EPIDEMI HIV terus berlangsung tanpa bisa
direm. Kasus demi kasus di semua negara tertedeksi. Di Indonesia sudah
dilaporkan 21.770 kasus AIDS. Sedang-kan di Sulawesi Utara sampai September
2010 sudah dila-porkan 715 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 265 HIV+ dan 450
AIDS, serta yang memakai ARV lebih dari 180.
Secara global diperkirakan penduduk dunia
yang tertular HIV antara 29.200.000-32.600.000 (UNAIDS). Hari ini, 1 Desember,
diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) sebagai upaya untuk
mengingatkan (penduduk) dunia untuk meningkatkan penanggulangan epidemi HIV.
Sejak penularan dan pencegahan HIV diketahui
secara medis mulailah pemakaian kondom disosialisasikan pada hubungan seksual
yang berisiko tertular HIV secara luas. Pro dan kontra tentang kondom muncul di
seluruh dunia di ranah opini dengan latar belakang asumsi berlandaskan moral.
Di Indonesia sosialisasi kondom dihadang dengan cara ‘membenturkan’-nya dengan
norma, moral, dan agama. Padahal, pencegahan dengan kondom merupakan ranah
medis.
Sepanjang debat kusir terkait kondom berjalan
selama itu pula terjadi penularan HIV. Ini terjadi tanpa disadari. Kasus demi
kasus terdeteksi di berbagai daerah di Indonesia. Tapi, pemerintah tetap tidak
bergeming karena angka kasus yang dilaporkan sangat kecil. Angka yang kecil ini
pulalah yang membuat pemimipn negeri ini membusungkan dada. Padahal, epidemi
HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya
sebagai kecil dari kasus yang ada di masyarakat.
Biar pun ada fakta di beberapa negara di
berbagai belahan dunia kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui
hubugan seksual mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal tahun 2000-an
berkat penggnaan kondom, tapi Indonesia tetap berkutat di ranah debat kusir.
Memang, sejak awal epidemi pemerintah sudah
‘mengha-ramkan’ kondom. Di awal epi-demi pada tahun 1983 Men-teri Kesehatan RI,
Dr. Soewardjono Soerjaningrat, mengatakan pencegahan AIDS terbaik adalah tidak
ikut-ikutan jadi homoseks dan mencegah turis-turis asing membawa masuk penyakit
itu. Di tahun 1988 Kepala BKKBN Pusat, dr Haryono Suyono, mengatakan lembaga
perkawinan merupakan benteng yang kuat terhadap menjalarnya penyakit AIDS di
Indonesia.
Begitu pula dengan kondom. Terjadi gelombang
penolakan sampai sekarang. Anjuran Dirjen Pariwisata, Joop Ave, agar kondom
disebarluaskan secara cuma-cuma di hotel-hotel di Indonesia untuk mencegah
penyebaran AIDS, dianggap kurang bijaksana.
Ketika dunia dilanda ‘kepanikan’ karena kasus
HIV/AIDS terdeteksi pada penduduk mereka, Indonesia malah menyangkal dengan
mengedepankan budaya, moral dan agama sebagai penangkal. Padahal, semua negara
dan bangsa di muka bumi ini memiliki budaya, moral dan agama. Lagi pula, secara
medis penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung norma, moral dan agama.
Terkait dengan sosialisasi kondom Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menentangnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak
dengan tegas program kondomisasi untuk penanggulangan AIDS, karena dengan
menyetujui kondomisa-si berarti melegalkan prostitusi. Agak-nya, MUI dan organisasi lain sampai sekarang tidak bisa membedakan antara
sosialisasi dan kondomisasi. Yang merebak adalah kondominasi, padahal dari
aspek epidemiologi HIV yang dikembangkan ada-lah sosialisasi artinya memberikan
pilihan kepada masyarakat tentang cara mencegah HIV.
Kalau saja di awal epidemi HIV/AIDS tidak
dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama tentulah HIV/AIDS tidak akan
dilihat dari aspek mitos (anggapan yang salah). Tapi, sejak awal epidemi HIV/AIDS
sudah dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama.
Pemerintah Indonesia baru mengaku ada kasus
AIDS di Indonesia ketika tahun 1987 seorang wisatawan Belanda meninggal di RS
Sanglah, Denpasar, Bali, karena penyakit terkait AIDS. Tapi, tahun 1988 di
tempat yang sama ada seorang penduduk asli Indonesia yang juga meninggal karena
penyakit terkait AIDS. Statistik menunjukkan masa AIDS terjadi antara 5-15
tahun setelah tertular HIV. Berarti orang Indonesia tadi tertular HIV antara
tahun 1973 dan 1983 jauh sebelum wisatawan Belanda yang neninggal itu tiba di
Bali.
Dunia berlomba-lomba mencari obat dan vaksin
HIV/AIDS. Persoalan yang dihadapi dunia kedokteran adalah HIV ternyata
mempunyai banyak sub-type. Jika ada vaksin yang bisa menangkal HIV sub-type A,
maka vaksin ini tidak bisa menangkal HIV sub-type lain. Sampai sekarang sudah
diidentifikasi sub-type HIV dari A sampai O. Di Indonesia sub-type HIV adalah
E, sama seperti di Malaysia dan Thailand.
Yang sudah tersedia saat ini adalah obat antiretroviral
(ARV). Obat ini berguna untuk menekan laju perkembangkan HIV di dalam darah.
Sebagai virus HIV menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih. Akibatnya,
sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ rusak. Sebaliknya, HIV
bekembang biak dalam jumlah yang sangat besar. Setiap hari HIV menggandakan
diri antara 10 miliar sampai 1 triliun.
Karena HIV sangat cepat menggandakan diri
maka sel-sel darah putih yang rusak pun sanga banyak karena HIV yang baru
diproduksi akan menjadikan sel-sel darah putih menjadi ‘pabrik’ baru. Begitu
seterusnya. Untuk itulah diperlukan obat ARV agar kondisi Odha (Orang yang
Hidup dengan HIV/AIDS) bisa tetap baik. Dengan 450 kasus AIDS baru 180 yang
mengkonsumsi ARV merupakan pertanda buruk bagi penanggulangan HIV/AIDS di
Sulut. Soalnya, jika Odha yang sudah mencapai masa AIDS tidak mengonsumsi obat
ARV maka risiko menularkan HIV kepada orang lain tetap tinggi. Selain itu
kasus-kasus HIV dan AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal.
Di saat vaksin belum ditemukan kalangan pakar
medis sudah menawarkawan cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual
di dalam dan di luar nikah. Cara yang ditawarkan adalah menghindari pergesekan
langsung antara penis dan vagina ketika terjadi hubungan seksual. Untuk itu
dipakai kondom karena hanya kondom yang bisa memenuhi syarat.
Celakanya, sosialisasi kondom sebagai alat
untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual ditentang karena
dianggap sebagai pemicu untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang
berganti-ganti. Tapi, ini hanya asumsi karena tidak ada fakta empiris yang
membutikan bahwa kondom mendorong orang untuk melakukan hubungan seksual.
Bahkan, para lelaki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Ketika dunia
menghadapi dilema terkait dengan penolakan terhadap kondom muncul ‘angin surga’
yang meniupkan isu bahwa sunat bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan
seksual.
Kaitan sunat dengan AIDS berawal dari Afrika.
Di salah satu negara di sana mayat-mayat yang meninggal di rumah sakit karena
penyakit terkait AIDS diteliti. Hasilnya, mayat yang disunat lebih sedikit dari
mayat yang tidak disunat.
Tapi, ada pertanyaan yang tidak terjawab dari
penelitian itu karena yang diteliti adalah mayat, yaitu: informasi tentang
perilaku seksual mereka ketika masih hidup. Misalnya, jumlah pasangan seksual
di dalam dan di luar nikah, frekuensi hubungan seksual di dalam dan di luar
nikah, serta tingkat pemakaian kondom.
Jumlah pasangan seksual dan frekuensi
hubungan seksual erat kaitannya dengan risiko tertular HIV. Risiko kian tinggi
jika penggunaan kondom rendah. Fakta ini luput dari perhatian sehingga isu
sunat sangat riskan jika dianggap sebagai ‘kondom’ pada hubungan seksual.
Data ini sangat penting untuk mendukung
kaitan langsung antara penularan HIV dengan sunat. Tapi, karena sunat terkait
dengan suku, adat, keyakinan dan agama maka informasi itu pun semerta diterima.
Para pakar pun melakukan berbagai penelitian. Dikabarkan kepala penis yang
disunat lebih sulit ‘ditembus’ HIV daripada kepala penis yang tidak disunat.
Ada yang perlu diingat yaitu risiko ‘ditembus’ HIV pada saat terjadi sanggama
tidak hanya pada kepala penis, tapi juga pada batang penis. Batang penis pada
laki-laki yang disunat tidak berbeda dengan laki-laki yang tidak disunat.
Karena sunat sudah dikenal di berbagai
kayakinan dan negara maka informasi tentang sunat ini mendapat tempat.
Sosialisasi sunat pun mulai digencarkan sehingga meng-abaikan kondom. Kondisi
ini dikhawatirkan bisa mendorong penyebaran HIV karena laki-laki yang disunat
menganggap penisnya sudah memakai kondom. Ada anggapan laki-laki yang disunat
sudah memakai ‘kondom alam’.
Jika laki-laki yang disunat menganggap
dirinya sudah memakai ‘kondom alam’ tentulah mereka tidak lagi khwatir
melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti. Tapi,
kekhawatiran ini tidak pernah muncul ke permukaan. Realitas tentang ‘kondom
alam’ akan menjadi fenomena baru dalam epidemi HIV karena laki-laki ‘hidung belang’
tidak lagi takut melaku-kan hubungan seksual dengan pasangan yang
berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.
Jika itu yang terjadi maka kita tinggal
menunggu waktu ‘ledakan AIDS’ karena penyebaran HIV terus terjadi melalui
laki-laki yang tidak memakai kondom lateks karena menganggap dia sudah memakai
‘kondom alam’ (baca: disunat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar