Bicara tentang kemiskinan, maka bicara
tentang kepedulian, apakah itu dengan menyantuni para kaum fakir miskin, atau
dengan beberapa inovasi dalam kepeduliannya, seperti rumah singgah, rumah yatim
piatu, rumah Jompo atau dengan kartu sehat, pelatihan-pelatihan ketrampilan dan
lain-lain.
Untuk menggerakkan kepeduliannya, diperlukan
dana yang tidak kecil dan banyak orang. Bagi mereka yang tidak memiliki cukup
dana, dapat menyumbangkan tenaga dan pemikiran, bagi yang memiliki dana, dapat
dengan mengeluarkan zakat Mall dan sedekah.
Zakat Mall merupakan kewajiban harta yang
harus kita keluarkan, karena ada pemikiran, bahwa dalam harta kita, ada bagian
kaum miskin di dalamnya, sedangkan sedekah, adalah kewajiban social kita,
dengan pemikiran, bahwa akan terbentuk rasa kasih sayang antara kaum kaya
dengan kaum yang tidak memiliki harta, dengan bentuk rasa kasih sayang itu,
akan terbentuklah sebuah masyarakat yang harmoni.
Mereka yang memiliki harta akan menyayangi
kaum tidak berpunya dengan mengeluarkan sadaqah, sedang mereka yang bernasib
kurang beruntung, tidak anarkis karena merasa ada perhatian dan kasih sayang
dari mereka yang bernasib mujur dan berpunya. Hidup jadi indah dan damai.
Bicara tentang sadaqah maka kita ingat
tentang ustad Yusuf Mansur, beliau sering mengajak kita untuk sadaqah, selalu
beliau katakan bahwa Allah akan selalu membayar lebih banyak dari jumlah yang
kita sadaqahkan, bahkan beliau memperkenalkan matematika sadaqah,
hitung-hitungan berapa nilai yang kita peroleh jika dibandingkan dengan jumlah
sadaqah yang kita keluarkan. Sebagai upaya agar manusia rajin untuk bersadaqah,
secara metode dakwah hal demikian itu boleh-boleh saja.
Telah banyak program pengentasan kemiskinan
yang digulirkan, dirancang dengan metode ilmiah dan dikerjakan secara nasional,
bahkan didanai dengan pinjaman dari Bank Dunia, namun hasilnya ? Kemiskinan
tidak berkurang, survey membuktikan angka kemiskinan makin bertambah, apa yang
salah dalam masalah ini ? Jawabannya bisa beraneka ragam, banyak parameter yang
mengiringinya, dan debatable, tapi yang luput dari pembicaraan kita selama ini,
tentang hati nurani para pelaku dan mereka yang diamanati untuk mengelola
program pengentasan kemiskinan ini. Lalu apakah mungkin diselesaikan tanpa
pinjaman Bank Dunia ? Misalnya dengan sadaqah. Jawabnya mungkin. Mari kita coba
membuat matematikanya.
Jika zakat saja dipercaya dapat mengentaskan
kemiskinan, maka seorang yang taat membayarkan zakatnya tentu seorang yang
rajin juga bersedaqah. Jika seorang berpenghasilan 5 juta, maka setiap bulan
akan mengeluarkan zakat 125 ribu dan jika setiap hari dia mau mengeluarkan
sadaqah 2.500 maka sebulan menjadi 75 ribu, itu artinya uang yang
dikeluarkannya setiap bulan 200 ribu. Jika saja kita asumsikan bahwa dua puluh
persen rakyat Indonesia mau membayarkan zakat + sedekahnya setiap bulan, maka
jumlahnya 50 juta orang, jika dikalikan dengan dengan 200 ribu maka setiap
bulan akan terkumpul 10 T dan setahun akan terkumpul 120 T (uar biasa). Padahal
angka gaji 5 juta adalah angka gaji yang kecil, realita sesungguhnya, diatas
angka tersebut, dan angka dua puluh persen adalah angka yang sangat
disederhanakan dari mereka yang suka mengeluarkan zakat+shadaqah.
Lalu mengapa kenyataan yang ada, jauh berbeda
dengan teori diatas, inilah pertanyaan yang perlu dijawab oleh mereka yang
peduli akan rakyat miskin. Mesti ada sebuah manajemen yang rapi, bagaimana cara
mengumpulkan, mendistribusikan dan memanage-nya, sedangkan bagi pribadi-pribadi
kita, mari kita fokus untuk mengeluarkan zakat dan bersedekah, percayalah Allah SWT akan menggantinya langsung tunai, dengan kelipatan tujuh ratus kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar