Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 21 Januari 2014

BBM dan Kemiskinan

Benarkah kenaikan harga BBM adalah kebijakan yang tidak pro-rakyat ? Benarkah angka kemiskinan akan ikut naik ketika harga BBM naik? Jika benar, mengapa hal ini bisa terjadi?
Data historis 2002, 2005, dan 2008 menunjukan bahwa setiap terjadi kenaikan harga BBM maka akan diikuti oleh lonjakan inflasi. Namun, data 2002 dan 2005 menunjukan bahwa kenaikan inflasi lebih disebabkan oleh barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered prices) seperti BBM dan TDL, daripada kenaikan harga barang-barang bergejolak (volatile foods) seperti pangan. Kondisi 2008 sedikit berbeda, inflasi volatile foods justru lebih tinggi dibanding inflasi administered prices tetapi hal ini disebabkan oleh krisis pangan dunia saat itu.
Setidaknya dibutuhkan setidaknya dua data dalam menghitung kemiskinan, yaitu data pendapatan/pengeluaran dan cara menentukan garis kemiskinan. Saya tidak ingin menjelaskan kedua hal tersebut tetapi lebih fokus kepada bagaimana hubungan antara pola konsumsi orang miskin, kemiskinan, dan kenaikan harga BBM.
Ada perbedaan signifikan antara pola konsumsi (IHK) orang miskin dengan IHK penduduk Indonesia secara umum. Susenas BPS (2010) menunjukan bahwa 65 persen konsumsi orang miskin dihabiskan hanya untuk makanan dimana beras (29 persen) adalah pengeluaran terbesar, diikuti bahan makanan (28 persen), perumahan (17 persen), dan makanan jadi serta rokok (8 persen).
Di sisi lain, bagi masyarakat Indonesia secara umum, proporsi makanan hanya menyumbang 37 persen, terdiri dari beras (5 persen), bahan makanan (15 persen), dan makanan jadi dan rokok (17 persen).
Kenaikan harga BBM biasanya diikuti pula oleh kenaikan ongkos transportasi sehingga wajar jika ketika harga BBM naik maka inflasi akan ikut naik. Terlebih proporsi biaya transportasi kedua terbesar dalam perhitungan IHK (19 persen). Belum lagi biasanya biaya transportasi berkorelasi positif dengan harga barang-barang. Namun, apakah kenaikan biaya transportasi ini berdampak signifikan terhadap orang miskin ?.
Bagi orang miskin, proporsi biaya transportasi hanya menyumbang 7 persen dalam perhitungan IHK mereka. Dengan kata lain, kenaikan biaya transportasi, sebagai akibat dari kenaikan harga BBM, sebenarnya kurang berdampak signifikan bagi masyarakat miskin.
Oleh karena itu, kurang tepat jika ada pendapat yang menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyakiti orang miskin. Masyarakat miskin akan terluka parah jika kenaikan ini ikut mendorong naiknya harga barang-barang lainnya, khususnya makanan, lebih khusus lagi kebutuhan pokok (sembako).
Disini lah pemerintah harus hadir untuk memastikan harga makanan tetap stabil. Pengendalian harga makanan akan melindungi orang miskin dari dampak kenaikan harga BBM. Bagi orang miskin, yang mereka takuti bukan lah kenaikan harga BBM itu sendiri tetapi efek dominonya, yaitu kenaikan harga barang-barang lainnya.
Perlindungan terhadap masyarakat kecil ketika terjadi kenaikan harga BBM tidak boleh hanya ditujukan untuk masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan (miskin absolut) tetapi juga kelompok rentan miskin. Distribusi demografi penduduk Indonesia berdasarkan pengeluarannya (per bulan/kapita) bentuknya sangat condong ke kiri (persentil terendah) atau dengan kata lain berada di sekitar garis kemiskinan.
Mereka inilah yang disebut kelompok “rentan miskin” dengan pendapatan sekitar Rp300 ribu per bulan/kapita. Jumlahnya cukup banyak, sekitar 25 persen penduduk (60 juta orang). Bahkan, jika kita naikkan sedikit saja garis kemiskinan menjadi sekitar Rp375 ribu per bulan/kapita, niscahya terdapat hampir 100 juta penduduk Indonesia (40 persen) dikategorikan miskin.
Konsekuensi dari struktur masyarakat yang seperti ini adalah banyak penduduk yang keluar-masuk jurang kemiskinan. Kajian TNP2K menunjukkan bahwa pada 2008-2009, meskipun terdapat 53 persen (19 juta orang) orang miskin keluar dari garis kemiskinan tetapi lebih dari 22 persen kelompok rentan miskin justru terjerumus ke jurang kemiskinan. Pola yang serupa terjadi pada  periode 2009-2010 (Suahasil, 2012).
Adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi masyarakat kecil, terlebih jika terjadi guncangan (shock) dalam perekonomian seperti kenaikan harga BBM. Pemerintah tidak boleh hanya melindungi orang miskin absolut saja tetapi juga mereka yang berada di kelompok rentan miskin. Jika mereka tidak ikut dilindungi, besar potensinya mereka ikut jatuh ke jurang kemiskinan.
Dalam konteks inilah BLSM (Conditional Cash Transfer/CCT), dibutuhkan. CCT bukan bertujuan mendidik masyarakat menjadi konsumtif, melainkan bertujuan menjaga daya beli orang miskin. CCT adalah upaya pencegahan agar orang miskin-tidak menjadi semakin miskin dan yang rentan miskin-tidak jatuh ke jurang kemiskinan.
Ada pula yang berpendapat bahwa CCT sebaiknya dialihkan untuk hal yang produktif. Pernyataan ini benar dalam konteks solusi jangka menengah/panjang tetapi menjadi kurang tepat untuk solusi jangka pendek. CCT layaknya obat merah/P3K, hanya dilakukan untuk penangangan pertama bagi korban agar lukanya tidak terlalu parah atau memberhentikan pendarahan sementara, sebelum si korban ditangani secara berkesinambungan di rumah sakit.
Sayangnya, CCT di Indonesia (BLSM) dijadikan komoditas politik oleh penguasa dan oposisi. Muncul dugaan BLSM tidak lain adalah money politic penguasa menjelang 2014. Wajar jika oposisi menyebut BLSM adalah “Beli Langsung Suara Masyarakat”.

Terlepas dari politisasi BLSM, yang saya tahu CCT tidak hanya ada di Indonesia tetapi juga negara-negara lain seperti Pakistan, India, Filipina, Brazil, Chili, atau Mexico. Yang saya pahami adalah wajib hukumnya bagi negara untuk melindungi segenap warga negaranya, khususnya rakyat kecil, ketika ekonomi sedang terkena guncangan. Tak peduli koalisi atau oposisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar