Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Jumat, 17 Januari 2014

Korupsi, Kemiskinan, dan Sistem Nilai

Semakin miskin sebuah Negara akan berbanding lurus dengan tingginya level Achievment Motivation warga Negara tersebut. Orang-orang akan berlomba untuk menjadi cepat kaya. Jika tidak diimbangi dengan penanaman budaya dan system nilai sebagai model mental (Grondona:2000), maka kemiskinan suatu negara akan berkompromi dengan patologi-patologi sosial dalam kehidupan. Bagaimana  orang-orang harus menjadi kaya, melalui cara apa saja. Lawrence Harrison, pada tahun 2007 telah memberikan beberapa peringatan, kemiskinan (baca: Kemelaratan) negara-negara di dunia ke-tiga bukan sekedar disebabkan oleh masa lalu sebagai bangsa terjajah, tidak hanya disebabkan oleh kuatnya pengaruh kolonialisme, imperialisme, dan neo kolonialisme. Lebih dari itu, dipengaruhi besar oleh peran budaya dan system nilai dalam mengawal pembangunan, seperti pengentasan kemiskinan.
Peran budaya dan system nilai suatu bangsa  memiliki peran penting dalam pembangunan negara tersebut. Kejujuran, semangat, etos kerja, keterbukaan, rasa keadilan, dan seluruh potensi kebaikan lainnya sebagai perwujudan dari budaya dan system nilai berpengaruh besar terhadap kemajuan sebuah negara. Pandangan terhadap hal ini telah dikemukakan oleh para ahli ekonomi, sosial, dan politik bukan saat ini saja. Penelitian terhadap beberapa negara di Amerika Selatan oleh L. Harrison ketika membandingkan dengan pesatnya kemajuan di negara-negara Amerika Utara menyeret pada satu kesimpulan; semangat pengamalan nilai-nilai dalam kehidupan telah membawa manusia pada kemajuan.
Sistem nilai sebagaimana disebut di atas merupakan citra  budaya suatu bangsa, diakui secara umum sebagai potensi-potensi kebaikan yang mengendap dalam diri manusia. Weber telah membeberkan, bagaimana peran budaya, etika, dan nilai telah membawa perubahan pada masyarakat Protestan. Komparasi kemajuan antara negara-negara penganut Calvinisme dengan beberapa negara Katholik Ortodoks begitu jauh berbeda. Negara-negara Protestan lebih pesat memajukan dirinya dibandingkan dengan negara-negara Katholik Ortodoks. Bahkan dalam hal munculnya patologi sosial seperti korupsi, suap, dan nepotisme pun, negara-negara Protestan lebih kecil tingkatannya jika dibandingkan dengan negara-negara penganut Katholik Ortodoks.
Fakta paling mengejutkan adalah, negara-negara di dunia ke-tiga, didominasi oleh negara-negara Islam merupakan negara-negara pelaku korupsi. Sejauh ini belum banyak penelitian terhadap; Kenapa korupsi dan kejahatan-kejahatan moral lainnya lebih banyak dilakukan di negara-negara Islam ? Kenapa ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islami sama sekali tidak bisa menjadi penghambat kejahatan-kejahatan moral tersebut ? Daftar sepuluh negara terkorup di dunia berdasarkan hasil survey lembaga-lembaga independen dunia menempatkan 70% diisi oleh negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia menempati urutan ke-lima pada daftar negara-negara terkorup di dunia.
Korupsi semakin menggejala, bahkan telah menjadi satu budaya (culture) di dalam kehidupan kita. Ini terjadi sebagai akibat adanya saling keterkaitan antara kemiskinan dan lemahnya penerapan nilai dalam kehidupan. Kemiskinan menyebabkan seseorang ingin segera keluar dari kemelaratan, namun ketika tidak diimbangi oleh  etos kerja, cara apa pun akan dilakukan, yang penting cepat menjadi kaya! Runtuhnya tatanan nilai ini sebagai akibat langsung dari titik balik perubahan budaya. Entah darimana datangnya, tiba-tiba hembusan budaya asing tersebut meluluh-lantahkan tatanan nilai; kearifan, keramah tamahan, sikap merasa cukup, dan kejujuran. Individualisme menjadi pemantik maraknya praktik-praktik kecurangan dalam mendapatkan harta. Individualisme juga telah merajut budaya dinasti, pelanggengan modal sosial dan finansial oleh keluarga berdasarkan garis keturunan. Paradoks sekali ketika di satu daerah, kita melihat para elit dan pejabat di daerah tersebut mencicipi bahkan kelebihan harta kekayaan karena terlalu berkelimpahan, sementara masarakat harus hidup dalam penjara kemiskinan.
Tidak heran jika kemiskinan sebetulnya dipengaruhi oleh runtuhnya budaya dan sistem nilai bangsa tersebut. Seperti kata Lindsay, sistem ini sangat memengaruhi cara keputusan dibuat serta reaksi dan hasil dari kata keputusan. Keputusan  individu dibentuk berdasarkan hasil dari model mental . Model-model mental yang memengaruhi semua aspek tindakan manusia. Model  mental yang mendikte sikap negara terhadap pembangunan dan karenanya begitu berperan kemampuannya dalam menangani kemiskinan (Stace Lindsay: 2000). Runtuhnya sistem nilai berdampak pada kebijakan-kebijakan seorang individu (entah itu sebagai Presiden, Kepala Daerah, Kepala Dinas) untuk mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya. Kemiskinan strutktural pun terbentuk berafiliasi dengan kemiskinan kultural.

Lebih penting lagi, kepura-puraan, manipulasi, dan lemahnya penegakkan hukum menjadi fokus utama terhadap munculnya patologi-patologi sosial akhir-akhir ini. Lemahnya Karaktersitik budaya telah menjadi pendorong kemiskinan tetap bertahan di negara ini. Padahal, pembangunan dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan, bagaimana pun juga harus seiring dengan tumbuhnya budaya dan sistem nilai di suatu negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar