Pada mulanya adalah kemiskinan! Lalu,
pengangguran, kemudian kekerasan dan kejahatan [crime]. Martin Luther King
[1960] mengingatkan, “you are as strong as the weakest of the people”―kita
tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin
dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar, mayoritas masyarakatnya tidak
boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah!.
Sesungguhnya, kemiskinan bukanlah persoalan
baru di negeri ini. Sekitar seabad sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial
Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia [Pulau Jawa].
Pada saat itu, indikator kemiskinan hanya dilihat dari pertambahan penduduk
yang pesat [Soejadmoko, 1980].
Kini, di Indonesia, jerat kemiskinan itu
makin akut. Kemiskinan tidak hanya terjadi di
perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga
tidak semata-mata persoalan ekonomi, melainkan kemiskinan kultural dan
struktural. Pertanyaannya, seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia ?
Jawabannya, mungkin sangat parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini
bersifat jadi sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan
dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri
ini.
Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena
yang setua peradaban manusia, tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya
untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para pengamat
ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai “sesuatu” yang hanya
selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja. Hari Susanto [2006]
mengatakan, umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang
atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak, bisa
dipantau dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan, atau tingkat konsumsi
seseorang atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari
berbagai faktor, apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bahasa latin ada istilah esse [to
be]/[martabat manusia] dan habere [to have]/[harta atau kepemilikan]. Oleh
sebagian besar orang, persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere.
Orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan
kemiskinan urusan bersifat ekonomis semata.
Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa
ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan
papan. Bahkan hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup
saja tidak mampu. Apalagi, mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat.
Bapenas [2006], mendefinisikan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah
panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari
jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus
sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa
Barat misalnya, mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu, 23 persen di
antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun [www.kompas.com,
3/2/2007]. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat “signifikan.” Jumlah
pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang [Indo
Pos, 8/2/2007]. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung
lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi Aking”.
Di Nusa Tenggara Timur, 2000 kasus balita
kekurangan gizi dan 206 anak di bawah lima tahun gizi buruk [Kompas, 15/2/2006].
Sedangkan di Bogor, selama 2005 tercatat sebanyak 240 balita menderita gizi
buruk, dan 35 balita yang statusnya marasmus dan satu di antaranya positif
busung lapar [Suara Pembaruan, 11/2/2006]. Sementara di Jakarta Timur, sebanyak
10.987 balita menderita kekurangan gizi [Suara Pembaruan, 15/2/2006]. Dan, di
Jakarta Utara, menurut data Pembinaan Peran Serta Masyarakat Kesehatan
Masyarakat [PPSM Kesmas] Jakut, pada Desember 2005 kasus gizi buruk pada bayi
sebanyak 1.079 kasus [Sinar Harapan, 17/2/2006].
Dampak dari kemisikinan terhadap masyarakat
umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita
ketahui jumlah pengangguran terbuka, sebanyak 12,7 juta orang.
Jumlah yang cukup “fantastis,” mengingat krisis multidimensional yang sedang
dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran, berarti banyak
masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak
bekerja dan tidak memiliki penghasilan, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan
pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli
masyarakat. Sehingga akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat
pendapatan, nutrisi dan tingkat pengeluaran rata-rata. Dalam konteks daya saing secara keseluruhan,
belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air akan melemahkan kekuatan daya
saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan
suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam
konteks daya beli, di tengah melemahnya daya beli masyarakat, kenaikan harga
beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Perkiraan itu didasarkan
atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan,
yakni hampir tiga perempatnya [74,99 persen]. Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja
disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga disebabkan
kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau
pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997
silam misalnya, banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga
kerja, sebab tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan.
Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan, atau dengan kata lain meraka
terpaksa di-PHK [Putus Hubungan Kerja].
Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang
marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena
seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal.
Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga
keberlangsungan hidupnya, maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok,
menodong, mencuri atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas
kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan
butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari
memalak.
Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah
yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya
pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah
atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat
mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja
mereka sudah kesulitan. Bagaimana seorang penarik becak misalnya, yang memiliki
anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan, ketika biaya untuk sekolah
saja sudah sangat mencekik leher ? Sementara anak-anak orang yang berduit bisa
bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap.
Jika ini yang terjadi, sesungguhnya negara sudah melakukan “pemiskinan
struktural” terhadap rakyatnya. Akhirnya, kondisi masyarakat miskin semakin
terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya
tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan
seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan
bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang
menuntut keterampilan di segala bidang.
Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui,
biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi
rumah sakit swasta besar menerapkan tarif/ongkos pengobatan yang biayanya
melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa
bersikap munafik, konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas
kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita
alami. Akibat ketiadaan jaminan keadilan, “keamanan” dan perlindungan hukum
dari negara, persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam
bentrokan identitas yang subjektif.
Terlebih lagi fenomena bencana alam yang
kerap melanda negeri ini, yang berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah
orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan,
semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia, baik di perdesaan
maupun perkotaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi
musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab kemiskinan telah menjadi
kata yang menghantui negara-negra berkembang, khususnya Indonesia. Mengapa
demikian ? Jawabannya, karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum
memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan
pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab dari
setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran dan kekerasan, selalu
diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi
[makro] semata. Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik.
Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga
harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan
masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya,
atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan
mental wirausaha [enterpreneur].
Karena itu, situasi di Indonesia sekarang
jelas menunjukan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas
bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang
sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau
melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di
atas, kuncinya harus ada kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif
dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar
pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar, tetapi juga harus ada pembelaan
pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat. Ekonomi
makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri. Sebaliknya,
keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling menyokong. Pendek kata, harus
ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.
Perekonomian nasional dengan demikian menjadi
sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Perekonomian
yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak
rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai. Intinya tanpa pemaknaan
yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka
sia-sialah pembentukan sebuah negara, mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh
karenanya, pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang
hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar