MENINGKATKAN
PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA SIMBOL DAN PEJABAT NEGARA DI ERA KETERBUKAAN DAN
MENGUATNYA KEHIDUPAN DEMOKRASI[1]
Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]
A. Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke
arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan penjajahan meningkat
tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia
sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan
kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada
pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia
dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan
berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi
dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni
Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di
negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.
Semua peristiwa yang mendorong munculnya
gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan
yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa
dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan
rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia
pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial
bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di
semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara
bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh
kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter.
Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan
gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh
lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman
sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun
oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk
mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap
tidak demokratis.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar
negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan
struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperankan oleh
pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government
to Government (G to G) dan hubungan
People
to People (P to P). Sekarang,
pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to
G,
P
to P
maupun G
to P
atau P
to G.
Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi pemerintahan
ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan
negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas
nama perlindungan hak asasi manusia.
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang
kita hadapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi
manusia itu haruslah dilihat dalam konteks relationalistic
perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan
kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubahan berhubung dengan kenyataan
bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan
kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan atas
sumber-sumber ekonomi, dan bahkan teknologi dan industri yang justru
memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan
prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam
konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks
hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan
kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang
menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era
industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi
ini terus berkembang di semua sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan
umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat
dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam
hal ini merupakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu,
hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak
konsumen yang harus dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan
kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak
asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1.
Struktur kekuasaan dalam hubungan antar
negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan
cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang
menguasai dan mendominasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai
forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan
politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.
Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di
lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme yang
hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang berkuasa ataupun kelas
penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.
Struktur hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta manajemen
produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha industri, baik
industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional,
regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber
ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata,
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan
fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas
dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa,
makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan
bersama.
Di pihak lain, makin tinggi peringkat
seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok
lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin
besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang
demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara
maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan
bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi
ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan
hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak
dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa
persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika yang dengan isitlah Karl Marx
dikategorikan sebagai perjuangan kelas yang menuntut
keadilan.
B. Kebebasan
Berekspresi dan Berpendapat
Dalam
alam demokrasi, terbukanya kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat
merupakan merupakan prinsip yang tak dapat terelakan. Bahkan, bagi negara yang
meganut paham demokrasi keduanya menjadi prasyarat mutlak yang telah diatur
perlindungannya. Nilai-nilai universal tersebut dimuat dalam International
Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) yang kemudian telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005. Sementara itu, secara eksplisit jaminan terhadap kebebasan berekspresi
dan kebebasan berpendapat dimuat dalam Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
yang berbunyi, ”(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, dan ”(3)
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”.
Kemudian
Pasal 28F UUD 1945 juga menyinggung tentang jaminan perlindungan konstitusional
terhadap kebebasan tersebut dengan menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia”.
Sementara itu, beberapa ketentuan
dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan
jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat secara lisan
dan tulisan, khususnya dalam Pasal 14, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21.
Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi warga negara
Indonesia semakin ditegaskan dengan dimuatnya beberapa ketentuan di dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 14
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (2), serta Pasal 25.
Berdasarkan
berbagai macam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka secara tegas
dan terang benderang dapat dikatakan bahwa negara Indonesia telah memberikan
jaminan penuh atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat bagi warga
negaranya. Namun demikian, sebagaimana pengaturan dalam instrumen HAM
internasional, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah salah satu
hak yang dapat dibatasi pemenuhannya (derogable rights) dalam kerangka
prinsip-prinsip negara hukum dengan pengaturan di dalam undang-undang.
Ketentuan
mengenai pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
Dengan
demikian, 4 (empat) persyaratan diperbolehkannya pengaturan pembatasan secara
konstitusional terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat, yaitu: (1)
Dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain; (2) Dilakukan untuk memenuhi tuntuan yang adil; (3)
Pembatasan dilakukan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum; dan (4) Pembatasan dilakukan untuk membentuk suatu
masyarakat yang demokratis.
Walaupun
telah diatur mengenai adanya pembatasan dalam hak menyatakan pendapat dan
kebebasan berekspresi, namun ternyata masih timbul permasalahan berkaitan
dengan tata cara dan implementasi pelaksanaan kedua hal tersebut. Dalam
kesempatan wujud kebebasan berpendapat dan berekspresi, berbagai kalangan
sempat menyayangkan adanya tindakan yang dianggap kebablasan dalam
penerapannya, khususnya ketika kebebasan tersebut ditujukan untuk mengkritisi
pemerintahan, sebab adakalanya sulit dibedakan antara tindakan sebagai berntuk
kritisasi yang membangun dengan penghinaan yang dinilai justru menjatuhkan
derajat dan wibawa penyelenggara negara.
Dalam
konteks ketatanegaraan, penyelenggara negara seringkali dikaitkan dengan
simbol-simbol dan pejabat negara yang harus dilindungi kehormatan dan
kewibawaannya, sehingga jalannya pemerintahan tidak terganggu dalam upaya
mencapai tujuannya. Namun demikian, sebelum membahas lebih jauh ada baiknya
mencermati terlebih dahulu pengaturan tentang simbol dalam peraturan
perundang-undangan yang ada sekarang ini.
C.
Simbol Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2009
Pada tanggal 9 Juli 2009 telah diundangkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan. Keempat hal tersebut diatur karena merupakan sarana
pemersatu identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan serta
kehormatan negara. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa keempat simbol
tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan
negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan demikian, bendera, bahasa, dan
lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia bukan hanya sekadar merupakan
pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol
atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia.
Seluruh bentuk dan simbol kedaulatan negara
dan identitas nasional diatur dan dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 36C. Selain bertujuan untuk menciptakan jaminan
kepastian hukum, keselarasan, keserasian, standardisasi, dan ketertiban di
dalam penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, UU
a quo juga mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan
dan tata cara penggunaannya, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan
pidana bagisiapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini.
Dengan demikian, secara sekilas dapat ditemukan
bahwa simbol kedaulatan yang dimaksud menurut undang-undang a quo
hanyalah Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sedangkan
kepala negara, menteri, anggota perwakilan dan jabatan negara lainnya tidak
menjadi ruang lingkup yang diatur dalam undang-undang ini sebagai simbol
kedaulatan dan kehormatan negara. Berangkat dari hal tersebut, maka ada baiknya
dibedakan peristilahan mengenai simbol-simbol negara berdasarkan undang-undang dengan
praktik ketatanegaraan yang dikenal secara umum.
Dalam teori ketatanegaraan lama, kita memang
mengenal Presiden, Raja, atau
Ratu sebagai
head of state yang biasa
dinisbatkan dengan fungsinya sebagai lambang persatuan dan kekuasaan (symbol of unity and sovereign power) dan
pusat seremoni kenegaraan (center of
ceremony). Namun demikian hal tersebut kian hari
semakin pudar maknanya karena
berkembangnya doktrin negara hukum modern yang mengutamakan pentingnya sistem
aturan daripada faktor orang per orang. Hal itu tercermin dalam jargon “the rule of law, and not of man” dalam
sistem demokrasi modern. Apabila jabatan-jabatan tersebut kemudian
hari ingin kembali dimasukkan ke dalam pengertian simbol negara, maka perlu
dirumuskan ulang penggunaan peristilahan tersebut di dalam peraturan
perundang-undangan. Lagi pula, pengertian lama tentang
“symbol of unity”, “center of ceremony”, dan sebagainya itu – dalam sejarah –
sebenarnya berasal dari praktik negara-negara monarki parlementer di Eropah
Barat yang menempatkan Raja atau Ratu sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri
sebagai Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidentil seperti di Indonesia dan
di Amerika Serikat, pemisahan pengertian Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
seperti demikian tidaklah relevan. Presiden adalah Presiden yang dalam
jabatannya tercakup kedua pengertian itu sekaligus. Bahkan keduanya tidak dapat
dan tidak perlu dibedakan satu sama lain. Dalam praktik
sampai sekarang masih ada kebiasaan untuk membedakan antara kualitas Presiden
sebagai Kepala Negara dan kualitasnya sebagai Kepala Pemerintahan. Misalnya,
sampai sekarang, masih banyak orang yang menganggap Sekretaris Negara sebagai
sekretaris Presiden sebagai Kepala Negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah
Sekretaris Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pengertian demikian inilah
sering menimbulkan permasalahan sebagai akibat adanya dualisme kepemimpinan
antara Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. Dalam
Penjelasan UUD 1945 memang terdapat istilah Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan sebagai dua macam jabatan yang dibedakan. Namun, harus diingat
bahwa Penjelasan UUD 1945 itu dibuat dan baru diumumkan pada bulan Februari
1946, ketika sistem pemerintahan Indonesia sudah berkembang dalam praktik
sistem parlementer, yang dimulai sejak diangkatnya Syahrir sebagai Perdana
Menteri pertama, yaitu pada bulan November 1945. Karena itu, penyebutan kedua
jenis jabatan itu secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945 yang pernah
diberlakukan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari naskah UUD 1945, harus dipahami dalam konteks kesejarahan yang
tepat dan tidak dapat digeneralisasikan secara umum dan untuk semua zaman. Dalam
sistem presidentil yang kita bangun dan kemudian diperkuat sejak reformasi,
tidak dikenal lagi adanya pembedaan, dan apalagi pemisahan antara kualitas
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan itu. Di pihak lain,
kedudukan khusus Kepala Negara sebagaimana diterapkan dalam sistem monarki
parlementer di Eropah Barat dalam sejarah di masa lalu yang memberikan kepada
Kepala Negara kedudukan khusus sebagai simbol persatuan dan pusat seremoni
kenegaraan, juga sudah tidak relevan lagi untuk dikembangkan dewasa ini.
Apalagi jika pengertian demikian hendak diterapkan di Indonesia dewasa ini,
tentu dapat dikatakan sangat tidak tepat. Sesudah reformasi, kita justru
memperkuat sistem pemerintahan presidentil dalam kerangka sistem negara hukum (rechtsstaat, the rule of law) dan negara
demokrasi modern. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita tidak terjebak ke
dalam sikap-sikap pribadi yang terbawa arus budaya politik lama yang cenderung
mempersonalisasikan jabatan Presiden sebagai Kepala Negara dalam pengertian
yang diuraikan di atas.
D.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait dengan upaya perlindungan atas
pejabat negara, hal mana dilakukan dengan cara dibentuknya ketentuan pidana
atas penghinaan terhadap kepala negara dan ketentuan penebar kebencian kepada
pemerintah, perlu kiranya kita menyimak kembali Putusan Mahkamah Konstitusi
yang pernah dijatuhkannya beberapa waktu silam.
Dalam Putusan
Nomor 013-022/PUU-IV/2006 bertanggal 6 Desember 2006, MK membatalkan Pasal 134,
Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP. MK
menilai bahwa pasca perubahan ketiga UUD 1945, konsep kedaulatan (sovereignty)
telah berpindah dari parlemen kepada rakyat. Dengan demikian, Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, haruslah
bertanggung jawab kepada rakyat. Lebih lanjut dipertimbangkan bahwa walaupun
martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun keduanya
tidak dapat diberikan privilege hukum secara diskriminatif berbeda
dengan kedudukan rakyat banyak yang menyebabkan Presidan dan/atau Wakil
Presiden memperoleh kedudukan dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum
dengan warga negara lainnya. Hal ini menurut MK secara konstitusional
bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan tersebut menurut MK juga dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan
pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan
kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini
dinilai secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP bagi MK juga
berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan,
tulisan, dan ekspresi sikap ketika ketiga pasal pidana tersebut selalu
digunakan oleh aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan.
Hal demikian secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat
(2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 KUHP bagi MK juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi
kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 terkait
dengan proses pemakzulan (impeachment).
Putusan ini memang dibahas cukup mendalam
dan hati-hati, terbukti dengan adanya 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang
berbeda pendapat (dissenting opinions), yaitu I Dewa Gede Palguna,
Soedarsono, H.A.S. Natabaya, dan H. Achmad Roestandi. Menurut I Dewa Gede
Palguna dan Soedarsono, ketentuan yang diuji bukan merupakan persoalan
konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. Sedangkan menurut
H.A.S. Natabaya dan Achmad Roestandi ketentuan tersebut perlu ada perubahan
baik dalam sifat deliknya maupun dalam ancaman hukumannya serta penempatan
tempat pengaturan yang merupakan legal policy dari pembentuk
undang-undang (DPR dan Pemerintah).
Sementara itu, pada tanggal 17 Juli 2007 MK
mencabut Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP terkait dengan ketentuan pidana apabila
seseorang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan
Pemerintahan, karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) serta
Ayat (3) UUD 1945.
Setidaknya terdapat empat pertimbangan hukum
utama yang melatarbelakangi dijatuhkannya putusan tersebut. Pertama,
rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan
kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa karena
kualifikasi delik atau tindak pidananya adalah delik formil yang cukup hanya
mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare
handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Kedua,
Pasal 154 dan 155 KUHP juga dapat dikatakan tidak rasional, karena seorang
warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi
negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat, kecuali dalam
hal makar. Akan tetapi, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri dalam
pasal lain di dalam KUHP.
Ketiga, sejak tahun 1946
pembentuk undang-undang sesungguhnya telah menyadari bahwa ada ketentuan dalam
KUHP yang tidak mungkin lagi diterapkan karena tidak sesuai lagi dengan
kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Ketentuan Pasal 154 dan
155 KUHP menurut sejarahnya memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia), sehingga telah nyata pula
bahwa kedua ketentuan tersebut oleh MK dinilai bertentangan dengan kedudukan
Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, sebagaimana dimaksud Pasal V
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Keempat, konsep rancangan
KUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana yang serupa, formulasi
deliknya tidak lagi berupa delik formil melainkan diubah menjadi delik
materiil. Hal itu menunjukkan telah terjadinya perubahan sekaligus pembaharuan
politik hukum pidana ke arah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan
semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasar atas hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945. Dengan
demikian, tindakan penghinaan jelas terlarang dan tidak boleh dilakukan oleh
siapapun dan terhadap siapapun juga. Akan tetapi, efek penghinaan itu sendiri
dianggap tergantung kepada pribadi orang yang dihina, yaitu merasa terhina atau
tidak. Jika yang bersangkutan merasa dihina dan terhina, maka kepadanya
diberikan hak untuk mengadukan halnya kepada pihak yang berwajib sebagaimana
mestinya. Suatu jabatan tidak mungkin merasa terhina. Yang dapat merasa terhina
adalah manusianya. Apapun kedudukan seseorang, tidak boleh dihina. Jika dihina,
maka orang yang merasa terhina berhak mengadukan penghinanya kepada polisi
sebagai delik aduan (klachtdelict).
E.
Melindungi dengan Aksi dan Bukan Sanksi
Kebebasan
di dalam demokrasi dapat pula menjadi sarana dalam membangun nilai-nilai
peradaban dari suatu negara. Akan tetapi hal tersebut hanyalah dapat tercapai
sepanjang kebebasan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang damai, tanpa
kekerasan dan tanpa pemaksaan. Kebebasan pers, berekspresi, berorganisasi, dan
beragama hanya dapat berjalan seimbang tanpa diciderai tindakan kekerasan dari
pihak manapun, kecuali dilakukan menurut hukum oleh aparatur negara. Begitu
pula dengan kebebasan berorganisasi dan berkumpul yang tidak dapat dihukum atau
dibubarkan apabila tidak bertentangan dengan ideologi negara.
Di
tengah-tengah penguatan prinsip demokrasi tersebut agar tidak keluar dari arah
dan tidak menimbulkan anarki, maka perlu pula diwancanakan dibentuknya
Undang-Undang Anti-Pemaksaan dan Anti-Kekerasan yang mewadahi adanya hak dan
perlindungan penuh terhadap kebebasan warga negara sepanjang tidak dilakukan
melalui bentuk dan cara-cara kekerasaan ataupun pemaksaan kehendak terhadap
pihak lain. Di dalam undang-undang tersebut dapat pula dimuat mengenai sanksi
dengan sistem restorative justice, yaitu memulihkan kondisi dalam keadaan
semula, misalnya dengan sanksi denda yang sebelumnya harus dapat dibuktikan terlebih
dahulu secara materiil.
Dengan
demikian, tidak diperkenakan bagi warga negara untuk melakukan pemaksaan
kehendak atau kekerasaan, termasuk mengambil alih atau mengambil oper fungsi
negara. Misalnya, bertindak seakan-akan sebagai aparatur kepolisian atau
menggunakan atribut dan pakaian yang menyerupai tentara untuk bertindak
sewenang-wenang.
Selain
pembentukan undang-undang, harus pula dikembangkan sikap dan budaya saling
menghargai dan menghormati tanpa adanya paksaan. Dalam sejarah ketatanegaraan
di Eropa, perasaan tentang simbol-simbol negara semakin berkembang. Masyarakat
di negara-negara dunia semakin rasional melihat kedudukan dan jabatan seseorang
dalam pemerintahan negara. Penghinaan memang secara umum tidak diperbolehkan,
akan tetapi rasa kepedulian tersebut kian hari kian luntur. Banyak orang yang
tidak peduli dengan kedudukannya sepanjang tindakan dan kebijakan yang
dikeluarkannya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Begitu
pula dengan adanya tindakan penghinaan, misalnya, kepada Presiden. Masyarakat
harus memahaminya bahwa tindakan tersebut tidak diperbolehkan. Dengan kata
lain, hal yang dilarang atau tidak diperbolehkan dilakukan terhadap orang lain
berarti tidak boleh pula dilakukan terhadap seorang Presiden. Namun demikian,
hal tersebut disamakan bukan karena jabatannya, tetapi karena pribadinya
sehingga harus dapat dibedakan antara perseorangan yang memangku jabatan dengan
institusi jabatan. Sebagai contoh, dalam dunia peradilan kita mengenai contempt
of court yang dibentuk untuk menjaga kehormatan terhadap proses persidangan,
dan bukan terhadap para Hakim dalam
persidangan itu. Apabila ada yang melanggar ketentuan
tersebut maka sanksinya yaitu dikeluarkan dari ruang persidangan.
Demikian
pula halnya dengan contempt of parliament, anggota dewan atau siapa saja dapat dikeluarkan dari
ruang sidang dengan paksa apabila menggangu jalannya proses persidangan apabila
dinilai menjatuhkan kehormatan
lembaga
parlemen. Namun demikian,
pengertian “contempt” itu sendiri
tidak dapat diidentikkan dengan pengertian penghinaan terhadap orang atau pun “defamation” (pencemaran nama baik). Kosa
kata bahasa kita memang belum cukup lengkap untuk menerjemahkan kata “contempt” itu, sehingga dalam pengertian
sehari-hari diidentikkan saja dengan penghinaan.
Misalnya, dapat dipersoalkan
bahwa dalam “contempt of court”, yang tidak boleh “dihina” adalah institusinya.
Karena itu, institusi kepresidenan juga tidak boleh “dihina”. Mengapa
“penghinaan” terhadap pengadilan dapat diterima sebagai delik formil, sedangkan
“penghinaan” terhadap lembaga kepresidenan hanya dapat diterima sebagai delik
materiel? Pertanyaan tersebut timbul tidak lain karena orang mengidentikkan
pengertian “contempt” itu dengan “penghinaan”. Padahal, keduanya jelas berbeda.
Karena itu, dalam sistem hukum modern, kita mengenal doktrin “contempt of
court” dan “contempt of parliament”, tetapi tidak pernah ada
wacana mengenai “contempt
of president” dan apalagi “contempt of
government
institutions. Suatu
institusi, seperti Kementerian Negara dapat saja dikritik dan dicaci-maki orang karena
alasan tidak berjalan baiknya program pemerintahan. Akan tetapi tindakan demikian tidak pernah disebut
sebagai “contempt of government”.
Pemerintah memang harus terbuka
untuk dikritik oleh setiap warga negara yang berdaulat, terlepas mengenai cara
dan substansi kritiknya. Makin tinggi tingkat peradaban suatu masyarakat yang
menjalankan sistem demokrasi yang bebas itu, tentu makin tinggi pula kualitas,
sehingga cacian dan gunjingan yang bersifat pribadi tidak akan nampak ke
permukaan. Demikian pula bakar membakar dan tindakan merusak serta brutal yang
biasa dilakukan oleh para demonstran, sepenuhnya merupakan soal tingkat
peradaban. Namun, bagaimanapun juga segala jenis tindak pelanggaran hukum
tersebut, seperti melempari rumah orang dengan batu pada saat berdemonstrasi,
memang harus ditindak tegas. Demikian juga apabila para demonstran mengeluarkan
kata-kata yang bersifat menghina dan merendahkan martabat pribadi seseorang
yang sedang menduduki jabatan tertentu, tindakan penghinaannya itu harus
ditindak menurut hukum yang berlaku. Tetapi hukum yang berlaku itu bersifat
sama untuk semua orang, yaitu apabila dihina dapat mengadu kepada yang berwajib
karena tindakan penghinaan itu merupakan delik materiel.
Dengan ketentuan penghinaan yang
berlaku sama untuk semua orang demikian, kita dapat memisahkan antara urusan
institusi dengan urusan pribadi. Jika kita terhina secara pribadi, maka hukum
yang terkait harus ditegakkan untuk pribadi. Jika institusi yang dipersoalkan
maka pastilah institusi tidak mempunyai perasaan sehingga tidak mungkin merasa
terhina yang membuatnya harus mengadu ke polisi. Pembedaan antara urusan
pribadi dan institusi ini justru sangat penting, dan di antara keduanya jangan
sampai timbul adanya “conflict of interest”
Tesis Lord Acton justru membuktikan bahwa sumber
korupsi dan kejahatan muncul karena adanya conflict of interest di
antara pemegang kekuasaan negara, sehingga hal-hal yang memunculkan potensi
tersebut harus pula dapat dijaga dan dieliminir sedemikian rupa. Oleh karenanya,
untuk melindungi kehormatan pemerintahan sebaiknya tidak dilakukan dengan cara
penerapan sanksi pidana melalui instrumen negara terhadap pihak-pihak yang
berusaha untuk melakukan kritisasi, namun harus dengan cara peningkatan aksi pemerintahan
dalam upaya pencapaian kinerja yang optimal.
Selanjutnya,
pengembangan budaya kerja dan bermasyarakat di antara kalangan pejabat negara
harus diciptakan sehingga perasaan yang timbul karena kritisasi atau penghinaan
yang dilontarkan oleh pihak lain kepada diri pribadi tidak menjadi beban
pekerjaan yang timbul akibat secara psikologis terikat dengan kultur. Apabila
kultur masyarakat dan penyelenggara negara diubah dari kewibawaan pribadi
dengan paradigma berbasis hasil kinerja, maka segala tindakan dan perbuatan
dalam pelaksaan tugas akan dapat berjalan dengan lebih ringan dan tanpa beban
yang begitu berat.
Hal
terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah budaya organisasi yang harus
dibangun dengan memperkuat sistem kerja dan bukan orang-perorangan. Dalam
konteks hukum, misalnya, apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan
negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan
bersama, sehingga dikenal istilah “The Rule of Law, and not of Man”
untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah
atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah
“The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah
terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekedar bersifat
instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang
atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”. Dalam pengertian demikian, hukum
dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang berpuncak pada konstitusi,
baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis.
***
BAHAN
BACAAN
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
Bachr,
Peter, Pieter van Dijk, dan Adnan Buyung Nasution, dkk. (eds.). Instrumen
Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2001.
Coming,
Saxe and Robert N. Linscott (eds). Man and the state: The Political
Philosophers. Modem Library, Random House, 1953.
Feith,
Herbert and Lance Castles (eds). Indonesian Political thinking 1945 – 1965.
Ithaca and London :
Cornell University Press, 1970.
Ferejohn,
John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and
Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Fukuyama,
Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul
Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century.
Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Huntington,
Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.
Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Suseno,
Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
[1] Naskah Pengantar dalam Roundtable
Disucssion (RTD) Kajian Aktual dengan tema “Konsistensi Penegakan Supremasi
Hukum untuk Melindungi Semua Simbol dan Pejabat Negara Guna Meningkatkan
Kewibawaan Lembaga-Lembaga Negara” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pertahanan
Nasionala (Lemhanas) pada Kamis, 8 April 2010 di Jakarta.
[2] Anggota Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Periode 2010-sekarang. Guru
Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar