Benarkah kenaikan harga BBM adalah kebijakan
yang tidak pro-rakyat ? Benarkah angka kemiskinan akan ikut naik ketika harga
BBM naik? Jika benar, mengapa hal ini bisa terjadi?
Data historis 2002, 2005, dan 2008 menunjukan
bahwa setiap terjadi kenaikan harga BBM maka akan diikuti oleh lonjakan
inflasi. Namun, data 2002 dan 2005 menunjukan bahwa kenaikan inflasi lebih
disebabkan oleh barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered
prices) seperti BBM dan TDL, daripada kenaikan harga barang-barang bergejolak
(volatile foods) seperti pangan. Kondisi 2008 sedikit berbeda, inflasi volatile
foods justru lebih tinggi dibanding inflasi administered prices tetapi hal ini
disebabkan oleh krisis pangan dunia saat itu.
Setidaknya dibutuhkan setidaknya dua data dalam
menghitung kemiskinan, yaitu data pendapatan/pengeluaran dan cara menentukan
garis kemiskinan. Saya tidak ingin menjelaskan kedua hal tersebut tetapi lebih
fokus kepada bagaimana hubungan antara pola konsumsi orang miskin, kemiskinan,
dan kenaikan harga BBM.
Ada perbedaan signifikan antara pola konsumsi
(IHK) orang miskin dengan IHK penduduk Indonesia secara umum. Susenas BPS
(2010) menunjukan bahwa 65 persen konsumsi orang miskin dihabiskan hanya untuk
makanan dimana beras (29 persen) adalah pengeluaran terbesar, diikuti bahan
makanan (28 persen), perumahan (17 persen), dan makanan jadi serta rokok (8
persen).
Di sisi lain, bagi masyarakat Indonesia
secara umum, proporsi makanan hanya menyumbang 37 persen, terdiri dari beras (5
persen), bahan makanan (15 persen), dan makanan jadi dan rokok (17 persen).
Kenaikan harga BBM biasanya diikuti pula oleh
kenaikan ongkos transportasi sehingga wajar jika ketika harga BBM naik maka
inflasi akan ikut naik. Terlebih proporsi biaya transportasi kedua terbesar
dalam perhitungan IHK (19 persen). Belum lagi biasanya biaya transportasi
berkorelasi positif dengan harga barang-barang. Namun, apakah kenaikan biaya
transportasi ini berdampak signifikan terhadap orang miskin ?.
Bagi orang miskin, proporsi biaya
transportasi hanya menyumbang 7 persen dalam perhitungan IHK mereka. Dengan
kata lain, kenaikan biaya transportasi, sebagai akibat dari kenaikan harga BBM,
sebenarnya kurang berdampak signifikan bagi masyarakat miskin.
Oleh karena itu, kurang tepat jika ada
pendapat yang menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyakiti orang miskin.
Masyarakat miskin akan terluka parah jika kenaikan ini ikut mendorong naiknya
harga barang-barang lainnya, khususnya makanan, lebih khusus lagi kebutuhan pokok
(sembako).
Disini lah pemerintah harus hadir untuk
memastikan harga makanan tetap stabil. Pengendalian harga makanan akan
melindungi orang miskin dari dampak kenaikan harga BBM. Bagi orang miskin, yang
mereka takuti bukan lah kenaikan harga BBM itu sendiri tetapi efek dominonya,
yaitu kenaikan harga barang-barang lainnya.
Perlindungan terhadap masyarakat kecil ketika
terjadi kenaikan harga BBM tidak boleh hanya ditujukan untuk masyarakat yang
berada di bawah garis kemiskinan (miskin absolut) tetapi juga kelompok rentan
miskin. Distribusi demografi penduduk Indonesia berdasarkan pengeluarannya (per
bulan/kapita) bentuknya sangat condong ke kiri (persentil terendah) atau dengan
kata lain berada di sekitar garis kemiskinan.
Mereka inilah yang disebut kelompok “rentan
miskin” dengan pendapatan sekitar Rp300 ribu per bulan/kapita. Jumlahnya cukup
banyak, sekitar 25 persen penduduk (60 juta orang). Bahkan, jika kita naikkan
sedikit saja garis kemiskinan menjadi sekitar Rp375 ribu per bulan/kapita,
niscahya terdapat hampir 100 juta penduduk Indonesia (40 persen) dikategorikan
miskin.
Konsekuensi dari struktur masyarakat yang
seperti ini adalah banyak penduduk yang keluar-masuk jurang kemiskinan. Kajian
TNP2K menunjukkan bahwa pada 2008-2009, meskipun terdapat 53 persen (19 juta
orang) orang miskin keluar dari garis kemiskinan tetapi lebih dari 22 persen
kelompok rentan miskin justru terjerumus ke jurang kemiskinan. Pola yang serupa
terjadi pada periode 2009-2010
(Suahasil, 2012).
Adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi
masyarakat kecil, terlebih jika terjadi guncangan (shock) dalam perekonomian
seperti kenaikan harga BBM. Pemerintah tidak boleh hanya melindungi orang
miskin absolut saja tetapi juga mereka yang berada di kelompok rentan miskin.
Jika mereka tidak ikut dilindungi, besar potensinya mereka ikut jatuh ke jurang
kemiskinan.
Dalam konteks inilah BLSM (Conditional Cash
Transfer/CCT), dibutuhkan. CCT bukan bertujuan mendidik masyarakat menjadi
konsumtif, melainkan bertujuan menjaga daya beli orang miskin. CCT adalah upaya
pencegahan agar orang miskin-tidak menjadi semakin miskin dan yang rentan
miskin-tidak jatuh ke jurang kemiskinan.
Ada pula yang berpendapat bahwa CCT sebaiknya
dialihkan untuk hal yang produktif. Pernyataan ini benar dalam konteks solusi
jangka menengah/panjang tetapi menjadi kurang tepat untuk solusi jangka pendek.
CCT layaknya obat merah/P3K, hanya dilakukan untuk penangangan pertama bagi
korban agar lukanya tidak terlalu parah atau memberhentikan pendarahan
sementara, sebelum si korban ditangani secara berkesinambungan di rumah sakit.
Sayangnya, CCT di Indonesia (BLSM) dijadikan
komoditas politik oleh penguasa dan oposisi. Muncul dugaan BLSM tidak lain
adalah money politic penguasa menjelang 2014. Wajar jika oposisi menyebut BLSM
adalah “Beli Langsung Suara Masyarakat”.
Terlepas dari politisasi BLSM, yang saya tahu
CCT tidak hanya ada di Indonesia tetapi juga negara-negara lain seperti
Pakistan, India, Filipina, Brazil, Chili, atau Mexico. Yang saya pahami adalah
wajib hukumnya bagi negara untuk melindungi segenap warga negaranya, khususnya
rakyat kecil, ketika ekonomi sedang terkena guncangan. Tak peduli koalisi atau
oposisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar