Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 27 Januari 2014

Pekerja Anak dan Kemiskinan

Meminjam hasil survei pekerja anak Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009, jumlah pekerja anak di Indonesia berjumlah 4,1 juta anak atau 6,9 persen dari 58,7 juta anak Indonesia yang berusia 5-17 tahun. Kalau kita melihat di lapangan, jumlah pekerja anak bisa lebih besar dari data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut. Apalagi dengan melihat data sebelumnya, misalnya data ILO pada 1999 memperkirakan jumlah pekerja anak di Indonesia sekitar 5 sampai 6,5 juta pekerja anak.
Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Bagong Suyanto, 2003). Dengan demikian, anak-anak tersebut bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa orang lain.
Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena faktor kemiskinan struktural. Dalam keluarga miskin, anak-anak umumnya bekerja demi meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagai tenaga kerja keluarga, anak-anak tersebut biasanya tidak mendapatkan upah karena mereka telah diberi makan. Sebagai buruh, anak-anak tersebut seringkali mendapatkan upah yang tidak layak.
Lebih parahnya dalam era industrialisasi sekarang, pengusaha industri justru memperoleh keuntungan yang sangat besar dari pekerja anak. Bahkan pekerja anak sangat diminati karena mereka bisa bekerja secara produktif seperti orang dewasa umumnya, tetapi pekerja anak tersebut tidak banyak ulah dan bisa diupah dengan murah. Intinya, dalam hubungan kerja, pekerja anak tersebut bisa dieksploitasi tanpa ada perlawanan. Berbeda dengan pekerja dewasa (apalagi memiliki serikat pekerja) yang sewaktu-waktu bisa “memberontak” dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan upah.
Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. Dalam beberapa kajian, mayoritas pekerja anak bekerja lebih dari 7 jam per hari. Padahal berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia 13-14 tahun hanya boleh bekerja 3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 8 jam per hari tetapi dalam kondisi yang tidak membahayakan fisik dan mental. Kenyataan di lapangan, pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun yang bekerja rata-rata selama 6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak tersebut bekerja di sektor berbahaya dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh anak-anak.
Berdasarkan Konvensi ILO Nomor182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Mengeliminasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, ada empat pekerjaan terburuk bagi anak, yakni: (1) semua bentuk perbudakan atau praktik yang menyerupai praktik perbudakan, seperti penjualan dan anak-anak kerja ijon dan perhambaan, serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk terlibat dalam konflik bersenjata; (2) penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan prostitusi, produksi pornografi, atau pertunjukkan pornografi; (3) penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan terlarang, terutama untuk produksi dan penyelundupan narkotika dan obat-obatan psikotropika; (4) pekerjaan yang pada dasarnya dan lingkungannya membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak.
Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO tersebut pada 8 Maret 2000 lalu, namun hingga kini pemerintah belum serius menangani persoalan pekerja anak di sektor berbahaya dan tidak manusiawi. Pekerja anak dalam sektor ini sangat banyak, dan lagi-lagi masalah kemiskinan menjadi fakor utamanya. Di beberapa tempat, tidak sedikit anak yang bekerja selama 12 jam per hari, mendapatakan perlakukan kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, dijadikan sebagai pelacur, dan hal tak manusiawi lainnya.
Pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan masa di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena mereka tak sanggup memikul beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar. Bagaimanapun juga mereka akan kesulitan untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh karena itu, pekerja anak rentan putus sekolah.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, angka putus sekolah di tingkat SD sekitar 1,3 persen atau setara 400.000 siswa. Kemudian anak yang tidak melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP sekitar 7,2 persen atau sekitar 2,2 juta siswa. Mereka yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya tersebut kemungkinan besar akan menjadi pekerja (dan sebagian dari mereka sebelumnya juga sudah bekerja). Merekalah yang menjadi korban akibat kegagalan negara dalam mewujudkan masyarakat sejahtera.
Sekali lagi, kemiskinan struktural yang tidak bisa ditangani oleh negara (bahkan terkadang ikut disponsori oleh negara), merupakan faktor utama yang memaksa anak-anak tersebut kehilangan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akhirnya layu sebelum berkembang. Kemiskinan memaksa mereka bekerja, dan kemungkinan besar mereka juga akan mewariskannya kepada anak-anaknya kelak. Sehingga kemiskinan dan pekerja anak ini bagaikan rantai yang tidak bisa diputus.
Memang pemerintah sudah melakukan beberapa upaya untuk menyelamatkan anak miskin melalui pemberian beasiswa. Tetapi hal ini tidak cukup karena persoalan utamanya adalah kemiskinan struktural. Artinya, selama roda kemiskinan struktural berputar maka pekerja anak akan tetap menjamur. Pemberian beasiswa bagi anak miskin hanya ibarat memadamkan kebakaran. Oleh sebab itu, selain memberikan bantuan subsidi, pemerintah harus serius memberdayakan rakyat miskin dengan menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan.

Selain itu, semua pihak hendaknya menyadari bahwa persoalan anak bukan hanya tanggung jawab domestik (rumah tangga) tetapi juga merupakan tanggung jawab publik. Di sinilah dibutuhkan upaya yang serius dari pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat untuk melindungi anak khususnya pekerja anak. Semoga hal ini menjadi sebuah kegelisahan bersama yang melahirkan gerakan dan langkah konkrit untuk menyelamatkan anak Indonesia. Karena masa depan bangsa ada di tangan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar