“Mosok cuma dua ribu ? Tambahin to mas ?“
Suara anak perempuan itu terdengar merajuk. “Aku cuma punyanya segitu. Besok kalau aku
punya uang banyak nanti kamu kukasih banyak juga”. Kali ini yang terdengar
suara anak laki-laki sekitaran remaja. “Yo wislah, tapi aku dijajakne ya mas”. Anak
perempuan itu kembali tertawa renyah mengisyaratkan kalau dia percaya remaja
itu akan memberi apa yang dia mau. “Iyo…kamu kukasih makan habis ini..Ayo
cepet!“. Sekilas percakapan seorang anak perempuan jalanan dan anak laki-laki remaja.
Apa yang ada dalam benakku mendengar obrolan
mereka ? Pasti si anak perempuan itu lapar dan minta makan sama kakaknya atau
temannya yang usianya lebih tua darinya. Benarkah ? Upss….salah. Ternyata pikiranku
terlalu polos untuk bisa menangkap maksud obrolan mereka. Apalagi setelah itu
kudengar ada suara-suara yang sedikit “aneh” keluar dari mulut dua anak tadi.
Seperti mengerang perlahan tapi bukan kesakitan. Diantara erangannya yang sangat
pelan nyaris tak terdengar, bisa tertangkap setitik kenikmatan. Aku
memang tidak bisa melihat wajah mereka karena terhalang semak-semak. Tapi
suara-suara “aneh” tadi akhirnya membuatku ambil langkah seribu. Berlari menjauh. Kenapa aku harus lari ya, harusnya kan “menggusah” atau
menasihati mereka. Tapi ini memang tindakan lari spontan. Ada rasa tidak tega
melihat anak-anak main “begituan”. Dan malu hati juga memergoki mereka sedang
bersex outdoor.
Sejatinya ini bukan hal yang aneh bagi kehidupan
para anak jalanan yang berkeliaran di kota-kota besar. Profesi mereka yang
beragam dari pengamen, pengemis, pedagang asongan atau mungkin “ciblek”
(cilikan betah melek) alias cabe-cabean alias pelacur cilik menyatu dalam
denyut kehidupan kota besar. Mereka datang ada yang mengikuti orang tua, tetapi
tak jarang juga anak-anak itu lari dari rumah orang tuanya karena ikut-ikutan
teman. Rata-rata mereka datang dari daerah terdekat meskipun tak menampik ada
yang datang dari daerah yang jauh.
Keinginan mereka dahulu saat menjejakkan kaki
ke kota besar tentu saja bisa mencari nafkah yang lebih baik dari tempat
tinggal mereka dahulu. Atau membantu orang tua mereka mencari nafkah. Tapi apa
daya mereka tidak sanggup menaklukkan gemerlapnya kota besar. Rendahnya
pendidikan yang mereka punyai tidak memungkinkan bersaing dengan mereka yang
berpendidikan tinggi dalam mencari pekerjaan atau bahkan status yang
meningkatkan derajat kehidupan. Jadilah mereka terdampar seperti sekarang ini.
Menambah beban masalah sosial di perkotaan.
Beragam profesi yang mereka jalani di jalanan
demi menyambung hidup tidak menutup kemungkinan akan terjadi berbagai macam
tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan seksual.
Kekerasan apapun itu bentuknya sudah menjadi makanan sehari-hari. Mulai diusir
dari tempat mereka berteduh, diserang kelompok lain atau dihajar preman saat
dipalak tidak mau memberikan apa-apa.
Problematika anak jalanan khususnya perempuan
malah lebih kompleks. Tidak hanya tekanan psikologis yang mereka terima seperti
ejekan, caci maki, tetapi juga perlakuan tak wajar. Mereka kerap dituding
sebagai anak liar atau pelacur yang menempatkan posisi anak jalanan perempuan
pada posisi paling lemah. Maksud hati untuk mencari penghasilan demi kehidupan
yang lebih baik malah dinodai oleh segelintir manusia bejat yang setiap saat
mengintai.
Bayangkan saja hanya mendapat duit 2000
rupiah sebagai imbalan mereka harus menjadi pemuas nafsu bejat remaja atau
mungkin juga laki-laki dewasa. Kadang anak jalanan perempuan itu cukup dikasih
nasi kucing dengan lauk seadanya sebagai imbalannya. Bukan maksudnya mereka
harus mendapat imbalan yang lebih besar lagi. Tetapi kekerasan seksual yang
mereka terima bisa berakibat fatal.
Dari seringnya harus melayani hasrat para
remaja atau lelaki bejat itu tak sedikit dari anak-anak perempuan itu yang
beralih profesi menjadi pelacur cilik. Sebut saja T, anak perempuan jalanan
yang beralih profesi menjadi pelacur karena sudah letih mengamen dan
mengharapkan bantuan dari sesama anak jalanan. Dia butuh makan, butuh hidup,
malu kalau harus menjadi parasit. Dari coba-coba sesama anak jalanan akhirnya
kalau ada yang menginginkan tubuhnya dibayar berapapun dia mau.
Atau R, anak lelaki jalanan yang “pipis” saja
belum lempeng harus memenuhi hasrat lelaki yang lebih tua darinya sehingga
diapun harus ikut menanggung “kenikmatan” yang selalu nagih. Padahal anak
seusia dia harusnya berkutat dengan buku bukan mikir siapa yang akan
“mengajaknya” karena kebutuhan yang satu itu selalu nagih. Ini pun tak lebih
juga cuma 2000 rupiah. “Hasrat dini” lah yang mengakibatkan anak-anak
jalanan itu dewasa sebelum waktunya karena memikirkan hal-hal yang belum
waktunya. Sungguh rugi nasib masa depan anak-anak itu.
Anak-anak itu memang tidak menyadari bahaya
yang setiap saat mengintai. Baik laki-laki atau perempuan mempunyai posisi
kelemahan yang sama dalam hal ini. Mereka menjadi korban kebejatan para lelaki
yang lebih tua dari usia mereka. Awalnya si perempuan cilik ini mulai digoda,
dicolek, diraba, dicium. Dan para perempuan cilik itu pasti suka-suka saja
menerima perlakuan yang “menyenangkan” karena mereka akan diiming-imingi duit
2000 atau 3000 rupiah. Lumayan buat makan siang. Jika sudah masuk perangkap
maka mulailah mereka harus memelorotkan celananya untuk berhubungan seks
karena duit yang dikasihpun tambah besar sekitar 5000 rupiah. Lumayan pikir
mereka bisa untuk makan siang dan malam tanpa harus merepotkan orang tua atau
memotong uang hasil mengemis atau mengamen.
Dengan catatan, ini berlaku untuk anak-anak
yang penurut. Bagaimana jika mereka berontak karena merasa kesakitan atau
dipaksa melakukan hubungan seksual yang menyimpang, seperti anal dan oral seks ?
Manusia-manusia bejat itu tak segan-segan mengurung atau memperkosa mereka. Hal
ini sering menimpa anak jalanan perempuan yang tidur di tempat-tempat
sembarangan.
Ironisnya perlakuan kekerasan seks terhadap
anak jalanan perempuan tidak hanya dilakukan oleh sesama anak jalanan, tetapi
kerapkali juga dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarganya. Hal ini bisa
dimungkinkan bila anak-anak itu tinggal di rumah petak tanpa sekat yang dihuni
oleh anggota keluarga laki-laki dan perempuan berbaur tanpa ada pemisahan saat
mereka tidur. Perlakuan seks juga kadang mereka dapatkan dari kondektur bus,
satpam, masyarakat umum hingga polisi. Menghadapi berbagai macam bentuk
perlakuan ini tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali hanya diam dan
menerimanya.
Mereka adalah anak-anak yang berpotensi
terkena virus HIV sehingga mengakibatkan rentan pula terhadap penyakit AIDS.
Apakah mereka mengenal kondom ? Tentu tidak. Bahkan membayangkan pun tidak
pernah untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks. Mereka tidak termasuk
target pembagian kondom pada Pekan Kondom Nasional, meskipun resiko yang
diterima juga tinggi sama seperti para PSK. Tanpa kondompun seks bebas tetap
merajalela di antara mereka. Mereka juga tidak menyadarai bahwa multiple
partner, berganti-ganti pasangan juga akan mempercepat penyakit ini berjangkit.
Menurut hasil riset 74,2 persen hubungan
seksual anak-anak jalanan dilakukan dengan multiple partner, berganti pasangan.
Potensi resiko yang cukup tinggi terhadap penularan penyakit HIV/AIDS. Meski
sampai saat ini belum ditemukan anak jalanan yang terinfeksi HIV/AIDS tapi
sudah selayaknya bila kita juga ikut memikirkan mereka agar terhindar dari
penyakit yang belum ditemukan obatnya sampai kini. Yang menjadi pertanyaan
bagaimana peran pemerintah yang lebih berkompeten dalam mengurusi anak-anak
jalanan ini ? Apakah harus menunggu penyakit ini menjangkiti anak-anak yang
menjadi cikal bakal anak bangsa dan negara ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar