Perlindungan
Anak dari Tindak Kekerasan:
Langkah-Langkah Implementasi Rekomendasi Komite Anti
Penyiksaan PBB
Pendahuluan
Pengakuan atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi
manusia (HAM) yang sui generis (rights holders as sui generis) ditandai
manakala Konvensi Hak Anak (KHA) telah
diratifikasi oleh 193 negara. Dengan demikian sebanyak 193 pemerintah telah
menerima kewajibannya untuk mengambil semua langkah-langkah legislative,
administrative, sosial, dan pendidikan secara layak untuk melindungi anak-anak
dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan. [1] Kendati ratifikasi KHA telah menunjukkan
universalitas, namun perlindungan anak
dari kekerasan, eksploitasi, dan penyalahgunaan kekuasaan (children’s protection from violence, exploitation, and abuse) masih sangat
lemah. Anak sebagai bagian integral dari komunitas, paling lemah kemampuannya
untuk melindungi diri mereka sendiri, malah mereka menjadi obyek segala bentuk
dan manifestasi kekerasan. Penghukuman secara fisik dan merendahkan martabat
anak masih jamak dan meluas dilakukan dalam komunitas seperti di sekolah, di
rumah, dan masyarakat setempat.
Berdasarkan kondisi di
atas, PBB melakukan studi global kekerasan terhadap anak pada 2003. Pesan utama dari studi tersebut yang diungkapkan
oleh Pelapor Ahli Independen Paulo Sérgio Pinheiro adalah tidak ada satu pun kekerasan terhadap anak dapat
dibenarkan dan segala bentuk kekerasan terhadap anak dapat dicegah. (No
violence against children is justifiable; all violence against children is
preventable). [2]
Pesan lebih jauh
juga disampaikan oleh Komite Hak Anak (The Committee on the Rights of the Child), pada
Komentar Umum No. 8 bahwa hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari penghukuman fisik (corporal punishment) dan bentuk penghukum yang kejam atau
merendahkan martabat anak sebagaimana diatur dalam Pasal 19, 28 (2), dan 37, inter alia, menjadi kewajiban setiap
Negara. Bahkan dalam Komentar Umum tersebut dinyatakan bahwa Negara harus
segara melarang dan menghapus semua bentuk penghukuman fisik dan bentuk
penghukum yang kejam atau merendahkan martabat.[3]
Implementasi
kewajiban-kewajiban yuridis di atas, dapat dieksaminasi dengan melihat pada rekomendasi-rekomendasi
yang diberikan oleh komite-komite PBB sesuai dengan mandate yang diberikan oleh
instrumen hukum HAM internasional. Komite-komite tersebut memiliki otoritas
untuk melihat tingkat kepatuhan Negara dalam mengimplementasikan
kewajiban-kewajiban yang diatur dalam setiap instrumen hukum HAM internasional
tersebut. Setiap komite menerbitkan Concluding
Observation untuk merespon kinerja suatu Pemerintah yang dilaporkan kepada
komite. Dalam konteks Indonesia Concluding
Observation komite-komite yang perlu dicermati, khususnya terkait
monitoring implementasi kewajiban Negara untuk menghapus penghukuman fisik dan
bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak sebagai berikut:
- Committee against Torture
- Committee on the Rights of the
Child
Rekomendasi-Rekomendasi
Komite-Komite dan Amatan Masyarakat Internasional
Rekomendasi-rekomendasi yang patut dicermati terkait dengan isu penghukuman fisik (corporal punishment) dan bentuk penghukum yang kejam atau
merendahkan martabat anak sebagai berikut:
Komite
|
Fokus
Perhatian
|
Rekomendasi
|
Committee on the Rights of the Child
|
· Penghukuman fisik masih terjadi secara meluas pada
keluarga dan sekolah, secara kultural dan hukum juga masih
diterima dan dibenarkan
· Tingginya tingkat kekerasan terhadap anak di sekolah, termasuk
pemerasan dan tawuran pelajar, serta tidak adanya hukum yang mengatur disiplin
sekolah serta melindungi anak dari kekerasan dan pelecehan di sekolah.
· Tingginya jumlah anak yang menjadi korban kekerasan, pelecehan dan
ditelantarkan, termasuk pelecehan seksual, di sekolah, tempat-tempat umum dan di
tempat-tempat penahanan serta dalam keluarga.
|
·
Memastikan
amandemen peraturan perundang-undangan yang melarang tindakan penghukuman
fisik pada semua lingkungan termasuk pada keluarga, sekolah, dan
tempat-tempat layanan anak lainnya
·
Melakukan
kampanye mengenai dampak negatif perlakuan salah terhadap anak dan
mempromosikan pendisiplinan nir kekerasan sebagai alternative pengganti
penghukuman badan.
·
Memperluas upaya
untuk mengatasi masalah perlakuan salah dan penelantaran, termasuk pelakuan
salah secara seksual, dan mendorong adanya sistem nasional untuk menerima,
memantau, dan menginvestigasi laporan dan menuntut kasus secara hati-hati,
dengan memperhatikan sensifitas anak dan privasi anak;
·
Memastikan bahwa
korban mempunyai akses ke konseling dan mendapat bantuan pemulihan dan
reintegrasi, dan memastikan bahwa panti hanyalah alternative terakhir dalam
penyatuan anak korban pemerkosaan;
·
Memastikan pelaku
kekerasan dituntut di depan pengadilan;
·
Memperluas upaya
yang telah dilakukan saat ini guna mengatasi masalah pelecehan, penelantaran, termasuk pelecehan
seksual, dan memastikan bahwa ada suatu system nasional yangmenerima, mengawasi dan menyelidiki
laporan tentang anak, dan
bilaman perlu membawa kasus ke pengadilan dengan cara yang berpihak pada anak serta menjamin
kerahasiaan korban
|
Committee Against
Torture
|
·
Ketiadaan
registrasi yang sistematis atas semua tahanan, termasuk tahanan anak
·
Penggunaan kekerasan yang tidak seimbang dan
meluasnya penyiksaan, hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat seseorang dan
penghukuman oleh anggota militer, polisi, dan kelompok paramiliter. Tindakan
serupa juga terjadi selama operasi mililer khususnya di Papua dan Aceh, dan
propinsi lain di mana konflik senjata terjadi
·
Tahanan Anak belum sepenuhnya terpisah dengan
tahanan dewasa
·
Masih banyak anak-anak
yang melakukan kejahatan ringan ditahan
·
Penghukuman fisik masih
sering terjadi dan dibenarkan secara hukum
·
Perlindungan terhadap
anak jalanan dari tindakan kekerasan belum mendapatkan perhatian yang layak
·
Situasi pengungsi dan
pengungsi dalam negeri sebagai akibat konflik bersenjata yang hidup
dalam camp pengungsian sering kali menjadi korban perlakuan salah
·
Ketiadaan data yang
terpisah dan komprehensif mengenai
tuntutan, penyelidikan,
penuntutan, dan penghukuman terhadap kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan salah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,
militer, termasuk pelaku trafiking, penghilangan paksa, pengungsi dalam
negeri, kekerasan terhadp anak, perlakuan salah terhdap pekerja
migrant,kekerasan terhadap minoritas, dan
kekerasan seksual pada ranha domestik.
|
·
Negara harus memastikan
bahwa semua tersangka yang sedang diinvestigasi dalam proses peradilan pidana
harus teregistrasi termasuk termasuk anak-anak
·
Negara harus mengambil
semua langkah-langkah untuk mencegah polisi dan militer menggunakan kekerasan yang berlebihan
dan/atau tindakan penyiksaan selama operasi militer, khususnya terhadap
anak-anak
·
Negara harus menaikkan usia pertanggung
jawaban pidana anak sesuai dengan norma dan standar internasional
·
Menghapus semua bentuk
penghukuman fisik terhadap anak
·
Tindakan terhadap anak
harus sesuai dengan usia anak
·
Menjamin sistem peradilan pidana anak berdasarkan pada Standard Minimum Rules for
the Administration of Juvenile Justice (the Beijing Rules), Guidelines for the Prevention of Juvenile
Delinquency (the Riyadh Guidelines) dan Rules
for the Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty (the Tokyo Rules).
·
Negara harus mengambil upaya yang efektif
untuk mencegah kekerasan terhadap anak yang berada dalam pengungsian,
membuatkan akta kelahiran untuk mencegah anak dilibatkan dalam konflik
bersenjata anak
·
Negara harus mengkompilasi data statistic yang relevan guna memonitor implementasi
Konvensi CAT dalam level nasional, termasuk tuntutan, penyelidikan,
penuntutan, dan penhukuman terhadap kasus penyiksaan, perlakuan salah,
terhadap anak-anak
|
Selain
rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan oleh dua komite tersebut di atas,
realita ketiadaan instrumen hukum yang melindungi anak dari tindakan
penghukuman badan, sebagai salah satu bentuk dan manifestasi kekerasan yang
menjadi ruang lingkup Konvensi CAT[4], dapat
merujuk pada hasil amatan dari Global
Initiative to End Corporal Punishment of Children pada Januari 2008, Negara
Indonesia termasuk salah satu negara yang belum memiliki komitmen secara legal
untuk melarang tindakan penghukuman badan (prohibition
incomplete and no commitment to reform). Tabel di bawah ini
menunjukkan hal tersebut.
Negara
|
Larangan penghukuman badan di rumah
|
Larangan penghukuman badan di sekolah
|
Larangan penghukuman badan di sistem peradilan pidana
|
Larangan penghukuman badan di tempat layanan lain
|
|
Tahanan/
narapidana
|
Tindakan
pendisiplinan
|
||||
Indonesia
|
Belum
ada
|
Belum
ada
|
Ada
|
Belum
ada
|
Belum
ada
|
Dalam studi ini terdapat
catatan bahwa larangan penghukuman badan telah diatur dalam tetapi justru
terdapat dalam hukum syariah di Provinsi Aceh dan peraturan daerah berbasis hukum Islam. [5]
Konsultasi Anak yang dilakukan di 18 provinsi
dengan melibatkan sedikitnya 580 anak pada Mei-Juni 2005, menghasilkan
informasi yang sangat jelas bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada ruang-ruang
sosiologis yang sangat intim dan dekat dengan kehidupan anak. Locus kekerasan tersebut
terjadi pada :
- Kekerasan terhadap
anak di ranah rumah dan keluarga
(Violence against Children in the
Home and the Family)
- Kekerasan terhadap
anak di ranah sekolah ( Violence against Children in Schools)
- Kekerasan terhadap
anak di ranah Institusi
(Violence against Children in
Institutions)
- Kekerasan terhadap
anak di ranah tempat bekerja
(Violence against Children in Work
Situations
- Kekerasan terhadap
anak di ranah komunitas dan jalan
(Violence against Children in the
Community and on the Street)
- Kekerasan terhadap
anak di ranah Institusi peradilan
pidana (Violence
against Children in Conflict with the Law)
Kemudian
bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut hasil konsultasi tersebut meliputi:
- Kekerasan
fisik
- Kekerasan
psikis
- Eksploitasi
fisik untuk kepentingan ekonomi
- Kekerasan
seksual dan eksplotasi seksual
- Kekerasan
yang diakibatkan tradisi atau adat
Untuk melindungi anak dari tindak
kekerasan, konsultasi anak tersebut memberikan rekomendasi sebagai berikut:
- Pentingnya
kampanye global untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak
- Perubahan
sistem hukum nasional yang lebih sensitive terhadap anak
- Pembuatan
regulasi di tingkat pusat maupun daerah yang melarang segala bentuk
penghukuman fisik pada anak di rumah dan di sekolah
- Pembentukan
institusi lokal untuk mengkaji dan mendiskusikan kembali kebiasaan dan
praktek-praktek adat yang melegitimasi kekerasan terhadap anak serta
mengancam hak-hak anak
- Meningkatkan
kapasitas anak dan masyarakat secara umum agar semua pihak lebih memahami
hak-hak anak
Kewajiban Negara Memberikan Perlindungan
Kewajiban
Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan bentuk penghukuman fisik dan
bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak bermuara pada kebijakan
publik. Keberpihakan Negara untuk merespon isu tersebut dalam kebijakan publik
semestinya berbentuk:
- Legislasi
- Regulasi
- Anggaran publik
- Program
- Perencanaan
Kewajiban negara
untuk mengambil kebijakan publik guna merespon permasalahan penghukuman
fisik dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak dimandatkan oleh instrumen
Hukum HAM internasional terbaca pada Konvensi Hak Anak (KHA) dan Konvensi Anti
Penyiksaan.
Mandat
perlindungan tersebut dalam KHA diatur dalam Pasal 37 menyatakan bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran
penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang
menghinakan.
1.
Pasal 3 mengatur mengenai kepentingan terbaik bagi anak sebagai
pertimbangan utama dalam mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan
anak
2.
Pasal 6
menetapkan bahwa memastikan menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin
ketahanan dan perkembangan anak.
3.
Pasal 19
yang menyatakan bahwa Negara harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan
pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik
atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa,
perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam
pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki
tanggung jawab mengasuh anak.
4.
Pasal 28 mengatur pemenuhan hak anak atas pendidikan dengan menyaratkan negara harus mengambil
langkah- langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan
dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia anak dan sesuai dengan KHA.
5.
Pasal 40 menegaskan
dalam penegakan sistem peradilan pidana anak memiliki hak untuk
diperlakukan untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan
rasa penghormatan dan harga diri anak
Kemudian Komite Hak Anak melalui
Komentar Umum (General Comment) melakukan
interpretasi legal untuk mengelaborasi kewajiban negara untuk melindungi anak
dari tindakan kekerasan.
1.
Komentar
Umum No. 1 mengenai tujuan dari pendidikan (the
aims of education) ,
Pasal 29 (1) menyatakan bahwa :
Penghukuman
fisik tidak sesuai dengan KHA, oleh karenanya pendidikan harus menghormati
martabat anak dan menghargai ekspresi anak di sekolah. Di samping itu,
pendidikan juga harus memajukan
nilai-nilai nir kekerasan di sekolah
Kewajiban Negara untuk segera melarang dan menghapus semua bentuk
penghukuman fisik dan semua hukuman yang kejam atau penghukuman yang
merendahkan martabat anak seperti yang diatur dalam Pasal 19, Pasal 28 (2) dan
Pasal 37, mengadopsi dalam legislasi, melakukan penyadaran publik dan menetapkan
strategi untuk mengurangi dan mencegah segala bentuk kekerasan anak di
komunitas.
Selanjutnya,
dalam konteks perlindungan anak terdapat
4 (empat) level respon Negara dalam
merespon penghukuman fisik terhadap anak di rumah, di sekolah, di institusi
peradilan pidana, dan institusi layanan sosial anak. Idealnya respon Negara berada pada
posisi level keempat dengan tindakan melislagi larangan secara penuh terhadap
tindakan penghukuman fisik pada locus sebagaimana tersebut di atas.
Kewajiban-kewajiban tersebut dikunci dengan
ketentuan Pasal 4 KHA yang menyatakan bahwa:
Negara harus
melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain
yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.
Dengan kata lain Pasal ini
mendelegasikan kepada negara untuk
mengambil langkah-langkah yang menjadi kewenangan atributifnya. Melalui
kewenangannya tersebut, negara harus mengambil semua langkah legislatif,
administrasi, dan langkah lain yang tepat.[10] Untuk itu Tindakan tindakan yang harus diambil oleh Negara sesuai
dengan kewajiban yang diatur dalam pasal tersebut meliputi [11]:
1. Memastikan
bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative
policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ;
2. Membuat
suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi
hak-hak anak ;
3. Pengalokasian
dan analisis anggaran public berdasarkan
kepentingan terbaik untuk anak.
Instrumen Hukum HAM utama yang lain
juga mutatis mutandis mengatur kewajiban Negara
memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan bentuk penghukuman fisik dan
bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak.
1. Konvensi Anti Penyiksaan
Pasal-pasal yang relevan antara lain:
a) Pasal 1
Untuk tujuan
Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan
atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas
suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu
atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga,
atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan
dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak
meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat
pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Pasal ini tidak
mengurangi berlakunya perangkat internasional atau peraturan perundang-undangan
nasional yang mengandung atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan
penerapan yang lebih luas.
b) Pasal 2
Negara harus
mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah
efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya.
c) Pasal 16
Negara harus mencegah, di wilayah kewenangan
hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 1, apa bila tindakan semacam itu telah dilakukan oleh
atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat
publik atau orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Secara khusus,
kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke
bentuk-bentuk lain dari perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
2. Kovenan Hak
Sipil dan Politik
Kewajiban
negara tersebut terdapat pada ketentuan sebagai berikut:
a)
Pasal 7
Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat.
b)
Pasal 10
Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada
diri manusia
c) Pasal 24 (1)
:
Setiap anak berhak untuk
mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di
bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan
ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan atau kelahiran
d) Pasal 26
Semua orang berkedudukan sama di
hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi
apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin
perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas
dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau
status lain.
3.
Komentar
Umum Komite Hak Asasi Manusia No . 20
Komentar umum tersebut menyatakan bahwa
Larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan
terkait tidak hanya tindakan yang mengakibatkan luka tetapi juga tindakan yang
menyebabkan penderitaan mental bagi korban. Lebih jauh Komite juga menyatakan
bahwa larangan tersebut diperluas mencakup pula tindakan penghukuman fisik.
4. Kovenan Hak Ekonomi, Hak
Sosial, dan Hak Budaya
Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan
harus diberikan untuk kepentingan semua anak dan remaja, tanpa diskriminasi
apapun berdasarkan keturunan atau keadaan-keadaan lain.
b)
Pasal 13 (1):
Negara-negara Pihak pada Kovenan
ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa
pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan
kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi
dan kebebasan manusia yang mendasar.
5.
Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya No.
13 tentang Hak atas Pendidikan .
Adapun Komentar
Umum tersebut menyatakan bahwa:
Penghukuman fisisk tidak sesuai dengan prinsip
fundamental hukum HAM Internasional yang tercantum dalam Deklarasi Umum
Universal HAM dan kedua Kovenan. Di sisi lain aspek penghukuman fisik juga
bertentangan dengan martabat manusia.
Berdasarkan
paparan di atas salah satu upaya yang efektif untuk melindungi anak dari
tindakan penyiksaan atau perlakuan atau
hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah
larangan tindakan tersebut dinyatakan
secara eksplisit dalam hukum. Artinya anak-anak seperti halnya warga negara
yang lain memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan secara hukum dari tindakan pada semua lingkungan sosiologis kehidupan
mereka, seperti di rumah, di sekolah, di institusi peradilan pidana, institusi
layanan sosial, di komunitas, dan tempat kerja.
Kendati
reformasi hukum (law reform)
merupakan upaya yang esensial dan fundamental untuk melindungi hak anak, namun
upaya tersebut harus dibarengi dengan penyadaran pada aparat (awareness-raising) dan pendidikan
publik (public education) kepada
masyarakat. Dengan kata lain ketiga pilar dari sistem hukum yaitu: (i)
substansi hukum; (ii)struktur hukum/tatanan hukum; dan (iii) budaya hukum,
harus menjadi strategi untuk menginternalisasikan dan menginstitusionalisasikan
prinsip-prinsip
dan norma-norma perlindungan anak. Dalam konteks mengeksaminasi implementasi KHA oleh suatu
Negara , Komite Hak Anak menetapkan Petunjuk Laporan Periodik (Guidelines for Periodic Reports) di mana dalam petunjuk ini ditetapkan langkah yang dapat
diambil yaitu dengan cara menciptakan
lingkungan yang kondisuf untuk memastikan menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin
ketahanan dan perkembangan anak, termasuk fisil, mental, spriritual, moral,
psikologis, dan pengembangan sosial, dengan cara yang sesuai dengan martabat
anak sehingga mempersiapkan kehidupan anak sebagai individu dalam komunitas. Selanjutnya Komite merekomendasikan langkah
implementasi tersebut dilaksanakan di luar ranah hukum sebagai berikut:
1. Memberikan pelatihan yang memadai dan sistematis dan
kepekaan terhadap hak anak seperti pada anggota parlemen, hakim, pengacara,
penegak hukum, tenaga medis, guru, administrasi dan staf sekolah, dan pekerja
sosial
2. Mengembangkan metode untuk mempromosikan hak anak,
khususnya pada pemerintah daerah dan mendukung aktivitas NGO
3. Menerapkan prinsip-prinsip umum KHA dalam perencanaan dan
pembuatan kebijakan pada setiap level
juga kepada pengambil kebijakan pada institusi sosial dan kesejahteraanm
pendidikan hakim, dan otoritas administrasi
4. Mengambil langkah
efektif yang ditujukan untuk menghilangkan prasangka atau
tingkah laku yang diskriminatif
Lebih jauh Komite menyatakan
bahwa nilai-nilai tradisi yang menjadi acuan tingkah laku masyarakat membatasi
penghormatan terhadap pandangan anak. Untuk itu Komite merekomendasikan negara
untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mempromosikan dalam keluarga, sekolah, dan institusi
demikian pula pada peradilan dan prosedur administrasi untuk menghormati
pandangan anak dan memfasilitasi partisipasi mereka pada setiap permasalahan
yang berpengaruh pada kehidupan mereka
2. Mengambil langkah segera untuk menolak pemberlakuan
budaya impunitas terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap
anak
3. Mengambil langkah yang memadai, mencakup kampanye
pendidikan publik yang komprehensif untuk mencegah dan menolak tindakan negatif
masyarakat yang membedakan kelompok secara etnis
4. Membuka akses atas dampak alokasi anggaran publik dalam
mengimplementasikan hak asasi anak
5. Memprioritaskan dan
mentargetkan layanan sosial bagi anak-anak yang rentan.[13]
Upaya-upaya implementasi KHA tersebut
ditujukan untuk mengembangkan lingkungan
yang protektif terhadap anak dari
tindakan penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Untuk mengembangkan lingkungan yang protektif terhadap anak terdapat
8 (delapan) elemen kunci, yaitu:[14]
- Kapasitas dan komitmen
Pemerintah (Government Commitment
and Capacity)
Perlindunganmelalui
upaya ini termasuk: meratifikasi konvensi internasional tanpa reservasi, ketentuan
alokasi anggaran publik yang melindungi anak, deklarasi komitmen publik, kebijakan yang berpusat pada
kepentingan anak dan mendukung usaha publik
- Legislasi dan penegakan hukum (Legislation and Enforcement)
Upaya ini
dilakukan melalui: inkorporasi standar
internasional yang relevan, menuntut pelaku,
memfungsikan peradilan dan kepolisian tanpa intervensi, mekanisme ganti
rugi yang terakses, prosedur hukum yang rahasia dan ramah anak, ketersediaan
bantuan hukum, tidak melakukan kriminalisasi korban dan menempatkan rezim keadilan bagi anak/keadilan
restoratif
- Diskusi
terbuka (Open Discussion )
Proteksi ini
antara lain dilakukan melalui: kesepakatan antara masyarakat sipil dengan media
bahwa fenomena kekerasan tidak akan diberitakan oleh media dan tidak diakui,
kesalahan melindungi anak dinyatakan
oleh komunitas dan Pemerintah, pengakuan bahwa anak-anak dan remaja memiliki
kemampuan untuk menyatakan permasalahannya di sekolah, di rumah, dan tempat
lain, korban bukan untuk diasingkan, dan media dan LSM dapat bekerja sama.
- Tradisi
dan budaya (Culture and Customs)
Perlindungan
ini dilakukan melalui: menciptakan
lingkungan yang tidak diskriminatif, mempraktikan kepedulian pada anak bukan penghukuman fisik, kekerasan
bukan komponen kunci identitas maskulin, orang tua menolak FGM, penyelesaian sengketa secara damai, anak
diperlakukan secara bermartabat, eksplotasi seksual secara sosial tidak
diterima, praktik-praktik kekerasan tidak didukung oleh umat beragama, dan
anak-anak difabel, dan penderita AIDS tidak distigmatisasi
- Kecakapan
hidup, Pengetahuan, dan Partisipasi (Children’s
Life Skills, Knowledge, Participation)
Perlindungan
ini meliputi: lingkungan yang peduli bahwa anak memiliki hak asasi, mendorong
anak agar berpendapatan dan berekpresi, menyediakan kebutuhan atas informasi,
memiliki kemampuan memecahkan masalah dan
bernegosiasi, mendorong anak agar memiliki kepercayaan diri, dan
anak-anak didengar pendapatnya di sekolah, di rumah, dan di komunitas.
- Kapasitas Keluarga dan komunitas (Capacity of Families and Communities)
Perlindungan ini mencakup : orang tua dan
pemerhati anak yang lain mengawasi secara proaktif praktik-praktik perlindungan
anak, keluarga mendukung kebutuhan
anak; masyarakat mendukung dan mengawasi
perlindungan anak, dan keseimbangan eksistensi
(orang dewasa tidak mendominasi)
- Pelayanan
dasar (Essential Services)
Perlindungan
ini mencakup: pendidikan gratis bagi semua anak termasuk pengungsi, ketentuan
non diskriminasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk pekerja seks
anak dan tahanan, memfungsikan sistem jaminan sosial, shelter, hotline; dan
training kepada guru.
- Monitoring, Pelaporan, dan Kelalaian (Monitoring, Reporting, and Oversight)
Perlindungan
ini mencakup: pengumpulan data secara sistematis, pelaporan data secara
transparan dan peninjauan oleh pembuat kebijakan, akses bagi pengamat
independen yang melakukan observasi terhadap kelompok anak yang secara
tradisional termarjinalkan, mendorong penghormatan peninjauan masyarakat sipil
Mereformasi Hukum Indonesia
Sebagaimana
telah disebut dimuka upaya yang harus menjadi prioritas utama (high priority) untuk melindungi anak
dari tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang
keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat melalui reformasi hukum. Reformasi hukum
tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi paradigma hukum yang menjadi
spririt upaya reformasi hukum tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum
dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi
anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak.
Untuk
mengeksaminasi sampai sejauhmana
reformasi hukum telah terjadi, salah satu indikatornya adalah derajat
kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan instrumen hukum
HAM internasional utama lainnya. Dengan
kata lain KHA dan instrumen hukum HAM internasional utama lainnya menjadi
landasan minimal bagi penyelenggara Negara dalam upaya menghargai,
melindungi, memenuhi, dan memajukan hak
asasi anak. Eksaminasi pertama berada pada ranah politik HAM, politik hukum, dan politik anggaran publik yang ditetapkan oleh
para penyelenggara Negara. Eksaminasi
ini terefleksikan dalam konstitusi,
legislasi, regulasi, dan anggaran publik yang dibuat oleh para. konstitusi, legislasi, regulasi, dan
anggaran publik.
Dalam
konteks Indonesia, hukum Indonesia belum sepenuhnya berkesesuaian dengan
prinsip-prinsip dan norma-norma instrumen hukum HAM Internasional khususnya
dalam memberikan perlindungan kepada anak dari tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat.Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan Komite Hak Anak
dan Komite Anti Penyiksaan menjadi indikator adanya permasalahan dalam
perlindungan anak tersebut. Mengacu pada paparan di atas maka langkah-langkah
legislasi dilakukan dengan cara :
- Mengamandemen peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
a) KUHP
Substansi yang harus dimasukkan adalah:
-
Menetapkan definisi anak
sesuai dengan KHA
-
Menetapkan batas usia pertanggung jawaban pidana
anak sesuai dengan standar universal HAM
-
Mengatur pertanggungjawaban pidana anak dalam
peristiwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa
-
Menetapkan bentuk-bentuk tindak pidana secara
limitatif di mana anak dapat dimintakan
pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
-
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak, diversi,
keadilan restorative, dan rehabilitasi berbasis komunitas dimasukkan sebagai
prinsip-prinsip perlindungan anak
-
Mengatur
mengenai bentuk-bentuk perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan
martabat manusia yang ditujukan pada anak yang dilakukan di rumah, di sekolah
(pendidikan), di institusi peradilan pidana, dan di institusi layanan sosial
anak
-
Merinci elemen-elemen tindak pidana perlakuan dan hukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat manusia yang ditujukan pada anak pada setiap locus di atas
-
Menghukum para pelaku yang melakukan bentuk-bentuk
perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia yang ditujukan pada anak yang dilakukan di
rumah, di sekolah (pendidikan), di institusi peradilan pidana, di tempat kerja,
dan di institusi layanan sosial anak
-
Mengadopsi
definisi penghukuman fisik (corporal
punishment) dan mengatur mengenai bentuk-bentuk corporal punishment seperti
yang telah diatur dalam Komentar Umum Komite Hak Anak No. 8 mengenai
Perlindungan Anak dari Penghukuman Fisik dan tindakan lain yang kejam atau
penghukuman yang merendahkan martabat anak dan/ atau Negara-negara yang telah
mengkriminalisasi tindakan corporal
punishment
b) KUHAP
Substansi
yang harus dimasukkan adalah:
-
Mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma yang
diatur dalam Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (the Beijing Rules), Guidelines for the Prevention of Juvenile
Delinquency (the Riyadh Guidelines) dan
Rules for the Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty (the
Tokyo Rules).
c) Peraturan Perundangan yang mengatur
Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman
-
Menetapkan diversi sebagai kewenangan atributif
bagi setiap aparat penegak hukum apabila menghadapi kasus anak
d) UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak
-
Menetapkan definisi anak
sesuai dengan KHA
-
Menetapkan batas usia pertanggung jawaban pidana
anak sesuai dengan standar universal HAM
-
Mengatur pertanggungjawaban pidana anak dalam
peristiwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa
-
Menetapkan bentuk-bentuk tindak pidana secara
limitatif di mana anak dapat dimintakan
pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
-
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak, diversi,
keadilan restorative, dan rehabilitasi berbasis komunitas dimasukkan sebagai
prinsip-prinsip perlindungan anak
-
Menetapkan mekanisme penyelesaian di luar sistem
hukum formal bagi anak yang melakukan
tindak pidana melalui mekanisme
penyelesaian masalah secara informal
-
Menetapkan kewenangan diversion bagi aparat penegak
hukum secara atributif
e) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-
Mengadopsi definisi penghukuman fisik (corporal punishment) dan mengatur
mengenai bentuk-bentuk corporal
punishment seperti yang telah diatur
dalam Komentar Umum Komite Hak Anak No. 8 mengenai Perlindungan Anak dari
Penghukuman Fisik dan tindakan lain yang kejam atau penghukuman yang
merendahkan martabat anak atau Negara-negara yang telah mengkriminalisasi
tindakan corporal punishment
-
Mengelaborasi elemen tindak
pidana bentuk-bentuk corporal punishment yang dilakukan di rumah, di sekolah (lembaga
pendidikan), di institusi peradilan pidana, di tempat kerja, dan institusi
layanan sosial anak lainnya
-
Mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma yang
diatur dalam Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (the Beijing Rules), Guidelines for the Prevention of Juvenile
Delinquency (the Riyadh Guidelines) dan Rules for the Protection of Juveniles
Deprived of Their Liberty (the Tokyo Rules).
- Meratifikasi instrumen Hukum HAM Internasional yang
terkait dengan perlindungan anak sesuai dengan Agenda RAN HAM 2004-2009 sebagai
berikut:
a) Protokol Tambahan KHA tentang Keterlibatan Anak dalam
Konflik Bersenjata
b) Protokol
Tambahan KHA tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak
- Meningkatkan
landasan hukum ratifikasi
KHA dari Keputusan Presiden menjadi Undang-Undang
- Memberikan landasan hukum terhadap penarikan
reservasi terhadap KHA dengan UU
sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
- Meninjau ulang Peraturan Daerah yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip dan norma-norma perlindungan yang tercantum dalam
KHA dan instrumen hukum HAM Internasional lainnya
Tindakan-Tindakan Lainnya
Kemudian tindakan lainnya yang
signifikan dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan kewajibannya
sebagai berikut:
- Meningkatkan alokasi anggaran publik bagi
peningkatan program perlindungan anak
- Melakukan pelatihan yang memadai dan secara
sistematis mengenai hak asasi anak
khususnya bagi militer, polisi,
jaksa, hakim, advokat, guru, tenaga medis, dan pekerja sosial
lainnya
- Memasukkan
hak asasi anak sebagai materi muatan kurikulum pendidikan dari
tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi
- Membentuk kemitraan antara komunitas, organisasi
keagamaan, anak-anak, korporasi
termasuk media, dan aparat pemerintah untuk melindungi anak-anak
- Meningkatkan
kapasitas anak untuk berpartisipasi
[1] Lihat Pasal 19
(1) KHA:
”Negara-negara
Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan
pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik
atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa,
perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selam dalam
pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki
tanggung jawab mengasuh anak.”
[2] Lihat Report of the independent expert for the
United Nations study on violence against children. The United Nations
Study on Violence against Children, 2003
[3] Lihat GENERAL
COMMENT No. 8 (2006) The right
of the child to protection from corporal punishment and other cruel or degrading forms of punishment (arts. 19;
28, para. 2; and 37, inter alia)
[4] Lihat Pasal 16 ayat (1) Konvensi Anti Penyiksaan :
Setiap Negara Pihak harus
mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk
tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1, apabila tindakan
semacam itu telah dilakukan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau
kesepakatan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam
jabatannya. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap
tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain dari perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
[6] Lihat Kekerasan terhadap Anak di Mata Anak
Indonesia: Hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak di 18 Provnisi
dan Nasional, KPP, UNICEF, CCF, Plan, YKAI, YPHA, Save the Children, WVI,
2005
[7] Peter Newell menunjuk Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 37 KHA untuk mendeskripsikan kewajiban Negara
untuk melindungi anak dari tindak kekerasan. Lihat REPORT
ON THE EAST ASIA AND PACIFIC REGIONAL CONSULTATION ON VIOLENCE AGAINST
CHILDREN, United Nations Secretary General’s Study on Violence against
Children, 2005
Penghukuman
fisik (corporal) sebagai setiap
penghukuman yang mana kekuatan fisik dipergunakan dan ditujukan untuk menyebabkan
luka atau perasaan tidak nyaman , dan hal lain yang serupa. Perbuatan ini juga mencakup penghukuman non fisik yang lain yang kejam dan merendahkan martabat
anak dan tidak sesuai dengan KHA.
[9]
http://www.endcorporalpunishment.org/pages/frame.html
[10] Rachel Hodgkin dan Peter
Newell, Implementation Handbook for the
Convention on The Rightd of the Child,
UNICEF, Geneva , Switzerland , 1998
[11] Rachel Hodgkin dan Peter Newell, ibid
[12] Mengadopsi langkah-langkah
yang telah diujicobakan pada 3 (tiga)
negara di Amerika Latin, yakni : Costa Rica , Venezuala, dan
Brazilia. Semua proses selalu diawali pada upaya mereformasi tatanan hukum
melalui program legislasi nasional dalam rangka penyesuaian dengan
prinsip-prinsip dan norma-norma KHA. Lihat, Dorothy Rozga, Applying
a Human Rights Based Approach to Programming : Experiences of UNICEF, Presentation Paper prepared for the Workshop on Human Rights, Assets and
Livelihood Security, and Sustainable Development, London, UK, 2001
[13] Karin Landgren, The Protective Environment: Development Support for Child Protection,
HUMAN RIGHTS QUARTERLY, Project Muse, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar