Semakin miskin sebuah Negara akan berbanding
lurus dengan tingginya level Achievment Motivation warga Negara tersebut.
Orang-orang akan berlomba untuk menjadi cepat kaya. Jika tidak diimbangi dengan
penanaman budaya dan system nilai sebagai model mental (Grondona:2000), maka
kemiskinan suatu negara akan berkompromi dengan patologi-patologi sosial dalam
kehidupan. Bagaimana orang-orang harus
menjadi kaya, melalui cara apa saja. Lawrence Harrison, pada tahun 2007 telah
memberikan beberapa peringatan, kemiskinan (baca: Kemelaratan) negara-negara di
dunia ke-tiga bukan sekedar disebabkan oleh masa lalu sebagai bangsa terjajah,
tidak hanya disebabkan oleh kuatnya pengaruh kolonialisme, imperialisme, dan
neo kolonialisme. Lebih dari itu, dipengaruhi besar oleh peran budaya dan
system nilai dalam mengawal pembangunan, seperti pengentasan kemiskinan.
Peran budaya dan system nilai suatu
bangsa memiliki peran penting dalam
pembangunan negara tersebut. Kejujuran, semangat, etos kerja, keterbukaan, rasa
keadilan, dan seluruh potensi kebaikan lainnya sebagai perwujudan dari budaya
dan system nilai berpengaruh besar terhadap kemajuan sebuah negara. Pandangan
terhadap hal ini telah dikemukakan oleh para ahli ekonomi, sosial, dan politik
bukan saat ini saja. Penelitian terhadap beberapa negara di Amerika Selatan
oleh L. Harrison ketika membandingkan dengan pesatnya kemajuan di negara-negara
Amerika Utara menyeret pada satu kesimpulan; semangat pengamalan nilai-nilai
dalam kehidupan telah membawa manusia pada kemajuan.
Sistem nilai sebagaimana disebut di atas
merupakan citra budaya suatu bangsa,
diakui secara umum sebagai potensi-potensi kebaikan yang mengendap dalam diri
manusia. Weber telah membeberkan, bagaimana peran budaya, etika, dan nilai
telah membawa perubahan pada masyarakat Protestan. Komparasi kemajuan antara
negara-negara penganut Calvinisme dengan beberapa negara Katholik Ortodoks
begitu jauh berbeda. Negara-negara Protestan lebih pesat memajukan dirinya
dibandingkan dengan negara-negara Katholik Ortodoks. Bahkan dalam hal munculnya
patologi sosial seperti korupsi, suap, dan nepotisme pun, negara-negara
Protestan lebih kecil tingkatannya jika dibandingkan dengan negara-negara
penganut Katholik Ortodoks.
Fakta paling mengejutkan adalah,
negara-negara di dunia ke-tiga, didominasi oleh negara-negara Islam merupakan
negara-negara pelaku korupsi. Sejauh ini belum banyak penelitian terhadap;
Kenapa korupsi dan kejahatan-kejahatan moral lainnya lebih banyak dilakukan di
negara-negara Islam ? Kenapa ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islami sama sekali
tidak bisa menjadi penghambat kejahatan-kejahatan moral tersebut ? Daftar
sepuluh negara terkorup di dunia berdasarkan hasil survey lembaga-lembaga
independen dunia menempatkan 70% diisi oleh negara dengan mayoritas penduduknya
beragama Islam, Indonesia menempati urutan ke-lima pada daftar negara-negara
terkorup di dunia.
Korupsi semakin menggejala, bahkan telah
menjadi satu budaya (culture) di dalam kehidupan kita. Ini terjadi sebagai
akibat adanya saling keterkaitan antara kemiskinan dan lemahnya penerapan nilai
dalam kehidupan. Kemiskinan menyebabkan seseorang ingin segera keluar dari
kemelaratan, namun ketika tidak diimbangi oleh
etos kerja, cara apa pun akan dilakukan, yang penting cepat menjadi
kaya! Runtuhnya tatanan nilai ini sebagai akibat langsung dari titik balik
perubahan budaya. Entah darimana datangnya, tiba-tiba hembusan budaya asing
tersebut meluluh-lantahkan tatanan nilai; kearifan, keramah tamahan, sikap
merasa cukup, dan kejujuran. Individualisme menjadi pemantik maraknya
praktik-praktik kecurangan dalam mendapatkan harta. Individualisme juga telah
merajut budaya dinasti, pelanggengan modal sosial dan finansial oleh keluarga
berdasarkan garis keturunan. Paradoks sekali ketika di satu daerah, kita
melihat para elit dan pejabat di daerah tersebut mencicipi bahkan kelebihan
harta kekayaan karena terlalu berkelimpahan, sementara masarakat harus hidup
dalam penjara kemiskinan.
Tidak heran jika kemiskinan sebetulnya
dipengaruhi oleh runtuhnya budaya dan sistem nilai bangsa tersebut. Seperti
kata Lindsay, sistem ini sangat memengaruhi cara keputusan dibuat serta reaksi
dan hasil dari kata keputusan. Keputusan
individu dibentuk berdasarkan hasil dari model mental . Model-model mental
yang memengaruhi semua aspek tindakan manusia. Model mental yang mendikte sikap negara terhadap
pembangunan dan karenanya begitu berperan kemampuannya dalam menangani
kemiskinan (Stace Lindsay: 2000). Runtuhnya sistem nilai berdampak pada
kebijakan-kebijakan seorang individu (entah itu sebagai Presiden, Kepala
Daerah, Kepala Dinas) untuk mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya.
Kemiskinan strutktural pun terbentuk berafiliasi dengan kemiskinan kultural.
Lebih penting lagi, kepura-puraan,
manipulasi, dan lemahnya penegakkan hukum menjadi fokus utama terhadap
munculnya patologi-patologi sosial akhir-akhir ini. Lemahnya Karaktersitik
budaya telah menjadi pendorong kemiskinan tetap bertahan di negara ini.
Padahal, pembangunan dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan, bagaimana pun juga
harus seiring dengan tumbuhnya budaya dan sistem nilai di suatu negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar