Apa bedanya kemisikinan dan keindahan ?
Kemiskinan ialah bentuk keadaan yang dalam pandangan umum bisa dikategorikan
kondisi serba kekurangan, khususnya pada kaitan ekonomi, kadangkala
mengakibatkan lahirnya tekanan mental. Sedangkan keindahan adalah corak dan
tampak yang menunjukan sebuah ekspresi wujud yang enak dilihat, didengar, dan
dirasa. Lantas apakah kemiskinan bisa dikatakan hal yang indah ? Pasti semua
orang akan mengatakan, bahwa kemiskinan adalah kesengsaran. Namun, kenapa dalam
hal ini kemiskinan disebut sebagai keindahan ? pasti kalian akan bertanya
demikian.
Kemiskinan tidak jauh beda dengan Kaya,
mereka berdua sama-sama makhluk Tuhan yang menjelma ke dalam identitas wujud
manusia, yaitu ada si kaya dan ada si miskin. Tapi kadangkala si kaya lebih
berkuasa daripada si miskin, dikarenakan mereka lebih mempunyai banyak modal,
kerja mereka lebih santai, sedangkan si miskin seakan-akan menjadi budak
mereka. Nah, bagaimana menjadi orang miskin yang bersahaja ? orang miskin yang
sukses agar tidak dianggap sebagai budak ? Kemiskinan memang keburukan, tetapi
tidak bisa dipungkiri kemiskinan bisa menjadi sosok yang indah. Akan tetapi
jika kita hanya berdiam diri pada posisi miskin, maka keterjeratan kita pada
lingkaran kemiskinan berubah bentuknya menjadi kebodohan. Analoginya gini,
Tuhan menciptakan batu dengan bentuk yang jelek dan buruk, mungkin batu tidak
bisa mempunyai nilai jual tinggi kalau semisal batu hanya masih berbentuk seperti
“batu kali”, Tuhan bisa saja menciptakan batu langsung pada bentuk yang indah,
sehingga satu batu bisa mempunyai nila jual tinggi ketika manusia menjualnya.
Namun Tuhan tidak mau seperti itu, karena percuma saja Tuhan telah
memfasilitasi akal kepada manusia kalau tidak difungsikan. Sekarang ini banyak
batu yang harganya sangat mahal, itu dikarenakan ada manusia yang sadar akan
kepemilikan akalnya, sehingga manusia mampu mengukir batu menjadi patung-patung
yang indah, dan akhirnya mempunyai nilai jual tinggi. Batu telah merubah
fungsinya menjadi bermanfaat ketika ditangan manusia yang mampu mengeluarkan
kekuatan-kekuatan dalam dirinya. Nah, dalam hal ini penulis ibaratkan “batu”
itu layaknya “kemiskinan” yang jika didiamkan selalu menjadi bentuk yang buruk,
dan tidak menarik. Tetapi ketika kemiskinan jatuh pada tangan kreatif pasti dia
mampu mengukir kemiskinan menjadi sesuatu hal yang indah, ia bisa keluar dari
kemiskinan itu, walaupun tidak sepenuhnya—setidaknya ia mau mencoba mengukir
semua bentuk kemiskinan berubah bentuk lebih bersahaja. Namun, penulis yakin
ketika kemiskinan terus diukir pada bentuknya yang indah, maka kemiskinan
benar-benar menjelma menjadi keindahan. Tidak begitu susah mengeluarkan diri
kita dari jerat kemiskinan, yang paling susah adalah mempertahankan bentuk
kemiskinan yang telah menjadi indah. Akan tetapi, itu bagian dari tuntutan
Tuhan kepada manusia untuk terus menjaga stabilitas fungsi kekuatan dirinya,
agar mampu dipancarkan pada keseimbangan hidup.
Bahkan dapat ditegaskan di sini bahwa
intelektualitas dan ilmu pengetahuan objektif dalam sejarah sebenarnya adalah
warisan dari semangat orang miskin. Hanya dalam kondisi kontradiksi yang secara
material dialami oleh rakyat miskin yang kesulitan menghadapi tekanan, sehingga
hiduplah kesadaran akan kontradiksi yang muncul, hal ini mengarah pada
aktivitas mempertanyakan segala sesuatu menjadi sebab-sebab permasalahan yang
dihadapi. Ideologi kemiskinan adalah ideologi membongkar sebab-sebab
kemiskinan; sedangkan ideologi kekuasaan adalah ideologi yang mengarah pada
upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Hal itu sebenarnya adalah landasan moral,
kenapa sastrawan harus berpihak karena dengan berpihak pada orang miskin
berarti mereka membongkar dunia ini. Apalagi posisi sosial dan ekonomi kekayaan
juga tidak lepas dari hubungan produksi yang dalam tatanan kontradiktif selalu
dicirikan dengan hubungan antara kelas tertindas dan kelas penindas. Kelas
penindas akan selalu menjaga agar tatanannya (yang menindas dan menghisap
kerja-kerja rakyat miskin) stabil. Maka segala upaya untuk memproduksi aparat
material dan ideologis juga diarahkan untuk membuat tatanan itu langgeng.
Sedangkan rakyat miskin juga membutuhkan keadilan dan dalam epos tertentu juga
berjuang melawan penindasan yang dilakukan terhadapnya. Sehingga ketika
perlawan melalui ukiran kemiskinan itu bergerak, bersatu padu menjadi satu
kesatuan, semua akan berubah bentuk menjadi “miskin yang kaya nan indah”.
Namun masih banyak orang yang kebingungan
untuk mengukir kemiskinan menjadi lebih indah ? mereka bilang, kami sudah
berusaha, tapi tetap saja posisi kami sebagai orang miskin masih melekat. Ya
memang untuk melakukan revolusi diri itu “susah-susah gampang”, perlu kecakapan
khusus untuk melatih semuanya. Banyak kisah orang-orang miskin di daerah, awal
mulanya dia hanya sebagai supir, sebagai kuli panggul, dan sebagainya, mereka
bisa keluar dari itu semua, merubah identitasnya menjadi orang yang kaya. Yang
jadi pertanyaan, mengapa mereka bisa merubah nasib mereka menjadi kaya ? Orang
miskin yang menjadi buruh pada mulanya hanya sebagai pengikut orang-orang kaya,
pasti mereka menggunakan otak dan pikirannya secara jeli, terus mengamati
bagaimana cara orang kaya membangun usahanya sehingga bisa besar, bagaimana
cara si kaya itu mempertahankannya, dan bagaimana ia mempolses semuanya menjadi
indah pada saat mengukir kemiskinan di awal karirnya. Nah, dengan itu semua
akhirnya ia tahu rumus-rumus apa, dan cara seperti apa yang harus kita buat
untuk mengukir kemiskinan menjadi indah. Kalau semisal kita hanya bermodalkan
nekad asal jadi (asal ukir), tanpa kualitas, insting, strategi, dan tanpa
kemauan yang tinggi, maka secara otomatis ukiran kemiskinan itu bukan malah
menjadi indah, tetapi malah tambah buruk. Kita tidak usah putus asa, setiap
manusia sudah ada kapling-kapling bakat, dan potensi masing-masing, tinggal
kita mau mengembangkannya atau tidak. Karena paham penulis, nasib bagi si kaya
dan si miskin, tentu saja belum ditetapkan secara mutlak semenjak manusia
lahir, karena takdir perkembangan hidup hanya ditangan usaha manusia melalui
dorongan pentujuk Tuhan, terkecuali takdir hidup dan mati itu Tuhan lah yang
menghandel.
Dalam pada itu, memang banyak yang bertanya
mengenai takdir si miskin dan si kaya, katanya; benarkah takdir menjadi miskin dan
kaya sudah tercatat di lauhul mahfuzh ? apakah itu bisa dirombak ulang, dengan
kata lain diinstal ulang agar takdir si miskin dan si kaya bisa berubah ?
Mungkin bukan hanya penulis yang sering mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang
bernada garang seperti itu khususnya hubungan antara kesuksesan dan nasib.
Seperti; apakah kesusksesan memang dimiliki oleh mereka yang mempunyai nasib
baik sebagai orang sukses (anak raja, anak presiden, anak pengusaha, dan
anak-anak konglomerat lainnya) ? atau malah mungkin takdir dan nasib antara yang
berkuasa tidak berkuasa sudah mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat lagi ?
Masalah ini bukan hanya melekat di kita, tapi dikeseluruhan manusia, kalau
semisal manusia ditanya, apakah ia mau menjadi orang miskin ? pasti semua serempak
mengatakan, “TIDAK”. Dengan demikian, berarti kita semua terlibat dalam kasus
ini, tetapi di situlah ukuran Tuhan menguji kesetian manusia kepadaNya—melalui
jalan usaha dan takdir yang akan terjadi. Sehingga tidak begitu mudah kita
memberikan kecaman khusus kepada Tuhan, sebagai Maha Semaunya sendiri, yang
telah menetapkan takdir sebelum kita dilahirkan di muka bumi ini. Pada
dasarnya, kesuksesan atau tidak suksesnya seseorang itu dibentuk melalui jalan
pikirannya sendiri, identitas yang nangkring dalam kedirian kita menjadi
panutan khusus sebagai jembatan awal manusia menentukan sikap, apakah ingin
menjadi manusia yang sukses atau tidak. Karena semuanya pun akan berubah ketika
manusia mau merubahnya, kitab lauhul mafuzh hanya berisikan kemungkinan-kemungkinan
peristiwa yang akan terjadi di dunia, bukan menetapkan secara absolut takdir
manusia. Apalagi mengukur jangka-pendek kesuksesan dan kemiskinan seseorang.
Keragua-raguan manusia dalam melangkah dan mengambil sikap, sesungguhnya malah
akan melahirkan kecemasan-kecemasan baru bagi manusia itu sendiri, sehingga
manusia tidak berani untuk melangkah lebih jauh. Sejatinya, rasa syukur kita
kepada Tuhan yang dapat mendesain diri kita menjadi sosok yang kreatif,
tentunya disongsong dengan rasa sabar, ikhlas, dan tawakal. Karena orang yang
tidak mau bersyukur kepada Tuhan, sama saja ia adalah rakus (egosentris) (baca:
QS. Ibrahim: 7). Dan tak bisa dipungkiri juga, alur perjalanan kita nanti
selalu didampingin oleh orang-orang lain di sekitar kita, yang selalu membantu
kita untuk terus bangkit dalam mengukir kemiskinan. Yang disesalkan kadangkala
orang akan bahagia, ketika melihat orang disekitarnya lebih menderita, bahkan
itu merupakan hiburan yang sangat menyenangkan. Sesungguhnya, disetiap apa yang
kita dapat, sebagian adalah milik orang lain (baca: QS. Al-Munafiqun: 9, dan
QS. Al-Baqarah: 195).
Dengan demikian, kemiskinan adalah perangkat
dasar manusia untuk bangkit menjadi manusia yang sempurna. Dilihat dari bobot
timbang orang yang terlahir miskin lalu kaya, dan orang yang sudah terlahir
kaya, yaitu orang miskin ketika sudah menjelma menjadi kaya, ia lebih bisa
menjadi dan mempunyai kesadaran tinggi tentang perjalanan hidupnya, dan ia akan
lebih menghormati hartanya. Sedangkan orang yang sudah dilahirkan menjadi orang
kaya, kemungkinan besar—ia tidak cukup bisa mengormati apa yang telah ia miliki
(baca. QS. At-Takatsur: 1-8). Beranjak dari itu, kita berkaca untuk kembali ke
ideologi kemiskinan, ialah mempunyai guna membongkar-bongkar sendi-sendi
kemiskinan, membaca strategi miskin untuk diukir menjadi indah, dan itu semua
dilalui pada taraf keberlajutan. Adanya penekanan yang meningkat membuat
manusia dipaksa untuk berpikir dan akhirnya membuat sebuah gagasan, yang
mempunyai guna untuk mengukir kemiskinan menjadi indah, di situlah manusia akan
masuk ke dalam input, lalu berlajut ke dalam proses pengukiran. Siapa saja yang
berhati-hati dalam artian jeli, maka akan melahirkan output ukiran yang
sempurna, karena setiap perjalanan (proses) pasti dipenuhi dengan pelajaran.
Tetapi kalau semisal kita tidak teliti dalam mengamati setiap langkah proses,
maka keati-atian kita semakin berkurang, dan itu berdampak pada kemiskinan yang
semakin akut. Dalam hal ini penulis ingin memaparkan kisah sukses seorang
miskin bernama Fauzi Saleh mantan Petugas Keamanan, yang banyak beredar di
situs-situs internet.
Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses
sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan
langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni
tamunya. Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya
lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang,
Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya
kehidupan di ibukota. Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di
sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia
masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan
ibarat roda yang berputar.
Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45
tahun ini sedang berada diatas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh
kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan
tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus
sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji
sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan
Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan
hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000
saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona
Depok.
Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari
pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih.
“Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya. Manajemen kasih
sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh
karyawan bekerja bahu-membahu. “Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.”
Katanya. Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai
berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai
petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang
taman,sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus
membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan. Untuk menyiapkan rumah
itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi
tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang,
selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang
mereka rintis bisa berhasil. Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap
pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau
bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan
untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya,
hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun
yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1
dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2. Selanjutnya dibangun pula
Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1
sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah.
Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.
Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut
antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap
malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam
sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang
dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan
pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang
yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu,
ketika beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang
Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling
bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan.
Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti
ini. “Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari
berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian
Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada
yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum
dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut
Fauzi ibarat menanam padi. “Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan
tumbuh. Ini berbeda kalau kita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Kata
Fauzi. Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri.
“Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan
karyawan dan sosial.” Katanya.
Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk
kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat
tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial. “Jadi,
keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Fauzi. ” Jika setiap bangun pagi ,
kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya
sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia”.
Melihat kesuksesan Fauzi yang sangat istimewa
itu, kalau kita lihat dari perjalanan sejarahnya, sosok Fauzi memang sangat
pantas untuk menjadi orang yang sukses. Karena ia mampu mengukir
kemiskinanannya dengan sangat indah dan rapi. Itu semua diawali dari ketekunan
dan keyakinannya. Sebab dalam pikirannya tidak ada yang tidak mampu dilakukan
oleh manusia, kalau memang manusia menginginkannya. Sikap pasrah dan rasa
syukur menjadi alat ukirnya yang matang untuk terus berjibaku melawan
kediriannya. Mungkin kisah Fauzi ini mampu memotivasi kita dalam mengukir
kemiskinan, sosok yang santun dan dermawan itu pantas dijadikan sebagai
cerminan hidup. Karena siapapun orangnya pasti dia akan mampu menanggulangi
segala kondisi yang ada, asalkan kita mau, dan terus berusaha membuat
kemiskinan pun akan menjadi indah. Intinya, takdir nasib dan sukses kita memang
ditangan kita sendiri, bukan ditangan Tuhan, Tuhan hanya mengawal proses
kemajuan kita, saat kita mengukir kemiskinan menjadi indah (QS. Ara’ad: 11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar