Saya sempat mendengarkan opini teman saya
yang akhir-akhir ini sangat intens sekali memperhatikan Jokowi-Ahok sebagai
pemimpin Jakarta. Beliau selalu mengidam-idamkan bisa bertemu DKI1 itu untuk
mengaspirasikan keinginannya untuk Jakarta (walaupun dia tinggal diluar Jakarta).
Tapi akhir-akhir ini beliau sedikit mengeluhkan apa yang biasanya terjadi di
jalanan. Seperti kita ketahui hampir di setiap lampu merah di Jakarta ataupun kota besar lainnya terdapat
pengemis dan anak jalanan yang siap merongrong kita dengan wajah melas dan
berpenampilan lusuh. Apa semua itu mengganggu dan merasa tidak menyenangkan
untuk anda ? Ataukah saking sangat seringnya kita melihat hal tersebut, jadi
dianggap biasa ? Jika kita sedikit menilik ke arah hukum Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1
jelas dikatakan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara.
Seseorang dikatakan masih anak-anak saat
dirinya belum menginjak usia 18 tahun dan belum menikah, akan tetapi jika
dirinya belum 18 tahun tapi sudah menikah maka bisa dikatakan orang tersebut
adalah dewasa. Jika kita melihat definisi secara keseluruhan Anak terlantar
adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa
kemungkinan : kemiskinan, salah seorang dari orang tua/wali sakit, salah
seorang/kedua orang tua/wali pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak
ada pengasuh) sehingga tidak dapat terpenuhinya kebutuhan dasar dengan wajar
baik jasmani, rohani, maupun sosial.
Kalau memang Jakarta (atau mungkin seluruh
kota di Indonesia) memiliki masalah
yang sama terkait anak-anak terlantar, apakah itu artinya anak-anak jalanan itu adalah disahkan oleh
negara untuk mengemis di jalanan ? Ataukah anak jalanan itu tidak tersentuh
hukum ketika dia mengganggu perjalanan orang lain ? Ataukah selama ini kita
sudah melihat ada tindakan dari pemerintah untuk memelihara fakir miskin dan
anak terlantar tersebut ? Atau mungkin
kita bisa menjeratnya dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan ? Sudahlah
mungkin terlalu ekstrim jika seperti itu.
Namun yang semakin membuat saya miris adalah
anak-anak itu mengemis karena orang tuanya yang menginginkan mereka begitu.
Terkadang orang tua mereka tidak segan untuk melakukan tindakan kasar jika
mereka tidak menghasilkan uang. Apakah orang tua mereka bisa di tindak secara
hukum karena ekploitasi anak ? Kemana Komnas Anak ? Apakah mereka hanya “memelihara”
anak-anak yang sanggup membayar mereka ? Ironi memang, karena Indonesia termasuk negara terbesar ketiga yang
mempekerjakan anak. Padahal sesuai Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak yang berbunyi : “Hak anak adalah bagian dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara”. Dari undang-undang tersebut seharusnya
banyak orang bisa berkaca dan menuntut orang tua mereka dijerat hukum dan
dipidanakan. Tapi apa daya negeri ini terlalu sibuk dengan statusisasi dan
konspirasi kemakmuran sehingga mereka
tidak mempedulikan anak-anak yang seharusnya menikmati pendidikan dan masa
kecil mereka yang indah tapi malah jadi suram karena harus beralih profesi
menjadi seniman jalanan.
Apa kontribusi kita untuk mereka ? Memberi
mereka uang saat mereka mengemis ? Atau malah memarahi mereka karena mereka
mengganggu kita ? Itu tak penting, memberi atau tidak memberi mereka tetaplah
menjadi seniman jalanan karena nasib mereka bukan tergantung dari pendapatan
mereka perhari, tapi dari orang tua yang mempekerjakan mereka.
Akhir kata obrolan saya dengan teman saya,
beliau berkata : ”Kenapa mereka para koruptor seperti Ustadz
Lutfhi Hasan, Ustadz Fatanah, Ustadz Anas Urbaningrum, Ustadz Andi Mallarangeng
tidak menikahi Ibu anak-anak jalanan untuk sedikit menghapus dosa mereka
setelah korupsi, daripada harus menikahi Darin Mumtazah dan “Mengorder Cinta”
ke Vitalia Seisya, Dasar Pecinta Pantat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar