Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin,
mengatakan, tingkat pengangguran terbuka Indonesia hingga Februari 2013 sebesar
5,92 persen, menurun dibandingkan tingkat pengangguran pada Agustus 2012 yang
masih 6,14 persen.
Data dari Korean Chamber of Commerce di
Indonesia: per 31 Juli 2013: 63.680 pekerja sudah dirumahkan, 15.000 pekerja
dalam proses dirumahkan. Adakah alasan untuk tak optimis ? Di layar televisi terlihat jelas, setelah
Presiden menyampaikan Pidato pada Pengantar RAPBN Tahun Anggaran 2014 Beserta
Nota Keuangannya, seluruh pimpinan DPR RI memberikan standing ovation (berdiri
dan bertepuk tangan), untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tepuk tangan para wakil rakyat yang terhormat tersebut,
tentulah pertanda bahwa bangsa ini telah menuai kemajuan.
Salah satu kemajuan yang dikemukakan Presiden
adalah pertumbuhan ekonomi yang terus membaik. Dampak positifnya, menurunnya
tingkat pengangguran terbuka dari 9,86 persen pada tahun 2004, menjadi 5,92
persen pada bulan Maret tahun 2013. Demikian juga dengan tingkat kemiskinan
yang berhasil diturunkan pemerintah dari 16,66 persen atau 37,2 juta orang pada
tahun 2004, menjadi 11,37 persen atau 28,07 juta orang pada Maret 2013.
3 hari setelah Presiden menyampaikan kemajuan
tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kawasan
Pulogadung, Bambang Adam, mengemukakan, sekitar 1.200 buruh di Jakarta
Industrial Estate Pulo Gadung, Jakarta Timur, mengalami pemutusan hubungan
kerja (PHK) oleh sekitar 60 perusahaan. Sedangkan empat perusahaan disana
terancam ditutup.
4 hari setelah Presiden menyampaikan kemajuan
tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi
mengatakan, 4 perusahaan Korea Selatan di Kawasan Berikat Nusantara, Cakung,
Jakarta Timur, mengaku sudah merugi sejak Pemerintah Provinsi DKI menetapkan
UMP DKI 2013 Rp 2.200.000 (naik 43,87 persen dari UMP 2012) pada November 2012.
Mereka kemudian merumahkan sejumlah karyawan.
Pada hari itu juga, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar,
membantah adanya penutupan perusahaan-perusahaan di kawasan-kawasan industri di
Jakarta, dan sekitarnya, yang menyebabkan aksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
massal terhadap pekerjanya diakibatkan faktor kenaikan upah. Menakertrans
memastikan belum mendapat laporan mengenai adanya PHK di kawasan-kawasan
industri seperti di Cakung.
Presiden tentu memiliki mekanisme tersendiri
dalam merumuskan data pengangguran dan kemiskinan tersebut. Saya tidak tahu
persis, apakah mekanisme tersebut termaktub dalam materi pidato kenegaraan yang
disampaikan. Dari sejumlah media yang saya cermati, saya tak menemukan
penjabaran mengenai teknik pengukuran yang dilakukan Presiden hingga sampai
pada data penggangguran dan kemiskinan di atas.
Teknik pengukuran tersebut menjadi penting
agar publik bisa memahami bagaimana mekanisme perumusan data pengangguran dan
kemiskinan yang dimaksud. Ini tentu bisa menjadi bagian dari program pencerahan
serta mencerdaskan masyarakat secara luas. Sebagai perbandingan, kita bisa
melihat bagaimana mekanisme perumusan kelas menengah. Bank Dunia merumuskan,
yang dimaksud dengan kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang pengeluaran
mereka per kapita per hari US$ 2 sampai US$ 20.
Jika rumusan itu kita terapkan mentah-mentah,
di tahun 2010, di Indonesia ada 130 juta kelas menengah. Jika disusuri lebih
detail, lebih dari 50% dari 130 juta penduduk itu, pengeluaran mereka per
kapita per hari hanya US$ 2 sampai US$ 6. Mereka ini rawan pada guncangan
ekonomi. Misalnya, fluktuasi nilai tukar rupiah yang menyebabkan harga-harga
membubung tinggi, bisa membuat mereka terlempar dengan cepat dari kategori
kelas menengah, karena pengeluaran mereka per kapita per hari anjlok di bawah
US$ 2.
Nah, apakah kita cukup percaya diri untuk
menggolongkan mereka yang pengeluaran per kapita per harinya hanya US$ 2 sampai
US$ 6 (tak sampai setengah rentang angka yang dirumuskan Bank Dunia) sebagai
kelas menengah ? Barangkali, ini tergantung pada tujuan dan kepentingan kita
dalam memaparkan data.
Sejumlah reaksi muncul, setelah Presiden
menyampaikan pidato kenegaraan. Ini tentu bisa dipandang sebagai bentuk
urun-rembuk demi kemajuan bangsa ini. Reaksi yang berkaitan dengan
pengangguran-kemiskinan yang tampil di sejumlah media, saya kutipkan berikut
ini : Ekonom Institute of Development Economic and
Finance (Indef), Enny Sri Hartati, membenarkan angka kemiskinan dan
pengangguran turun. Hal itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Enny, standar
yang digunakan BPS tidak layak lagi. Dunia sudah berubah, BPS harus mengubah
standar kebijakan mengukur kemiskinan. Semestinya alat mengukur adalah tingkat
kesenjangan pendapatan. Ini akan nampak kalau orang miskin banyak dan jumlahnya
diprediksi lebih besar. Dani Setiawan, anggota Koalisi Masyarakat
Sipil untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kesejahteraan
menilai, dibanding negara-negara di kawasan Asia, tingkat pengangguran terbuka
Indonesia 6,1 persen pada 2012. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding Hong
Kong, yang hanya 3,2 persen, Korea Selatan 3,1 persen, Malaysia 2,8 persen,
Vietnam 2,3 persen, Singapura 2 persen, dan Thailand 0,92 persen. Dani
mengatakan, Koalisi mengajukan asumsi makro tandingan dalam APBN Konstitusi
2014. Untuk pertumbuhan ekonomi, Koalisi mematok angka 6,4 persen. Ketimpangan
Gini Ratio diusulkan 0,36 persen, kemiskinan 19 persen, pengangguran 10 persen,
pekerja sektor informal 55 persen, dan inflasi 5,5 persen. Para pengusaha menilai target pertumbuhan
ekonomi versi pemerintah tidak realistis. Angka 6,5% diragukan bisa tercapai
tahun depan. Faktor eksternal, seperti kondisi perekonomian global, berpotensi
memberikan dampak kurang baik bagi perekonomian Indonesia. Sofjan Wanandi, Ketua
Asosiasi Pengusaha Indonesia menanggapi data asumsi makro yang
sebelumnya telah disepakati pemerintah bersama DPR, antara lain target
pertumbuhan ekonomi pada 2014 berkisar pada level 6,4% hingga 6,9%. Bahkan
Menkeu Chatib Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia paling realistis
sebesar 6,4%. Anggota DPR asal Fraksi PDI Perjuangan, Rieke
Diah Pitaloka, mengatakan, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti
pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per
bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat
yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen.
Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat
mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai
55 persen. Dengan data penghasilan tersebut, imbuh dia, dapat terbayangkan pula bagaimana
penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar
minyak pada 22 Juni 2013. Anggota Komisi XI DPR dari FPDI Perjuangan,
Arif Budimanta, menyebutkan bahwa data pada 2004 menunjukkan 40 persen
pendapatan nasional dikuasai 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi. Masih merujuk data BPS, Arif
pun mengatakan bahwa pada 2010 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat
menyerap 567.000 lapangan kerja baru, maka pada 2012 setiap 1 persen
pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 178.000 lapangan kerja. Padahal, dalam
pidato Presiden disebutkan bahwa selama pemerintahannya daya beli masyarakat
terus meningkat sehingga kelas menengah tumbuh signifikan.
Sejumlah reaksi di atas menunjukkan bahwa
data memang punya dimensinya sendiri. Selain karena mekanisme perumusan data,
sudut pandang masing-masing pihak tentulah mempengaruhi masing-masing orang
dalam menyikapinya. Agar rakyat tercerahkan serta tercerdaskan oleh Pidato
Presiden tersebut, tentu menjadi tugas dan kewajiban anggota dewan yang
terhormat untuk mengurainya, kemudian memformulasikannya dengan bahasa dan
tindakan yang mudah dicerna oleh rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar