Pemerintah kembali mengklaim angka penduduk
miskin turun. Jika pada tahun 1997 16,58 persen, maka pada tahun 2012 tinggal
11,66 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Dengan kalkulasi tersebut,
jumlah penduduk miskin selama lima tahun terakhir turun sekitar 9 juta jiwa.
SBY optimistis, angka kemiskinan di negeri
berpenduduk 250 juta jiwa ini akan terus menurun dengan berbagai program
pemerintah saat ini. Bahkan pada tahun 2014, pemerintah juga mengklaim kemiskinan
di negeri ini hanya tinggal 8-10 persen dari total penduduk di Indonesia.
Klaim pemerintah bahwa jumlah penduduk miskin
terus berkurang bukan kali ini saja. Pemerintah kerap melontarkan pernyataan
tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan apakah penduduk miskin memang
benar-benar turunn? Kondisi tersebut bisa terlihat di lapangan.
Untuk mengetahui berapa besar jumlah penduduk
miskin memang harus ada standarnya. Di Indonesia jumlah penduduk miskin
merupakan hasil sensus Badan Pusat Statistika (BPS). Dalam menetapkan angka
kemiskinan, salah satu standar yang dipergunakan lembaga tersebut adalah
pendapatan perkapita.
Dengan standar tersebut, pemerintah kemudian
menetapkan batas garis kemiskinan. Sejak tahun 2010, BPS menetapkan batas garis
kemiskinan adalah masyarakat yang berpendapatan Rp 212 ribu per kapita perbulan
atau Rp 7.060 per kapita perhari. Jika
dikonversikan sekitar 1,13 dolar AS.
Standar yang ditetapkan BPS atau pemerintah
tersebut kerap menimbulkan pro kontra. Misalnya, ADB (Asian Development Bank)
menetapkan batas garis kemiskinan sebesar 1,25 dolar AS atau sekitar Rp 7.080
per kapita perhari. Angka dihitung dari
Produk Domestik Bruto (PDB) yakni sebesar Rp 6.237 per dolar AS.
Perbedaan standar BPS dan ADB memang terlihat
tipis hanya 12 sen dolar AS. Jika dikalkulasikan, maka perbedaan angka
kemiskinan sangat fantastis. Jumlah penduduk miskin ADB dan BPS berselisih
hingga lebih dari 10 juta jiwa. Artinya jika standar kemiskinan tersebut
dinaikkan sedikit saja, maka jumlah penduduk miskin akan melonjak.
Bagaimana jika kemudian menggunakan standar
Bank Dunia dengan pendapatan 2 dolar AS atau sekitar Rp 500 ribu/kapita/bulan.
Sudah pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia akan bertambah sangat besar.
Bank Dunia memperkirakan dengan standar tersebut, penduduk miskin mencapai 100
juta jiwa atau hampir 40 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai
243 juta jiwa.
Jika melihat fakta di lapangan, maka kondisi
kemiskinan yang diklaim pemerintah juga jauh dari kenyataan. Salah satu
contohnya adalah dalam pembagian beras
untuk rakyat miskin (raskin). Dalam pembagian raskin setiap penduduk miskin
akan mendapatkan jatah 15 kg/bulan. Tahun ini jumlahnya sebanyak 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS).
Di lapangan ternyata banyak pemerintah daerah
(pemda), terutama kepala desa/lurah yang terpaksa membagi rata jatah raskin
tersebut. Alasannya, tidak semua penduduk miskin di wilayahnya tercatat oleh
BPS. Misalnya, yang sering terjadi dalam satu rumah ada dua-tiga keluarga yang
masuk kategori miskin. Sementara BPS hanya mencatat dalam rumah tersebut hanya
satu keluarga miskin.
Karena itu wajar jika banyak pihak
mempertanyakan standar garis kemiskinan yang menjadi patokan BPS. Sebagai salah
satu lembaga pemerintah, bisa jadi BPS tidak lepas dari intervensi pemerintah.
Untuk kepentingan politik, pemerintah berupaya dengan berbagai cara agar
penduduk miskin terlihat seminimal mungkin.
Artinya, jumlah penduduk miskin di Indonesia
ibarat fenomena gunung es. Terlihat sedikit di luar, tapi kenyataanya lebih
besar lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar