Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 08 Januari 2014

Standing Ovation vs Pengangguran-Kemiskinan

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, mengatakan, tingkat pengangguran terbuka Indonesia hingga Februari 2013 sebesar 5,92 persen, menurun dibandingkan tingkat pengangguran pada Agustus 2012 yang masih 6,14 persen.
Data dari Korean Chamber of Commerce di Indonesia: per 31 Juli 2013: 63.680 pekerja sudah dirumahkan, 15.000 pekerja dalam proses dirumahkan. Adakah alasan untuk tak optimis ? Di layar televisi terlihat jelas, setelah Presiden menyampaikan Pidato pada Pengantar RAPBN Tahun Anggaran 2014 Beserta Nota Keuangannya, seluruh pimpinan DPR RI memberikan standing ovation (berdiri dan bertepuk tangan), untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tepuk tangan para wakil rakyat yang terhormat tersebut, tentulah pertanda bahwa bangsa ini telah menuai kemajuan.
Salah satu kemajuan yang dikemukakan Presiden adalah pertumbuhan ekonomi yang terus membaik. Dampak positifnya, menurunnya tingkat pengangguran terbuka dari 9,86 persen pada tahun 2004, menjadi 5,92 persen pada bulan Maret tahun 2013. Demikian juga dengan tingkat kemiskinan yang berhasil diturunkan pemerintah dari 16,66 persen atau 37,2 juta orang pada tahun 2004, menjadi 11,37 persen atau 28,07 juta orang pada Maret 2013.
3 hari setelah Presiden menyampaikan kemajuan tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kawasan Pulogadung, Bambang Adam, mengemukakan, sekitar 1.200 buruh di Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung, Jakarta Timur, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh sekitar 60 perusahaan. Sedangkan empat perusahaan disana terancam ditutup.
4 hari setelah Presiden menyampaikan kemajuan tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, 4 perusahaan Korea Selatan di Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Timur, mengaku sudah merugi sejak Pemerintah Provinsi DKI menetapkan UMP DKI 2013 Rp 2.200.000 (naik 43,87 persen dari UMP 2012) pada November 2012. Mereka kemudian merumahkan sejumlah karyawan.
Pada hari itu juga, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, membantah adanya penutupan perusahaan-perusahaan di kawasan-kawasan industri di Jakarta, dan sekitarnya, yang menyebabkan aksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terhadap pekerjanya diakibatkan faktor kenaikan upah. Menakertrans memastikan belum mendapat laporan mengenai adanya PHK di kawasan-kawasan industri seperti di Cakung.
Presiden tentu memiliki mekanisme tersendiri dalam merumuskan data pengangguran dan kemiskinan tersebut. Saya tidak tahu persis, apakah mekanisme tersebut termaktub dalam materi pidato kenegaraan yang disampaikan. Dari sejumlah media yang saya cermati, saya tak menemukan penjabaran mengenai teknik pengukuran yang dilakukan Presiden hingga sampai pada data penggangguran dan kemiskinan di atas.
Teknik pengukuran tersebut menjadi penting agar publik bisa memahami bagaimana mekanisme perumusan data pengangguran dan kemiskinan yang dimaksud. Ini tentu bisa menjadi bagian dari program pencerahan serta mencerdaskan masyarakat secara luas. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana mekanisme perumusan kelas menengah. Bank Dunia merumuskan, yang dimaksud dengan kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang pengeluaran mereka per kapita per hari US$ 2 sampai US$ 20.
Jika rumusan itu kita terapkan mentah-mentah, di tahun 2010, di Indonesia ada 130 juta kelas menengah. Jika disusuri lebih detail, lebih dari 50% dari 130 juta penduduk itu, pengeluaran mereka per kapita per hari hanya US$ 2 sampai US$ 6. Mereka ini rawan pada guncangan ekonomi. Misalnya, fluktuasi nilai tukar rupiah yang menyebabkan harga-harga membubung tinggi, bisa membuat mereka terlempar dengan cepat dari kategori kelas menengah, karena pengeluaran mereka per kapita per hari anjlok di bawah US$ 2.
Nah, apakah kita cukup percaya diri untuk menggolongkan mereka yang pengeluaran per kapita per harinya hanya US$ 2 sampai US$ 6 (tak sampai setengah rentang angka yang dirumuskan Bank Dunia) sebagai kelas menengah ? Barangkali, ini tergantung pada tujuan dan kepentingan kita dalam memaparkan data.
Sejumlah reaksi muncul, setelah Presiden menyampaikan pidato kenegaraan. Ini tentu bisa dipandang sebagai bentuk urun-rembuk demi kemajuan bangsa ini. Reaksi yang berkaitan dengan pengangguran-kemiskinan yang tampil di sejumlah media, saya kutipkan berikut ini : Ekonom Institute of Development Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, membenarkan angka kemiskinan dan pengangguran turun. Hal itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Enny, standar yang digunakan BPS tidak layak lagi. Dunia sudah berubah, BPS harus mengubah standar kebijakan mengukur kemiskinan. Semestinya alat mengukur adalah tingkat kesenjangan pendapatan. Ini akan nampak kalau orang miskin banyak dan jumlahnya diprediksi lebih besar. Dani Setiawan, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kesejahteraan menilai, dibanding negara-negara di kawasan Asia, tingkat pengangguran terbuka Indonesia 6,1 persen pada 2012. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding Hong Kong, yang hanya 3,2 persen, Korea Selatan 3,1 persen, Malaysia 2,8 persen, Vietnam 2,3 persen, Singapura 2 persen, dan Thailand 0,92 persen. Dani mengatakan, Koalisi mengajukan asumsi makro tandingan dalam APBN Konstitusi 2014. Untuk pertumbuhan ekonomi, Koalisi mematok angka 6,4 persen. Ketimpangan Gini Ratio diusulkan 0,36 persen, kemiskinan 19 persen, pengangguran 10 persen, pekerja sektor informal 55 persen, dan inflasi 5,5 persen. Para pengusaha menilai target pertumbuhan ekonomi versi pemerintah tidak realistis. Angka 6,5% diragukan bisa tercapai tahun depan. Faktor eksternal, seperti kondisi perekonomian global, berpotensi memberikan dampak kurang baik bagi perekonomian Indonesia. Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia menanggapi data asumsi makro yang sebelumnya telah disepakati pemerintah bersama DPR, antara lain target pertumbuhan ekonomi pada 2014 berkisar pada level 6,4% hingga 6,9%. Bahkan Menkeu Chatib Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia paling realistis sebesar 6,4%. Anggota DPR asal Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen. Dengan data penghasilan tersebut, imbuh dia, dapat terbayangkan pula bagaimana penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013. Anggota Komisi XI DPR dari FPDI Perjuangan, Arif Budimanta, menyebutkan bahwa data pada 2004 menunjukkan 40 persen pendapatan nasional dikuasai 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi. Masih merujuk data BPS, Arif pun mengatakan bahwa pada 2010 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 567.000 lapangan kerja baru, maka pada 2012 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 178.000 lapangan kerja. Padahal, dalam pidato Presiden disebutkan bahwa selama pemerintahannya daya beli masyarakat terus meningkat sehingga kelas menengah tumbuh signifikan.
Sejumlah reaksi di atas menunjukkan bahwa data memang punya dimensinya sendiri. Selain karena mekanisme perumusan data, sudut pandang masing-masing pihak tentulah mempengaruhi masing-masing orang dalam menyikapinya. Agar rakyat tercerahkan serta tercerdaskan oleh Pidato Presiden tersebut, tentu menjadi tugas dan kewajiban anggota dewan yang terhormat untuk mengurainya, kemudian memformulasikannya dengan bahasa dan tindakan yang mudah dicerna oleh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar