan umat yang kaya.
Di dalam
al-Qur’an penyebutan kata teraniaya, ditindas, dan lemah disebut secara
berulang-ulang dengan beragam makna dan tujuan. Kata “teraniaya” terdapat di
dalam: an-Nisa: 148 dan asy-Syuura: 41. Kata “ditindas” terdapat di dalam
an-Nisa: 97; al-A’raf: 129, 137; Yunus: 90; dan al-Qashash: 4-5. Adapun
penyebutan kata “lemah” di dalam al-Qur’an terdapat pada an-Nisa: : 9, 28, 75,
76, 104, 117, 127; al-Baqarah: 10, 282; Hud: 91; ar-Rum: 54; Ali Imran: 123,
139, 146, 152, 159; Muhammad: 35; al-Ahqaf: 11; al-Mu’min: 47; Shaad: 34;
Yasin: 68; Saba: 31-33; Luqman: 14; al-A’raf: 75, 150, 155, 194; al-Ankabut:
10, 41; asy-Syu’ara: 192; al-Hajj: 73; Taha: 44; Maryam: 4, 75; al-Kahfi: 19;
an-Nahl: 70; Ibrahim: 21; Yusuf: 94; at-Taubah: 60, 87, 91; al-Maidah: 54;
al-Qalam: 42; al-Jin: 24; an-Naziat: 2; al-Munafiqun: 8; al-Haaqah: 16.
Secara lebih seksama kita
dapat pula menelaah QS.2: 61; QS. 3:112; QS. 90: 11-20. Kita dapat mengkaji
beberapa hal yang disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai penyebab manusia
mengalami kemiskinan dan penindasan, yaitu:
Pertama, sifat rakus sebagian
manusia (lan nashbira ‘ala tha’amin wahid);
Kedua, eksploitasi lingkungan
atau sumber daya alam (mimma tunbitu
al-ardhu); Ketiga, buta terhadap
kebutuhan manusia yang sebenarnya (‘a
tastabdilunal ladzi huwa adna billadzi huwa khair);
Keempat, kufur nikmat (yakfuruna bi ayatillah);
Kelima, mematikan “cita-cita
kenabian” (yaqtuluna al-nabiyyina);
Keenam, kedurhakaan dan melampaui
batas (ashaau wa kanu ya’tadun);
Ketujuh, tidak menjalin hubungan
baik dengan Allah (hablum minallah);
Kedelapan, tidak menjalin hubungan
baik dengan sesama manusia (hablun
minannas).
Itulah kenapa Islam sangat
mengecam umatnya yang beriman tetapi tidak dapat melahirkan amal saleh. Iman
tanpa amal saleh adalah seperti pohon tanpa buah. Artinya keimanan dan
keyakinannya terhadap Allah tidak membawa pengaruh terhadap perbaikan dan
kebaikan bagi manusia. Padahal manusia bukan sekedar hamba, melainkan dia
adalah wakil Tuhan di bumi (khalifah fil
ardh). Itu berarti tugas menjaga dan memakmurkan dunia merupakan tugas
utama manusia, termasuk tugas untuk mensejahterakan setiap individu di
dalamnya.
Perhatian Islam yang
demikian besar tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai ibadah mahdhah yang
dilaksanakan setiap individu. Ibadah mahdhah
setiap muslim ditujukan untuk melahirkan kebaikan hidup yang bermanfaat bagi
yang lain. Shalat, zakat, puasa, ataupun haji bukanlah ibadah individual,
melainkan ibadah yang diharapkan memberi imbas kebaikan, empati terhadap
sesama, saling tolong menolong, dan memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Demikian halnya jika ibadah mahdah
tidak mampu dilaksanakan, maka ia dapat digantikan dengan ibadah sosial (tha’amu miskin, shadaqah, tahriru raqabah,
dll). Kita dapat mengkaji beberapa ayat yaitu: QS.2: 184, 196; QS. 4: 92; QS 5:
89; QS. 58: 3; QS. 90: 11-20)
Fakta lain yang menunjukkan
keberpihakan Islam terhadap penanganan kemiskinan adalah adanya sanksi berat
berupa pelabelan atau cap sebagai pendusta agama terhadap mereka yang
menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin sebagaimana
termaktub dalam QS. al-Maun/107: 1-7. Komitmen Islam dapat pula dilihat dari
semangat dan langkah pembebasan manusia dari perbudakan klasik dan modern (fakku raqabah), termasuk keharusan untuk
selalu membantu kaum yatim dan miskin (ith’amun
fi yaumin dzi masyghabah, yatiman dza maqrabah, au miskinan dza matrabah).
Islam tidak terjebak pada
kesalehan individual. Tetapi memposisikan kesalehan itu sebagai kesalehan
sosial. QS. 2:177 dapat menunjukkan hal itu. Di mana kebajikan sejati (al-birr) bukan dipahami secara simbolik,
melainkan kebajikan adalah 1) keimanan kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat,
Kitab Suci, dan Nabi-nabi. 2) memberi kerabat, kaum yatim, miskin, musafir/pengungsi,
dan para peminta. 3) membebaskan perbudakan. 4) mendirikan shalat. 5) membayar
zakat. 6) menepati janji, bila berjanji. 7) bersabar dalam kesempitan,
penderitaan maupun dalam masa perang atau konflik.
Sebagai tindak lanjut
kebajikan sejati, maka Islam memberikan salah satu solusi dalam mengentaskan
kemiskinan. QS. Al-Taubah/9: 60 mengariskan tentang pemberian zakat dan sedekah
kepada 8 kelompok (ashnaf), yaitu: fuqara,
masakin, amilin (pengumpul zakat), muallaf
(orang baru masuk Islam dan masih lemah hatinya), riqab (budak), gharimin (orang
yang terlilit utang), sabilillah (perjuangan
di jalan Allah), dan ibn al-sabil (pengungsi,
pelajar, gelandangan (tuna wisma), dan lainnya).
Selain zakat, Islam juga
mengatur mengenai pentingnya sedekah dan infak bagi terciptanya pemerataan,
keseimbangan, keadilan dan kebahagiaan hidup di dalam tatanan masyarakat. Lihat
beberapa ayat terkait sebagai bahan kajian dan i’tibar dalam memahami hakekat zakat, sedekah, infak dan pemberian
lainnya. Beberapa ayat tersebut adalah sebagai berikut: QS.2: 43, 83, 110, 177,
215, 261-274, 276, 277; QS 23: 4, 60; QS 4: 77, 114, 162; QS 9: 5, 11, 18, 58,
71, 79, 103, 104; QS 14:31; QS 58: 12-13; QS 73:20; QS 33:33; QS 31: 3-5; QS
30:39; QS 27: 3; QS 24: 33, 37, 56; QS 21: 73; QS 22: 41, 78; QS 19: 31, 55; QS
7: 156; QS 5: 12, 55; QS 98: 5; QS 107: 7. Demikian juga pentingnya pembebasan
manusia dari perbudakan, pemihakan terhadap kaum perempuan, serta bentuk
pemberdayaan lainnya.
Komitmen pengentasan
kemiskinan di dalam Islam dapat pula dilihat dari pernyataan Nabi Muhammad SAW
dalam beberapa sabdanya, seperti:
•
Perumpamaan orang mukmin
dalam kasih, sayang, kebersamaannya seperti satu tubuh. bila satu bagian
menderita, maka bagian tubuh yang lain ikut merasakannya (HR. Bukhari-Muslim)
•
“Siapa yang tidak sayang,
tidak disayang”. atau “Siapa yang tidak menyayangi manusia, Allahpun tidak
menyayanginya”.
(HR. Bukhari Muslim)
•
Tidak
beriman salah satu dari kamu sebelum menyayangi saudaranya seperti menyayangi
dirinya
(HR Bukhari Muslim)
•
Siapa
yang memudahkan kesulitan orang mukmin lain di dunia, Allah pasti membantu
kesulitan-kesulitannya di hari kiamat…(HR. Muslim)
•
Aku
dan Penyayang Anak Yatim itu seperti ini dekatnya. (sambil mengacungkan dua jari
telunjuk-tengah)
IV. TAFSIR
AL-MAUN: DARI TEOLOGI SOSIAL KEPADA PRAKSIS SOSIAL MUHAMMADIYAH
Surat
al-Maun merupakan surat ke 17 yang terdiri atas 7 ayat dan termasuk golongan
surat-surat Makkiyyah. Surat al-Maun
diturunkan sesudah surat al-Taakatsur
(bermegah-megahan), yakni surat ke 16 dan sebelum al-Kafirun (surat ke 18). Nama al
Ma'un diambil dari kata al Ma'un
yang terdapat pada akhir ayat. Secara etimologi, al-Ma’un berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan
ketaatan, dan zakat. Menurut Muhammad Asad kata "al-Ma'un" berdasarkan berbagai tafsir klasik dapat
dipahami sebagai "comprises the
small items needed for one's daily use, as well as the occasional acts of
kindnessconsisting in helping out one's fellow-men with such item. In its wider
sense, it denotes "aid" or "assistance" in any
difficulty" (...kata "al-Ma'un"
mencakup hal-hal kecil yang diperlukan orang dalam penggunaan sehari-hari, juga
perbuatan kebaikan berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia dalam hal-hal
kecil. Dalam maknanya yang lebih luas, kata al-Maun
berarti "bantuan" atau "pertolongan"dalam setiap kesulitan
).[18]
Surat ini
berdasarkan Asbabun Nuzulnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mudzir adalah
berkenaan degan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang
beriman. Mereka melakukan shalat dengan riya’, dan meninggalkan apabila tidak
ada yang melihatnya, serta menolak memberikan bantuan kepada orang miskin dan
anak yatim. Surat al-Maun paling
tidak berisi empat hal pokok, yakni: Pertama,
perintah berbuat kebaikan kepada sesama manusia, terutama kepada anak-anak
yatim dan fakir miskin yang merupakan kelompok orang-orang yang tertindas (mustadh’afin). Kedua, jangan lupa atau lalai mendirikan shalat. Ketiga, jangan riya’ (pamer) dalam beribadah. Keempat,
jangan kikir (pelit) untuk beramal dan berbagi dengan sesama. Keempat hal pokok
ini merupakan sifat orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang munafik. Dimana
mereka cenderung bermegah-megah dan berfoya-foya dengan harta benda (al-Takatsur), lupa dengan ibadah karena
sibuk mencari harta semata, suka memamerkan kebaikan kepada orang lain atau
tidak ikhlas dalam beribadah, dan tidak mau member atau berbagi dengan fakir
miskin dan orang-orang tertindas lainnya. Itulah kenapa kaum muslimin
diperintahkan secara tegas menjauhi keempat perbuatan tidak baik tersebut. Pelanggaran
terhadap keempat larangan tersebut disebut sebagai pendusta agama, suatu
pelanggaran yang sangat berat sebab mengingkari dan menutup hati kita atas
kebenaran dan ketundukan semata karena Allah padahal sebelumnya telah menyatakan
iman dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Kelompok pedusta agama ini
disebut juga sebagai orang-orang yang telah ingkar dan menutup hatinya dari
perintah dan ketaatan hanya kepada Allah atau disebut al-Kafirun. Penafsiran ini tidak jauh berbeda dengan penafsiran Sayyid
Quth –yang lahir setelah lama Kiai Ahmad Dahlan meninggal-- dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an Vol. 24:263
menjelaskan bahwa surat al-Maun mampu
memecahkan hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur secara
total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini sangat berbeda bila
dibandingkan definisi lama. Karena kufur (mendustakan agama) di sini diartikan
sebagai menghardik anak yatim dan/atau menyakitinya. Logika kufur muncul karena
seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati niscaya anak-anak yatim dan
orang miskin tentu tidak akan diterlantarkan.
Dalam konteks Muhammadiyah,
surat al-Maun memiliki arti yang
sangat penting sebab menjadi landasan dasar dan spirit bagi lahirnya gerakan
dakwah Muhammadiyah dengan berbagai amal sosialnya berupa rumah sakit, panti
asuhan, panti jompo, rumah miskin, lembaga pendidikan, dan lainnya. Berdasarkan
sejarah awal Muhammadiyah tercatat kisah mengenai pengajian surat al-Maun dan tafsir pengamalannya. H. Mohammad
Soedja’, salah seorang murid Kyai menceritakan bahwa “Kyai Dahlan dalam pengajian rutin subuh mengajarkan surat al-Maun
secara berulang-ulang selama beberapa waktu lamanya tanpa diganti atau ditambah
dengan surat atau materi lainnya. Sehingga melahirkan pertanyaan dari muridnya,
mengapa materi pengajian tidak ditambah-tambah dan hanya mengulang-ulang surat
al-Maun. Mendengar pertanyaan itu, Kyai balik bertanya kepada murid-muridnya,
apakah mereka sudah benar-benar mengerti akan maksud surat al-Maun. Para murid
serentak menjawab: mereka bukan hanya sudah mengerti, tetapi sudah hafal. Kyai kemudian kembali bertanya, apakah arti
ayat-ayat yang sudah dihafal tersebut sudah diamalkan. Para murid menjawab
sambil bertanya, apanya yang diamalkan, bukankah surat al-Maun sudah sering dibaca
saat menjalankan shalat. Kyai menjawab, bukan itu maksudnya diamalkan. Tetapi
apakah yang dipahami itu sudah dipraktikkan dan dikerjakan. Maka setelah itu, Kyai
memerintahkan para murid untuk mencari anak yatim, orang-orang miskin, pengemis
dan gelandangan yang banyak terdapat di pasar, di stasiun kereta api dan di
jalanan untuk dibawa pulang, dimandikan dengan sabun dan sikat gigi yang baik,
diberi pakaian seperti yang biasa mereka pakai, diberi makan dan minum, serta
tempat tidur yang layak.Untuk itu
pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada
kalian.”[19]
Inilah tafsir al-Maun yang
secara teologis menjadi identitas dan spirit gerakan amal Muhammadiyah yang
melahirkan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) --sekarang berubah menjadi PKU (Pembina
Kesejahteraan Umat)-- dalam bentuk balai pengobatan, rumah sakit, panti asuhan,
panti jompo, dan rumah miskin bagi fakir miskin, kaum dhuafa’ dan mustadh’afin,
Model pembelajaran al-Qur’an
di atas sesungguhnya merupakan metode pengajaran yang biasa diberikan oleh Kyai
Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Di dalam pokok pikiran dan ajaran Kyai
Ahmad Dahlan disebutkan tentang lima jalan dalam memahami al-Qur’an, yaitu:
a. Yang pertama mengerti
artinya;
b. Kedua memahami tafsir dan
maksudnya;
c. Ketiga jika mendapat
larangan dalam al-Qur’an bertanyalah kepada diri sendiri apakah larangan
semacam itu sudah ditinggalkan;
d. Keempat jika mendapat amar atau perintah perbuatan dalam
al-Qur’an tersebut, bertanyalah kepada diri sendiri apakah amar atau perintah berbuat tersebut sudah diamalkan; dan
e. Jika yang keempat belum
diamalkan jangan membaca ayat yang lain.[20]
Kyai Ahmad Dahlan
menafsirkan surat al-Maun ataupun
surat-surat al-Qur’an lainnya tidak berdasarkan pemahaman normatif tekstual
semata, melainkan Kyai berani keluar dari mainstream
pemikiran demi pencapaian tujuan dakwah Islam yang beliau cita-citakan dalam
bentuk tafsir aksi atau praksis sosial. Kyai Ahmad Dahlan memiliki pemahaman
teologis yang dalam bukan hanya dalam akal pikirnya, melainkan paham teologi
itu harus dipraksiskan dalam amal nyata (aksi sosial) sesuai kebutuhan dan
kemaslahatan masyarakat (umat). Kondisi ini bisa dimengerti jika melihat bahwa Kyai
sebagai seorang priyayi Jawa memiliki sifat dan sikap (etos) welas asih sebagai
kultur dari etika Jawa. Dr. Soetomo seorang dokter priyayi Jawa tertarik dan
terlibat aktif dalam Muhammadiyah, tidak bisa dipungkiri karena melihat
kewelas-asihan Kyai. Dalam sambutan pembukaan rumah sakit PKU Muhammadiyah
Surabaya di tahun 1924, Dokter Soetomo menyakini bahwa etika welas asih itu sebagai antitesis etika
Darwinisme (struggle for the fightest)
yang menjadi kekuatan gerakan Muhammadiyah. Kenyataannya Kyai mendirikan rumah
sakit, bekerjasama dengan dokter-dokter berkebangsaan Belanda dan beragama
Nasrani yang bekerja secara sukarela. Kesediaan dokter-dokter Belanda bekerja
di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan Surabaya tanpa dibayar, bukan
bagian dari politik kolonial, melainkan didasari komitmen kemanusiaan dokter
Belanda ketika melihat kegiatan kesehatan yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan itu
diperuntukkan bagi kaum dhuafa’ dan
fakir miskin secara cuma-cuma. Nilai profetik kemanusiaan dalam etika welas asih lah yang menjadi titik temu
pandangan tersebut.[21]
Pemahaman Kyai Ahmad Dahlan
dalam pengajaran surat al-Maun
semakna dengan penafsiran beliau mengenai Q.S. al-Taubah/9: 34-35 yang memiliki
penekanan berbeda dengan ulama-ulama lain. Kyai Ahmad Dahlan memahami
al-Taubah/9: 34-35 bukan hanya dasar kewajiban zakat, menurut Kyai ayat itu tidak
saja mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat, akan tetapi juga bagi siapa
saja yang menyimpan harta hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak
mendermakan di jalan Allah. Lebih lanjut Kyai juga mengajarkan “carilah sekuat tenaga harta yang halal,
jangan malas. Setelah mendapat, pakailah untuk kepentingan dirimu sendiri dan
anak istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah. Kelebihannya didermakan di jalan
Allah”.[22]
Pemahaman Kyai Ahmad Dahlan yang demikian semakna dengan pandangan beliau
mengenai konsep beragama. Baginya beragama itu adalah beramal, artinya berkarya
dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur’an dan
Sunnah. Orang yang beragama ialah orang yang menghadapkan jiwanya dan hidupnya
hanya kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti
rela berkurban baik harta benda miliknya dan dirinya, serta bekerja dalam
kehidupannya untuk Allah. Itu pula mengapa Kyai menyebut bahwa rakyat kecil,
kaum fakir miskin, para hartawan dan para intelektual adalah medan dan sasaran
gerakan dakwah Muhammadiyah.[23]
Secara lebih mendalam dapat
kita telusuri pemikiran penting Kyai lainnya yang didokumentasikan dengan judul
“Tali Pengikat Hidup Manusia” Almanak
1923 yang sudah diterjemahkan dengan judul “The
Humanity of Human Life” oleh Charles Kurzman (2002) dalam bukunya “Modernis Islam: A Sourcebook”. Kemudian
tulisan Kyai “Peringatan bagi Setiap
Muslimin (Muhammadiyyin)”, prasaran Muhammadiyah dalam Kongres Islam di
Cirebon tahun 1921. Dalam tulisan tersebut Kyai menekankan bahwa: “…kebanyakan pemimpin belum menuju baik dan
enaknya segala manusia, baru memerlukan kaumnya (golongannya) sendiri.
Lebih-lebih ada yang hanya memerlukan badannya sendiri saja, kaumnya pun tiada
diperdulikan. Jika badannya sendiri sudah mendapat kesenangan, pada perasaannya
sudah berpahala, sudah dapat sampai maksudnya…”.[24]
Selanjutnya Kyai juga menegaskan:
“Hidupnya akal yang sempurna, dan agar
supaya dapat tetap namanya akal, itu harus ada kumpulnya perkara enam… (antara
lain). Pertama, memilih perkara apa-apa harus dengan belas
kasihan. Manusia tidak sampai pada keutamaan, bila tidak dengan belas
kasihannya itu. Segala perbuatannya bisanya kejadian melainkan dengan
kejadiannya kesenangan, yang akhirnya lalu bosan dan terus sia-sia. Kedua, harus bersungguh-sungguh akan mencari. Sebab sembarang yang
dimaksudkan kepada keutamaan dunia dan akhirat, itu tidak sekali-kali dapat
tercapai bila tidak dicari dengan daya upaya ikhtiar, dengan pembelaan harta
benda, kekuataan dan fikir”.[25]
Pemahaman tafsir al-Maun tersebut mengkristal dalam
bentuk teologi sosial Muhammadiyah dan tauhid sosial. Dari tafsir ke teologi
kemudian kepada fikih al-Maun. Amanat
Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang tahun 2005 yang meminta Majelis Tarjih
menyusun konsep Teologi al-Maun
diterima dan disahkan menjadi keputusan Munas Tarjih ke 27 di Malang pada
tanggal 3 April 2010 dengan perubahan nama menjadi Fikih al-Maun. Mungkin debatable
penamaan tersebut mengingat istilah fikih yang terkesan kaku dan formil. Tetapi
yang terpenting substansi utama konsepsi Fikih
al-Maun tidak bergeser dari pemikiran Kyai Ahmad Dahlan ataupun amanat
Muktamar, yakni dengan melihat kenyataan bahwa umat Islam sampai sekarang masih
mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak di antara warganya yang menjadi
penyandang masalah sosial. Penyelesaian masalah ini secara mendasar harus
diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagai basis teologi (tauhid
sosial dan teologi al-Maun).
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar
ma’ruf nahi munkar bertanggung jawab ambil bagian dalam penyelesaian
masalah tersebut dengan menjabarkan tafsir surat al-Maun ke dalam keyakinan teologis dan amal (praksis) sosial. Secara
umum Munas Tarjih ke-27 menyepakati bahwa sistematika Fikih al Maun ada dalam “Kerangka
Amal al-Ma’un” yang berupa penguatan dan pemberdayaan kekayaan fisik,
moral, spiritual, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kemudian “Pilar Amal al-Ma’un” terdiri dari rangkaian berkhidmat kepada yang
yatim, berkhitmat kepada yang miskin, mewujudkan nilai-nilai shalat, memurnikan
niat, menjauhi riya’, dan membangun
kemitraan yang berdayaguna. Sementara “Bangunan
Amal al-Ma’un” yang disepakati adalah untuk kesejahteraan individu yang
bermartabat, kesejahteraan keluarga (Keluarga Sakinah), kesejahteraan masyarakat
yang berjiwa besar, kesejahteraan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pemahaman
tentang Tafsir al-Maun, Teologi al-Maun ataupun Fikih al-Maun
di atas tidak boleh berhenti hanya pada konsepsi pemikiran belaka, melainkan
harus dapat dijabarkan dalam realisasi amal sosial yang terus dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan umat dan perkembangan zamannya. Dengan begitu, baik
penafsiran ayat al-Qur’an, penghayatannya dalam hati sebagai keyakinan hidup
(teologi) maupun pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari (fikih) sesuai dengan pemikiran Kiai
Ahmad Dahlan yang menekankan “siapa menanam
akan mengetam”, dan “pemimpin itu sedikit bicara banyak bekerja”. Penafsiran yang bermuara
pada hasil amal sosial berarti pula terus menumbuhkan gerak dakwah Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah dan gerakan sosial kemasyarakatan yang bercita-cita
untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu masyarakat utama
adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu
Wata’ala (Baldatun Thayyibatun wa
Rabbun Ghafur).
V. PEMIHAKAN
DAN PEMBERDAYAAN MUHAMMADIYAH DALAM MENGENTASKAN KAUM MUSTADH’AFIN
Pemihakan
secara bahasa memiliki makna perbuatan memihak, memilih salah satu, dan
membela. Sedangkan pemberdayaan berarti proses, cara, dan perbuatan
memberdayakan.[26]
Dalam
bahasa Inggris pemberdayaan
disebut empowerment. Artinya yang punya kekuatan untuk memberdayakan,
atau pemberian kemampuan untuk yang lemah, supaya berdaya dengan cara menggali
potensi-potensi yang ada pada mereka. Jadi, pemberdayaan bisa diartikan upaya
partisipatif dalam memberikan kemampuan kepada orang yang lemah. Pemberian itu
tidak terbatas hanya kemampuan ekonomi, tetapi juga kemampuan lainnya yang bisa
membuat orang lain berdaya seperti dalam politik, sosial, budaya, agama dan
lainnya.
Menurut
DuBois dan Miley (dalam Suharto, 2006: 1), pemberdayaan (empowerment)
dapat didefinisikan sebagai proses maupun sebagai hasil. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk
meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal atau
politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan
guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya. Sementara
sebagai hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan
atau keberkuasaan yang mencakup: (a) state of mind, seperti perasaan
berharga dan mampu mengontrol kehidupannya; (b) reallocation of power
yang dihasilkan dari pemodifikasian struktur sosial. Dengan demikian,
pemberdayaan mencakup tidak hanya peningkatan kemampuan seseorang atau
sekelompok orang melainkan pula perubahan sistem dan struktur sosial.
Pemberdayaan tidak hanya mencakup peningkatan kemampuan dalam bidang ekonomi
(meningkatnya pendapatan), melainkan pula kemampuan dalam sosial-politik (misalnya:
menyatakan aspirasi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, menjangkau
sumber-sumber kemasyarakatan dan pelayanan sosial).
Ide tentang pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari
pergeseran paradigma dalam melihat kemiskinan. Jika sebelumnya kemiskinan dilihat
secara individual dan kultural berwajah blaming the victim, kini
bergeser ke perspektif institusional dan struktural yang bermuka blaming the
system (Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Masyarakat lemah dan
miskin (dhuafa’) bukan akibat kesalahan individu bersangkutan malas,
tidak mau bekerja, atau tidak memiliki etos usaha. Sebaliknya mereka itu menjadi
miskin dan tidak berdaya (mustadh’afin)
disebabkan sistem sosial yang ade kuat, tidak adil, dan bahkan menindas.
Mereka miskin bukan karena tidak mau bekerja, tetapi karena tidak ada
pekerjaan. Mereka dimiskinkan oleh sistem yang tidak memberikan proteksi dan
kesempatan kepada kelompok-kelompok kecil, masyarakat pedesaan (rural)
atau masyarakat kota (urban) yang marjinal dan dipinggirkan.
Dalam bahasa
agama, bisa jadi memang problem perlunya pemberdayaan dan pemihakan terhadap
kaum mustadh’afin harus diawali dari
pemahaman mengenai keyakinan ideologis (basis agama) dan pemahamannya, seperti
gagasan
Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman yang melihat bahwa ada tiga problem yang dialami
orang-orang miskin dan
tertindas (dhuafa’ dan mustadh’afin) sehingga tersingkir dalam
mobilitas sosial. Pertama, kemiskinan agama sebagai rasionalisasi hidup.
Agama yang sekarang menjadi mainstream tidak mampu menjadi kekuatan
spiritual dan moralitas yang membela kaum dhuafa’ dan mustadh’afin. Sebab agama
tidak menjadikan kaum mustadh’afin sebagai subyek, tetapi hanya sebagai
konsumen agama. Kedua, kemiskinan institusi agama, seperti majelis
taklim. Tidak ada circle seperti majelis taklim yang menghimpun kaum mustadh’afin,
untuk membicarakan nasib dan problem sehari-hari yang mereka alami. Ketiga,
kemiskinan di bidang kelembagaan sosial ekonomi. Tidak ada upaya regrouping
kaum dhuafa dan mustadh’afin di dalam
komunitas ekonomi, yang dengannya mereka bisa memiliki kekuatan ekonomi.
Tetapi gagasan bahwa ada
problem teologis Islam dalam pemberdayaan kaum dhuafa dan mustadh’afin
seperti dikemukakan Moeslim Abdurrrahman di atas mungkin salah. Sebab menurut
Kuntowijoyo di dalam Islam keberpihakan terhadap kaum dhuafa dan mustadh’afin
sangat kuat. Islam memiliki spirit yang luar biasa dalam melakukan pemihakan
dan pembelaan terhadap kaum dhuafa dan mustadh’afin. Semangat dan
kerja pembebasan dari perbudakan (penjajahan sesama manusia), pembelaan
terhadap hak-hak minoritas (fakir miskin, kaum perempuan, kulit hitam, dan
suku-suku badui), serta
penekanan iman yang diukur berdasarkan kualitas amal saleh (kebajikan terhadap
sesama) menjadi bukti pemihakan Islam atas hal itu.
Rasulullah Saw
pun sangat memperhatikan, menolong, membantu, dan mencintai kaum mustadh’afin dan fakir miskin. “Cintailah (kasihinilah) fakir miskin umatku
sebab sesungguhnya mereka memiliki negara kelak pada hari kiamat”
(HR Hasan). Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Carilah aku di antara orang-orang lemah. Sesungguhnya kalian diberi
rezeki dan kemenangan karena orang-orang lemah kalian” (HR Abu Daud).
Pemahaman
atas nilai-nilai Islam dalam wujud pemihakan, pemberdayaan, dan kerja sosial
terhadap masyarakat lemah dan tertindas (dhuafa dan mustadh’afin)
menunjukkan bahwa Islam kaya akan nilai-nilai pemberdayaan. Hadits “kaadal
fakru ai yakuna kufran” (kefakiran mengarah pada kekufuran) dapat dipahami
bahwa misi dakwah Islam sebagai rahmat lil alamin adalah membebaskan
manusia dari segala bentuk kefakiran, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan,
penindasan, dan ketidakberdayaan. Hal ini juga dibuktikan bahwa bagi seorang
muslim, puncak tertinggi keimanannya bukanlah ketika dia sudah beriman dan
berserah diri sepenuhnya kepada Allah (Islam), melainkan muslim yang disebut insan kamil (manusia sempurna) adalah
muslim yang telah sampai pada taraf ihsan.
Yaitu seorang
muslim yang mampu memanifestasikan asma’
dan sifat Allah sebagai kebaikan hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Khairun
nas, anfauhum lil nas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat
bagi yang lainnya).
Dengan berbagai
fakta pemihakan dan pemberdayaan Islam di atas, maka kita kemudian melihat tafsir baru dengan gagasan
yang segar pada zamannya dalam bentuk aksi atau gerakan sosial KH Ahmad Dahlan dan para murid-muridnya.
Di mana pada saat kaum dhuafa dan mustadh’afin percaya bahwa
penyakit yang dideritanya adalah akibat “lelembut” atau roh yang marah, Kyai
Ahmad Dahlan justru mendirikan “Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO)”
--yang kemudian menjadi rumah sakit-- dengan pengobatan gratis. Ketika umat
yang bodoh dan miskin memandang bangsa Belanda itu kafir, Kyai malah mendirikan
Balai Pengobatan dengan dukungan
tenaga dokter Belanda dan priyayi abangan tanpa
bayaran
sepeserpun. Sekolah yang dipandang umat sebagai tradisi orang kafir dan kristiani,
dipilih Kyai sebagai media pembebasan umat dari kebodohan dan keterbelakangan. Kyai
pun mendirikan sekolah pertama dengan menjadikan ruang tamu rumahnya sebagai
kelas.
Apa
yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan tersebut tidak bisa dilepaskan dari visinya tentang dunia dan
pemahamannya mengenai al-Qur’an.[27] Visi Kyai Ahmad
Dahlan “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan
jangan mencari hidup di Muhammadiyah”; “siapa menanam akan mengetam”; dan
pemimpin itu sedikit bicara banyak bekerja” merupakan visi hidup yang dalam
dan sarat dengan nilai-nilai pemberdayaan. Visi itu kemudian melahirkan
berbagai gagasan dan kerja sosial yang menuntut kesadaran Kyai Ahmad Dahlan
untuk mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), balai pengobatan, rumah
sakit, rumah
miskin, panti asuhan, panti jompo, panti korban perang, sekolah, hingga penerbitan
media cetak yang ditujukan sebagai upaya mengamalkan nilai Islam agar
bermanfaat bagi pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat yang tertindas
(mustadh’afin), serta pencerdasan umat yang bodoh dan terbelakang.
Dalam bentuk lain dengan berdasar
pada penafsiran surat al-Maun yang diajarkan
Kyai Ahmad Dahlan lahirlah beragam
praksis sosial pemberdayaan masyarakat fakir, miskin, dan kaum mustadh’afin lainnya oleh Muhammadiyah. Seperti
dikatakan Kyai Ahmad Dahlan untuk terus menerus menyerukan agar setiap orang
yang mampu bersedia memenuhi hak-hak dan berlaku adil kepada orang miskin dan
para fakir, anak yatim dan orang-orang terlantar dan menderita. Gerakan
penyeruan pemenuhan hak-hak fakir miskin dan orang-orang terlantar tersebut
kemudian melahirkan gerakan mengelola zakat dan zakat fitrah untuk dibagikan
kepada kaum fakir miskin, orang terlantar di jalan, mereka yang menderita
karena berbagai sebab.[28]
Praksis sosial dari teologi al-Maun
tersebut kemudian tidak sekedar mendirikan balai pengobatan, rumah sakit, rumah
sakit jiwa, mendirikan panti jompo, rumah miskin, panti asuhan yatim piatu,
rumah orang terlantar ataupun rumah singgah, melainkan juga ditandai dengan
pembentukan satuan kerja penyantunan dan perbaikan kehidupan yatim piatu, fakir
miskin dan orang yang ditimpa musibah atau kesusahan. Sementara gerakan
mengelola zakat yang telah dimulai sejak tahun 1920, saat ini dilakukan dengan
manajemen pengelolaan zakat yang lebih profesional dengan keberadaan Lazizmu
(Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah). Kesemua praksis sosial dan kerja amal untuk
kemanusiaan tersebut tidak lepas dari pengajaran dan sesuai pesan Kyai Ahmad
Dahlan bahwa “Berbuat dan bekerja itu lebih
baik dan lebih penting dari berbicara”.[29]
Selanjutnya praksis sosial untuk
kemanusiaan dari pemahaman atas teologi al-Maun
tampak pula pada gerakan dakwah Muhammadiyah saat ini yang memiliki jangkauan
lebih luas dan beragam, seperti keaktifan Muhammadiyah dalam Pokja
Pemberantasan Korupsi, penuntasan mafia pajak dan hukum, pemberantasan flu
burung dan TB (tubercolosis) yang
banyak menimpa kelompok masyarakat miskin, fatwa kurban dan bencana alam yang
menekankan agar kurban diberikan berdasarkan prioritas nilai manfaat dan
kebutuhan masyarakat terutama yang menjadi korban bencana, serta pendirian MDMC
(Muhammadiyah Disaster Center) untuk
penanganan tanggap darurat bencana agar lebih cepat dan lebih efektif dalam
menolong korban bencana.
Terakhir, yang perlu
diperhatikan adalah menjaga kesinambungan gerakan sosial di atas tidak sekedar
menjadi rutinitas dan aktifitas program yang sepi dari kreatifitas dan semangat
awal untuk tujuan dakwah sosial kemasyarakatan. Muhammadiyah saat ini dan pada
masa yang akan datang menghadapi tantangan yang lebih berat, mengingat tidak
hanya dituntut tetap menjaga semangat dan nilai pengajaran Kyai Ahmad Dahlan,
melainkan harus terus mampu melakukan terobosan baru untuk kerja sosial dalam berbagai
bentuknya sesuai kebutuhan masyarakat dan kondisi zamannya. Ke depan diharapkan
akan dilahirkan lebih banyak lagi rumah sakit baru yang lebih modern dengan
kelengkapan teknologi kedokteran, keunggulan dalam mutu dan kualitas pelayanan,
integrasi nilai indigenious dan
modern dalam pengobatan, serta tetap terjaganya spirit dan amal sosial rumah
sakit untuk melayani sepenuhnya fakir miskin yang sakit. Panti asuhan atau
rumah singgah dikembangkan bukan hanya sebagai tempat penampungan sementara
dengan pelatihan keterampilan pendukung, tetapi juga diarahkan agar dapat
difungsikan sebagai sentra kerajinan dan home
industry yang mampu memberi kecukupan secara ekonomi kepada penghuninya.
Demikian pula terkait dengan pengelolaan zakat, lembaga pendidikan,
pengembangan ekonomi mikro, lembaga penanganan bencana, serta program-program
sosial kemasyarakatan lainnya. Dengan begitu, zaman dan manusia boleh berubah,
tetapi spirit perjuangan dan gerakan dakwah (amal sosial) Muhammadiyah atas
dasar surat al-Maun tetap terpelihara
untuk mampu secara terus menerus melahirkan kerja sosial dan amal baik untuk
kepentingan dan kemaslahatan fakir, miskin, para dhuafa’, dan kaum mustadh’afin.
Daftar
Pustaka
M. Quraish Shihab, 2006, Tafsir al-Misbah, Jakarta:
Lentera Hati
M. Dawam Rahadjo, 1997, Ensiklopedi
al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta:
Paramadina
Jalaluddin Rakhmat, 1995, Rekayasa
Sosial Revolusi atau Reformasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sayyid Qutb, 2000, Tafsir fi
Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press
Muhammad Qutb, 2005, Islam Agama
Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka
Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah,
Yogyakarta: Penerbit P.T. Percetakan Persatuan
-------------------, 2007, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah,
Yogyakarta: penerbit Suara Muhammadiyah
-------------------, 2010, Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas
-------------------, 2010, Marhaenis Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit Galangpress
-------------------, 2007, Sufi Pinggiran Menembus Batas-Batas, Yogyakarta: IMPULSE dan
Penerbit Kanisius
-------------------, 2003, Moral Politik
Santri: Agama dan Pembelaan
Kaum Tertindas, Jakarta: Penerbit Erlangga
-------------------,
2003, Islam Sejati Kiai Ahmad Dahlan dan
Petani Muhammadiyah, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Tim AIKA UMM, 1990, Muhammadiyah Sejarah Pemikiran dan Amal
Usaha, Yogyakarta: PT Tiara Wacana dan UMM Press
Arief Budiman, 1995, Teori Pembangunan
Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Asghar Ali Engineer, 1993, Islam dan
Pembebasan, Yogyakarta: LKiS
--------------------------, 1999, Islam dan
Teologi Pembebasan Asia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma
Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan
-----------------, 2004, Muslim Tanpa
Masjid, Bandung: Mizan
Francis Wahono, 1986, Teologi
Pembebasan Sejarah Metode Praksis dan Isinya, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Moeslim Abdurrahman, 2003, Islam sebagai
Kritik Sosial, Jakarta: Penerbit Erlangga
John Freidman, 1992, Empowerment: The Politics of Alternative
Development, Cambridge: Blackwell Book
Ginanjar Kartasasmita, 1997, Kemiskinan, Jakarta: Balai Pustaka
Gunawan Sumodiningrat, 1989, Poverty in Indonesia: Concept, Fact and
Policy Alleviation, Paper Presented at Indonesia’s New Order: Past,
Present, Future, 4-8 Desember 1989, Canberra: The Australian national
University
----------------------, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan (Teori, Masalah, dan
Kebijakan), Edisi I, Yogyakarta: UPP AMP YKIN
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Revrisond Baswir, 1997, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
World Bank Poverty Net, 2003, Measuring Poverty: Understanding and
Responding to Poverty, dalam http://www.worldbank.org/poverty/mission/up2.htm
[1] John Freidman, 1992, Empowerment:
The Politics of Alternative Development, Cambridge: Blackwell Book, hal. 92
[2] Gunawan Sumodiningrat, 1989, Poverty
in Indonesia: Concept, Fact and Policy Alleviation, Paper Presented at Indonesia’s
New Order: Past, Present, Future, 4-8 Desember 1989, Canberra: The Au
stralian national University
[3] Ginanjar Kartasasmita, 1997, Kemiskinan,
Jakarta: Balai Pustaka, hal. 234
[4] Ibid
[5] John Freidman, Ibid, hal.
123
[6] World Bank Poverty Net, 2003, Measuring
Poverty: Understanding and Responding to Poverty, dalam http://www.worldbank.org/poverty/mission/up2.htm
[7] Sajogyo, 1996, Garis
Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan, Yogyakarta: Aditya Media dalam
Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi
Pembangunan (Teori, Masalah, dan Kebijakan), Edisi I, Yogyakarta: UPP AMP
YKIN, hal. 116
[8] Mudrajad Kuncoro, Ibid
[9] Revrisond Baswir, 1997, Agenda
Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 23
[10] Gunawan Sumodiningrat, 1998, Membangun
Perekonomian Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 90
[11] Ginanjar Kartasasmita, 1996, Pembangunan
untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan), Jakarta: PT. Pustaka
Cidesindo, hal. 235, Lihat juga Gunawan Sumodiningrat, 1998, Ibid, hal. 67 dan Revrisond Baswir, Ibid, hal. 23
[12] Revrisond Baswir, Ibid
[13] Ginanjar Kartasasmita, Ibid
[14] Revrisond Baswir, Ibid
[15] Gunawan Sumodiningrat, Ibid
[16] Ginanjar Kartasasmita, Ibid
[17] Farid Essack, 2000, Membebaskan
yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, Terjemahan Watung A.
Budiman, Bandung: Mizan, hal. 73
[18] Muhammad Asad, 2004, The
Messege of the Qur’an, Watsonville California: The
Book Foundation, hal .102
[19] Abdul Munir Mulkhan, 2007, Pesan dan Kisah
Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: penerbit Suara
Muhammadiyah, hal. 193-194
[20] Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan
Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit
PT Percetakan Persatuan, hal. 60
[21] Abdul Munir Mulkhan, 2010, Kyai Ahmad Dahlan : Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 1-3
[22] Khoiruddin Bashori, Keserakahan
Ummat di Mata K.H. Ahmad Dahlan dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah No.
23/69/1989, atau lihat dalam Tim AIKA UMM, 1990, Muhammadiyah Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana dan UMM Press, hal. 32-33
[23] Abdul Munir Mulkhan, 1990, hal. 64-66
[24] Ibid, hal. 5
[25] Ibid
[26] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 300 dan 1071
[27] Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan
Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit
PT Percetakan Persatuan, hal. 132
[28] Abdul Munir Mulkhan, 2007, Pesan
dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit
Suara Muhammadiyah, hal. 194, lihat juga Abdul Munir Mulkhan, 1990, Ibid, hal 82
[29] Abdul Munir Mulkhan, 1990, Ibid,
hal. 75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar