Berdasarkan atas data-data yang telah
tekumpul, Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang memiliki jumlah yatim
terbesar di Indonesia (sindonews.com, 6/6/2013). Jumlahnya mencapai 492.519
anak, dan hingga saat ini mereka belum tertangani dengan baik oleh negara.
Keberadaan mereka masih ditanggung oleh lembaga-lembaga zakat maupun
perorangan, seperti seorang pilot pesawat terbang yang saat ini sudah menampung
47 anak, serta seorang dokter yang tergerak hatinya setelah melihat banyaknya
anak-anak yatim yang terlantar.
Besarnya jumlah anak yatim tersebut merupakan
salah satu dampak dari perang saudara di Timor Leste (dulu Provinsi
Timor-Timur) sekitar satu dasawarsa silam. Perang saudara yang diakhiri oleh
jajak pendapat (1999) dengan keputusan berdirinya negara baru Timor Leste
tersebut, menyebabkan eksodus penduduk besar-besaran ke wilayah Nusa Tenggara
Timur. International Crisis Group (2010) mencatat ada empat kelompok massa yang
bergabung dalam gelombang eksodus besar-besaran. Mereka adalah milisi
pro-integrasi (dengan Indonesia) bersama keluarganya, bekas pegawai negeri di
Timor Timur, warga biasa yang sukarela memilih Indonesia, dan warga biasa yang
dipaksa eksodus oleh milisi.
Adapun Badan Perserikatan Bangsa Bangsa
untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), mencatat bahwa pada 2005 sekitar 10 ribu orang
masih tinggal di kamp pengungsian. Adapun 16 ribu orang lainnya telah membaur
dengan warga Nusa Tenggara Timur melalui berbagai program bantuan. Mereka tersebar di wilayah Kupang, Belu,
Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Timur, dan Sumba Barat.
Hingga 2009, data resmi pemerintah itu belum terkoreksi.
Kondisi tak ideal tersebut ditambah dengan
serangan wabah penyakit menular seperti malaria dan tubercolose (TBC) yang
merenggut banyak nyawa sehingga memperbesar jumlah anak yatim di NTT.
Hal yang paling memperihatinkan dari para
yatim NTT adalah masalah pendidikan. Masih banyak dari mereka yang belum
bersekolah. Zainudin, seorang penggiat kemanusiaan (2013) di kota Kupang menerangkan bahwa banyak anak yatim yang tidak bersekolah. Dia sendiri telah
berusaha untuk mengatasi hal itu dengan mengirim mereka untuk belajar di pulau
Jawa.
Sebagaimana diketahui bersama hingga saat ini
belum ada kriteria formal anak yatim dalam konstitusi di Indonesia. “Dalam
kebijakan Kementerian Sosial Republik Indonesia, khususnya dalam perlindungan
anak hanya ada empat kriteria, yaitu : anak balita terlantar, anak terlantar, anak
nakal, dan anak jalanan. Kriteria anak yatim belum secara spesifik masuk dalam
referensi perlindungan anak oleh negara. Kriteria "yatim-miskin" belum masuk ke
dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS).
Kondisi di atas hanya
sekilas kecil dari upaya penyelesaian masalah anak yatim di NTT yang dilakukan
oleh perorangan maupun swasta (lembaga zakat). Semoga kedepannya ada sinergi
yang lebih baik dari berbagai pihak, khususnya dari pemerintah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar