Ini sebuah cerita pembangun jiwa, bacalah
dalam keadaan tenang, hayati dan biarkan bait-bait kata menembus sanubari,
izinkan hayalanmu melayang-layang hingga terhempas jauh dan melukai hatimu,
bayangkan saja apa yang kamu rasakan dan akalmu akan bekerja keras memaksamu
terlibat dalam kebenaran. Bila selesai, berhentilah sejenak, pejamkan matamu
sebentar, dan ucaplah syukur sebanyak-banyaknya atas segala nikmat yang telah
kau dapat selama ini.
Berawal dari perbincangan ringan antara dua
orang bocah yang masih polos, mereka bahkan masih sangat polos untuk bisa
menyaring kata-kata yang pantas dan yang tidak untuk diucapkan. Tapi tak
masalah, mereka hanya dua anak kecil yang masih sangat kecil dan belum mengerti
apa-apa, toh mungkin dari cerita-cerita mereka kita bisa memaknai tujuan hidup
yang sesungguhnya, Insya Allah!.
Namanya Maurah, usianya baru sembilan tahun,
ia seorang anak Indonesia yang sangat cantik, rambutnya hitam panjang dan
selalu dikepang. Setiap pulang sekolah ia dijemput supir pribadi keluarganya,
tentu ini hal yang biasa mengingat ayahnya adalah seorang diplomat yang
ditugaskan negara untuk menjadi jembatan antara Indonesia dan Mesir. Ibunya
turunan darah ningrat yang walaupun hanya memakan sebuah roti tetap harus
menggunakan garpu.
Maurah memiliki seorang sahabat yang merupakan anak yatim piatu dari Gaza, Palestina. Sayangnya ia sendiri tidak tahu kalau
sahabatnya adalah seorang yatim. Namanya Filistin, seorang anak yang cerdas dan
memiliki banyak bekas luka di wajahnya. Filistin adalah salah satu anak yang
selamat dari serangan membabi buta Israel, ia juga mampu melewati operasi
pembedahan dengan tenang saat dada kirinya ditembus peluru para penembak jitu
Israel. Filistin sangat periang dan menyayangi Maurah layaknya saudara kandung
ia sendiri, umurnya terpaut sebulan lebih muda dari Maurah.
Maurah, rindukah kamu dengan negaramu ? Tanya
Filistin.
Tentu itu sahabatku, tapi saat ini aku lebih
senang tinggal disini, aku suka kurma Mesir yang ukurannya besar dan
manis-manis. Di negaraku tak ada yang seperti ini, dan kalaupun ada harganya
mahal sekali, mama pasti membatasiku untuk memakannya, jawab Maurah.
Ikutlah kau ke negaraku kalau kau mau, disana
banyak pohon kurma. Kau bisa memetik semaumu dan bisa kau bawa ke Indonesia
sebagai oleh-oleh dariku.
Sungguh ? Aku akan ikut denganmu kalau kau
hendak kembali wahai sahabatku. Pasti negaramu subur sekali, ah aku ingin
melihat tempat bermainmu dan memberi salam kepada kedua orang tuamu.
Hahaha, iya negaraku memang paling subur
sahabatku. Sayang, semua itu cuma ada di ingatanku saat masih berumur lima
tahun. Kini semuanya telah hancur, tapi kau jangan berkecil hati, tentang
pohon-pohon kurma itu, kau masih bisa melihatnya. Kau akan aku bawa ke tempat
bermainku, disana dulu ibuku menggenggam jemariku dan bercanda tawa denganku.
Ah aku akan mengabari teman-temanku di
Indonesia kalau aku akan ke Palestina bersamamu, kita akan mencari kurma dan
memakannya sampai puas. Sungguh aku tak sabar menunggu liburan musim panas tiba
dan kita segera kesana, Maurah berantusias.
Apa kau masih merasa sebagai anak kecil wahai
sahabatku ? tanya Filistin penasaran.
Tentu itu sahabatku, aku ini baru berusia
sembilan tahun dan masih terlalu muda untuk bisa memakai gaun ibuku atau
merapihkan dasi ayahku sebelum ia berangkat kerja. Kau pun seperti itu, semua
teman kelas kita, bahkan teman bermainmu di Gaza juga masih kecil. Kita masih
kecil Filistin! jawab Maurah dengan semangat.
Tidak wahai sahabat manisku, aku yang lahir
lebih muda sebulan darimu merasa sedang terperangkap oleh jiwa yang sudah
berusia puluhan tahun. Teman-temanku di Gaza juga sama sepertiku, kami terlahir
dengan fisik yang kecil namun berjiwa dewasa, timpal Filistin dengan sopan.
Kenapa bisa seperti itu ? Kenapa kau merasa
seperti seorang dewasa wahai Filistin sahabatku ? tanya Maurah keheranan.
Maurah, maukah kamu menceritakan masa-masa
kecilmu padaku, aku sungguh ingin mengetahui seperti apa masa kecil anak-anak
Indonesia sepertimu. Tentu kalau kau tak keberatan sahabatku, pinta Filistin
merendah.
Sejenak, Maurah menoleh ke wajah Filistin
dengan keheranan. Ditatapnya wajah penuh bekas luka dan mata cokelatnya yang
memancarkan kedamaian. Setangkai bunga matahari yang ada ditangannya ia bagi
dua dan memberikan bunganya untuk Filistin, sedang ia memutar-putar tangkainya
dan tersenyum tipis sambil bercerita dengan tulus.
“Aku lahir di Ibukota, namanya Jakarta. Aku
sendiri tak terlalu mengingat bagaimana besarnya kota itu, karena sejak berumur
tujuh tahun ayahku sudah bekerja di Cairo dan kita semua ikut bersamanya. Teman
bermainku adalah seorang anak cacat yang tinggalnya disebelah rumahku, namanya
Fathia, sayangnya ia telah meninggal akibat tumor ganas yang menggerogoti tenggorokannya.
Dulu kita sering bermain boneka dan Fathia
menyukai boneka Pandaku, akhirnya boneka itu aku berikan untuknya sebagai
kenang-kenangan saat aku berangkat kesini. Aku pernah berjanji kalau aku besar
nanti, aku akan kembali ke Indonesia dan membawakan boneka panda yang lucu
untuknya. Sayang, seminggu sebelum ia meninggal, ibunya menelpon mamaku dan
kita pun berkesempatan untuk bertukar rindu. Aku masih ingat saat dia bilang
supaya aku tak usah repot-repot membawakannya boneka lagi, dia minta aku membelikannya
tasbih dan mukenah yang serba putih, ya tuhan ternyata beberapa hari kemudian
Allah memanggilnya. Aku sungguh tak punya teman lagi sebaik dia, Fathia si
gadis kecil cacat yang selalu tidur memeluk al-quran telah pergi.
Aku sempat marah pada mamaku dan tak mau
berbicara dengannya berminggu-minggu, itu semua karena mama tak memberitahuku
tentang penyakit Fathia. Akhirnya mama membelikanku seperangkat komputer agar
aku mau memaafkannya, ah mama sangat tahu kelemahanku.
Wahai Filistin yang cantik, anak-anak seusia
kita di negaraku sangat bebas menjalani apapun yang ingin mereka lakukan. Orang
tua kami hanya akan mencari anak-anaknya saat menjelang maghrib, kami akan
pulang untuk mandi dan belajar kemudian makan malam dan istirahat. Kau akan
gendut dan tampak jelek di cermin saat menggunakan seragam sekolah”.
Terus, apa yang kau syukuri dari negaramu
yang tak kau temukan disini ? tanya Filistin antusias.
“Sangat banyak wahai sahabatku, aku
memerlukan waktu seumur hidup untuk bisa menceritakannya padamu. Negaraku
sangat makmur dan bergelimpangan hasil bumi, kau bisa memakan daging sapi
berkualitas dan meminum air murni dari mata air unggulan dimana-mana. Awan kami
berwarna biru cerah dengan lautan hijau toska yang menawan, gunung-gungung akan
terlihat seperti berakrobat dan menampilkan punggung-punggung mereka yang
anggun, kau juga tak akan cukup menggunakan sepuluh jarimu untuk menghitung
banyaknya gedung pencakar langit disana.
Tentunya, kau akan hidup ditengah-tengah umat
muslim yang katanya terbesar di dunia, dan kau juga akan belajar bagaimana
toleransi beragama dipraktekan oleh lima keyakinan yang berbeda. Kita juga
punya puluhan juta masjid yang cantik-cantik dan kau bisa memilih untuk
melakukan sholat di masjid manapun yang kau kehendaki.
Budaya kami juga sudah terkenal hingga ke
seluruh dunia, bahkan para pakar memprediksi bahwa negaraku adalah benua
Atlantis yang hilang. Sungguh mereka tak terlalu berlebihan menurutku, itu
karena Indonesiaku adalah seperti sepotong surga yang jatuh dari langit. Aku
pun berharap kalau sudah besar nanti dan sudah menyelesaikan sekolahku di
Cairo, aku akan kembali ke Jakarta, kembali ke kota kelahiranku dan menangis di
atas batu nisan Fathia yang sudah lama kurindu”. Maurah menjelaskan dengan
semangat yang meletup-letup sampai tak sadar pipi kirinya basah karena air
matanya.
“Sungguh negaramu adalah negeri impianku
selama ini, sayangnya aku sudah terlalu jatuh cinta dengan tanah Palestinaku.
Disana aku dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan, aku menjadi terlalu dewasa
untuk diriku dan fisikku sendiri”. Tutur Filistin penuh sesal.
“Wahai gadis manis yang berjiwa besar,
ceritakanlah tentang semuanya untukku, anggaplah aku sebagai pohon mati yang
tak bisa berbunga dan memberi keteduhan bagi para musafir yang lelah. Izinkan
aku mengetahui sebagian kisah menarik dalam hidupmu, ceritakanlah sahabatku,
aku akan mendengarkanmu dengan tulus”. Pinta Maurah dengan bijak.
“Maurah sahabatku yang pandai, tahukah kamu
tentang negeriku, negeri Palestina ? Kami adalah bangsa yang besar namun
dituding sebagai bangsa pembuat kekacauan di dunia, pastinya tuduhan itu datang
dari Israel dan Amerika. Dulu, aku dilahirkan dari rahim suci milik seorang perempuan
bernama Tsurayah, belakangan aku memanggilnya Ibu.
Ia adalah wanita hebat yang mengajarkanku
untuk selalu melindungi auratku sebagai perempuan, ia juga Ibu dari ketiga
saudaraku, Fatemah, Bayhan, dan Saleem. Ayahku adalah seorang pengusaha susu kambing
yang selalu ia jual ke Deir al Balah hingga Khan Yunis demi menghidupi kami
semua. Ayah adalah sosok pria disiplin dan penuh kasih, namanya Alizadeh,
keturunan Iran yang terkenal keras kepala.
Teman bermainku bernama Maryam dan Adam,
keduanya mati karena serangan pasukan Israel. Maryam mati dalam keadaan kepala
putus, sedang Adam tertimbun reruntuhan rumahnya yang dibom. Saat itu aku
sedang berada di rumah Adam dan berusaha lari menyelamatkan diri, kulihat ibu
dan ketiga saudaraku diluar rumah sedang menangis histeris dan mencoba meraih
tanganku.
Tak berapa lama ibu jatuh tersungkur
dihadapan kami, ia ditembak oleh tentara Israel, ibu jatuh dan merangkul kami
agar tak terkena tembakan mereka. Sayangnya, tentara-tentara itu semakin
mendekat dan menembak kami dari jarak 500m. Tubuh ketiga saudaraku tak luput
dari amukan peluru, darah-darah segar menutupi seluruh mukaku. Saat itu yang
kurasa hanya sebuah benda yang menembus dada kiriku dan membuat panas seluruh
tubuhku, saking panasnya aku hanya bisa berdoa dan tak sadarkan diri. Sebelum
aku benar-benar pingsan, aku masih mendengar suara lirih keluar dari mulut ibu.
Dia bilang dia sangat mencintai kami dan berpesan agar tidak takut dengan
kematian.
Ayah yang saat itu sedang berada di Khan
Yunis segera kembali ke kota kami, di Bait Lahiya, Gaza Timur. Sungguh ia hanya
bisa bersujud di depan jenazah keempat orang yang ia sayangi. Dan aku, aku
dibawa ke rumah seorang warga yang bernama Nouram. Ayah kemudian menyusulku dan
menangis sejadi-jadinya saat melihat dada kiriku dijebol timah panas.
Regu penyelamat akhirnya datang dan segera
membawaku untuk melakukan operasi di rumah sakit Cairo. Ayah tentu mengantarku
dan tak membiarkan sedetikpun untuk jauh dariku, memasuki daerah Khan Yunis
mobil kami dipaksa berhenti oleh blokade tentara Israel. Aku dan regu
penyelamat diizinkan menuju pintu perlintasan Rafah, sedang ayah, kulihat ia
ditembak dan pergelangan tangannya dipatahkan hingga jatuh tersungkur di depan
para tentara kejam itu.
Aku ditangani oleh dokter ahli yang kerepotan
karena kehabisan obat bius, akhirnya mereka menyuruhku untuk melantunkan
ayat-ayat suci al-Quran dengan pelan dan semampuku, dengan hati-hati mereka
melakukan operasi pengangkatan peluru yang bersarang di dadaku. Saat itu, aku
merasa Ibu, Ayah, dan ketiga saudaraku sedang berdiri disampingku dan
memberikan semangat sebisa mereka. Tuhan, aku baru berumur enam tahun dan
belum siap menerima semua ini. Cuma itu yang bisa kukatakan setiap hari.
Setelah sembuh, aku kembali ke Bait Lahiya
dan bergabung dengan anak-anak yatim lainnya di kamp pengungsian. Kusempatkan
pula waktu untuk melihat rumahku yang ternyata sudah dibom oleh Israel,
kutemukan bercak darah ibu dan saudara-saudaraku masih menempel disana, sungguh
aku ingin menyusul mereka ke surga. Selama di kamp pengungsian, ada seorang
anak bernama Ibrahim yang sangat berani dan memanggilku "bocah penakut" karena
masih trauma dan tak mau terlibat aksi balas dendam yang akan mereka lakukan.
Pagi itu Ibrahim memimpin puluhan anak-anak
untuk menuju bukit Jabaliyah dan melakukan intifada (lempar batu) ke arah
pasukan Israel yang menjaga perbatasan. Batu demi batu mereka lemparkan sambil
sesekali berteriak "kalian setan.. pembunuh pecundang.. kalian biadap". Dan
akhirnya, karena terbakar emosi, para tentara itu melancarkan serangan balasan
yang tak sepadan. Mereka memuntahkan peluru-peluru segar dan menembus tubuh
mungil anak-anak itu. Ibrahim sendiri ditangkap dan dipatahkan pergelangan
tangannya.
Aku akhirnya bersembunyi di dalam mobil
ambulans milik rumah sakit Mesir, sambil berdoa aku berharap dengan mobil ini
aku bisa keluar dari wilayah Gaza dan mencari kehidupan di Cairo. Alhamdulillah
mobil itu lolos pemeriksaan di perbatasan Rafah dan mengantarku mengawali hidup
baru sebagai bocah malang dari Palestina.
Di Cairo-lah aku bertemu Abbas Bin Qishas
yang kemudian mengangkatku sebagai anaknya, darinya pula aku memperolah hak
untuk bersekolah di Sekolah Internasional Cairo dan berteman dengan kalian,
terlebih aku dapat mengenalmu wahai Maurah yang baik hati”. Ucap Filistin
polos.
Maurah yang menahan sesak di dada kini
menangis sejadi-jadinya saat mendengar cerita Filistin, baginya Filistin adalah
sosok pemberani yang lolos dari kematian dan menjadi saksi hidup kekejaman
Israel untuknya.
Maurah mengangkat wajah Filistin yang meratap
kosong kedepan, dengan senyum ia
merapihkan jilbab sahabatnya yang berantakan, dalam-dalam ia menatap mata
Filistin yang memancarkan kedukaan. Ia rangkul pundak gadis malang itu, kemudian
mengambil bunga matahari yang ada di tangan Filistin, dengan sedikit senyum ia
berbisik “terima kasih sahabatku, kau mengajarkanku arti nilai kehidupan dan
membuatku ingin berada ditengah-tengah rombongan yang melakukan intifada.
Sungguh negerimu jauh lebih indah dari negeriku, jadilah kau saudaraku dan
bukan lagi sahabatku mulai saat ini.”
Filistin, si cantik dari
Gaza segera memeluk erat-erat tubuh Maurah. Kali ini ia menyeka air matanya dan
membalas ucapan sahabatnya “wahai kau gadis Indonesia yang murah hati, tanpa
kau minta pun kita telah menjadi saudara sejak negaramu mengakui kedaulatan
negara Palestina. Kita hanya terpisah daratan dan nasib, mungkin esok hari aku
akan kesana ke negara paling indah itu dan membawakan setangkai pohon Zaitun
sebagai lambang kedamaian. Dan kau Maurah, kalau kau sudah besar nanti dan
pulang ke Jakarta, sampaikan pada rakyat Indonesia bahwa kami sangat berterima
kasih atas segala bantuan kalian. Perlu kalian ketahui, Rumah Sakit Indonesia
di Gaza City adalah satu-satunya rumah sakit asing yang ada disana, yang
dibangun dari nol dan akan kami jaga sebagaimana kalian menjaga kami dalam
doa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar