TIGA
KUNCI HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Oleh: AGUS TRI PRASETYO,
ME, Ak.
A.
PENDAHULUAN
Banyak
kesalahpahaman tentang keterampilan hubungan antar manusia (interpersonal skills). Kesalahpahaman
yang terbesar adalah bahwa interpersonal skill adalah keterampilan berpura-pura
baik pada orang lain guna memanfaatkan kebaikan orang tersebut. Keterampilan
“menjilat atasan” adalah salah satu wujud nyatanya. Kesalahpahaman ini membuat
beberapa orang tidak mau mempelajari keterampilan hubungan antar manusia,
membiarkan salah satu potensi berharga dalam dirinya tidak berkembang. Padahal,
sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan berhubungan
dengan sesamanya. Hampir seluruh aspek kehidupan, ekonomi, politik, bahkan
teknologi, harus menjadikan kebutuhan manusia sebagai fokus utamanya, dan
menggunakan hubungan manusia sebagai media perkembangan dan penyebarannya.
Produk atau jasa hanya bisa terjual jika konsumen dapat menyakini manfaat
pengunaan produk atau jasa tersebut dan terdapat saluran penjualan yang menghubungkan
produsen dengan konsumen. Seorang politikus hanya akan bertahan di dunia
politik jika dia mampu menyakinkan konstituennya untuk memenuhi aspirasi
politik mereka, serta mampu membangun jaringan kerja yang solid. Teknologi yang
mampu memenuhi kebutuhan banyak orang serta makin mudah digunakan akan menjadi
teknologi yang terus digunakan dan berkembang. Tanpa keterampilan hubungan
antarmanusia, para pebisnis, pemimpin dan innovator, tidak akan mencapai tujuan
dasar mereka yakni melayani manusia.
Tulisan
ini bertujuan untuk memperkenalkan tiga kunci keterampilan hubungan antar
manusia. Membiasakan berpikir dan bertindak menggunakan tiga kunci tersebut
akan membangkitkan lagi potensi kemanusiaan kita yang berharga dan
meningkatkannya.
Segala
sesuatu berubah. Perubahan akan menuju ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
Tiga kunci ini akan menjaga momentum perubahan ke arah yang lebih baik, dalam
arti, semakin sering kita gunakan, semakin baik keterampilan hubungan antar
manusia kita.
B.
KUNCI PERTAMA: EMPATI
ADALAH MODAL UTAMA HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Manusia
dapat berkomunikasi menggunakan bahasa karena manusia bisa saling memahami
keinginan. Komunikasi awal peradaban manusia tidak dengan kata-kata (bahasa).
Komunikasi tersebut hanya menggunakan ekspresi wajah, gerak tubuh dan suara non
bahasa. Karena, kemampuan untuk saling memahami keinginan dan kebutuhan,
membuat manusia mampu mengaitkan bunyi tertentu dengan maksud tertentu,
berkembanglah bahasa. Kemampuan untuk memahami orang lain inilah yang disebut empati.
Empati
adalah modal utama keterampilan berhubungan dengan orang lain. Empati dimiliki
setiap orang. Dalam otak tiap manusia terdapat jaringan syaraf otak yang
disebut neuron cermin. Neuron cermin ini bertanggung jawab dalam proses
peniruan (imitasi) atas perilaku orang lain, karena itulah dia disebut sebagai
neuron cermin. Setiap manusia secara alamiah terdorong untuk meniru perilaku
orang lain. Pernah mendengar istilah atau mengalami kejadian “senyum menular”,
“ngantuk menular”? Kejadian-kejadian itu digerakkan oleh neuron cermin,
kecenderungan alamiah tiap manusia untuk meniru perilaku orang lain.
Adanya
neuron cermin membuat manusia memiliki insting yang disebut empati. Keberadaan
neuron cermin mulai mempengaruhi keterampilan hubungan antar manusia pada masa
perkembangan awal individu yakni saat masih bayi dan terus berkembang hingga
kita dewasa. Perhatikan bayi usia 4 – 6 bulan, mereka mulai belajar emosi baru
berupa senyum dan tertawa. Saat pandangan mereka makin sempurna, kemampuan
komunikasi mereka bertambah. Pada usia tersebut, mereka tidak hanya
berkomunikasi dengan tangisan, tapi mereka mengembangkan komunikasi dengan
senyum dan tawa untuk menyatakan perasaan senang dan nyaman. Dari mana
keterampilan ini dibangun? Dari empati. Mereka akan tersenyum jika melihat
wajah di depan mereka tersenyum, mereka menirukan ekspresi wajah yang
dilihatnya. Mereka tertawa, karena melihat wajah dan mendengar bunyi tawa di
sekelilingnya. Selanjutnya mereka mengembangkan keterampilan komunikasinya
dengan cara meniru (mengimitasi) dari perilaku orang-orang sekitarnya. Bahasa
ibu adalah hasil nyata dari proses imitasi ini. Selanjutnya, keterampilan
hubungan manusia setiap orang berkembang menyesuaikan dengan nilai dan tata
cara keluarga, serta budaya masyarakat sekitarnya.
Empati
menjadi modal utama hubungan manusia karena dengan empati kita dapat merasakan
apa yang dirasakan orang. Empati yang kuat akan membuat kita merasakan
kesedihan yang dirasakan oleh teman kita. Empati membuat kita meringis
kesakitan ketika kita melihat luka perih di lengan seseorang akibat jatuh
tersungkur di jalan beraspal. Empati membuat kita spontan mengulurkan tangan
ketika ada seseorang yang terjatuh di dekat kita. Kita berperilaku seperti itu
karena dorongan alamiah yang disebut empati.
Jadi
untuk memahami orang lain, kembangkan empati. Pelihara modal utama hubungan
antar manusia ini agar kita dengan mudah mengetahui apa keinginan atau
kebutuhan orang lain. Empati yang berkembang baik membuat kita mampu merasakan
apa yang dirasakan orang lain. Memahami, mengetahui perasaan, keinginan dan
kebutuhan orang lain adalah titik awal membangun hubungan dengan orang lain.
C.
KUNCI KEDUA: SETIAP
ORANG MERESPON PERILAKU KITA
Setiap
bertemu dengan seseorang, sebagai makhluk sosial, sebagai pemilik empati, kita
akan memberikan respon. Demikian juga, saat orang lain bertemu kita maka orang
lain akan merespon kita. Kehadiran kita akan direspon orang lain. Sebagai
contoh, tanpa disadari, saat akan berpapasan dengan wanita yang berpenampilan
menarik, laki-laki akan menegakkan postur tubuhnya, berjalan lebih tegap. Juga
tanpa disadari, seorang wanita akan merapikan pakaian, assesoris atau rambutnya
saat bertemu dengan pria yang disukainya. Itu adalah respon alami yang akan
terjadi karena kehadiran seseorang.
Respon
terhadap wajah dan penampilan adalah hasil penilaian awal seseorang terhadap
orang lain. Penilaian selanjutnya lebih ditentukan oleh perilaku. Ungkapan
sederhana dari kenyataan ini adalah “Jangan menilai buku dari covernya” (don’t judge a book from its cover). Kita
dinilai baik atau tidak, dimulai dari penampilan, dan ditentukan skor akhirnya
oleh perilaku kita.
Lalu,
bagaimana menggunakan kunci kedua ini dalam berhubungan dengan orang lain?
Pertama,
agar lebih mudah mendapatkan nilai positif bagi diri kita maka perhatikan
penampilan kita. Buat orang lain mudah memberi respon positif dengan berpenampilan
yang baik. Orang akan menilai positif, jika kita tampil sehat, rapi, bersih dan
bahagia. Ingat, sifat empati yang membuat orang lain secara alamiah meniru. Jika
kita tampil sehat, rapi, bersih dan bahagia, orang lain akan merasakan hal yang
sama. Perasaan sehat, rapi, bersih dan bahagia dalam diri orang tersebut akan
membentuk penilaian positif terhadap diri kita.
Kedua,
perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Empati dibentuk oleh
neuron cermin, sehingga perilaku kita cenderung untuk diimitasi oleh orang
lain. Jika penilaian awal positif sudah kita dapatkan, maka empati orang lain
pada diri kita akan menguat. Empati yang kuat membuat terjadinya fenomena “mirroring”, pencerminan. Perilaku kita
diimitasi, kita juga mengimitasi perilaku orang lain. Mirroring adalah fenomena ketika kita telah saling menyesuaikan
perilaku kita dengan orang yang sedang berkomunikasi atau berhubungan dengan
kita. Dengan demikian, jika kita ingin mendapatkan kepedulian orang lain, maka
kita harus peduli terhadap diri mereka. Jika kita ingin dihormati, maka
perlakukan orang lain dengan hormat. Semua itu bukan rekayasa perilaku, itu
adalah kecenderungan alami manusia. Jika Anda berpura-pura atau tidak tulus
dalam perilaku Anda, maka orang akan melakukan mirroring. Hasilnya, hubungan
yang hambar tanpa ada keakraban.
Ketiga,
gunakan respon orang lain sebagai alat evaluasi perilaku kita. Setiap orang
merespon perilaku kita. Kita bisa gunakan kunci ini untuk mengevaluasi perilaku
kita saat berhubungan dengan orang lain. Respon orang lain ditentukan oleh
perilaku kita. Sebagai contoh, seorang pembicara dapat memperbaiki keterampilan
presentasinya dengan cara mengevaluasi respon audiens. Pada awalnya, si
pembicara kurang mendapat perhatian audiensnya. Itu adalah respon audiens atas
perilakunya. Si pembicara mengubah perilakunya. Diperhatikan olehnya bahwa dia
lebih mudah mendapatkan perhatian audiens, jika saat memberikan pengajaran dia mulai
dengan mempedulikan kebutuhan belajar mereka. Perilaku ini direspon audiens dengan
lebih memperhatikan presentasi si pembicara. Karena kebutuhan belajar mereka
diperhatikan, mereka pun memperhatikan presentasi pembicara, inilah mirroring. Sebelumnya, audiens hanya
asyik dengan kegiatan mereka masing-masing, itu mencerminkan keasyikan pembicara
untuk membicarakan pemikirannya sendiri tanpa peduli kehadiran para audiens.
D.
KUNCI KETIGA: TANAMKAN
KEBAIKAN PADA DIRI ORANG LAIN
Ini
kunci terakhir yang akan menciptakan hubungan positif kita dengan orang lain.
Menanamkan kebaikan diri orang lain akan membuahkan kebaikan.
Diterima
dengan baik oleh orang lain adalah kebutuhan dasar tiap manusia. Jika kita
mengakui dan menghargai kebaikan seseorang, maka orang tersebut akan terpuaskan
kebutuhannya untuk diterima dengan baik. Kepuasan ini akan membuat orang bertindak
konsisten pada kebaikan itu. Perhatikan contoh berikut yang Penulis kutip dari
buku “Kunci Sukses Meyakinkan dan Mempengaruhi Orang Lain dalam Berbagai
Urusan” karya Les Giblin.
Seorang
bankir di kota kecil Sunset, Lousiana, memberikan pinjaman tanpa agunan dan
rekomendasi sebesar setengah juta dollar tanpa kehilangan uang sepeser pun,
bahkan tentunya menghasilkan pendapatan bagi banknya. Robert J. Castille telah
memberi pinjaman kepada 300 lebih mahasiswa tidak mampu. Mereka membayar
kembali pinjaman tersebut dengan baik karena diberitahu bahwa mereka
mendapatkan pinjaman tersebut semata hanya karena bank mempercayai mereka,
tidak ada jaminan dan tidak ada rekomendasi. Robert menunjukkan kepercayaan
pada kebaikan mereka, dia menanamkan kebaikan pada diri para penerima pinjaman.
Buah dari kepercayaan tersebut adalah pengembalian pinjaman yang konsisten.
Bagaimana
menanam kebaikan pada diri orang lain?
Pertama,
sadari bahwa perbedaan potensi adalah hal yang niscaya karena kita ditakdirkan
untuk saling melengkapi dan mendinamiskan hubungan antar kita. Kenyataan bahwa
masing-masing individu memiliki perbedaan kepribadian, kecerdasan dan bakat,
tidak membuat satu individu lebih hebat dari individu lain. Afghan, Vidi,
memiliki kemampuan bernyanyi yang bagus. Hal ini tidak membuat mereka lebih
hebat dari pesepak bola, Bambang Pamungkas. Para seniman punya bakat dan kecerdasan
yang berbeda dengan politikus. Hal ini bukan berarti para politikus lebih hebat
dari para seniman. Hanya berbeda, tidak berarti satu lebih unggul dari yang
lain. Kenyataan tersebut menciptakan kebutuhan untuk saling melengkapi. Kita
ingin perubahan ke arah kebaikan, maka kita butuh kecerdasan dan bakat para
politikus. Kita ingin kehidupan yang lebih indah, maka keahlian para seniman
kita butuhkan. Kita ingin kehidupan berjalan dengan benar, maka kompetensi para
ulama atau ilmuwan kita butuhkan. Perbedaan pada diri tiap individu mendinamiskan
dan meningkatkan mutu kehidupan.
Kedua,
fokus pada potensi kebaikan yang ada pada setiap individu. Menggunakan empati
untuk memahami perasaan, kebutuhan dan keinginan orang lain akan membantu kita
untuk menemukan potensi kebaikan orang lain. Anda pasti pernah bertemu dengan
orang yang gesit, memiliki tubuh tegap dan sehat serta tidak ragu untuk menegur
kesalahan orang lain, katakanlah berani berantem, maka potensi kebaikan orang
tersebut akan terwujud pada profesi militer, kepolisian, keamanan atau atlet
bela diri. Anda pasti pernah bertemu dengan orang yang cerdas, ramah,
katakanlah berisik dan banyak omong, maka potensi kebaikan orang tersebut akan
terwujud pada profesi reporter, pembawa acara, guru atau penceramah. Jika kita
mengetahui potensi kebaikan, maka berikan ruang yang tepat agar potensi
kebaikan itu berkembang.
Ketiga,
apresiasi kebaikan orang lain dengan ucapan terima kasih dan memuji. Beberapa
orang sangat pelit mengucapkan terima kasih atau pujian atas kebaikan orang
lain, karena mereka tidak bisa menghargai kebaikan itu. Jiwa mereka terlalu
kerdil untuk melihat bahwa orang lain telah berperilaku lebih baik dari mereka.
Berikan apresiasi terhadap kebaikan orang lain, sadari sepenuhnya bahwa mereka
telah melakukan suatu kebaikan yang kita harap dapat kita lakukan. Menghargai
kebaikan orang lain tidak perlu membuat kita merasa lebih buruk, justru
perilaku itu menjadikan kebaikan tersebut sebagai teladan bagi perilaku kita.
Keempat,
bantu orang lain. Membantu orang lain adalah kebutuhan dasar kita sebagai
makhluk sosial. Membantu orang lain juga mendorong orang lain untuk bertindak
sesuai fitrahnya yaitu membalas perbuatan baik itu. Ini adalah bentuk nyata
dari hubungan antar manusia yang positif, saling memahami, menghargai dan
membantu. Hubungan antar manusia akan membentuk sinergi kebaikan, karena memang
untuk itulah kita hidup bersama.
Kebiasaan
menanam kebaikan pada diri orang lain tersebut akan selalu menghasilkan
hubungan antar manusia yang positif, yang pada akhirnya, berbuah positif bagi
kehidupan kita. Seperti halnya kita, orang lain pun ingin diakui dan diterima
karena potensi dan realisasi kebaikan yang mereka lakukan.
E.
KESIMPULAN
Keterampilan
hubungan antar manusia bukanlah masalah bersikap manis pada orang, melainkan
usaha kita untuk memahami fitrah kita sebagai manusia dan mewujudkan potensi
dasar kita sebagai manusia. Tiga kebiasaan saat berhubungan dengan orang lain
seperti dijelaskan di atas adalah upaya untuk menciptakan sinergi kebaikan.
Empati adalah fondasinya, aksi dan respon perilaku adalah pembangun sinergi
kebaikan, menanam kebaikan pada diri orang lain adalah pemerkuat sinergi
tersebut. Sinergi kebaikan yang dihasilkan oleh hubungan antar manusia yang
positif, pada akhirnya akan meningkatkan kualitas kehidupan kita sebagai
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Les
Giblin, Kunci Sukses Meyakinkan dan Mempengaruhi Orang Lain dalam Berbagai
Urusan, Alih bahasa: Anton Adiwiyoto, Editor: Agustin Leoni, Penerbit:
PT Tangga Pustaka, Jakarta, 2009.
Terry
Felber, Kiat Praktis Komunikasi dalam Kehidupan Keluarga dan Profesional,
Alih bahasa: Rita Setyowati, Editor: Jarvi Kurnia Lestari, Penerbit: Buana Ilmu
Populer, Jakarta, 2007.
John
C. Maxwell dan Les Parrot Ph.D, 25 Ways to Win with People, Alih
bahasa: Catherine Konggidinata, Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2007.
Napoleon
Hill, Create Your Own Miracles, Penerjemah: Ati Cahyani dan Mehdy
Zidane, Penerbit: PT Ufuk Publishing House, Jakarta, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar