Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Jumat, 27 September 2013

Desentralisasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah


DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH
 (Studi Pada Pendidikan Berbasis Sekolah di SMK N 1 Pesisir Tengah
Kabupaten Lampung Barat)


Atus Sundari* & Rahayu Sulistiowati**

*Sarjana Jurusan Administrasi Negara
**Dosen Jurusan Administrasi Negara
FISIP Universitas Lampung
Email ; yayu61@unila.ac.id


ABSTRAK

This article aims to describe and analyze an idea of decentralization of education based on local excellence through the implementation of school-based management in SMK N 1 Pesisir Tengah. The results of this research showed that the implementation of school-based management in SMK N 1 Pesisir Tengah has not been going well. This can be seen from yet successful implementation of decentralization functions by the Ministry of National Education to the school. Such as planning and program evaluation, management of curriculum, the management of equipment and supplies, Management of curriculum, teaching process management functions, management of financial, the school and community relations. From several functions that have not run optimally which mentioned above, SMK N 1 Pesisir Tengah is good enough in carrying out the functions workforce management, student services and the management of school climate. Meanwhile, community participation in the educational practices at SMK N 1 Pesisir Tengah only visible on the financing of honorary staff.

Keywords : School-Based Management, School Autonomy, Public Participation.



PENDAHULUAN

Desentralisasi dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk juga dalam bidang pendidikan. Desentralisasi pendidikan secara resmi dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun  2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut Hasbullah (2007:66) bentuk otonomi dalam bidang pendidikan berbeda dengan otonomi dibidang lainnya. Otonomi dibidang pendidikan tidak berhenti pada daerah tingkat kabupaten/kota tetapi sampai pada tingkat sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya pengalihan kewenangan pada level sekolah, maka sekolah diharapkan mampu menentukan arah pengembangan program yang sesuai dengan kondisi dan potensi daerah yang ada.
Menurut Umiarso dan Gojali (2010:28) Konsep penyelenggaraan pendidikan yang bersifat desentralisasi dikenal dengan manajemen berbasis sekolah yang merupakan perubahan paradigma pengelolaan pendidikan yang semula berpusat pada pemerintah pusat beralih ke pengelolaan pendidikan pada pola manajemen dimana sekolah tersebut yang mengelolanya.
Menurut Danim (2006: 28), kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia baru  dimulai sejak tahun 1999/2000 , yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut dengan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Dana tersebut  disetor langsung ke rekening sekolah, tidak melalui alur birokrasi  pendidikan  di atasnya (Dinas Diknas).
Menurut Umiarso dan Gojali (2010:81) adapun Kementerian Pendidikan Nasional mendeskripsikan bahwa tujuan pelaksanaan MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola serta memberdayakan sumber daya yang ada yang tersedia; meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; serta meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Menurut Umiarso dan Gojali (2010:19) Konsep dasar manajemen berbasis sekolah adalah pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan sekolah secara mandiri dengan melibatkan semua pihak yang terkait dengan  pendidikan  yang biasa disebut dengan otonomi pendidikan atau sekolah. Sehingga dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi mutu pendidikan di sekolah mampu melibatkan stakeholder sekolah, karena esensi MBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu pendidikan di sekolah.
Menurut Hasbullah (2007:54-55) dalam bidang pendidikan, otonomi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal sehingga memberikan hasil yang lebih baik. Dibidang pendidikan sendiri otonomi diberikan sampai pada tingkat sekolah. Otonomi persekolahan diharapkan memperbaiki pelayanan, menata organisasi sekolah, mencari, mengembangkan dan mendayagunakaan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan.
Menurut Kemendiknas dalam Sujanto (2007:36) fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah:
1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.
2.  Pengelolaan kurikulum. Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Menurut Hasbullah (2007:22) Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat.
3.  Pengelolaan proses belajar mengajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
4.  Pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
5.  Pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
6.  Pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
7.  Pelayanan siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Menurut Umiarso dan Gojali (2010: 98) Manajemen kesiswaan merupakan salah satu bidang operasional manajemen berbasis sekolah. Manajemen kesiswaan adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara berkelanjutan terhadap seluruh peserta didik agar dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan efektif dan efisien.
8.  Hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Menurut Mulyasa (2009:50) hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi siswa di sekolah.
9.  Pengelolaan iklim sekolah. Iklim sekolah yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

Desentralisasi pendidikan memberikan kewenangan kepada sekolah yang dikenal dengan otonomi pendidikan atau sekolah. Kewenangan tersebut memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia sesuai dengan potensi daerah yang ada.
Kabupaten Lampung Barat mempunyai panjang garis pantai 260 Km, dengan luas laut 912,21 mil, potensi kelautan yang bisa dimanfaatkan seperti perikanan laut, pariwisata, dan pertambangan. Kabupaten Lampung Barat dengan produktivitas penangkapan ikan laut pada tahun 2007 mencapai 8.817,1 ton dengan wilayah tangkapan sepanjang pantai pesisir Lampung Barat. Potensi perikanan laut dengan nilai proyeksi potensi maksimum lestari yang dimiliki mampu mencapai 17.000 ton/tahun. (www.lampungbarat.go.id, dimuat tanggal 06 November 2009. Diakses tanggal 08 Oktober 2009).  
Melihat potensi alam yang ada di Kabupaten Lampung Barat, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 5 yang menyatakan pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan berbasis keunggulan lokal. Dengan melihat potensi Kabupaten Lampung Barat di sektor kelautan, maka didirikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Pelayaran yang berdiri pada tanggal 24 Juni 2003. SMK Pelayaran dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Lampung Barat nomor B/98/KPTS/IV.07/2003 dengan pertimbangan untuk menyiapkan sumber daya manusia dibidang kelautan yang terampil dan siap pakai.
Namun faktanya, SMK N 1 Pesisir Tengah belum beroperasional dengan baik. Sarana dan prasarana sekolah yang masih kurang dan tidak memadai (seperti kapal-kapal besar), lokasi sekolah yang kurang strategis, kurangnya kerjasama sekolah dengan masyarakat untuk menyukseskan pendidikan berbasis kelautan (hasil observasi dan wawancara tanggal 18 maret 2010).
Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengkaji lebih dalam bagaimana pelaksanaan manajemen berbasis sekolah pada SMK N 1 Pesisir Tengah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Manajemen berbasis sekolah sebagai suatu pendekatan pengelolaan pendidikan dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memberikan kewenangan lebih luas kepada sekolah untuk mengelola sumber-sumber daya pendidikan dan membuka ruang yang luas untuk partisipasi masyarakat sesuai dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut: “bagaimana pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di era otonomi pendidikan pada SMK N 1 Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat”.


PEMBAHASAN

Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta perundang-undangan yang berlaku. (Kemendiknas, 2007:12). Berdasarkan hasil penelitian dan data yang didapat dari lapangan mengenai pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di era otonomi pendidikan di SMK N 1 Pesisir Tengah. Di bawah ini adalah pemaparan mengenai pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) tentang fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah.

1.       Perencanaan dan Evaluasi    Program
Manajemen berbasis sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakan sumber daya yang ada di  sekolah. Hal ini tentunya mengharuskan sekolah untuk lebih kreatif lagi menganalisis apa yang menjadi sumber daya dan kondisi lingkungan untuk kemudian menjadi perencanaan suatu program. Perencanaan yang dilakukan oleh SMK N 1 Pesisir Tengah saat ini adalah upaya memperbaiki citra diri sebagai sekolah kejuruan yang memiliki kompetensi yang berkualitas. Hal ini dikarenakan dari tahun berdirinya SMK N 1 Pesisir Tengah pada tahun 2003 masih dianggap sebagai sekolah yang tidak berkualitas. Dalam konteks evaluasi program, SMK N 1 Pesisir Tengah yang dilakukan oleh SMK N 1 Pesisir Tengah baru sebatas mengatasi kekurangan baik dari gedung, ruang belajar bahkan peralatan praktek yang belum memadai dan juga dikarenakan mulai meningkatkan siswa yang masuk ke SMK N 1 Pesisir Tengah ini.
Berdasarkan pengamatan peneliti, ada beberapa hal yang membuat perencanaan dan evaluasi program belum berjalan dengan baik. Pertama, SMK N 1 Pesisir Tengah masih banyak kekurangan mengingat penyelenggaraan pendidikan yang baru berjalan tujuh tahun. Hal ini tentunya masih terdapat kekurangan yang perlu dibenahi dan menbutuhkan waktu. Kedua, sumber daya yang ada di sekolah (tenaga pendidik dan potensi daerah yang memadai) belum didukung oleh pasilitas penunjang seperti ketersediaan sarana kapal, pelabuhan, dan tempat perbaikan kapal. Untuk menghasilkan output yang berkualitas tentu lembaga pendidik yang bertugas mecetak sumber daya manusia yang berkualitas harus didukung dengan fasilitas di daerahnya agar output yang dihasilkan tidak menjadi sa-sia. Ketiga, belum  adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pendidikan baik secara perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi tentang proses pendidikan. Keempat, kurangnya perhatian yang dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat sebagai fasilitator pendidikan untuk menyukseskan pendidikan berbasis kelautan sehingga nantinya juga berdampak pada tingkat kesejateraan masyarakat.

2.   Pengelolaan Kurikulum
Awal berdiri pengelolaan kurikulum SMK N 1 Pesisir Tengah dikelola oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lampung Barat, namun hasilnya belum berjalan dengan optimal dikarenakan fungsi ganda yang dijalani oleh DKP Kabupaten Lampung Barat serta jauhnya jarak tempuh antara SMK N 1 Pesisir Tengah dengan kantor DKP Kab. Lampung Barat.
Saat pengelolaan kurikulum SMK N 1 Pesisir Tengah telah berjalan baik dengan adanya tenaga pengajar yang benar-benar lulusan pelayaran. Kurikulum yang berlaku di SMK N 1 Pesisir Tengah sesuai dengan Dasar Kompetensi Kejuruan dan Kompetensi Kejuruan Sekolah Menengah Kejuruan dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Namun jika diamati lebih silabus yang ada di SMK N 1 Pesisir Tengah dengan Dasar Kompetensi Kejuruan dan Kompetensi Kejuruan Sekolah Menengah Kejuruan, ada beberapa standar kompetensi yang belum diterapkan di SMK N 1 Pesisir Tengah seperti menerapkan manajemen kapal penangkap ikan, melaksanakan kegiatan di pelabuhan perikanan dan lain-lain. Hal ini terkendala oleh tidak tersedianya fasilitas penunjang di Kecamatan Pesisir Tengah sendiri berupa kapal, pelabuhan dan tempat perbaikan kapal dapat menghambat kemajuan kualitas pendidikan.

3.       Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
MBS memberikan kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengembangkan sumber daya sekolahnya sehingga sekolah mampu menciptakan lulusan yang siap pakai. Jurusan NKPI merupakan jurusan yang memiliki 2 keahlian. Adapun 2 keahlian yang harus dikuasai oleh siswa adalah nautika kapal dan kapal penangkap ikan. Nautika kapal diharapkan agar siswa memiliki keahlian untuk mengoperasikan kapal, sedangkan kapal penangkap ikan agar siswa memahami cara teknik penangkapan ikan dengan kapal besar. Oleh sebab itu, jurusan NKPI dikelola oleh tenaga pengajar yang benar-benar sesuai dengan keahliannya. Proses belajar mengajar juga sangat mempengaruhi tingkat kelulusan siswa yang siap pakai di dunia kerja.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti dalam proses belajar mengajar di SMK N 1 Pesisir Tengah belum berjalan dengan baik. Walaupun penyampaian materi oleh pengajar khususnya jurusan NKPI sudah berjalan sesuai dengan silabus dan dasar kompetensi sekolah menengah kejuruan. Namun untuk meningkatkan mutu pendidikan yang baik tentunya proses belajar mengajar harus didukung dengan sarana yang lain. Sarana yang mendukung seperti gedung untuk praktek dan alat praktek. Dalam hal ini, SMK N 1 Pesisir Tengah masih mengalami kesulitan.

4.   Pengelolaan Ketenagaan
Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan untuk mengelola ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah kecuali guru Pegawai Negeri Sipil. Untuk kemajuan sekolah, sekolahlah yang memahami kebutuhannya, begitu juga dengan kebutuhan tenaga pendidiknya. Untuk pembiayaannya, sekolah bekerjasama dengan komite sekolah dan masyarakat agar proses penyelenggaraan pendidikan berjalan dengan baik. Dalam pengelolaan ketenagaan, sekolah melibatkan masyarakat terutam yang tergabung dalam komite sekolah untuk memusyawarahkan kenutuhan akan ketenagaan honorer.

5.       Pengelolaan Peralatan dan Perlengkapan
Sebagai sekolah yang mengutamakan keahlian, maka sekolah tentunya memerlukan peralatan dan perlengkapan untuk praktek. Jurusan NKPI yang mengajarkan siswanya tentang bagaimana pelayaran, tentu alat praktek yang digunakan juga alat praktek yang khusus. Pengadaan alat-alat praktek sendiri  salah satunya masih bersumber pada dana dari APBD yaitu melalui Program Bantuan Dana Penyelenggara Pendidikan (BDPP).
Kualitas pendidikan selain dilihat dari proses belajar mengajar tetapi juga harus didukung dengan sarana penunjang seperti alat praktek yang baik, lengkap dan memadai. Alat praktek untuk jurusan NKPI memang masih kurang dari segi jumlah dan jenis. Jurusan NKPI (nautika kapal penangkap ikan) yang didalam jurusan ini harus memiliki keahlian dalam mengoperasikan kapal dan tehnik penangkapan ikan dengan kapal besar. Idealnya SMK N 1 Pesisir Tengah memiliki peralatan dan perlengkapan berupa kapal.
Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah terdapat peran serta pihak stakeholder untuk kemajuan penyelenggaraan pendidikan.  Berdasarkan pengamatan peneliti mengenai pengelolaan peralatan dan perlengkapan belum melibatkan pihak stakeholder seperti pihak Mariana Pratama Group yang ikut andil di SMK N 1 Pesisir Tengah dalam praktek kerja industri siswa.

6.   Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan. Dana juga merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Anggaran SMK N 1 Pesisir Tengah menyatakan SMK N 1 Pesisir Tengah mendapat bantuan dari program Pemerintah Daerah Kebupaten Lampung Barat yaitu BDPP (Bantuan Dana Penyelenggaraan Pendidikan) Kabupaten Lempung Barat dan masyarakat. Dana yang berasal dari masyarakat dipergunakan untuk pembiayaan tenaga honorer baik tenaga pengajar maupun tenaga administrasi. Dalam konteks manajemen berbasis sekolah, SMK N 1 Pesisir Tengah belum mampu mengelola sumber daya yang ada dan keterampilan yang ada untuk dijadikan salah satu usaha sebagai sumber dana bagi SMK N 1 Pesisir Tengah.
Menurut Sagala dalam Umiarso dan Gojali (2010:103) jika pembiayaan pendidikan tidak terpenuhi maka secara nasional  akan ditemukan dampak berupa terjadinya erosi kualitas sehingga kontribusinya terhadap pembangunan rendah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolah sendiri yang paling memahami akan kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian pembiayaan sekolah berkewajiban menghimpun, mengelola, dan mengalokasikan dana untuk mencapai tujuan sekolah. Dengan otonomi pendidikan, SMK N 1 Pesisir Tengah seharusnya lebih jeli melihat peluang bisnis agar anggaran pendidikan tidak hanya berasal dari dana APBD. Keterlibatan masyarakat pun seharusnya bukan hanya sekedar pembiayaan tenaga honorer. Sekolah bisa mengajak masyarakat untuk bekerja sama untuk membuka usaha untuk menghasilkan keuntungan seperti pengelolaan hasil laut.

7.   Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan.
Pelayanan siswa diberikan sejak penerimaan siswa baru hingga mereka lulus dari SMK N 1 Pesisir Tengah. Selain pelayanan siswa yang diberikan oleh sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler berupa kesamaptaan yang berguna untuk menciptakan sifat kedisiplinan juga pelayanan dari segi dukungan moral berupa motivasi kepada siswa. SMK N 1 Pesisir Tengah juga memberikan pelayanan kepada siswa hingga mereka lulusan dan mengantar lulusan untuk pelatihan di Bali. Sejak berada di bawah kepemimpinan Hatriopar, SMK N 1 Pesisir Tengah cukup banyak  prestasi yang diraih siswa. Hal ini membuktikan bahwa dibawah kepemimpinannya, beliau mampu mengelola pelayanan siswa.
Manajemen kesiswaan ini tentunya dilakukan terus menerus agar sekolah mampu menciptakan suasana yang kondusif. Menurut Umiarso dan Gojali (2010: 98) Manajemen kesiswaan merupakan salah satu bidang operasional manajemen berbasis sekolah. Manajemen kesiswaan adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara berkelanjutan terhadap seluruh peserta didik agar dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu, manajemen kesiswaan bukan hanya berbentuk pencatatan data peserta didik tersebut dari suatu sekolah, melainkan aspek yang lebih luas yang secara operasional dapat membantu upaya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan di sekolah.

8.       Hubungan Sekolah dan Masyarakat
MBS adalah model manajemen yang membuka luas ruang partisipasi masyarakat. Hubungan yang dilakukan SMK N 1 Pesisir Tengah bukan hanya kepada masyarakat (orang tua siswa) saja tetapi SMK N 1 Pesisir Tengah dengan sekolah menengah pertama dalam bentuk sosialisasi. Selain itu juga, hubungan sekolah dengan masyarakat selain pembiayaan tenaga honorer, bentuk partisipasi masyarakat kepada sekolah dengan memberikan kesempatan bagi siswa-siswa SMK N 1 Pesisir Tengah untuk prakerin.
Menurut Mulyasa (2009:50) hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi siswa di sekolah. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan efisien. Sebaliknya sekolah harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah berkewajiban untuk memberikan penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan serta keadaan masyarakat. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan dan tuntutan masyarakat terutama terhadap sekolah. Oleh karena itu, antara sekolah dan masyarakat harus dibina hubungan yang harmonis.
Hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat ini semakin dirasakan pentingnya pada masyarakat yang telah menyadari dan memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Namun tidak berarti pada masyarakat yang masih kurang menyadari pentingnya pendidikan, hubungan kerjasama ini tidak perlu dibina. Pada masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan, sekolah dituntut lebih aktif dan kreatif untuk menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis. Jika hubungan sekolah dan masyarakat berjalan dengan baik, maka rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat untuk memajukan pendidikan akan baik dan tinggi juga. Agar tercipta hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat, masyarakat perlu mengetahui dan memiliki gambaran yang jelas tentang SMK N 1 Pesisir Tengah.

9.       Pengelolaan Iklim
Iklim sekolah yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.
SMK N 1 Pesisir Tengah dalam hal pengelolaan iklim dilakukan secara ketat mengingat SMK N 1 Pesisir Tengah belum dilengkapi dengan fasilitas pagar. Dilihat dari lokasi memang SMK N 1 Pesisir Tengah berada jauh dari keramaian sehingga suasana  yang hening mampu menciptakan suasana penyelenggaraan pendidikan yang tenang. Namun ketenangan tersebut tidak didukung oleh prasarana yang lain seperti pagar yang belum ada. Hal tersebut membuat siswa SMK N 1 Pesisir Tengah bisa dengan bebas keluar dari lingkungan sekolah.
Kegiatan ekstrakurikuler berupa kesamaptaan yaitu kegiatan kedisplinan yang di aplikasikan dengan kegiatan baris berbaris dilaksanakan untuk membangun jiwa disiplin siswa. Adapun sanksi yang diberlakukan sekolah untuk siswa yang melanggar adalah sanksi teguran dan pemanggilan orangtua siswa. Sampai saat ini belum ada siswa yang dikeluarkan dari sekolah akibat kenakalan siswa.
Iklim sekolah yang dikelola oleh SMK N 1 Pesisir Tengah adalah sikap kekeluargaan antara guru dan siswa. Selain itu juga, hasil yang diperoleh adalah prestasi belajar siswa yang dapat dilihat pada bulan November 2010 SMK N 1 Pesisir Tengah mengirim siswanya untuk mengikuti Lomba Kompetensi Siswa (LKS) se- Lampung Barat dan SMK N 1 Pesisir Tengah mendapatkan prestasi yang bagus. Dengan prestasi yang baru saja diraih oleh siswa membuktikan bahwa SMK N 1 Pesisir Tengah mampu mengelola iklim sekolah.

10.    Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam pendidikan. Untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan pendidikan di sekolah, sepatutnya manajer pendidikan melalui tokoh–tokoh masyarakat aktif menggugah perhatian masyarakat. Dalam usaha membina hubungan dan kerjasama antara sekolah dan masyarakat ada badan yang dapat menjadi tempat partisipasi masyarakat untuk kemajuan pendidikan di daerah yaitu komite sekolah. SMK N 1 Pesisir Tengah sebagai lembaga pendidikan.
Partisipasi masyarakat bersama komite SMK N 1 Pesisir Tengah terlihat dalam pembiayaan tenaga honorer. Adanya musyawarah dalam menentukan besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua siswa mengidentifikasikan adanya hubungan yang baik antara SMK N 1 Pesisir Tengah dengan masyarakat. Tugas komite sekolah juga untuk mengawasi siswa yang berkeliaran pada waktu jam sekolah. Masyarakat atau komite sekolah sudah menjadi kewajiban untuk menyampaikan tingkah laku siswa selam siswa tersebut memakai pakaian SMK N 1 Pesisir Tengah.
Menurut Hasbullah (2007:57) menyatakan bahwa sekolah menjadi tanggung jawab masyarakat, sekolah yang bekerja sendirian tanpa melibatkan masyarakat akan sulit untuk maju. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan yang terus menerus dikembangkan. Adapun pendekatan yang dapat dibangun oleh SMK N 1 Pesisir Tengah adalah pendekatan partisipatif, dimana masyarakat khususnya orang tua siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk ikut serta dalam masalah pendidikan. Masyarakat seharusnya dilibatkan untuk menganalisis seluruh infrastruktur yang ada di sekolah, baik menyangkut sumber daya manusia, kurikulum, sarana dan prasarana, sistem informasi dan semua yang dianggap berkaitan. Namun faktanya, baik SMK  N 1 Pesisir Tengah maupun masyarakat belum bekerjasama dengan baik.

KESIMPULAN

pelaksanaan MBS di SMK N 1 Pesisir Tengah yang belum berjalan dengan baik adalah  pertama, perencanaan dan evaluasi program. Perencanaan dan evaluasi program dalam MBS di SMK  N 1 Pesisir Tengah belum sepenuhnya melibatkan masyarakat. Saat ini, SMK N 1 Pesisir Tengah memfokuskan pada perbaikan citra diri, sarana dan prasarana yang masih belum memadai serta kurang peran serta masyarakat dalam proses penrencanaan proses pendidikan. Seharusnya dalam MBS, masyarakat dapat berperan serta baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses pendidikan.
Kedua, fungsi pengelolaan kurikulum berdampak pada fungsi pengelolaan proses belajar mengajar. Dalam implementasi pengelolaan kurikulum dan proses belajar mengajar yang diterapkan SMK N 1 Pesisir Tengah belum berjalan cukup baik. Walaupun jika dilihat dari output SMK N 1 Pesisir Tengah yang bisa terserap di dunia kerja. Pengelolaan kurikulum dan proses belajar mengajar tidak sepenuhnya didukung oleh fasilitas seperti peralatan dan perlengkapan yang memadai. Kecamatan Pesisir Tengah merupakan wilayah pesisir yang menyimpan potensi sumber daya alam berupa hasil laut. Untuk peningkatan kualitas pendidikan berbasis keunggulan lokal ini perlu adanya perhatian yang lebih besar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat dalam menfasilitasi peralatan dan perlengkapan. Hal ini mengingat bahwa tujuan awal terbentuknya SMK N 1 Pesisir Tengah sendiri untuk menciptakan peserta didik yang memiliki keahlian di bidang kelautan. Namun faktanya, lulusan SMK N 1 Pesisir Tengah yang dibekali keahlian nautika kapal penangkap ikan tidak terserap di daerah Lampung Barat  sendiri.
Ketiga, MBS menekankan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan proses pendidikan salah satunya adalah pengelolaan keuangan. Faktanya, SMK N 1 Pesisir Tengah belum mampu mengelola keuangan secara mandiri. Sumber keuangan SMK N 1 Pesisir Tengah berasal dari APBD dan masyarakat. Seharusnya SMK N 1 Pesisir Tengah mampu mengelola sumber keuangan secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk dijadikan sumber anggaran.
Keempat, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat SMK N 1 Pesisir Tengah dinilai belum berhasil. Hubungan yang dilaksanakan oleh SMK N 1 Pesisir Tengah saat ini berupa hubungan sekolah dengan lembaga pendidikan lain dan hubungan sekolah dengan masyarakat (untuk prakerin siswa) tetapi untuk jurusan NKPI belum terlihat. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan hubungan sekolah dan masyarakat harusnya  bersinergi. Peran serta masyarakat tidak hanya sekedar bantuan finansial tetapi lebih dari itu. Hubungan sekolah yang dibangun oleh SMK N 1 Pesisir Tengah saat ini belum berjalan optimal dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat Krui yang rendah. Jika masyarakat bersikap pasif maka SMK N 1 Pesisir Tengah yang mengugah semangat masyarakat akan pentingnya pendidikan.
Kelima, Salah satu keberhasilan desentralisasi pendidikan yang berwujud pada MBS adalah kemampuan sekolah untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan. Dalam penyelenggeraan pendidikan partisipasi masyarakat diwakili melalui komite SMK N 1 Pesisir Tengah. Namun dalam pelaksanaan fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah, SMK N 1 Pesisir Tengah belum mampu mengelola keterlibatan masyarakat secara optimal.
Keberhasilan manajemen berbasis sekolah di SMK N 1 Pesisir Tengah adalah pengelolaan ketenagaan, pengelolaan fungsi pelayanan siswa dan pengelolaan iklim sekolah. SMK N 1 Pesisir Tengah dalam penyelenggaraan proses pendidikan diperlukan pengelolaan tenaga pendidik yang sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam pengelolaan ketenagaan di SMK N 1 Pesisir Tengah terlihat adanya peran serta masyarakat dalam pembiayaan tenaga honorer baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan.  Pelayanan siswa yang diberikan SMK N 1 Pesisir Tengah telah mengupayakan kegiatan yang berpusat pada pengembangan diri siswa. Hal ini terbukti dengan kegiatan kesamaptaan yang bertujuan untuk menciptakan sifat kedisplinan siswa.
Selain itu, pengelolaan iklim sekolah, walaupun dengan keterbatasan prasarana yang ada SMK N 1 Pesisir Tengah mampu mengatasinya. Upaya  meminimalisir keluar masuknya siswa saat proses belajar mengajar, SMK N 1 Pesisir Tengah memantau secara ketat dengan adanya satpam. Selain itu, iklim sekolah yang dikelola oleh SMK N 1 Pesisir Tengah adalah sikap kekeluargaan antara guru dan siswa. pengelolaan iklim sekolah yang kondusif tentunya menghasilkan suatu prestasi. Pada masa kepemimpinan Drs. Hatriopar prestasi yang telah dicapai oleh SMK N 1 Pesisir Tengah cukup membanggakan.

Sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan tentunya perlu menarik perhatian yang lebih baik dari kalangan masyarakat maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat untuk bersama-sama menyukseskan pendidikan yang berbasis kelautan. SMK N 1 Pesisir Tengah menjadi SMK N kejuruan pada umumnya jika tidak mampu mencetak sumber daya manusia yang bermanfaat bagi daerahnya sendiri. Dalam penelitian ini, SMK N 1 Pesisir Tengah tidak lagi menjadi sekolah yang berbasis keunggulan lokal. Hal ini dikarenakan SMK N 1 Pesisir Tengah terdapat jurusan-jurusan yang lain yang tidak lagi mengarah pada keunggulan lokal. Padahal kewenangan berupa manajemen berbasis sekolah yang diterapkan pemerintah dimaksudkan agar sekolah mampu meng-eksplor potensi daerahnya dengan membuka program pendidikan yang sesuai dengan potensi daerah tersebut.
Peran serta yang aktif dari masyarakat dalam proses pendidikan tentu sangat diperlukan. Keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan baik bantuan berupa finansial dan pemikiran tentunya akan meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan tentunya harus ada hubungan yang sinergi antara pemerintah daerah selaku fasilitator pendidikan, sekolah dan masyarakat. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkompeten di bidang kelautan tentunya perlu adanya tindak lanjut baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, SMK N 1 Pesisir Tengah dan juga masyarakat.
Selain itu, perlu adanya perhatian yang lebih besar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat yang harus lebih menunjang penyelenggaraan pendidikan berbasis kelautan. Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat sebagai fasilitator pendidikan seharusnya memberikan perhatian yang lebih berupa fasilitas penunjang (kapal, pelabuhan, dan tempat perbaikan kapal) kepada sekolah yang berbasis pada keunggulan lokal. Fasilitas penunjang dalam pendidikan berbasis keunggulan lokal tidak hanya berdampak bagi mutu pendidikan,  tetapi juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. PT Bumi Aksara: Jakarta.
Dedidwitagama. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal Global. Dimuat tanggal 07 November 2007. http://www.dedidwitagama.wordpress.com. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2009.
Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Hermawan, Dedy. 2005. Buku Ajar Manajemen Strategi. Universitas Lampung. Bandar Lampung
http://www.lampungbarat.go.id. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2009.
Lukita, BM Grahadyarini. Menyikapi Kemelut Perikanan. www.targetmdgs.org/index.php. Diakses tanggal 15 mei 2010
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Mulyasa. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. PT Gralia Indonesia: Bogor.
Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Rizal, Achmad. Strategi Kebijakan Untuk Mendorong Kinerja Sektor Kelautan. Dimuat tanggal 13 Desember 2009. http://resources.unpad.ac.id. Diakses tanggal 13 Desember 2009.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masayarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Kencana: Jakarta.

Salam, Dharma Setyawan. 2007. Otonomi Daerah: Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan Sumber Daya. Djambatan: Jakarta.
Siagian, Sondang P. 2007. Manajemen Stratejik. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Sirozi, 2005. Politik Pendidikan. PT Raja Grafindo: Jakarta.
Solihin, Ahmad. 2007. Partisipasi Publik dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan (Studi  Tentang Peran Komite Sekolah pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Bandar Lampung). (Skripsi). Universitas Lampung: Lampung.
Sujanto, Bedjo. 2007. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah; Model Pengelolaaan Sekolah di Era Otonomi Daerah. CV. Sagung Seto: Jakarta.
Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif , Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.
Tangkilisan. 2005. Manajemen Publik. PT Grasindo: Jakarta.
Terry & Rue. 2009. Dasar-Dasar Manajemen. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Tilaar. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rineka Cipta: Jakarta.
Umiarso dan Gojali, Imam. 2010. Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan. IRCiSoD: Jogjakarta.
Zen, Mohammad. Desentralisasi Setengah Hati. http://bataviase.co.id. Dimuat tanggal 13 Desember 2009. Diakses pada tangal 13 Desember 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Mengapa (Perlu) Pendidikan Karakter ?

Mengapa (Perlu) Pendidikan Karakter?
Kaji Ulang Pengalaman di FISE Universitas Negeri Yogyakarta

(Bahan Sosialisasi Mata Kuliah Pendidikan Karakter di FISE UNY di Wonosobo,
14 Januari 2011)


Oleh Samsuri
e-mail: samsuri@uny.ac.id
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan & Hukum
FISE Universitas Negeri Yogyakarta


A. Pendahuluan
Pertanyaan yang selalu hadir dalam diri penulis makalah ini ketika berhadapan dengan arti penting pendidikan karakter: Mengapa perlu pendidikan karakter? Apakah ”karakter” dapat dididikkan? Karakter apa yang perlu dididikkan? Bagaimana mendidikkan aspek-aspek karakter secara efektif? Bagaimana mengukur keberhasilan sebuah pendidikan karakter? Siapa yang harus melakukan pendidikan karakter? Bagaimana hubungannnya dengan bidang studi lainnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan yang menjadikan pendidikan karakter sebagai ”program” pendidikan nasional di Indonesia terutama dalam Kementerian Pendidikan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II. ”Pendidikan karakter” bukanlah hal baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Namun, jagad  pendidikan Indonesia kembali diramaikan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional yang mengusung pendidikan karakter lima tahun ke depan melalui Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Masih kental di ingatan kalangan pendidikan kita di awal Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika itu Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin, berusaha menghidupkan pendidikan watak dan budi pekerti – sebagai amanat Garis-garis Besar Haluan Negara 1999— terutama untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. 
Pemeo lama di dunia pendidikan nasional Indonesia yang mengatakan bahwa “ganti menteri, maka ganti kurikulum atau ganti kebijakan,” menyiratkan sedikitnya dua hal. Pertama, persoalan pendidikan akan selalu dikaitkan dengan arah politik atau kebijakan pendidikan nasional, sehingga antara pendidikan dan politik selalu berhubungan sangat kuat. Kedua, ada penyederhanaan anggapan bahwa persoalan pendidikan seakan hanya sebatas masalah kurikuler atau urusan kurikulum lembaga pendidikan formal.
Secara khusus, meskipun sebelum ada kebijakan Menteri Pendidikan Nasional tentang pendidikan karakter, namun keputusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta untuk menjadikan Pendidikan Karakter sebagai sebuah program kurikuler mulai tahun akademik 2009/2010, merupakan langkah penting untuk mengkaji ulang secara mendalam tentang pendidikan karakter itu sendiri. Dari sini pula, pertanyaan lanjutannya: Apakah pendidikan karakter di FISE UNY sebuah keberanian kebijakan pendidikan fakulter yang akan terus berlanjut tanpa mengenal pergantian pimpinan fakultas? Pertanyaan ini patut dikemukakan, karena jangan sampai terjadi, sebuah mata kuliah lahir karena sebuah kekuasaan tengah berlangsung. Pergantian kepemimpinan (fakultas atau pun universitas) jangan menjadi faktor utama penggantian atau penghapusan sebuah nomenklatur suatu  mata kuliah.
Paparan makalah ini menyajikan ulang secara ringkas beberapa aspek pendidikan karakter, khususnya pendidikan karakter sebagai program kurikuler. Tujuan utama makalah ini ialah agar diperoleh pemahaman (bahkan kesepahaman) tentang bagaimana pendidikan karakter itu dilakukan secara optimal di kampus FISE UNY.

B. Ragam Pendidikan Karakter
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pusat-pusat ini telah mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen evaluasi pendidikan karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz.  Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikanupaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu  siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak  dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.   
Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Dari penjelasan sederhana di atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan karakter mampu membuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah dalam perilaku yang konstruktif berdasarkan konteks kehidupan di mana ia berada: Memiliki kesadaran global, namun mampu bertindak sesuai konteks lokal.

C. Perpektif Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan  bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).
 Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar berkembang  sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan program lintas kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya seperti Sejarah, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kanada pembentukan karakter warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara bagian Alberta (Kanada) kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan karakter bersama-sama pendidikan karakter melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia, di era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun karakter yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan terhadap klaim-klaim implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Nasional di Inggris (terutama di era Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan pentingnya:

·         Sejarah sebagai sebuah alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen rasional terhadap nilai-nilai demokratis.
·         Bahasa Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan menghormati orang lain
·         Pengajaran Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
·         Matematika sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
·         Ilmu Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan
·         Desain dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai multikultural dan anti-rasis
·         Ekspresi Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas fundamental kemanusiaan dan tanggapan spiritual terhadap kehidupan
·         Pendidikan Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama dan karakter bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor, 2000: 173).
Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa pendidikan karakter merupakan program aksi lintas kurikulum. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai program kurikuler yang berdiri sendiri (separated subject) dan lintas kurikuler (integrated subject). Namun, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian dari program ekstra-kurikuler seperti dalam kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun program civic voluntary dalam tindakan insidental seperti relawan dalam mitigasi bencana alam. 
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler dapat didekati dari perspektif programatik maupun teoritis.

     a.  Perspektif programatik 
1. Habit versus Reasoning. Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan penalaran dan refleksi moral seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan perilaku kebajikan hingga menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat keduanya sebagai hal penting.
2. ”Hard” versus ”Soft” virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan (loyalitas) sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan, persahabatan sangat penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua pertanyaan tersebut.
3. Focus on the individual versus on the environment or community. Apakah karakter yang tersimpan pada individu ataukah karakter yang tersimpan dalam norma-norma dan pola-pola kelompok atau konteks? Jawabnya, memilih kedua-duanya (Schaps & Williams, 1999 dalam Williams, 2000: 35).
    b. Perspektif Teoritis 
1. Community of care (Watson)
2. constructivist approach to sociomoral development (DeVries)
3. child development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic  approach (Lickona)
5. traditional perspective (Ryan) (the National Commission on Character Education dalam Williams, 2000: 36)
D. Instrumen Efektivitas Pendidikan Karakter
Character Education Partnership (2003) telah mengembangkan standar mutu Pendidikan Karakter sebagai alat evaluasi diri terutama bagi lembaga (sekolah/kampus) itu sendiri.  Instrumen berupa skala Likert (0 – 4) dengan memuat 11 prinsip sebagai berikut:

1. Effective  character education promotes core ethical values as the basis of  good character.
2. Effective  character education defines “character” comprehensively to include thinking, feeling and behavior.
3. Effective  character education uses a comprehensive, intentional, and proactive approach to character development.
4. Effective  character education creates a caring school community.
5. Effective  character education provides students with opportunities for moral action.
6. Effective  character education includes a meaningful and challenging academic curriculum that respects all learners, develops their character, and helps them succeed.
7. Effective  character education strives to develop students’ self-motivation.
8. Effective  character education engages the school staff as a learning and moral community that shares responsibility for character  education and attempts to adhere to the same  core values that guide the education of students.
9. Effective  character education fosters shared moral leadership and long-range support of the character education initiative.
10. Effective  character education engages families and community members as partners in the character-building effort.
11. Effective  character education assesses the character of the school, the school staff’s functioning as character educators, and the extent to which students manifest good character. (Character Education Partnership, 2003:5-15)
Jika ke-11 prinsip tersebut diadaptasikan  sebagai cara mengukur efektivitas pendidikan karakter di FISE UNY, maka pendidikan karakter di FISE UNY telah diupayakan untuk:
1. mempromosikan inti nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik (nilai-nilai etis yang pokok dapat berasal dari ajaran agama, kearifan lokal, maupun falsafah bangsa).
2. mengartikan “karakter” secara utuh termasuk pemikiran, perasaan dan perilaku (cipta, rasa, karsa dan karya dalam slogan pendidikan di UNY).
3. menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan dan proaktif untuk perkembangan karakter.
4. menciptakan suatu kepedulian pada masyarakat kampus.
5. memberikan para mahasiswa peluang untuk melakukan tindakan moral.
6. memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang dengan menghormati semua peserta didik, mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka berhasil.
7. mendorong pengembangan motivasi diri mahasiswa.
8. melibatkan staf/karyawan kampus sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama yang memandu pendidikan para mahasiswa.
9. memupuk kepemimpinan moral dan dukungan jangka-panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
10. melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. menilai karakter kampus, fungsi staf kampus sebagai pendidik karakter, dan memperluas kesempatan para mahasiswa untuk menampilkan karakter yang baik.
Efektivitas implementasi program juga dipengaruhi oleh bagaimana strategi-strategi pembelajarannya dilakukan.  Ada beberapa model dan strategi pembelajaran pendidikan karakter yang dapat dipergunkan, antara lain:
1. Consensus building (Berkowitz, Lickona)
2. Cooperative learning (Lickona, Watson, DeVries, Berkowitz)
3. Literature (Watson, DeVries, Lickona)
4. Conflict resolution (Lickona, Watson, DeVries, Ryan)
5. Discussing and Engaging students in moral reasoning.
6. Service learning (Watson, Ryan, Lickona, Berkowitz) (Williams, 2000: 37)
Di luar model pembelajaran karakter tersebut, ada beberapa model penting lainnya sehingga pendidikan karakter dapat efektif. Mengikuti Halstead dan Taylor (2000), pertama, adalah pendidikan karakter melalui kehidupan sekolah/kampus; Visi-misi sekolah/kampus; teladan guru/dosen, dan penegakan aturan-aturan dan disiplin. Model ini menekankan pentingnya dibangun kultur sekolah/kampus yang  kondusif untuk penciptaan iklim moral yang diperlukan sebagai direct instruction, dengan melibatkan semua komponen penyelenggara pendidikan. Ini sebenarnya mirip dengan kesebelas instrumen efektivitas pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Character Education Partnership (2003) di atas.
Kedua, penggunaan metode di dalam pembelajaran itu sendiri. Metode-metode yang dapat diterapkan antara lain dengan problem solving, cooperative learning dan  experience-based projects yang diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan nilai-nilai kebajika ke dalam praktek kehidupan, sebagai sebuah pengajaran bersifat formal (Halstead dan Taylor, 2000: 181). Metode bercerita, Collective Worship (Beribadah secara Berjamaah), Circle Time (Waktu lingkaran), Cerita Pengalaman Perorangan, Mediasi Teman Sebaya, atau pun Falsafah untuk Anak (Philosophy for Children) dapat digunakan sebagai alternatif pendidikan karakter (Halstead dan Taylor, 2000)
E. Pendidikan Karakter di FISE UNY
1. Profil  ”Insan Cendekia, Mandiri, dan Bernurani”
”Insan Cendekia, Mandiri, dan Bernurani” sebagaimana profil civitas akademika di Universitas Negeri Yogyakarta, menggambarkan bahwa karakter yang demikian menjadi common platform dan “kehendak bersama”  setiap civitas akademika, terutama dosen dan pimpinan universitas. Program-program pelatihan ESQ sebagai bagian dari upaya membentuk ”Insan Cendekia, Mandiri, dan Bernurani” bagi mahasiswa (baru) dan juga dosen serta karyawan merupakan sesuatu yang penting sebagai satu bentuk penyadaran, namun perlu dikritisi efektivitasnya untuk membentuk karakter yang diharapkan.

2. Perdebatan
  1. Pendidikan karakter bersifat eksklusif untuk nomenklatur mata kajian tertentu yang sejenis  (seperti Pendidikan Agama, pendidikan Pancasila) ataupun di program studi tertentu (seperti Dasar-dasar Pendidikan Moral maupun Etika di Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan) di Universitas negeri Yogyakarta.
b.      Pengajuan nama Pendidikan Karakter cenderung politis (tergantung siapa yang memimpin di Fakultas atau Universitas), sehingga ketika pergantian rejim mata kajian ini pun khawatir akan turutserta tergusur.
c.       Pembentukan karakter lulusan menjadi tanggung jawab setiap pendidik (dosen), dengan demikian tidak ada alasan bahwa kewajiban membentuk karakter lulusan hanya ditimpakan kepada dosen mata kuliah tertentu atau program studi tertentu pula. Setiap dosen memiliki kewajiban tidak hanya membentuk kompetensi di bidang penguasaan akademik maupun teknik, tetapi juga kepribadian (sikap, internalisasi nilai-nilai).
d.      Dengan demikian, Pendidikan Karakter sebagai nama mata kuliah sendiri selain akan menyita beban SKS tersendiri, juga menjadi overlapping  dengan mata-mata kuliah serumpun yang sebenarnya dapat dioptimalkan kinerjanya untuk membentuk karakter lulusan yang diharapkan.

   3. Catatan Pengalaman
  1. Pembentukan karakter warga negara melalui sejumlah penataran (P4) di masa lampau oleh sebagian besar kalangan dianggap gagal, karena dalam prakteknya cenderung indoktrinatif, membangun “kesetiaan semu” untuk mendukung rejim kekuasaan yang ada, minimnya keteladanan, kurang membangun pembelajaran yang bermakna (meaningful learning).
b.      Pendidikan karakter merupakan pendidikan sepanjang hayat, sehingga ada mata rantai mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah (kampus). Ada kesan bahwa pembentukan kepribadian semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan formal.
c.       Sebagai arena pendidikan,  perguruan tinggi terkesan semata-mata membangun kompetensi akademik atau profesi semata, yang melulu menggiring calon lulusan kepada penguasaan pengetahuan dan/atau keahlian teknis yang spesifik, sehingga bagaimana pembentukan nilai/kepribadian  untuk proses penguasaan pengetahuan dan keahlian itu dicapai relatif sering diabaikan. Tidak jarang penilaian terhadap  Indeks Prestasi Akademik yang tinggi dari seorang lulusan, bukanlah satu jaminan bahwa individu tersebut menggambarkan kinerja yang sesungguhnya. Kejujuran ilmiah akan mempertanyakan praktik-praktik plagiasi karya ilmiah untuk pengerjaan tugas mata kuliah atau kecurangan mengerjakan soal-soal ujian semester (ngepek, mencontek), sebagai missal.

   4. Pendidikan Karakter di FISE UNY
  1. Pada Semester Gasal Tahun Akademik 2009/2010 FISE UNY memperkenalkan mata kuliah Pendidikan Karakter sebagai mata kuliah fakultas untuk setiap program studi di FISE UNY dengan bobot beban studi 2  SKS. Pendidikan Karakter secara efektif diberlakukan mulai Semester Gasal 2010/2011 di FISE UNY. Sosok Pendidikan Karakter kini diterjemahkan sebagai program Kurikuler wajib di seluruh program studi di FISE UNY.
  2. Tidak adil jika program akademik pendidikan karakter baru dijalankan, ternyata dihakimi dengan berbagai wacana dan komentar. Tetapi sangatlah berbahaya dan tidak produktif untuk pencapaian misi dan visi serta tujuan masing-masing program studi jika Pendidikan Karakter ini tidak disiapkan secara berkelanjutan sehingga tidak terjebak kepada aspek teknis instrumentalis, tetapi di masa depan agar diarahkan sebagai program aksi yang bersifat kurikuler.
  3. Pendidikan Karakter di setiap prodi telah memiliki standar minimum untuk tujuan, materi kajian, bahan pustaka/referensi, instrumen penilaian, dan tenaga pengajarnya dalam sebuah buku panduan yang dibuat oleh Tim di tingkat FISE. Asumsinya ialah bahwa pendidikan karakter ini baik tujuan, materi maupun instrumen penilaiannya agar tidak overlaping dan/atau merebut wilayah kajian mata kuliah lainnya baik yang serumpun yang ditawarkan di tingkat univesitas (seperti kelompok matakuliah pengembangan kepribadian maupun mata kuliah pembentukan kompetensi profesi) ataupun mata kuliah yang dikembangkan di program studi (seperti di Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan).
F. Penutup
Sebagai ”proyek besar,” Pendidikan Karakter di FISE UNY perlu pendalaman dan penguatan untuk mencapai tujuan esensial dari pendidikan karakter itu sendiri. Sebagai salah satu pelaku dalam program pendidikan karakter di FISE UNY, pemakalah ini bersama anggota Tim Teaching (Dr. Marzuki) berusaha taat asas dengan pedoman dan silabus serta media pembelajaran pendidikan karakter yang disepakati Tim Pendidikan Karakter FISE UNY. Dalam praktek, ada  beberapa ”penyimpangan” oleh pemakalah ketika menyajikan program pendidikan karakter untuk menghindari semacam ”kejenuhan ritual-ritual” menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, atau pembelajaran nilai moral sebatas di ruang kelas atau sekadar pertunjukkan sekuel film atau iklan tentang perilaku baik dan tidak baik semata.
Sampai sekarang belum jelas bagaimana tujuan pendidikan karakter di FISE UNY dapat dinilai berhasil dan efektif membentuk karakter ideal. Namun, dari pengamatan selama hampir satu semester kepada mahasiswa semester III FISE UNY, ada perilaku-perilaku yang diharapkan, telah muncul di antara para mahasiswa. Minimal, dalam hal berpakaian dan berinteraksi sudah menampakkan indikasi bahwa peserta Pendidikan Karakter mendekati indikator ”berkarakter baik.”
Dengan demikian, perlu pendalaman konsep (secara filosofis ataupun teoritis) mengenai arti penting pendidikan karakter, serta metodologi dan instrumen efektivitas pendidikan karakter serta keberlanjutannya di masa depan. Minimal, pasca-pendidikan karakter para  peserta masih konsisten untuk berperilaku sebagaimana harapan dari kampus Cendekia, Bernurani dan Mandiri. Di sisi lain, Pendidikan Karakter diharapkan dapat menjadi  penguat kajian-kajian mata kuliah pengembangan kepribadian yang telah ada, sehingga harapan agar lulusan FISE UNY memiliki karakter yang baik betul-betul menjadi motivasi bagi tiap-tiap program studi untuk mengembangkannya sebagai indentias kepribadian mahasiswa dan alumninya. Dalam jangka panjang, perlu juga dipikirkan agar pendidikan karakter tidak lagi sebagai sebuah program kurikuler yang menjadi bagian SKS untuk syarat kelulusan sebagai seseorang yang telah menempuh Program Sarjana, tetapi pendidikan karakter sebagai program aksi yang dibangun melalui kultur karakter kampus yang sejalan dengan visi dan misi pendidikan di FISE UNY.


                                                                   Kampus Karangmalang, 14 Januari 2011



Pengakuan
Makalah ini merupakan perbaikan dari pengembangan gagasan-gagasan dan pengalaman pendidikan karakter sebagaimana telah disajikan dalam Lokakarya Pendidikan Karakter FISE UNY (Juli 2009) dan Seminar Nasional Mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga (Oktober 2010).  Seluruh pertanggungjawaban materi makalah ini berada pada penulis.

Daftar Bacaan
Alberta Education. (2005). The Heart of Matter: Character and Citizenship Education in Alberta School. Alberta: Alberta Education, Learning and Teaching Resources Branching, Minister of Education
Berkowitz, Marvin W. dan Bier, Mellinda C. (2005). What Works in Character Education: A Research-driven Guide for Educators. Washington: Character Education Partnership
Character Education Partnership. (2003). Character Education Quality Standards. Washington: Character Education Partnership
Cholisin. (2004). “Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan,” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 1, Juni, pp. 14-28
Curriculum Corporation. (2003). The Values Education Study: Final Report. Victoria: Australian Government Dept. of Education, Science and Training.
Halstead, J. Mark dan Taylor, Monica J. (2000). “Learning and Teaching about Values: A Review of Recent Research.” Cambridge Journal of Education. Vol. 30 No.2, pp. 169-202.
Kerr, D. (1999). “Citizenship Education in the Curriculum: An International Review,” The School Field. Vol. 10, No. 3-4
Kirschenbaum, Howard. (2000).”From Values Clarification to Character Education: A Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books
Samsuri. (2004). “Civic  Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di Indonesia Era Orde Baru”  Jurnal Civics, Vol. 1, No. 2,  Desember.
Samsuri. (2007). “Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.”  Acta Civicus, Vol. 1 No. 1, Oktober.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Williams, Mary M. (2000). “Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 32-40