Ayo, Perangi Kemisinan! Ini adalah sebuah
slogan yang sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Terutama mengenai
cengkeraman kemiskinan missal di tengah badai bencana ditambah semakin sulitnya
situasi ekonomi yang ada di Indonesia ini. Memang, kita sebagai manusia tidak
boleh bersikap pesimis ataupun optimis yang membabibuta atas krisis kebangsaan
yang berupa jerat kemiskinan yang semakin lama semakin melilit negeri ini.
Persoalan terpenting untuk saat ini bukanlah berlama-lama untuk memperdebatkan
angka resmi berapa jumlah kemiskinan yang ada. Karena yang lebih nyata,
bagaimana mengurangi angka kemiskinan yang ada serta solusi penanggulangannya.
Kemiskinan timbul dari beberapa faktor
gabungan dan berbagai bidang seperti persoalan ekonomi, politik, pendidikan,
social-budaya, dan juga masalah pola pikir bangsa ini yang juga termasuk dalam
faktor yang ada. Oleh karena itu, perang untuk melawan kemiskinan tidak mutlak
berdiri sendiri, melainkan peperangan melawan kemiskinan itu juga harus
bersinergi dengan adanya pembenahan dalam bidang multisektoral. Telah banyak
analisa tentang kemiskinan oleh para pakar dengan berbagai solusi yang musti
dihadirkan. Berbagai program untuk mendorong perekonomian pun telah lengkap
yang dikeluarkan oleh Kantor Menko Perekonomian. Yakni antara lain adalah; tiga
paket kebijakan yang berkaitan dengan perbaikan iklim, pembangunan
infrastruktur, dan perbaikan sector keuangan, dan itu semua juga sudah lengkap
dengan matriks jadwal pencapaian serta departemen yang harus mempertanggung
jawabkannya. Akan tetapi selalu saja ada yang terjebak dalam program-program
tersebut. Karena tidak cukupnya keberanian yang dimiliki untuk melaksanakannya.
Toh kalaupun itu dilaksanakan, pasti selalu ada kontraproduktif dengan rumusan
yang telah digariskan. Tidak ada satupun yang menyangkal betapa kaya rayanya
negeri kita ini. Namun,mengapa rakyat di negeri ini masih tetap tenggelam dalam
kemiskinan? Salah satu jawabannya adalah sikap mental bangsa ini yang kuat akan
merusaknya daripada kemampuan untuk menjaga dan melestarikan kekayaan yang ada
ini. Mungkin ini adalah salah satu faktor mengapa rakyat di negeri ini hidupnya
semakin susah ? Apakah yang salah dalam hal ini ?.
Sesungguhnya dapat dibilang sudah lama kita
lemah dalam urusan dibidang administrasi kependudukan. Yang artinya, kita tidak
memiliki data kependudukan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, data
kependudukan yang menjadi data resmi nasional, serta acuan disetiap program
yang dibuat oleh pemerintah. Dulu hanyan mengandalkan dua sumber ketika
kemiskinan itu dibicarakan, yaitu dengan data Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional (Susenas) BPS dan data Keluarga Pra-Sejahtetra BKKBN, dan sekarang
juga ada data kemiskinan versi BLT atau Raskin yang kita punya.
Bangsa ini sudah terlalu terbiasa dalam
bertindak manipulatif. Bahkan untuk urusan rakyat miskin pun data yang berbeda
akan tersaji untuk kepentingan yang berbeda juga. Kita lihat saja perilaku
kepala daerah yang sudah tega menyembunyika kemiskinan di wilayahnya memimpin,
apabila data yang diminta itu dimaksudkan sebagai data pemeringkatan status
kemiskinan. Mereka sebagai pejabat daerah tidak ingin wilayahnya tersebut
dianggap yang tertinggal, dan kepemimpinannya yang dinilai gagal. Namun malah
sebaliknya, bila data yang dimaksudkan untuk menghitung dana bantuan kemiskinan
yang akna diberikan pemerintah pusat untuk wilayahnya, tidak jarang kepala
daerah yang sengaja membengkakkan jumlah penduduk miskin di wilayahnya.
Ini sangat disayangkan, data BPS dan BKKBN
yang kurang bisa dipakai untuk poverty targeting yang gunanya bisa melacak
siapa sesungguhnya yang berhak medapatkan dana kompensasi tersebut. Data BPS secara inheren dirancang untuk
melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis
kemiskinan. Data ini tidak berguna untuk mengambil kebijakan yang kental
mengandung tujuan targeting. Sementara, data BKKBN bermasalah dalam penetapan
definisi kemiskinannya. Kendati data ini memiliki disagregrasi yang lebih baik
daripada data yang ada diperoleh BPS, indikator dan metodologi yang dipakai
debatable. Akibatnya perselisihan sering terjadi di lapangan ketika data ini
dipakai untuk memisahkan antara kelompok miskin dan kelompok tidak miskin dari
target kebijakannya.
Berangkat dari kenyataan yang ada tersebut,
kejujuran dalah modal yang paling utama. Karena melalui kejujuran, sehingga
data yang dikumpulkan dan yang disajikan tidak menjadi data yang bias.
Kebijakan pembangunan pun bisa dususun dengan lebih terarah. Pemerintah juga
harus bersikap jujut dengan kenyataan yang ada dan kenyataan yang terjadi di
masyarakat, dan berlapang dada untuk mengungkapkannya. Lalu, bagaimanakah solusi dalam hal ini ?.
Persoalan kemiskinan yang ada merupakan persoalan
dalam jangka yang panjang. Solusi yang dihadirkan bisa dibilang merupakan
proyek masa depan. Jika sejarah adalah cermin, maka tidak ada proses yang
instan dalam penanggulangan dalam hal kemiskinan. Kebijakan berupa Bantuan
Langsung Tunai atau yang biasa disebut dengan BLT ini meskipun penting, namun
hanya merupakan kebijakan pelipur lara rakyat miskin. Ibarat pemerintah
memberikan “ikan” bukan “kail” kepada penduduk miskin. Maka akibatnya mereka
kurang bisa kreatif “memancing” ditengah arus derasnya kenaikan harga BBM
akhir-akhir ini.
Seperti halnya pemberantasan korupsi yang
akhir-akhir ini gencar diberitakan, kemiskinan juga harus dijadikan musuh
bersama yang harus diperangi. Keterlibatan seluruh elemen bangsa ini merupakan
dasar sesungguhnya memerangi sumber kerisauan yang membelenggu. Sejauh ini
masyarakat miskin masih dijadikan objek garapan yang belum pada level
partisipasi aktif dalam mengobati penyakit social yang sedang mereka derita.
Tanpa adanya perlibatan dinamis masyarakat miskin, agenda untuk pengurangan
angka kemiskinan di bangsa ini hanya ada di dunia angan-angan dan ide saja.
Selain itu juga kita dituntut untuk menciptakan pertumbuhan yang merata untuk
mengut=rsngi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi harus menjadi pertumbuhan untuk
semua, bukan untuk sekelompok kecil di bangsa Indonesia ini. Kebijakan nyata
yang pro-rakyat miskin harus dilaksanakan. Bukan bualan pemerintah dan jargon
politik semata. Masyarakat golongan bawah kurang mempunyai akses terhadap
faktor produksi seperti, tenaga kerja, modal, tanah, dan entrepreneur.
Kebijakan dalam pembangunan haruslah mengarah pada tingkat pemerataan yang
tinggi dan kemandirian yang besar. Dalam menghadapi persaingan global yang
semakin sengit ini, yang dibutuhkan adalah sikap opotisme untuk mandiri pada
eradigital dan ditengah orde dunia yang semakin kompleks ini.
Seluruh elemen yang ada pada bangsa ini harus
bahu-membahu mengatasi persoalan yang bersifat multisektoral. Harus lahir
tindakan yang cepat untuk malapetaka/bencana berupa kemiskinan. Bangsa ini
sangan membutuhkan yang namanya karya. Penyelesaian kemiskinan akan berbanding
lurus dnegan produktivitas dan karya kita sembagai anak bangsa. Selama 68 tahun
negeri ini merdeka, lebih banyak hal yang dirusak daripada hal yang diciptakan.
Ini mengakibatkan bukan hanya kekayaan alam yang jauh berkurang, tetapi hutang
Negara yang begitu menumpuk dan berat untuk dibayar. Kalau kita sebagai
masyarakat masih megakui bangsa ini adalah bangsa kita, maka bangunlah Negara
ini. Jangan malah merusaknya. Banyak sekali hal yang harus dilakukan untuk
mencapai cita-cita Indonesia sebagai Negara yang maju, sejahtera, dan bersatu.
Untuk mencapai itu kita harus mempunyai modal utama yang harus dihadirkan
adalah sikap yang unggul, yaitu semangat kebangkitan akibat heroisme untuk
mencapai keunggulan bangsa atau lebih akrabnya disebut dengan budaya yang
unggul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar