Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Kamis, 30 Januari 2014

Fakir Miskin dan Anak Jalanan Dipelihara oleh Negara ?

Saya sempat mendengarkan opini teman saya yang akhir-akhir ini sangat intens sekali memperhatikan Jokowi-Ahok sebagai pemimpin Jakarta. Beliau selalu mengidam-idamkan bisa bertemu DKI1 itu untuk mengaspirasikan keinginannya untuk Jakarta (walaupun dia tinggal diluar Jakarta). Tapi akhir-akhir ini beliau sedikit mengeluhkan apa yang biasanya terjadi di jalanan. Seperti kita ketahui hampir di setiap lampu merah di Jakarta ataupun kota besar lainnya terdapat pengemis dan anak jalanan yang siap merongrong kita dengan wajah melas dan berpenampilan lusuh. Apa semua itu mengganggu dan merasa tidak menyenangkan untuk anda ? Ataukah saking sangat seringnya kita melihat hal tersebut, jadi dianggap biasa ? Jika kita sedikit menilik ke arah hukum Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 jelas dikatakan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. 
Seseorang dikatakan masih anak-anak saat dirinya belum menginjak usia 18 tahun dan belum menikah, akan tetapi jika dirinya belum 18 tahun tapi sudah menikah maka bisa dikatakan orang tersebut adalah dewasa. Jika kita melihat definisi secara keseluruhan Anak terlantar adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan : kemiskinan, salah seorang dari orang tua/wali sakit, salah seorang/kedua orang tua/wali pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengasuh) sehingga tidak dapat terpenuhinya kebutuhan dasar dengan wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial. 
Kalau memang Jakarta (atau mungkin seluruh kota di Indonesia) memiliki masalah yang sama terkait anak-anak terlantar, apakah itu artinya anak-anak jalanan itu adalah disahkan oleh negara untuk mengemis di jalanan ? Ataukah anak jalanan itu tidak tersentuh hukum ketika dia mengganggu perjalanan orang lain ? Ataukah selama ini kita sudah melihat ada tindakan dari pemerintah untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar tersebut ? Atau mungkin kita bisa menjeratnya dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan ? Sudahlah mungkin terlalu ekstrim jika seperti itu. 
Namun yang semakin membuat saya miris adalah anak-anak itu mengemis karena orang tuanya yang menginginkan mereka begitu. Terkadang orang tua mereka tidak segan untuk melakukan tindakan kasar jika mereka tidak menghasilkan uang. Apakah orang tua mereka bisa di tindak secara hukum karena ekploitasi anak ? Kemana Komnas Anak ? Apakah mereka hanya “memelihara” anak-anak yang sanggup membayar mereka ? Ironi memang, karena Indonesia termasuk negara terbesar ketiga yang mempekerjakan anak. Padahal sesuai Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang berbunyi : “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara”. Dari undang-undang tersebut seharusnya banyak orang bisa berkaca dan menuntut orang tua mereka dijerat hukum dan dipidanakan. Tapi apa daya negeri ini terlalu sibuk dengan statusisasi dan konspirasi kemakmuran  sehingga mereka tidak mempedulikan anak-anak yang seharusnya menikmati pendidikan dan masa kecil mereka yang indah tapi malah jadi suram karena harus beralih profesi menjadi seniman jalanan. 
Apa kontribusi kita untuk mereka ? Memberi mereka uang saat mereka mengemis ? Atau malah memarahi mereka karena mereka mengganggu kita ? Itu tak penting, memberi atau tidak memberi mereka tetaplah menjadi seniman jalanan karena nasib mereka bukan tergantung dari pendapatan mereka perhari, tapi dari orang tua yang mempekerjakan mereka.
Akhir kata obrolan saya dengan teman saya, beliau berkata : ”Kenapa mereka para koruptor seperti Ustadz Lutfhi Hasan, Ustadz Fatanah, Ustadz Anas Urbaningrum, Ustadz Andi Mallarangeng tidak menikahi Ibu anak-anak jalanan untuk sedikit menghapus dosa mereka setelah korupsi, daripada harus menikahi Darin Mumtazah dan “Mengorder Cinta” ke Vitalia Seisya, Dasar Pecinta Pantat”.

Perilaku Seks Bebas dan Liar Anak Jalanan

“Mosok cuma dua ribu ? Tambahin to mas ?“ Suara anak perempuan itu terdengar merajuk. “Aku cuma punyanya segitu. Besok kalau aku punya uang banyak nanti kamu kukasih banyak juga”. Kali ini yang terdengar suara anak laki-laki sekitaran remaja. “Yo wislah, tapi aku dijajakne ya mas”. Anak perempuan itu kembali tertawa renyah mengisyaratkan kalau dia percaya remaja itu akan memberi apa yang dia mau. “Iyo…kamu kukasih makan habis ini..Ayo cepet!“. Sekilas percakapan seorang anak perempuan jalanan dan anak laki-laki remaja.
  
Apa yang ada dalam benakku mendengar obrolan mereka ? Pasti si anak perempuan itu lapar dan minta makan sama kakaknya atau temannya yang usianya lebih tua darinya. Benarkah ? Upss….salah. Ternyata pikiranku terlalu polos untuk bisa menangkap maksud obrolan mereka. Apalagi setelah itu kudengar ada suara-suara yang sedikit “aneh” keluar dari mulut dua anak tadi. Seperti mengerang perlahan tapi bukan kesakitan. Diantara erangannya yang sangat pelan nyaris tak terdengar, bisa tertangkap setitik kenikmatan. Aku memang tidak bisa melihat wajah mereka karena terhalang semak-semak. Tapi suara-suara “aneh” tadi akhirnya membuatku ambil langkah seribu. Berlari menjauh. Kenapa aku harus lari ya, harusnya kan “menggusah” atau menasihati mereka. Tapi ini memang tindakan lari spontan. Ada rasa tidak tega melihat anak-anak main “begituan”. Dan malu hati juga memergoki mereka sedang bersex outdoor.
Sejatinya ini bukan hal yang aneh bagi kehidupan para anak jalanan yang berkeliaran di kota-kota besar. Profesi mereka yang beragam dari pengamen, pengemis, pedagang asongan atau mungkin “ciblek” (cilikan betah melek) alias cabe-cabean alias pelacur cilik menyatu dalam denyut kehidupan kota besar. Mereka datang ada yang mengikuti orang tua, tetapi tak jarang juga anak-anak itu lari dari rumah orang tuanya karena ikut-ikutan teman. Rata-rata mereka datang dari daerah terdekat meskipun tak menampik ada yang datang dari daerah yang jauh.
Keinginan mereka dahulu saat menjejakkan kaki ke kota besar tentu saja bisa mencari nafkah yang lebih baik dari tempat tinggal mereka dahulu. Atau membantu orang tua mereka mencari nafkah. Tapi apa daya mereka tidak sanggup menaklukkan gemerlapnya kota besar. Rendahnya pendidikan yang mereka punyai tidak memungkinkan bersaing dengan mereka yang berpendidikan tinggi dalam mencari pekerjaan atau bahkan status yang meningkatkan derajat kehidupan. Jadilah mereka terdampar seperti sekarang ini. Menambah beban masalah sosial di perkotaan.
Beragam profesi yang mereka jalani di jalanan demi menyambung hidup tidak menutup kemungkinan akan terjadi berbagai macam tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan seksual. Kekerasan apapun itu bentuknya sudah menjadi makanan sehari-hari. Mulai diusir dari tempat mereka berteduh, diserang kelompok lain atau dihajar preman saat dipalak tidak mau memberikan apa-apa.
Problematika anak jalanan khususnya perempuan malah lebih kompleks. Tidak hanya tekanan psikologis yang mereka terima seperti ejekan, caci maki, tetapi juga perlakuan tak wajar. Mereka kerap dituding sebagai anak liar atau pelacur yang menempatkan posisi anak jalanan perempuan pada posisi paling lemah. Maksud hati untuk mencari penghasilan demi kehidupan yang lebih baik malah dinodai oleh segelintir manusia bejat yang setiap saat mengintai.
Bayangkan saja hanya mendapat duit 2000 rupiah sebagai imbalan mereka harus menjadi pemuas nafsu bejat remaja atau mungkin juga laki-laki dewasa. Kadang anak jalanan perempuan itu cukup dikasih nasi kucing dengan lauk seadanya sebagai imbalannya. Bukan maksudnya mereka harus mendapat imbalan yang lebih besar lagi. Tetapi kekerasan seksual yang mereka terima bisa berakibat fatal.
Dari seringnya harus melayani hasrat para remaja atau lelaki bejat itu tak sedikit dari anak-anak perempuan itu yang beralih profesi menjadi pelacur cilik. Sebut saja T, anak perempuan jalanan yang beralih profesi menjadi pelacur karena sudah letih mengamen dan mengharapkan bantuan dari sesama anak jalanan. Dia butuh makan, butuh hidup, malu kalau harus menjadi parasit. Dari coba-coba sesama anak jalanan akhirnya kalau ada yang menginginkan tubuhnya dibayar berapapun dia mau.
Atau R, anak lelaki jalanan yang “pipis” saja belum lempeng harus memenuhi hasrat lelaki yang lebih tua darinya sehingga diapun harus ikut menanggung “kenikmatan” yang selalu nagih. Padahal anak seusia dia harusnya berkutat dengan buku bukan mikir siapa yang akan “mengajaknya” karena kebutuhan yang satu itu selalu nagih. Ini pun tak lebih juga cuma 2000 rupiah. “Hasrat dini” lah yang mengakibatkan anak-anak jalanan itu dewasa sebelum waktunya karena memikirkan hal-hal yang belum waktunya. Sungguh rugi nasib masa depan anak-anak itu.
Anak-anak itu memang tidak menyadari bahaya yang setiap saat mengintai. Baik laki-laki atau perempuan mempunyai posisi kelemahan yang sama dalam hal ini. Mereka menjadi korban kebejatan para lelaki yang lebih tua dari usia mereka. Awalnya si perempuan cilik ini mulai digoda, dicolek, diraba, dicium. Dan para perempuan cilik itu pasti suka-suka saja menerima perlakuan yang “menyenangkan” karena mereka akan diiming-imingi duit 2000 atau 3000 rupiah. Lumayan buat makan siang. Jika sudah masuk perangkap maka mulailah mereka harus memelorotkan celananya untuk berhubungan seks karena duit yang dikasihpun tambah besar sekitar 5000 rupiah. Lumayan pikir mereka bisa untuk makan siang dan malam tanpa harus merepotkan orang tua atau memotong uang hasil mengemis atau mengamen.
Dengan catatan, ini berlaku untuk anak-anak yang penurut. Bagaimana jika mereka berontak karena merasa kesakitan atau dipaksa melakukan hubungan seksual yang menyimpang, seperti anal dan oral seks ? Manusia-manusia bejat itu tak segan-segan mengurung atau memperkosa mereka. Hal ini sering menimpa anak jalanan perempuan yang tidur di tempat-tempat sembarangan.
Ironisnya perlakuan kekerasan seks terhadap anak jalanan perempuan tidak hanya dilakukan oleh sesama anak jalanan, tetapi kerapkali juga dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarganya. Hal ini bisa dimungkinkan bila anak-anak itu tinggal di rumah petak tanpa sekat yang dihuni oleh anggota keluarga laki-laki dan perempuan berbaur tanpa ada pemisahan saat mereka tidur. Perlakuan seks juga kadang mereka dapatkan dari kondektur bus, satpam, masyarakat umum hingga polisi. Menghadapi berbagai macam bentuk perlakuan ini tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali hanya diam dan menerimanya.
Mereka adalah anak-anak yang berpotensi terkena virus HIV sehingga mengakibatkan rentan pula terhadap penyakit AIDS. Apakah mereka mengenal kondom ? Tentu tidak. Bahkan membayangkan pun tidak pernah untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks. Mereka tidak termasuk target pembagian kondom pada Pekan Kondom Nasional, meskipun resiko yang diterima juga tinggi sama seperti para PSK. Tanpa kondompun seks bebas tetap merajalela di antara mereka. Mereka juga tidak menyadarai bahwa multiple partner, berganti-ganti pasangan juga akan mempercepat penyakit ini berjangkit.

Menurut hasil riset 74,2 persen hubungan seksual anak-anak jalanan dilakukan dengan multiple partner, berganti pasangan. Potensi resiko yang cukup tinggi terhadap penularan penyakit HIV/AIDS. Meski sampai saat ini belum ditemukan anak jalanan yang terinfeksi HIV/AIDS tapi sudah selayaknya bila kita juga ikut memikirkan mereka agar terhindar dari penyakit yang belum ditemukan obatnya sampai kini. Yang menjadi pertanyaan bagaimana peran pemerintah yang lebih berkompeten dalam mengurusi anak-anak jalanan ini ? Apakah harus menunggu penyakit ini menjangkiti anak-anak yang menjadi cikal bakal anak bangsa dan negara ?.

Rabu, 29 Januari 2014

Kemiskinan, Perbudakan & Korupsi

Ketiga frase kata tersebut diatas terjalin saling terkait, berujung pangkal dan berada dalam logika sebab-akibat yang berkorelasi.
Lalu apa musabab yang mendahului ? Jelas bahwa ketamakan dalam kerakusan nafsu duniawi membawa kita pada pemberhalaan harta fisik.
Hal tersebut bermuara pada kecenderungan korupsi, memanfaatkan posisi dan jabatan serta penyelewengan sekaligus penyalahgunaan wewenang kuasa.
Bila demikian, terjadi akumulasi kekayaan pada satu simpul individu, memecah distribusi serta pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat meluas.
Alhasil yang tercipta adalah kemiskinan struktural, dimana kasus publik termarjinalkan dalam pembangunan yang berorientasi pemenuhan tampilan sebatas etalase.
Sementara itu, kekayaan terkonsentrasi pada segelintir pihak pemegang kuasa yang kemudian memperjual-belikan domain kekuasaan tersebut.
Kemiskinan terjadi secara turun menurun sebagai sebuah hal abadi, terutama bagi mereka yang secara akses demografi terpencil, terluar dan tertinggal.
Bila demikian, kasus perdagangan manusia dan perbudakan modern menjadi mengemuka. Perbaikan mentalitas pejabat perlu dibenahi.
Infrastruktur dan sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan perlu mendapatkan fokus prioritas dalam konsepsi pembangunan mendatang.
Ditambah lagi dengan peran pemberdayaan masyarakat untuk dapat mengembangkan potensi diri sesuai dengan kondisi aktual lingkungan disekitarnya.
Sehingga dengan demikian: Kemiskinan, Perbudakan dan Korupsi sebagai Segitiga Kejahatan dapat diputuskan serta dituntaskan.

Semoga saja kita masih bisa berharap aparatur hukum dalam hal ini dapat berbuat banyak dalam menegakkan timbangan keadilan mencegah kemudharatan korupsi dan berbagai efek turunan buruk lainnya.

Selasa, 28 Januari 2014

(Sesungguhnya) Kemiskinan adalah Keindahan

Apa bedanya kemisikinan dan keindahan ? Kemiskinan ialah bentuk keadaan yang dalam pandangan umum bisa dikategorikan kondisi serba kekurangan, khususnya pada kaitan ekonomi, kadangkala mengakibatkan lahirnya tekanan mental. Sedangkan keindahan adalah corak dan tampak yang menunjukan sebuah ekspresi wujud yang enak dilihat, didengar, dan dirasa. Lantas apakah kemiskinan bisa dikatakan hal yang indah ? Pasti semua orang akan mengatakan, bahwa kemiskinan adalah kesengsaran. Namun, kenapa dalam hal ini kemiskinan disebut sebagai keindahan ? pasti kalian akan bertanya demikian.
Kemiskinan tidak jauh beda dengan Kaya, mereka berdua sama-sama makhluk Tuhan yang menjelma ke dalam identitas wujud manusia, yaitu ada si kaya dan ada si miskin. Tapi kadangkala si kaya lebih berkuasa daripada si miskin, dikarenakan mereka lebih mempunyai banyak modal, kerja mereka lebih santai, sedangkan si miskin seakan-akan menjadi budak mereka. Nah, bagaimana menjadi orang miskin yang bersahaja ? orang miskin yang sukses agar tidak dianggap sebagai budak ? Kemiskinan memang keburukan, tetapi tidak bisa dipungkiri kemiskinan bisa menjadi sosok yang indah. Akan tetapi jika kita hanya berdiam diri pada posisi miskin, maka keterjeratan kita pada lingkaran kemiskinan berubah bentuknya menjadi kebodohan. Analoginya gini, Tuhan menciptakan batu dengan bentuk yang jelek dan buruk, mungkin batu tidak bisa mempunyai nilai jual tinggi kalau semisal batu hanya masih berbentuk seperti “batu kali”, Tuhan bisa saja menciptakan batu langsung pada bentuk yang indah, sehingga satu batu bisa mempunyai nila jual tinggi ketika manusia menjualnya. Namun Tuhan tidak mau seperti itu, karena percuma saja Tuhan telah memfasilitasi akal kepada manusia kalau tidak difungsikan. Sekarang ini banyak batu yang harganya sangat mahal, itu dikarenakan ada manusia yang sadar akan kepemilikan akalnya, sehingga manusia mampu mengukir batu menjadi patung-patung yang indah, dan akhirnya mempunyai nilai jual tinggi. Batu telah merubah fungsinya menjadi bermanfaat ketika ditangan manusia yang mampu mengeluarkan kekuatan-kekuatan dalam dirinya. Nah, dalam hal ini penulis ibaratkan “batu” itu layaknya “kemiskinan” yang jika didiamkan selalu menjadi bentuk yang buruk, dan tidak menarik. Tetapi ketika kemiskinan jatuh pada tangan kreatif pasti dia mampu mengukir kemiskinan menjadi sesuatu hal yang indah, ia bisa keluar dari kemiskinan itu, walaupun tidak sepenuhnya—setidaknya ia mau mencoba mengukir semua bentuk kemiskinan berubah bentuk lebih bersahaja. Namun, penulis yakin ketika kemiskinan terus diukir pada bentuknya yang indah, maka kemiskinan benar-benar menjelma menjadi keindahan. Tidak begitu susah mengeluarkan diri kita dari jerat kemiskinan, yang paling susah adalah mempertahankan bentuk kemiskinan yang telah menjadi indah. Akan tetapi, itu bagian dari tuntutan Tuhan kepada manusia untuk terus menjaga stabilitas fungsi kekuatan dirinya, agar mampu dipancarkan pada keseimbangan hidup.
Bahkan dapat ditegaskan di sini bahwa intelektualitas dan ilmu pengetahuan objektif dalam sejarah sebenarnya adalah warisan dari semangat orang miskin. Hanya dalam kondisi kontradiksi yang secara material dialami oleh rakyat miskin yang kesulitan menghadapi tekanan, sehingga hiduplah kesadaran akan kontradiksi yang muncul, hal ini mengarah pada aktivitas mempertanyakan segala sesuatu menjadi sebab-sebab permasalahan yang dihadapi. Ideologi kemiskinan adalah ideologi membongkar sebab-sebab kemiskinan; sedangkan ideologi kekuasaan adalah ideologi yang mengarah pada upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Hal itu sebenarnya adalah landasan moral, kenapa sastrawan harus berpihak karena dengan berpihak pada orang miskin berarti mereka membongkar dunia ini. Apalagi posisi sosial dan ekonomi kekayaan juga tidak lepas dari hubungan produksi yang dalam tatanan kontradiktif selalu dicirikan dengan hubungan antara kelas tertindas dan kelas penindas. Kelas penindas akan selalu menjaga agar tatanannya (yang menindas dan menghisap kerja-kerja rakyat miskin) stabil. Maka segala upaya untuk memproduksi aparat material dan ideologis juga diarahkan untuk membuat tatanan itu langgeng. Sedangkan rakyat miskin juga membutuhkan keadilan dan dalam epos tertentu juga berjuang melawan penindasan yang dilakukan terhadapnya. Sehingga ketika perlawan melalui ukiran kemiskinan itu bergerak, bersatu padu menjadi satu kesatuan, semua akan berubah bentuk menjadi “miskin yang kaya nan indah”.
Namun masih banyak orang yang kebingungan untuk mengukir kemiskinan menjadi lebih indah ? mereka bilang, kami sudah berusaha, tapi tetap saja posisi kami sebagai orang miskin masih melekat. Ya memang untuk melakukan revolusi diri itu “susah-susah gampang”, perlu kecakapan khusus untuk melatih semuanya. Banyak kisah orang-orang miskin di daerah, awal mulanya dia hanya sebagai supir, sebagai kuli panggul, dan sebagainya, mereka bisa keluar dari itu semua, merubah identitasnya menjadi orang yang kaya. Yang jadi pertanyaan, mengapa mereka bisa merubah nasib mereka menjadi kaya ? Orang miskin yang menjadi buruh pada mulanya hanya sebagai pengikut orang-orang kaya, pasti mereka menggunakan otak dan pikirannya secara jeli, terus mengamati bagaimana cara orang kaya membangun usahanya sehingga bisa besar, bagaimana cara si kaya itu mempertahankannya, dan bagaimana ia mempolses semuanya menjadi indah pada saat mengukir kemiskinan di awal karirnya. Nah, dengan itu semua akhirnya ia tahu rumus-rumus apa, dan cara seperti apa yang harus kita buat untuk mengukir kemiskinan menjadi indah. Kalau semisal kita hanya bermodalkan nekad asal jadi (asal ukir), tanpa kualitas, insting, strategi, dan tanpa kemauan yang tinggi, maka secara otomatis ukiran kemiskinan itu bukan malah menjadi indah, tetapi malah tambah buruk. Kita tidak usah putus asa, setiap manusia sudah ada kapling-kapling bakat, dan potensi masing-masing, tinggal kita mau mengembangkannya atau tidak. Karena paham penulis, nasib bagi si kaya dan si miskin, tentu saja belum ditetapkan secara mutlak semenjak manusia lahir, karena takdir perkembangan hidup hanya ditangan usaha manusia melalui dorongan pentujuk Tuhan, terkecuali takdir hidup dan mati itu Tuhan lah yang menghandel.
Dalam pada itu, memang banyak yang bertanya mengenai takdir si miskin dan si kaya, katanya; benarkah takdir menjadi miskin dan kaya sudah tercatat di lauhul mahfuzh ? apakah itu bisa dirombak ulang, dengan kata lain diinstal ulang agar takdir si miskin dan si kaya bisa berubah ? Mungkin bukan hanya penulis yang sering mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang bernada garang seperti itu khususnya hubungan antara kesuksesan dan nasib. Seperti; apakah kesusksesan memang dimiliki oleh mereka yang mempunyai nasib baik sebagai orang sukses (anak raja, anak presiden, anak pengusaha, dan anak-anak konglomerat lainnya) ? atau malah mungkin takdir dan nasib antara yang berkuasa tidak berkuasa sudah mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat lagi ? Masalah ini bukan hanya melekat di kita, tapi dikeseluruhan manusia, kalau semisal manusia ditanya, apakah ia mau menjadi orang miskin ? pasti semua serempak mengatakan, “TIDAK”. Dengan demikian, berarti kita semua terlibat dalam kasus ini, tetapi di situlah ukuran Tuhan menguji kesetian manusia kepadaNya—melalui jalan usaha dan takdir yang akan terjadi. Sehingga tidak begitu mudah kita memberikan kecaman khusus kepada Tuhan, sebagai Maha Semaunya sendiri, yang telah menetapkan takdir sebelum kita dilahirkan di muka bumi ini. Pada dasarnya, kesuksesan atau tidak suksesnya seseorang itu dibentuk melalui jalan pikirannya sendiri, identitas yang nangkring dalam kedirian kita menjadi panutan khusus sebagai jembatan awal manusia menentukan sikap, apakah ingin menjadi manusia yang sukses atau tidak. Karena semuanya pun akan berubah ketika manusia mau merubahnya, kitab lauhul mafuzh hanya berisikan kemungkinan-kemungkinan peristiwa yang akan terjadi di dunia, bukan menetapkan secara absolut takdir manusia. Apalagi mengukur jangka-pendek kesuksesan dan kemiskinan seseorang. Keragua-raguan manusia dalam melangkah dan mengambil sikap, sesungguhnya malah akan melahirkan kecemasan-kecemasan baru bagi manusia itu sendiri, sehingga manusia tidak berani untuk melangkah lebih jauh. Sejatinya, rasa syukur kita kepada Tuhan yang dapat mendesain diri kita menjadi sosok yang kreatif, tentunya disongsong dengan rasa sabar, ikhlas, dan tawakal. Karena orang yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan, sama saja ia adalah rakus (egosentris) (baca: QS. Ibrahim: 7). Dan tak bisa dipungkiri juga, alur perjalanan kita nanti selalu didampingin oleh orang-orang lain di sekitar kita, yang selalu membantu kita untuk terus bangkit dalam mengukir kemiskinan. Yang disesalkan kadangkala orang akan bahagia, ketika melihat orang disekitarnya lebih menderita, bahkan itu merupakan hiburan yang sangat menyenangkan. Sesungguhnya, disetiap apa yang kita dapat, sebagian adalah milik orang lain (baca: QS. Al-Munafiqun: 9, dan QS. Al-Baqarah: 195).
Dengan demikian, kemiskinan adalah perangkat dasar manusia untuk bangkit menjadi manusia yang sempurna. Dilihat dari bobot timbang orang yang terlahir miskin lalu kaya, dan orang yang sudah terlahir kaya, yaitu orang miskin ketika sudah menjelma menjadi kaya, ia lebih bisa menjadi dan mempunyai kesadaran tinggi tentang perjalanan hidupnya, dan ia akan lebih menghormati hartanya. Sedangkan orang yang sudah dilahirkan menjadi orang kaya, kemungkinan besar—ia tidak cukup bisa mengormati apa yang telah ia miliki (baca. QS. At-Takatsur: 1-8). Beranjak dari itu, kita berkaca untuk kembali ke ideologi kemiskinan, ialah mempunyai guna membongkar-bongkar sendi-sendi kemiskinan, membaca strategi miskin untuk diukir menjadi indah, dan itu semua dilalui pada taraf keberlajutan. Adanya penekanan yang meningkat membuat manusia dipaksa untuk berpikir dan akhirnya membuat sebuah gagasan, yang mempunyai guna untuk mengukir kemiskinan menjadi indah, di situlah manusia akan masuk ke dalam input, lalu berlajut ke dalam proses pengukiran. Siapa saja yang berhati-hati dalam artian jeli, maka akan melahirkan output ukiran yang sempurna, karena setiap perjalanan (proses) pasti dipenuhi dengan pelajaran. Tetapi kalau semisal kita tidak teliti dalam mengamati setiap langkah proses, maka keati-atian kita semakin berkurang, dan itu berdampak pada kemiskinan yang semakin akut. Dalam hal ini penulis ingin memaparkan kisah sukses seorang miskin bernama Fauzi Saleh mantan Petugas Keamanan, yang banyak beredar di situs-situs internet.
Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya. Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota. Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.
Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada diatas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.
Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. “Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya. Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu. “Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.” Katanya. Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman,sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan. Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil. Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2. Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.
Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan. Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini. “Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi. “Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalau kita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Kata Fauzi. Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri. “Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial.” Katanya.
Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial. “Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Fauzi. ” Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia”.

Melihat kesuksesan Fauzi yang sangat istimewa itu, kalau kita lihat dari perjalanan sejarahnya, sosok Fauzi memang sangat pantas untuk menjadi orang yang sukses. Karena ia mampu mengukir kemiskinanannya dengan sangat indah dan rapi. Itu semua diawali dari ketekunan dan keyakinannya. Sebab dalam pikirannya tidak ada yang tidak mampu dilakukan oleh manusia, kalau memang manusia menginginkannya. Sikap pasrah dan rasa syukur menjadi alat ukirnya yang matang untuk terus berjibaku melawan kediriannya. Mungkin kisah Fauzi ini mampu memotivasi kita dalam mengukir kemiskinan, sosok yang santun dan dermawan itu pantas dijadikan sebagai cerminan hidup. Karena siapapun orangnya pasti dia akan mampu menanggulangi segala kondisi yang ada, asalkan kita mau, dan terus berusaha membuat kemiskinan pun akan menjadi indah. Intinya, takdir nasib dan sukses kita memang ditangan kita sendiri, bukan ditangan Tuhan, Tuhan hanya mengawal proses kemajuan kita, saat kita mengukir kemiskinan menjadi indah (QS. Ara’ad: 11).

Kemiskinan, Pemiskinan, dan Demokratisasi

Istilah kemiskinan tentu sudah tidak asing lagi, tetapi jawaban atas pertanyaan apa itu kemiskinan masih multi-interpretable. Secara sangat sederhana, Levitan mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sementara itu, Bappenas merumuskan kemiskinan ini sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh si miskin, serta tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Hal ini tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya pendapatan dan terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
Uraian tersebut secara simpikatif memperlihatkan dua cara pandang dalam menyoroti fenomena kemiskinan. Pandangan pertama melihat kemiskinan sebagai suatu proses, sedangkan pandangan kedua melihat kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil. Pandangan ini melahirkan konsep tentang kemiskinan relatif yang sering dikenal dengan sebutan kemiskinan struktural. Sebaliknya, pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut.
Walaupun secara sepintas ada perbedaan pandangan tentang definisi kemiskinan, tetapi jika dikaji hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika di dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan menerima bagian kekayaan terkecil. Kerena itu golongan yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam masyarakat tersebut. 
Karena itu, saat ini konsep kemiskinan yang digunakan tidak hanya menghitung kemiskinan absolut saja, melainkan juga memperhitungkan kemiskinan relatif. Fokus kemiskinan relatif lebih menyoroti pada proses pemiskinan dan sebab-sebab kemiskinan. Dari perspektif ini kemiskinan dipahami sebagai perampasan kapabilitas dan akses. Posisi yang diambil dengan sudut pandang kemiskinan struktural mencakup lima dimensi pokok, yaitu: pola hubungan kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya, dan dimensi lingkungan fisik.
Dalam hubungan itu, temuan lapangan yang dilaporkan Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menunjukkan bahwa justru fakta akan proses pemiskinan dan kemiskinan struktural adalah hal yang paling mendominasi realitas persoalan yang sebenarnya. Sayangnya, menurut HS. Dillon, orientasi pembangunan di Indonesia masih terlalu “economic minded” sehingga penanganan terhadap kemiskinan (poverty alleviation strategy) bersifat parsial. Kesemuanya adalah konsekuensi dari pilihan orientasi pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi sehingga pembangunan hanya digerakkan oleh dan bagi para pemilik modal bercorak kapitalistik, sementara peran rakyat sekadar menjadi penyokong pembangunan semata. Bahkan, dalam pandangan agrarian populist, seperti pernah diungkapkan sosiolog Loekman Soetrisno, justru negara-lah penyebab utama kemiskinan.
Harus disadari bahwa kemiskinan adalah masalah yang kronis dan kompleks. Karena itu, dalam menanggulangi kemiskinan, permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas hal-hal yang menyangkut pemahaman hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi, nilai, dan politik. Hadiwigeno dan Pakpahan mengingatkan bahwa kemiskinan selalu berada dalam konteks sosial, maka interdepensi antarindividu atau antargolongan masyarakat merupakan karakteristik intern. Karena itu pula untuk menanggulangi kemiskinan, tidak terbatas pada masalah peningkatan produktivitas, tetapi lebih penting lagi menyangkut permasalahan perubahan dalam entitlement. Baik terhadap sumber daya dalam arti fisik maupun dalam arti kesempatan untuk memperoleh share dari aliran manfaat. Kemiskinan juga merupakan akibat dari proses eksklusi dan peminggiran yang menyebabkan hilangnya partisipasi, keterpurukan, dan pada akhirnya menghilangkan akuntabilitas. Karena itu, kemiskinan tidak hanya merupakan akibat deprivasi kapabilitas, tapi juga karena masalah hubungan kekuasaan (power relationship) diantara masyarakat dan negara maupun antara masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
Namun demikian, kekonyolan yang sering kita lakukan adalah bersikap terlalu optimis terhadap trend pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya parameter yang absah untuk mengukur keberhasilan pengentasan kemiskinan. Benarlah dugaan Amartya Sen bahwa penyebab kegagalan kita dalam menangani kemiskinan selama ini seringkali disebabkan antara lain karena kegagalan kita dalam memahami kemiskinan itu sendiri. Kekeliruan dalam memahami masalah kemiskinan, bahkan, tidak saja akan mengakibatkan program penanggulangan kemiskinan kurang mendasar, tapi juga menjadi tidak tepat sasaran.
Dalam perspektif yang lebih makro, pemiskinan juga dapat dilihat sebagai grand design kaum kapitalis dan “mafia” neoliberal dimana negara-negara miskin menjadi objek utamanya. Aktivis debtWach, Arimbi Heroepoetri menduga bahwa proses pemiskinan global ini terjadi karena lemahnya regulasi yang dimiliki negara-negara miskin. Dengan begitu, mesin uang globalisasi yang terdiri dari kelompok Bank Dunia (IBRD, IFC, GIGA, ICSID), Kelompok TNCs/MNCs, dan lembaga multilateral lainnya dengan mudahnya menjebak negara-negara miskin melalui resep neoliberalisme yang manjur: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Dengan resep ini maka terjadilah monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungannya tentu saja hanya dinikmati para kapitalis, sementara rakyat miskin di berbagai belahan dunia terus-menerus menjadi sapi perahan.
Sidang Umum PBB direncanakan akan secara khusus membicarakan persoalan kemiskinan di penghujung September 2005. Agenda sidang ini juga akan mengevaluasi program Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah dicanangkan sejak tahun 2000. Inti dari MDGs adalah komitmen masyarakat dunia untuk melakukan upaya pengentasan kemiskinan secara bersama-sama. Target utama program ini adalah bahwa pada tahun 2015 dunia harus terbebas dari kemiskinan. Akankah misi ini tercapai di tengah iklim global yang kian carut-marut ini ?.
Kini dunia ibarat sebuah kampung! Masihkah negara berperan mengayomi rakyatnya ketika dominasi modal-global berhasil menancapkan kuku-kukunya ? Bersamaan dengan krisis keuangan di negara-negara “Dunia Ketiga”, paham neoliberalisme dengan sadar didesakkan menjadi kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti IMF, Word Bank, dan WTO. Pasar bebas kemudian diciptakan menjadi perangkap untuk menerkam negara-negara miskin dengan lilitan dan jebakan utang yang secara sengaja diciptakannya. Pasar bebas memang bukan sebuah konsep netral, tapi lebih merupakan wajah lain dari kapitalisme dimana globalisasi diideologisasi menjadi kredonya.
Elizabeth Martinez dan Arnold Garcia mencatat beberapa poin penting yang menjadi karakter utama neoliberalisme. Pertama, mekanisme pasar bebas dimana perusahaan-perusahaan swasta dibebaskan dari segenap keterikatan dan intervensi pemerintah. Mekanisme ini pada akhirnya akan menghilangkan kontrol negara terhadap mekanisme pasar sehingga harga sepenuhnya didasarkan atas kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa. Kedua, mereduksi pengeluaran negara, terutama anggaran publik dalam hal pelayanan sosial, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, jaringan pengaman sosial, subsidi BBM, dan lain-lain. Ketiga, melakukan deregulasi dengan menekan peraturan-peraturan pemerintah agar menguntungkan kalangan pengusaha. Keempat, privatisasi dalam bentuk penjualan aset-aset publik seperti BUMN kepada investor swasta. Termasuk aset-aset strategis seperti bank, listrik, jalan tol, rumah sakit, dan bahkan barang yang menjadi public goods seperti air minum. Kelima, sebagai konsekuensinya, rakyat kehilangan akses terhadap barang publik yang sesungguhnya merupakan hak-milik komunitas.
Dengan skema kebijakan seperti itu, aktivis ICRP Trisno S. Sutanto menilai arus globalisasi neo-liberal merupakan perluasan kekuasaan segelintir pemodal yang mau mencaplok seluruh pelosok dunia di bawah kendali mereka. “Fenomena globalisasi yang sangat kompleks itu merupakan penciptaan kampung global tetapi sekaligus juga penjarahan secara global,” ungkapnya. Menurut aktivis HAM Asmara Nababan, pengabdian negara pada kepentingan modal-global bahkan akan memicu kekerasan modal (capital violence) yang menindas rakyat dengan menjadikan ‘pembangunan’ sebagai kedoknya. Padahal, konsep pembangunan yang hanya bertopang pada pertumbuhan ekonomi harus segera direvisi. Pembangunan harus diorientasikan pada pemajuan manusia yang dilakukan untuk memastikan bahwa ia dapat hidup dalam standar minimum yang ditetapkan. Sejalan dengan ini, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, negara dapat memastikan bahwa setiap warganya dapat menikmati pemenuhan hak-hak asasinya –baik hak-hak sipil-politik maupun hak-hak ekonomi-sosial-budaya— demi peningkatan kualitas hidupnya.
Namun, ironisnya, pemerintah Indonesia yang ‘mengaku-aku’ sebagai pengikut paham welfare state justru terjerembab ke dalam lumpur ekonomi neoliberalisme yang amat dalam. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, merupakan contoh vulgar dimana skandal keuangan yang disarankan IMF itu telah merampas sejumput harapan dan mengusik rasa keadilan masyarakat serta mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya lebih layak diterima masyarakat kecil. Aktivis KIKIS, Andik Hardiyanto, menilai bahwa lemahnya posisi Indonesia terhadap IMF telah mendorong pemerintah untuk mempercepat proses liberalisasi perdagangan di sektor pertanian. Kebijakan liberalisasi sektor pertanian tampak antara lain pada pencabutan berbagai subsidi untuk petani yang berakibat pada lemahnya kinerja petani yang pada gilirannya juga mengakibatkan peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.
Senada dengan itu, aktivis BINA DESA, Syaiful Bahari, menilai fenomena tersebut sebagai bentuk kekonyolan pemerintah. Memang yang diharapkan kapitalisme global adalah berkurangnya peran negara, melemahkan peran negara agar mereka bisa menguasai perekonomian. Sementara negara hanya diperlukan keberadaannya sebatas menjadi backing pengusaha semata. Menurutnya, pemerintah tidak punya keberanian untuk memberikan proteksi terhadap kepentingan masyarakat. Padahal, salah satu tugas negara adalah melindungi rakyatnya dari intervensi asing. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya, semua diprivatisasi, semua diliberalisasi. “Kalau semua diprivatisasi, kalau semua diliberalisasi, buat apa ada negara ? buat apa ada pemerintah ? Kita bubarin saja negara!,” tukasnya.
Kerisauan Syaiful Bahari patut dimengerti karena terbukti banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa pemerintah lebih peduli pada kepentingan pemodal dari pada kepentingan rakyat. Kasus Buyat, misalnya, merupakan contoh nyata dimana kepentingan rakyat dikorbankan atas nama investasi dan kalkulasi ekonomi. Direktur SERAT Manado, Reiner Ointoe menilai bahwa PT Newmont Minahasa telah melakukan kontrak karya yang sama sekali tidak memihak rakyat. Kontraknya dibuat dengan Pemerintah Pusat dengan landasan UU Pertambangan yang sangat sentralistik. Masyarakat lokal tidak ikut dilibatkan dalam kontrak karya itu. Rakyat hanya ditipu dan menjadi korban penambangan yang mencemarkan lingkungan hidup itu.
Menurutnya, memang ada semacam corporate social responsibility yang dilakukan PT Newmont, seperti pembangunan puskesmas, tapi itu kecil sekali dan tidak sebanding dengan sejumlah kerugian yang diderita rakyat atas rusaknya lingkungan akibat ‘penambangan berkelanjutan’ itu. Bahkan, selain kerugian lingkungan, PT Newmont juga telah memancing terjadinya konflik horisontal diantara masyarakat. Kerugian sosial-kultural ini muncul karena PT Newmont telah menciptakan “kelas masyarakat” dengan memanjakan sebagian kecil masyarakat untuk ‘diadu-domba’ dengan sebagian masyarakat lainnya yang menentang kehadiran PT Newmont.
Sayangnya, kalangan LSM cuma mengadvokasi persoalan di ujungnya saja. Mereka cenderung hanya mengadvokasi persoalan kesehatan dengan munculnya penyakit Minamata, padahal persoalannya jauh lebih besar dari itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah perlu adanya gugatan soal kontrak karya dan gugatan atas kerugian lain yang diderita masyarakat akibat beroperasinya PT Newmont. Namun yang terjadi justru makin pelik karena sebagian masyarakat, LSM, wartawan, dan kalangan kampus pun sudah banyak yang bisa “dibeli” untuk mendukung PT Newmont. “Ujung-ujungnya, masyarakat kecil juga yang dirugikan karena mereka menjadi korban dari segala pertikaian yang terjadi,” ujar Reiner menambahkan.
Hal serupa terjadi dalam kasus privatisasi air. Dalam laporannya mengenai Kerangka Kebijakan Sektor Air Perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework) Word Bank telah merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) diswastanisasi. Ide awalnya memang untuk efisiensi, tapi kenyataannya justru air semakin mahal dan akses masyarakat terhadap air juga makin sulit. Padahal, hak terhadap air yang setara merupakan bagian dari hak asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 secara tegas telah menjamin hak dasar tersebut.  Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Ini mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Aktivis WALHI, Edang Ridha Saleh menilai bahwa hingga kini, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.  Agenda privatisasi ini didorong oleh lembaga keuangan dunia (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumberdaya Air yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program Water Restructuring Adjustment Loan (WATSAL) dari World Bank. “Ini sebenarnya merupakan model kolonialisme baru yang perlu kita lawan,” ujarnya.
Senada dengan itu, aktivis Masyarakat Bantuan Hukum (MBH) Surabaya, Herlambang Perdana, menilai persoalan privatisasi air sarat dengan kepentingan para kapitalis global. Menurutnya, bisnis air yang sering disebut sebagai blue gold itu telah menjadi incaran perusahaan multinasional (multinational corporate). Karena itu ia heran, kenapa para wakil rakyat di DPR pada tanggal 19 Februari 2004 yang lalu begitu mudahnya mengesahkan UU Sumberdaya Air yang jelas-jelas merugikan rakyat. “Padahal, dalam proses pembuatan perundangan, DPR harus lebih utama mengakomodasi harapan publik. Tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. DPR malah main-mata sama pemilik modal untuk menggolkan peraturan perundangan,” ujarnya. Lebih tragis lagi, di tengah berbagai keprihatinan yang melanda bangsa ini, para wakil rakyat malah “asyik-masyuk” dengan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Mereka tidak malu-malu meminta kenaikan gaji, sementara rakyat didera busung lapar dan kerawanan pangan.
Dari tujuh aspek keterwakilan yang menjadi parameter kualitas H/I demokrasi itu, hanya pada aspek kedua saja yang kualitasnya baik. Sementara keenam aspek keterwakilan lainnya menunjukkan kualitas yang amat buruk. Demikian pula perkembangannya setelah tahun 1999 secara umum menunjukkan bahwa kualitas keterwakilan cenderung memburuk atau sama saja dari perkembangan sebelumnya. Karena itu, masalah keterwakilan bukan hanya tidak memadai tetapi juga benar-benar terterlantarkan.
Persoalan keterwakilan tidak saja menjadi masalah pada level legislatif, namun juga pada ranah eksekutif. Direktur Walhi, Longgena Ginting menilai bahwa sistem politik nasional di Indonesia sudah terlanjur mengarah ke pseudo representatifness atau keterwakilan semu. Ini merupakan model keterwakilan yang seringkali disalahgunakan secara salah-kaprah oleh pemerintah. Contohnya, jika suatu proyek sudah mendapat restu atau izin dari Bupati, Gubernur, atau Presiden, misalnya, maka otomatis itu sudah dianggap disetujui rakyat. Padahal, jangankan Gubernur atau Bupati, Camat atau Kepala Desa sekalipun belum tentu mewakili rakyat. Praktek representatifness yang salah-kaprah ini banyak terjadi sekarang, terutama di daerah-daerah dimana pemberian izin pengelolaan sumberdaya alam, seperti konsesi pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diobral Pemda untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Model representasi yang dikembangkan pemerintah seperti ini jelas-jelas memperalat sekaligus memelaratkan rakyat.
Seperti halnya Parpol dan lembaga legislatif, lembaga eksekutif juga memiliki kualitas yang buruk dalam hal keterwakilan. Demikian pula dalam hal good corporate governance dan business regulation in public kita memperlihatkan angka yang amat buruk. Selain itu, kebebasan pemerintah dari campur tangan pihak asing pun kondisinya setali tiga uang. Kinerja pemerintah, bahkan diperparah lagi dengan ketidakberdayaannya melawan praktek-praktek korupsi, mafia, dan bentuk-bentuk premanisme yang secara inhern menjelma dalam koalisi abadi pengusaha-penguasa untuk menyingkirkan rakyat sebagai kaum pinggiran. 
Daftar keprihatinan rakyat itu tentu dapat diperpanjang lagi dengan sejumlah kasus yang tak kalah getir dan menyedihkan. Evaluasi kinerja pembangunan yang dilakukan JARI Indonesia, misalnya, menunjukkan dengan jelas betapa negara telah gagal dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat. Bahwa dominasi modal dengan ideologi pasar bebas dan ditopang ‘jampi-jampi’ globalisasi telah dengan sempurna merenggut kedaulatan rakyat. Sementara negara sebagai lembaga yang semestinya mengayomi dan melindungi segenap kepentingan warganya malah tak segan-segan menjadi mucikari yang menjajakan anaknya sendiri.
Harian Kompas dalam rubrik Fokus membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini. Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu!. Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan, dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah.
Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Strategi pembangunan yang ‘konservatif’ tersebut juga berimplikasi pada pilihan strategi penanganan kemiskinan yang konservatif pula. Meskipun Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) telah ‘berhasil’ merumuskan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPKN), namun dalam tataran implementasinya tidak cukup signifikan menangani persoalan. Ini antara lain karena tidak sinkronya titik pandang dan dasar pijak yang dipakai. Pendekatan pertumbuhan dalam pengurangan kemiskinan, misalnya, masih begitu diandalkan pemerintah. Padahal, penyebab utama kemiskinan bukan karena kurangnya pendapatan, tetapi yang terutama karena pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia serta ketidak-mampuan negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak demokratis warganya.
Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi (1998) ini secara progresif mencoba mengangkat isu demokrasi sebagai konsep yang solutif dalam memahami masalah kemiskinan. Ekonom asal India ini berpendapat bahwa kekurangan secara ekonomis bukanlah satu-satunya jenis kemiskinan yang merapuhkan kehidupan manusia, karena kehidupan manusia dimiskinkan dalam berbagai cara yang berbeda. Menurut Sen, ukuran kemiskinan senantiasa jauh melewati batas-batas dimensi ekonomi, karena dalam kemiskinan ekonomi selalu melekat secara inheren kemiskinan secara total; miskin pendidikan, kesehatan, bahkan miskin secara politik. Sen mengkritik para ekonom yang melihat gelombang krisis yang menghantam negara-negara Asia belakangan ini dilihat semata karena sebuah kegagalan dalam mengantisipasi karakter arus modal, yang ternyata terkait dengan sistem ekonomi dan politik. Menurutnya, krisis ekonomi di Asia, termasuk di Indonesia, muncul dan berkembang karena negara-negara tersebut telah mengabaikan demokrasi. Sen, bahkan, sampai pada suatu kesimpulan bahwa ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua bentuk kemiskinan.
Dalam konteks Indonesia, Sen memberikan analisisnya bahwa krisis yang terjadi sangat terkait dengan terabaikannya keterbukaan dan demokrasi. Selama ini, Indonesia dianggap telah gagal membangun “keamanan perlindungan demokrasi” maupun “jaminan keterbukaan” yang merupakan dua bentuk kebebasan sebagai sarana utama pembangunan. Ketiadaan keamanan perlindungan demokrasi telah membuat rakyat sebagai korban krisis ekonomi tidak memiliki sarana untuk menyalurkan suara dalam proses pengambilan keputusan (voiceless). Padahal, partisipasi publik merupakan salah satu pilar penting yang dapat mendorong terciptanya good governance. Sherry Arnstein menyebutkan bahwa kontrol warga (citizen control) merupakan tingkat tertinggi partisipasi publik dimana rakyat memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Karena itu, proses demokratisasi merupakan agenda strategis yang harus diperjuangkan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam hubungan ini, Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menawarkan empat pilar demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan. Disadari bahwa strategi penanggulangan kemiskinan saat ini membutuhkan perubahan sistem dan struktur secara mendasar dan secara jangka panjang mampu membebaskan si miskin dari jebakan proses pemiskinan. Karena itu, empat pilar demokratisasi yang ditawarkan GAPRI didasarkan pada penegasan pendekatan berbasis hak-hak (rights base approach) si miskin dan sekaligus penegasan kewajiban negara (state obligation) serta donor untuk menjamin dan melindungi hak-hak si miskin. Keempat pilar demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan itu adalah:

1. Restrukturisasi Relasi Politik
Harus disadari bahwa relasi-kuasa dalam sistem politik kita berjalan secara timpang. Agar demokrasi berjalan secara substantif maka menjadi penting untuk dilakukan penataan ulang relasi politik sehingga sistem dan kelembagaan politik yang ada benar-benar dirancang dan disediakan secara bertanggung jawab untuk memecahkan persoalan yang menjadi kebutuhan publik. Dengan begitu, maka pendekatan penanggulangan kemiskinan haruslah menjadi kewajiban hukum (legal obligation) dari negara.

2. Redistribusi Kekayaan
Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya redistribusi kekayaan, namun yang paling utama menyangkut tiga hal, yaitu: pembaruan agraria, pajak dan pembuatan anggaran yang pro-rakyat, serta pendidikan dan kesehatan yang memadai. Ketiga hal utama ini merupakan wilayah penting bagi redistribusi kekayaan secara lebih berkeadilan.

3. Reorientasi Pengelolaan Ekonomi: Menuju Ekonomi Kerakyatan
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah memandirikan ekonomi nasional, membuka kesempatan ekonomi bagi semua rakyat secara terbuka dan adil, perimbangan pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks antara usaha kecil, menengah dan besar, maupun antara pusat dan daerah, menghapuskan ketimpangan pemilikan aset negara, termasuk kredit perbankan, memperkuat peranan negara dalam mengendalikan atau mengatur pasar (governing the market). Upaya ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat agar memiliki akses sebesar-besarnya sehingga memungkinkan mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.

4. Reformasi Fundamental Peran Donor dan Perusahaan TNCs/MNCs
Reformasi fundamental atas peran TNCs/MNCs perlu dilakukan dengan menekankan hubungan yang setara, menekankan pembangunan dan yang berorientasi pada penghormatan hak asasi manusia. Selain itu, operasi TNCs dan MNCs yang seringkali memanfaatkan posisi negara-negara dan badan donor juga harus didesak untuk melakukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar orang miskin sebagai suatu kewajiban hukum (legal obligation) dari pihak swasta/modal.

Jurus yang dikemukakan GAPRI tersebut memang cukup kontekstual dan strategis. Namun demikian, pendekatan yang teramat politis itu tampaknya tidak cukup ‘populis’ dan bahkan sering disangsikan keandalannya dalam mengentaskan kemiskinan. Benarkah pemenuhan hak-hak sipil-politik –selain juga hak-hak ekonomi-sosial-budaya— seperti itu memiliki korelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat ? Rakyat sepertinya banyak yang apatis untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Namun agaknya, kita perlu belajar dari pengalaman Porto Alegre yang telah menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat secara proaktif dan partisipatif dalam pengambilan kebijakan publik terbukti mampu menekan kemiskinan secara signifikan.
Kemenangan Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) di Porto Alegre sangat mengejetkan. Kekagetan ini bukan saja dikarenakan pemimpin Partai Buruh itu berasal dari kalangan rakyat miskin, tapi juga karena lawan politiknya saat itu sebetulnya masih sangat powerfull. Lalu apa resepnya ? Partai Buruh saat itu mengusung metode penentuan anggaran publik secara partisipatif. Dengan konsep ini, warga benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama mengenai pengelolaan anggaran publik. Ini merupakan koreksi serius atas pendekatan sebelumnya yang memutuskan sesuatu tanpa pelibatan publik secara luas.
Lalu bagaimana hasilnya ? Laporan Majalah TEMPO menuturkan hasil penelitian PMPA-GAPLAN yang menunjukkan bahwa sejak kemenangan Partai Buruh itu terjadi peningkatan jumlah anggran lebih dari 300 persen untuk sektor perumahan di Porto Alegre. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa hampir seluruh penduduk memperoleh air bersih, sementara jumlah anak sekolah yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi berlipat ganda jumlahnya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi di DKI Jakarta. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggran (Fitra) menunjukkan bahwa RAPBD DKI 2005 justru mengusulkan anggaran Rp 23,1 miliar untuk penggusuran. Perbedaan yang mencolok ini memperlihatkan pada kita bahwa demokrasi prosedural yang sejauh ini diterapkan di Indonesia hanya berhasil menjamin kebebasan sipil, akan tetapi belum menyentuh hak-hak dasar lain seperti hak atas pendidikan, kesehatan, tempat tinggal yang layak, maupun pekerjaan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari Porto Alegre adalah bagaimana Partai Buruh sebagai partai yang berkuasa berhasil menggunakan kekuasaan otoritatif mereka untuk memulai adanya perubahan mendasar pada karakter kebijakan pemerintahan lokal. Lokus kekuasaan tidak lagi berpusat pada pemerintah, akan tetapi terbagi pada warga. Hal ini terjadi karena dinamika kelembagaan dan kapasitas aktor prodemokrasi mampu mengembangkan gerakan berbasis massa secara nyata serta mampu mengimplementasikan hak-hak dan institusi demokrasi secara berarti.

Eksperimentasi demokrasi seperti itu bukanlah sesuatu yang mustahil dilakukan di Indonesia. Persoalannya tentu akan berpulang pada kesiapan dan kemampuan para aktor prodemokrasi dalam mentransformasikan hak-hak dan institusi demokrasi secara substantif dan implementatif. Karena itu, proses demokratisasi secara substansial sudah semestinya terus digulirkan. Agenda demokratisasi seharusnya menjadi demikian penting bukan saja atas pertimbangan political entirely, namun seperti diungkapkan Amartya Sen bahwa ketiadaan demokrasi merupakan akar kemiskinan yang sejati. Karena itu pula demokratisasi merupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dengan cara inilah kemiskinan di negeri ini dapat dienyahkan.

Senin, 27 Januari 2014

Pekerja Anak dan Kemiskinan

Meminjam hasil survei pekerja anak Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009, jumlah pekerja anak di Indonesia berjumlah 4,1 juta anak atau 6,9 persen dari 58,7 juta anak Indonesia yang berusia 5-17 tahun. Kalau kita melihat di lapangan, jumlah pekerja anak bisa lebih besar dari data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut. Apalagi dengan melihat data sebelumnya, misalnya data ILO pada 1999 memperkirakan jumlah pekerja anak di Indonesia sekitar 5 sampai 6,5 juta pekerja anak.
Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Bagong Suyanto, 2003). Dengan demikian, anak-anak tersebut bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa orang lain.
Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena faktor kemiskinan struktural. Dalam keluarga miskin, anak-anak umumnya bekerja demi meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagai tenaga kerja keluarga, anak-anak tersebut biasanya tidak mendapatkan upah karena mereka telah diberi makan. Sebagai buruh, anak-anak tersebut seringkali mendapatkan upah yang tidak layak.
Lebih parahnya dalam era industrialisasi sekarang, pengusaha industri justru memperoleh keuntungan yang sangat besar dari pekerja anak. Bahkan pekerja anak sangat diminati karena mereka bisa bekerja secara produktif seperti orang dewasa umumnya, tetapi pekerja anak tersebut tidak banyak ulah dan bisa diupah dengan murah. Intinya, dalam hubungan kerja, pekerja anak tersebut bisa dieksploitasi tanpa ada perlawanan. Berbeda dengan pekerja dewasa (apalagi memiliki serikat pekerja) yang sewaktu-waktu bisa “memberontak” dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan upah.
Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. Dalam beberapa kajian, mayoritas pekerja anak bekerja lebih dari 7 jam per hari. Padahal berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia 13-14 tahun hanya boleh bekerja 3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 8 jam per hari tetapi dalam kondisi yang tidak membahayakan fisik dan mental. Kenyataan di lapangan, pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun yang bekerja rata-rata selama 6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak tersebut bekerja di sektor berbahaya dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh anak-anak.
Berdasarkan Konvensi ILO Nomor182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Mengeliminasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, ada empat pekerjaan terburuk bagi anak, yakni: (1) semua bentuk perbudakan atau praktik yang menyerupai praktik perbudakan, seperti penjualan dan anak-anak kerja ijon dan perhambaan, serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk terlibat dalam konflik bersenjata; (2) penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan prostitusi, produksi pornografi, atau pertunjukkan pornografi; (3) penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan terlarang, terutama untuk produksi dan penyelundupan narkotika dan obat-obatan psikotropika; (4) pekerjaan yang pada dasarnya dan lingkungannya membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak.
Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO tersebut pada 8 Maret 2000 lalu, namun hingga kini pemerintah belum serius menangani persoalan pekerja anak di sektor berbahaya dan tidak manusiawi. Pekerja anak dalam sektor ini sangat banyak, dan lagi-lagi masalah kemiskinan menjadi fakor utamanya. Di beberapa tempat, tidak sedikit anak yang bekerja selama 12 jam per hari, mendapatakan perlakukan kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, dijadikan sebagai pelacur, dan hal tak manusiawi lainnya.
Pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan masa di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena mereka tak sanggup memikul beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar. Bagaimanapun juga mereka akan kesulitan untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh karena itu, pekerja anak rentan putus sekolah.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, angka putus sekolah di tingkat SD sekitar 1,3 persen atau setara 400.000 siswa. Kemudian anak yang tidak melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP sekitar 7,2 persen atau sekitar 2,2 juta siswa. Mereka yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya tersebut kemungkinan besar akan menjadi pekerja (dan sebagian dari mereka sebelumnya juga sudah bekerja). Merekalah yang menjadi korban akibat kegagalan negara dalam mewujudkan masyarakat sejahtera.
Sekali lagi, kemiskinan struktural yang tidak bisa ditangani oleh negara (bahkan terkadang ikut disponsori oleh negara), merupakan faktor utama yang memaksa anak-anak tersebut kehilangan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akhirnya layu sebelum berkembang. Kemiskinan memaksa mereka bekerja, dan kemungkinan besar mereka juga akan mewariskannya kepada anak-anaknya kelak. Sehingga kemiskinan dan pekerja anak ini bagaikan rantai yang tidak bisa diputus.
Memang pemerintah sudah melakukan beberapa upaya untuk menyelamatkan anak miskin melalui pemberian beasiswa. Tetapi hal ini tidak cukup karena persoalan utamanya adalah kemiskinan struktural. Artinya, selama roda kemiskinan struktural berputar maka pekerja anak akan tetap menjamur. Pemberian beasiswa bagi anak miskin hanya ibarat memadamkan kebakaran. Oleh sebab itu, selain memberikan bantuan subsidi, pemerintah harus serius memberdayakan rakyat miskin dengan menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan.

Selain itu, semua pihak hendaknya menyadari bahwa persoalan anak bukan hanya tanggung jawab domestik (rumah tangga) tetapi juga merupakan tanggung jawab publik. Di sinilah dibutuhkan upaya yang serius dari pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat untuk melindungi anak khususnya pekerja anak. Semoga hal ini menjadi sebuah kegelisahan bersama yang melahirkan gerakan dan langkah konkrit untuk menyelamatkan anak Indonesia. Karena masa depan bangsa ada di tangan mereka.

Indonesia dan Problem Kemiskinan

Pada mulanya adalah kemiskinan! Lalu, pengangguran, kemudian kekerasan dan kejahatan [crime]. Martin Luther King [1960] mengingatkan, “you are as strong as the weakest of the people”―kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar, mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah!.
Sesungguhnya, kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Sekitar seabad sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia [Pulau Jawa]. Pada saat itu, indikator kemiskinan hanya dilihat dari pertambahan penduduk yang pesat [Soejadmoko, 1980].
Kini, di Indonesia, jerat kemiskinan itu makin akut. Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi, melainkan kemiskinan kultural dan struktural. Pertanyaannya, seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia ? Jawabannya, mungkin sangat parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat jadi sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini.
Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia, tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai “sesuatu” yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja. Hari Susanto [2006] mengatakan, umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak, bisa dipantau dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan, atau tingkat konsumsi seseorang atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai faktor, apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bahasa latin ada istilah esse [to be]/[martabat manusia] dan habere [to have]/[harta atau kepemilikan]. Oleh sebagian besar orang, persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat ekonomis semata.
Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Bahkan hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi, mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat. Bapenas [2006], mendefinisikan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya, mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu, 23 persen di antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun [www.kompas.com, 3/2/2007]. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat “signifikan.” Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang [Indo Pos, 8/2/2007]. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi Aking”.
Di Nusa Tenggara Timur, 2000 kasus balita kekurangan gizi dan 206 anak di bawah lima tahun gizi buruk [Kompas, 15/2/2006]. Sedangkan di Bogor, selama 2005 tercatat sebanyak 240 balita menderita gizi buruk, dan 35 balita yang statusnya marasmus dan satu di antaranya positif busung lapar [Suara Pembaruan, 11/2/2006]. Sementara di Jakarta Timur, sebanyak 10.987 balita menderita kekurangan gizi [Suara Pembaruan, 15/2/2006]. Dan, di Jakarta Utara, menurut data Pembinaan Peran Serta Masyarakat Kesehatan Masyarakat [PPSM Kesmas] Jakut, pada Desember 2005 kasus gizi buruk pada bayi sebanyak 1.079 kasus [Sinar Harapan, 17/2/2006].
Dampak dari kemisikinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka, sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis,” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran, berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi dan tingkat pengeluaran rata-rata. Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli, di tengah melemahnya daya beli masyarakat, kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan, yakni hampir tiga perempatnya [74,99 persen]. Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya, banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja, sebab tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan, atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK [Putus Hubungan Kerja].
Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya, maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.
Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan. Bagaimana seorang penarik becak misalnya, yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan, ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher ? Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya negara sudah melakukan “pemiskinan struktural” terhadap rakyatnya. Akhirnya, kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif/ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik, konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. Akibat ketiadaan jaminan keadilan, “keamanan” dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.
Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini, yang berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang, khususnya Indonesia. Mengapa demikian ? Jawabannya, karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran dan kekerasan, selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata. Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik.
Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya, atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur].
Karena itu, situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, kuncinya harus ada kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar, tetapi juga harus ada pembelaan pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat. Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri. Sebaliknya, keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling menyokong. Pendek kata, harus ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.

Perekonomian nasional dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Perekonomian yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai. Intinya tanpa pemaknaan yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka sia-sialah pembentukan sebuah negara, mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh karenanya, pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki.