Meminjam hasil survei pekerja anak Indonesia
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Buruh
Internasional (ILO) pada 2009, jumlah pekerja anak di Indonesia berjumlah 4,1
juta anak atau 6,9 persen dari 58,7 juta anak Indonesia yang berusia 5-17
tahun. Kalau kita melihat di lapangan, jumlah pekerja anak bisa lebih besar
dari data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut. Apalagi dengan melihat data
sebelumnya, misalnya data ILO pada 1999 memperkirakan jumlah pekerja anak di
Indonesia sekitar 5 sampai 6,5 juta pekerja anak.
Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja
anak atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin
untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang
membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Bagong
Suyanto, 2003). Dengan demikian, anak-anak tersebut bekerja bukan karena
pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa orang lain.
Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa
bekerja adalah karena faktor kemiskinan struktural. Dalam keluarga miskin,
anak-anak umumnya bekerja demi meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagai tenaga
kerja keluarga, anak-anak tersebut biasanya tidak mendapatkan upah karena
mereka telah diberi makan. Sebagai buruh, anak-anak tersebut seringkali
mendapatkan upah yang tidak layak.
Lebih parahnya dalam era industrialisasi
sekarang, pengusaha industri justru memperoleh keuntungan yang sangat besar
dari pekerja anak. Bahkan pekerja anak sangat diminati karena mereka bisa
bekerja secara produktif seperti orang dewasa umumnya, tetapi pekerja anak
tersebut tidak banyak ulah dan bisa diupah dengan murah. Intinya, dalam
hubungan kerja, pekerja anak tersebut bisa dieksploitasi tanpa ada perlawanan.
Berbeda dengan pekerja dewasa (apalagi memiliki serikat pekerja) yang
sewaktu-waktu bisa “memberontak” dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan
upah.
Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak
bukan hanya soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, resiko
kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi obyek pelecehan dan
kesewenang-wenangan orang dewasa. Dalam beberapa kajian, mayoritas pekerja anak
bekerja lebih dari 7 jam per hari. Padahal berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, usia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia
13-14 tahun hanya boleh bekerja 3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh
bekerja 8 jam per hari tetapi dalam kondisi yang tidak membahayakan fisik dan
mental. Kenyataan di lapangan, pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun
yang bekerja rata-rata selama 6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak
tersebut bekerja di sektor berbahaya dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh
anak-anak.
Berdasarkan Konvensi ILO Nomor182 tentang
Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Mengeliminasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak, ada empat pekerjaan terburuk bagi anak, yakni: (1) semua
bentuk perbudakan atau praktik yang menyerupai praktik perbudakan, seperti
penjualan dan anak-anak kerja ijon dan perhambaan, serta kerja paksa atau wajib
kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk terlibat dalam
konflik bersenjata; (2) penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk
kegiatan prostitusi, produksi pornografi, atau pertunjukkan pornografi; (3)
penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan terlarang, terutama
untuk produksi dan penyelundupan narkotika dan obat-obatan psikotropika; (4)
pekerjaan yang pada dasarnya dan lingkungannya membahayakan kesehatan,
keselamatan, dan moral anak.
Meskipun Indonesia telah meratifikasi
Konvensi ILO tersebut pada 8 Maret 2000 lalu, namun hingga kini pemerintah
belum serius menangani persoalan pekerja anak di sektor berbahaya dan tidak
manusiawi. Pekerja anak dalam sektor ini sangat banyak, dan lagi-lagi masalah
kemiskinan menjadi fakor utamanya. Di beberapa tempat, tidak sedikit anak yang
bekerja selama 12 jam per hari, mendapatakan perlakukan kekerasan, pelecehan
seksual, pemerkosaan, pembunuhan, dijadikan sebagai pelacur, dan hal tak
manusiawi lainnya.
Pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan
untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan
pendidikan. Mereka kehilangan masa di mana mereka seharusnya menikmati masa
bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Tidak sedikit dari
pekerja anak tersebut terpaksa putus sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan
pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena keterbatasan
ekonomi keluarga, dan juga karena mereka tak sanggup memikul beban ganda
sebagai pekerja dan sebagai pelajar. Bagaimanapun juga mereka akan kesulitan
untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh karena itu, pekerja anak rentan putus
sekolah.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh, angka putus sekolah di tingkat SD sekitar 1,3 persen atau setara
400.000 siswa. Kemudian anak yang tidak melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP
sekitar 7,2 persen atau sekitar 2,2 juta siswa. Mereka yang putus sekolah atau
tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya tersebut kemungkinan besar akan
menjadi pekerja (dan sebagian dari mereka sebelumnya juga sudah bekerja).
Merekalah yang menjadi korban akibat kegagalan negara dalam mewujudkan
masyarakat sejahtera.
Sekali lagi, kemiskinan struktural yang tidak
bisa ditangani oleh negara (bahkan terkadang ikut disponsori oleh negara),
merupakan faktor utama yang memaksa anak-anak tersebut kehilangan kesempatan
untuk bertumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akhirnya layu sebelum
berkembang. Kemiskinan memaksa mereka bekerja, dan kemungkinan besar mereka
juga akan mewariskannya kepada anak-anaknya kelak. Sehingga kemiskinan dan
pekerja anak ini bagaikan rantai yang tidak bisa diputus.
Memang pemerintah sudah melakukan beberapa
upaya untuk menyelamatkan anak miskin melalui pemberian beasiswa. Tetapi hal
ini tidak cukup karena persoalan utamanya adalah kemiskinan struktural.
Artinya, selama roda kemiskinan struktural berputar maka pekerja anak akan
tetap menjamur. Pemberian beasiswa bagi anak miskin hanya ibarat memadamkan
kebakaran. Oleh sebab itu, selain memberikan bantuan subsidi, pemerintah harus
serius memberdayakan rakyat miskin dengan menerapkan prinsip ekonomi
kerakyatan.
Selain itu, semua pihak hendaknya menyadari
bahwa persoalan anak bukan hanya tanggung jawab domestik (rumah tangga) tetapi
juga merupakan tanggung jawab publik. Di sinilah dibutuhkan upaya yang serius
dari pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat untuk melindungi anak
khususnya pekerja anak. Semoga hal ini menjadi sebuah kegelisahan bersama yang
melahirkan gerakan dan langkah konkrit untuk menyelamatkan anak Indonesia.
Karena masa depan bangsa ada di tangan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar