Jika kita perhatikan kondisi masyarakat di
pinggiran kota Jakarta, baik di daerah Banten, Jawa Barat atau pun di Jakarta
itu sendiri. Kita akan menemukan perkampungan-perkampungan kumuh yang diisi
oleh masyarakat miskin. Gambaran kemiskinan ini juga dapat kita lihat di
desa-desa, terutama di daerah pertanian yang jauh dari perkotaan. Kenyataan ini
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan, kemiskinan, terjadi di perkotaan maupun
di pedesaan. Pendapatan mereka tidak lebih dari $ 5/hari (mungkin malah
kurang). Mereka tinggal di daerah-daerah (pinggiran kota) seperti terisolasi
dari peradaban, padahal letak dari ibu kota negeri ini tidak lebih dari ratusan
kilometer saja. Bandingkan dengan pendapatan di negara-negara tetangga kita,
seperti di Malaysia, Singapura, Australia dan apalagi di negeri barat sana. Di
negara-negara ini pendapat masyarakat paling rendah adalah $ 20 /jam jika
sehari mereka kerja delapan jam berarti pendapatn mereka $ 160 USD, jika di
rupiahkan sekitar Rp. 1.440.000,- (Satu juta empat ratus empat puluh ribu
rupiah). Hitungan ini sama-sama berdasar pada pekerjaan yang paling kasar dan
tidak membutuhkan keahlian khusus, seperti kuli bangunan, cleaning service,
penjaga toko dan lainya. Itu artinya pekerjaan sehari di luar negeri sama
dengan gaji orang kantoran satu bulan.
Kondisi ekonomi yang tidak mengalami
perubahan berarati, mengakibatkan lahirnya berbagai persoalan sosial. Terutama
kesenjangan ekonomi yang semakin tajam akan mengancam stabilitas sosial politik
bangsa. Meningkatnya orang-orang kaya dengan pendapatan jauh melebihi
masyarakat pada umumnya akan semakin memperuncing persoalan akibat kesenjangan
sosial ini. Karena kesenjangan ini membuat frustasi orang-orang miskin di bumi
ini, sekaligus akan memacu tingkat kejahatan di negeri ini.
Dalam keadaan frustasi, sebagian kita mungkin
bertanya-tanya apa yang menyebabkan kemiskinan seolah tidak berakhir ini.
Menurut Prof. Winarno (2012:64) Neoliberalisem dianggap sebagai penyebab
kegagalan pembangunan. Paham ekonomi neoliberal ini melahirkan kondisi
kompetisi yang sangat tinggi. Kedua, pembelaan atas pasar menjadikan peran
negara dalam pembangunan menjadi semakin minim. Hal ini tentu dikarenakan
kuatnya para pemegang model terhadap perpolitikan di negeri ini.
Keikutsertaan Indonesia di dalam pasar bebas
terutama di wilayah asia, telah melahirkan persoalan yang cukup berat bagi
bangsa ini. Kondisi ini dilatari oleh dua faktor. Faktor pertama dari kebijakan
pemerintah dan faktor kedua adalah sifat atau bisa dikatakan budaya masyarakat
kita sendiri. Kebijakan pemerintah yang cenderung lebih mementingkan pemilik
modal sering mengorbankan rakyat kecil demi keuntungan segelintir orang.
Padahal, penanam modal di negeri ini sudah mengorbankan masyarakat kecil. Lahan
pecarian hidup masyarakat kecil tergerus seiring dengan lahirnya pemodal besar
yang datang dari berbagai kota atau bahkan investor asing. Lihatlah berdirinya
mall-mall juga swalayan-swalayan yang sekarang menjamur di pelosok-pelosok
desak telah merampas lahan bisnis masyarakat bermodal pas-pasan di daerahnya.
Lebih ironis lagi pendapatan dari penanaman modal asing itu tidak seutuhnya
digunakan bagi kepentingan bangsa ini, tetapi lebih banyak diambil oleh
perusahaan asing, sisanya untuk para penguasa (pejabat), sedangkan rakyat hanya
mendapatkan getahnya saja. Ambil lah contoh perusahaan pertambangan Freeport.
Sudah berapa lama keberadaan perusahaan ini, tetapi sampai saat ini
keberadaannya justru menjadi masalah besar bagi masyarakat sekitar. Dari rasio
pendapatan perusahaan itu, dengan jumlah yang dikeluarkan bagi kebaikan ekonomi
negara, atau sekedar masyarakat sekitar sangat bertolak belakang. Inilah bukti
bahwa pemegang kekuasasan di negeri ini tidak pernah memperhatikan kebutuhan
rakyatnya sendiri.
Persoalan kedua, kebudayaan masyarakat kita
sendiri memang sangat sulit mengikuti kompetisi dalam persaingan bebas ini.
Mengingat budaya masyarakat kita adalah budaya penikmat bukan pembuat. Hal ini
terlihat dari kebiasaan masyarakat kita yang lebih suka menggunakan
produk-produk ber-merk dari luar negeri dengan harga yang selangit. Hal ini
mengindikasikan bahwa sangat sulit bangsa ini untuk menjadi pemenang jika sifat
masyarakat sendiri masih lebih suka memakai produk orang lain daripada produk
sendiri. Daya juang masyarakat bangsa kita juga nampaknya jauh tertinggal
dengan orang-orang barat. Bandingkkan saja dengan negara Cina, Cina adalah
contoh masyarakat pejuang dimana mayoritas masyarakatnya memiliki interes di
bidang usaha atau niaga yang sangat dominan. Hasilnya bisa dilihata bahwa
masyarakatnya yang super banyak (1,4 milyar), tetapi masyarakatnya hidup
berkecukupan.
Dalam kondisi yang sudah sangat kritis, kita
pun harus menerima kenyataan bahwa di negeri ini sudah timbul berbagai indikasi
ketidakstabilan, baik sosial, ekonomi dan politik. Di daerah-daerah bahwan di
kota-kota besar lehir berbagai gerakan sosial yang ingin merusak stabilitas
sosial itu. Lahirnya organisasi-organisasi sosial yang anarkhis, gerakan pemuda
(geng motor dll), juga kejahatan-kejahatan yang setiap hari dapat kita saksikan
di media massa. Terjadinya perubahan perilaku masyarakat ini bukanlah tanpa
alasan, tetapi tentu ada faktor yang berperan yang mepengaruhinya.
Selain kondisi di dalam diri masyarakat,
sistem pemerintahan juga memiliki andil besar di dalam mewujudkan keadilan di
negeri ini. Jika sistem pemerintahan ini tetap mengutamakan pemilik modal maka
persoalan ini tidak bakal terselesaikan. Karena persoalan kemiskinan sebenarnya
adalah persoalan politis atau kelembagaan. Negera sebagi pemegang kendali
pemerintahan memiliki kunci di dalam merubah kondisi sosial politik, terutama
ekonomi. Itulah sebabnya Yustika (via Winarno, 2012: 69) menyatakan bahwa pasar
Neoliberal membuat kemiskinan di negeri ini menjadi lebih buruk, karena
kemiskinan pada dasarnya merupakan persoalan kelembagaan, yaitu bersifat
struktural. Kenapa demikian? Ada empat alasan yang mendasari persoalan ini.
Pertama, pasar neoliberal tidak ada kesetaraan kekuatan antarpelaku ekonomi.
Kedua, ketidaksejajaran kemampuan untuk melaksanakan “manipulasi” publik.
Ketiga, ninteraksi yang asimetris antar principal dan agent untuk membuat
kesepakatan ikatan kerja. Keempat, ketimpangan kekuatan dalam mempengaruhi
kebijakan publik.
Persoalan-persoalan inilah yang harusnya
menjadi pertimbangan pemerintah di dalam mengambil kebijakan atas sistem
perdagangan di negeri ini. Untuk itu perubahan atas kesejahteraan rakyat
kiranya hanya bisa dilakukan jika pemerintah benar-benar bisa melindungan
kepentingan rakyat tanpa pandang bulu. Perhatian pemerintah terhadap kepentingan
rakyat harus dijaga, karena darisinilah akan tercipta kestabilan sosial dan
politik di negeri ini. Jika hal ini sudah terwujud, masyarakat akan lebih mudah
dikendalikan diarahkan untuk mencapi tujuan bangsa secara bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar