Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Jumat, 03 Januari 2014

Catatan Hari AIDS Sedunia : “Kondom Alam” Dorong Penyebaran HIV/AIDS

EPIDEMI HIV terus berlangsung tanpa bisa direm. Kasus demi kasus di semua negara tertedeksi. Di Indonesia sudah dilaporkan 21.770 kasus AIDS. Sedang-kan di Sulawesi Utara sampai September 2010 sudah dila-porkan 715 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 265 HIV+ dan 450 AIDS, serta yang memakai ARV lebih dari 180.
Secara global diperkirakan penduduk dunia yang tertular HIV antara 29.200.000-32.600.000 (UNAIDS). Hari ini, 1 Desember, diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) sebagai upaya untuk mengingatkan (penduduk) dunia untuk meningkatkan penanggulangan epidemi HIV.
Sejak penularan dan pencegahan HIV diketahui secara medis mulailah pemakaian kondom disosialisasikan pada hubungan seksual yang berisiko tertular HIV secara luas. Pro dan kontra tentang kondom muncul di seluruh dunia di ranah opini dengan latar belakang asumsi berlandaskan moral. Di Indonesia sosialisasi kondom dihadang dengan cara ‘membenturkan’-nya dengan norma, moral, dan agama. Padahal, pencegahan dengan kondom merupakan ranah medis.
Sepanjang debat kusir terkait kondom berjalan selama itu pula terjadi penularan HIV. Ini terjadi tanpa disadari. Kasus demi kasus terdeteksi di berbagai daerah di Indonesia. Tapi, pemerintah tetap tidak bergeming karena angka kasus yang dilaporkan sangat kecil. Angka yang kecil ini pulalah yang membuat pemimipn negeri ini membusungkan dada. Padahal, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagai kecil dari kasus yang ada di masyarakat.
Biar pun ada fakta di beberapa negara di berbagai belahan dunia kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubugan seksual mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal tahun 2000-an berkat penggnaan kondom, tapi Indonesia tetap berkutat di ranah debat kusir.
Memang, sejak awal epidemi pemerintah sudah ‘mengha-ramkan’ kondom. Di awal epi-demi pada tahun 1983 Men-teri Kesehatan RI, Dr. Soewardjono Soerjaningrat, mengatakan pencegahan AIDS terbaik adalah tidak ikut-ikutan jadi homoseks dan mencegah turis-turis asing membawa masuk penyakit itu. Di tahun 1988 Kepala BKKBN Pusat, dr Haryono Suyono, mengatakan lembaga perkawinan merupakan benteng yang kuat terhadap menjalarnya penyakit AIDS di Indonesia.
Begitu pula dengan kondom. Terjadi gelombang penolakan sampai sekarang. Anjuran Dirjen Pariwisata, Joop Ave, agar kondom disebarluaskan secara cuma-cuma di hotel-hotel di Indonesia untuk mencegah penyebaran AIDS, dianggap kurang bijaksana.
Ketika dunia dilanda ‘kepanikan’ karena kasus HIV/AIDS terdeteksi pada penduduk mereka, Indonesia malah menyangkal dengan mengedepankan budaya, moral dan agama sebagai penangkal. Padahal, semua negara dan bangsa di muka bumi ini memiliki budaya, moral dan agama. Lagi pula, secara medis penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung norma, moral dan agama.
Terkait dengan sosialisasi kondom Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentangnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak dengan tegas program kondomisasi untuk penanggulangan AIDS, karena dengan menyetujui kondomisa-si berarti melegalkan prostitusi. Agak-nya, MUI dan organisasi lain sampai sekarang tidak bisa membedakan antara sosialisasi dan kondomisasi. Yang merebak adalah kondominasi, padahal dari aspek epidemiologi HIV yang dikembangkan ada-lah sosialisasi artinya memberikan pilihan kepada masyarakat tentang cara mencegah HIV.
Kalau saja di awal epidemi HIV/AIDS tidak dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama tentulah HIV/AIDS tidak akan dilihat dari aspek mitos (anggapan yang salah). Tapi, sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama.
Pemerintah Indonesia baru mengaku ada kasus AIDS di Indonesia ketika tahun 1987 seorang wisatawan Belanda meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, karena penyakit terkait AIDS. Tapi, tahun 1988 di tempat yang sama ada seorang penduduk asli Indonesia yang juga meninggal karena penyakit terkait AIDS. Statistik menunjukkan masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Berarti orang Indonesia tadi tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 jauh sebelum wisatawan Belanda yang neninggal itu tiba di Bali.
Dunia berlomba-lomba mencari obat dan vaksin HIV/AIDS. Persoalan yang dihadapi dunia kedokteran adalah HIV ternyata mempunyai banyak sub-type. Jika ada vaksin yang bisa menangkal HIV sub-type A, maka vaksin ini tidak bisa menangkal HIV sub-type lain. Sampai sekarang sudah diidentifikasi sub-type HIV dari A sampai O. Di Indonesia sub-type HIV adalah E, sama seperti di Malaysia dan Thailand.
Yang sudah tersedia saat ini adalah obat antiretroviral (ARV). Obat ini berguna untuk menekan laju perkembangkan HIV di dalam darah. Sebagai virus HIV menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih. Akibatnya, sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ rusak. Sebaliknya, HIV bekembang biak dalam jumlah yang sangat besar. Setiap hari HIV menggandakan diri antara 10 miliar sampai 1 triliun.
Karena HIV sangat cepat menggandakan diri maka sel-sel darah putih yang rusak pun sanga banyak karena HIV yang baru diproduksi akan menjadikan sel-sel darah putih menjadi ‘pabrik’ baru. Begitu seterusnya. Untuk itulah diperlukan obat ARV agar kondisi Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS) bisa tetap baik. Dengan 450 kasus AIDS baru 180 yang mengkonsumsi ARV merupakan pertanda buruk bagi penanggulangan HIV/AIDS di Sulut. Soalnya, jika Odha yang sudah mencapai masa AIDS tidak mengonsumsi obat ARV maka risiko menularkan HIV kepada orang lain tetap tinggi. Selain itu kasus-kasus HIV dan AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.
Di saat vaksin belum ditemukan kalangan pakar medis sudah menawarkawan cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Cara yang ditawarkan adalah menghindari pergesekan langsung antara penis dan vagina ketika terjadi hubungan seksual. Untuk itu dipakai kondom karena hanya kondom yang bisa memenuhi syarat.
Celakanya, sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual ditentang karena dianggap sebagai pemicu untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti. Tapi, ini hanya asumsi karena tidak ada fakta empiris yang membutikan bahwa kondom mendorong orang untuk melakukan hubungan seksual. Bahkan, para lelaki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Ketika dunia menghadapi dilema terkait dengan penolakan terhadap kondom muncul ‘angin surga’ yang meniupkan isu bahwa sunat bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual.
Kaitan sunat dengan AIDS berawal dari Afrika. Di salah satu negara di sana mayat-mayat yang meninggal di rumah sakit karena penyakit terkait AIDS diteliti. Hasilnya, mayat yang disunat lebih sedikit dari mayat yang tidak disunat.
Tapi, ada pertanyaan yang tidak terjawab dari penelitian itu karena yang diteliti adalah mayat, yaitu: informasi tentang perilaku seksual mereka ketika masih hidup. Misalnya, jumlah pasangan seksual di dalam dan di luar nikah, frekuensi hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, serta tingkat pemakaian kondom.
Jumlah pasangan seksual dan frekuensi hubungan seksual erat kaitannya dengan risiko tertular HIV. Risiko kian tinggi jika penggunaan kondom rendah. Fakta ini luput dari perhatian sehingga isu sunat sangat riskan jika dianggap sebagai ‘kondom’ pada hubungan seksual.
Data ini sangat penting untuk mendukung kaitan langsung antara penularan HIV dengan sunat. Tapi, karena sunat terkait dengan suku, adat, keyakinan dan agama maka informasi itu pun semerta diterima. Para pakar pun melakukan berbagai penelitian. Dikabarkan kepala penis yang disunat lebih sulit ‘ditembus’ HIV daripada kepala penis yang tidak disunat. Ada yang perlu diingat yaitu risiko ‘ditembus’ HIV pada saat terjadi sanggama tidak hanya pada kepala penis, tapi juga pada batang penis. Batang penis pada laki-laki yang disunat tidak berbeda dengan laki-laki yang tidak disunat.
Karena sunat sudah dikenal di berbagai kayakinan dan negara maka informasi tentang sunat ini mendapat tempat. Sosialisasi sunat pun mulai digencarkan sehingga meng-abaikan kondom. Kondisi ini dikhawatirkan bisa mendorong penyebaran HIV karena laki-laki yang disunat menganggap penisnya sudah memakai kondom. Ada anggapan laki-laki yang disunat sudah memakai ‘kondom alam’.
Jika laki-laki yang disunat menganggap dirinya sudah memakai ‘kondom alam’ tentulah mereka tidak lagi khwatir melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti. Tapi, kekhawatiran ini tidak pernah muncul ke permukaan. Realitas tentang ‘kondom alam’ akan menjadi fenomena baru dalam epidemi HIV karena laki-laki ‘hidung belang’ tidak lagi takut melaku-kan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

Jika itu yang terjadi maka kita tinggal menunggu waktu ‘ledakan AIDS’ karena penyebaran HIV terus terjadi melalui laki-laki yang tidak memakai kondom lateks karena menganggap dia sudah memakai ‘kondom alam’ (baca: disunat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar