Pada diskusi kecil di sebuah kedai kopi, seorang kenalan berapi-api menggelontorkan
pendapatnya tentang bagaimana peran pemuda dalam memberantas korupsi. Ini tema
melangit, menurut saya. Bahasan yang kerap dicium sebagai aroma wangi tapi tak
pernah teridentifikasi dengan jelas dari mana sumbernya dan bagaimana skala
ketajamannya.
Sesungguhnya, saya sendiri tidak mengerti apa
dan bagaimana definisi pemuda itu.
Ranahnya masih belum kentara, apakah berada di tataran kuantitatif atau
kualitatif. Sementara istilah itu sering dipakai dengan gairah yang meledak-ledak.
Bahwa pemuda adalah harapan, tulang punggung, tanduk kokoh, dan lain sebagainya
yang serba bernada cita-cita sekaligus karakter ideal. Hingga kemudian, muncul
pertanyaan, apa pemuda itu ? Dan siapa dia ?.
Sedang kata korupsi, saya menafsirnya dari interpretasi
kontekstual seperti yang sering diaplikasikan dalam pola kalimat yang ditulis
media massa atau buku-buku. Korupsi sebagai turunan dari kata mencuri,
bertetangga dengan istilah merampok, bersaudara kandung dengan mencopet. Meskipun secara etimologis, korupsi bukan
sebuah kata yang hanya berkisar pada wilayah curi-mencuri saja. Bahasa Inggris yang menjadi acuan serapan, mengambilnya dari kosakata latin “corruptus”,
mengartikan korupsi dalam kata sifat sebagai “sakit, cemar”. Sementara, sebagai
verba, kata tersebut di artikan sebagai “meracuni mencemari”.
Cakupannya pada segala tindakan yang membuat
lingkungan interaksi antar makhluk dalam tata kehidupan tercermari atau rusak.
Dikemudian hari, korupsi menjadi terma tentang kebobrokan sistem politik,
ekonomi, dan sosial. Disebabkan adanya tindakan curang dengan wujud pencurian
harta negara atau penelikungan regulasi demi kekayaan pribadi atau kelompok.
Implikasinya buruk, menjadikan sistem yang berjalan pada kehidupan orang
banyak, menjadi rusak serta cacat. Pengemasan ini pun masih bernuansa luas dan
multiinterpretasi. Namun setidaknya, apabila diletakkan pada wadah-wadah kasus,
definisi itu sudah bisa memunculkan parameter-parameter nilai, sehingga sebuah
hal yang tergenang pada konteks itu bisa ditarik masuk dalam kategori korupsi
atau bukan.
Kegamangan melanda pada istilah “pemuda”. Tak
pernah dibahas dengan serius, apalagi oleh bahasa indonesia sebagai
pengusungnya, tentang letak dan maksud kata “pemuda” tersebut pada berbagai
terapannya. Jika “pemuda” adalah istilah yang mengandung pengertian
kuantitatif, tentu besertanya termaktub kategorisasi tentang pemilahan usia
sekelompok manusia. Pemuda adalah golongan yang berumur sekian hingga sekian.
Ada besaran angka yang jadi parameter. Namun bila pemuda itu adalah kata yang
berkenaan dengan definisi kualitatif, tentang sebungkus spirit atau semangat,
mestinya ada rangkai pengertian, apa yang dimaksud dengan spirit pemuda itu.
Seorang dikatakan “pemuda”, memendarkan
spektrum tafsir yang sangat multi-interpretatif. Dia bisa berwujud sebagai
seorang warga negara yang berusia 17-30 tahun misalnya. Sedang seorang yang
lain, yang berumur 35 tahun dan belum menikah pun masih merasa sebagai pemuda.
Kategori-kategori seakan gagal meneropong. Presiden disebut muda, jika ia
berusia minimal 40 tahun, tapi seorang petani dipelosok dusun yang berumur 40
tahun sudah masuk dalam pilah “tua” ketika didata dalam sensus penduduk.
Lalu apabila berkenaan dengan urusan
semangat, pemuda digambarkan sebagai karakter yang mempunya daya hidup besar,
menggelora dengan dinamika yang padat, namun mampu mengatasinya dengan gigih.
Pemuda sebagai semangat bisa dimiliki siapapun, dengan syarat-syarat yang
berparameter spiritual meskipun masih mengambang detil-detilnya.
Kategorisasi memang bukan sesuatu yang maha
penting. Dia hanya sebuah cara untuk mengenali dengan mengelompokkan hal-hal
yang diasumsikan bersama. Memudahkan dalam membuat konvensi-konvensi yang
berkenaan dengan sesuatu yang dipilah. Definisi-definisi dihadirkan setelah proses
identifikasi diselesaikan pasca pengelompokan. Dengan definisi yang rapi, orang
mampu mengkomunikasikan sesuatu tanpa kesalahpahaman fatal dalam menyerap
interpretasi. Hingga cara berpikir pun menjadi luwes, dan penarikan kesimpulan
terhadap fenomena tidak lagi membingungkan.
Meskipun juga, terjebak dalam
kategori-kategori berakibat kepicikan. Kategorisasi adalah kendaraan, seperti
sebuah mobil yang membawa penumpangnya mencapai tujuan, menelusuri tanda pada
bentangan peta. Dia dinamis, seiring lajunya pergerakan kehidupan yang
menghasilkan mekaran pola-pola baru.
Relasi antara pemuda dan korupsi, dalam bahan
pembicaraan yang dilempar teman saya di malam itu menjelma pusaran persoalan
yang justru menjadi topik utama. Pemuda harus memberantas korupsi, pemuda yang
mana, siapa dan yang bagaimana ? Bukankah seluruh warga negara mesti secara
moral dan aksi turut bahu membahu menghambat penyakit korupsi mulai dari
dirinya ? Tentu, tidak layak jika memaksudkan pemuda dalam kelompok umur
tertentu, yang berkewajiban memberantas korupsi. Sebab dengan begitu, asumsi
yang tumbuh adalah mereka yang melakukan
perusakan sistem politik adalah orang-orang yang berada pada bilah kategori
usia diatas para pemuda itu, atau sebutlah golongan tua saja yang korupsi. Lalu
mereka yang disebut pemuda tadi mesti menjadi tukang pel, membersihkan lantai
yang dikotori para orang tua. Tarikan ini pun menjadi buram dan lebih tidak
jelas.
Persoalan bangsa ini yang pelik dan
berliku-liku tak menyediakan kesempatan untuk mengolah kegamangan ini.
Kompleksitas Indonesia yang berjejal-jejal, tidak menyuguhkan waktu khusus demi
meruntut definisi-definisi. Hingga pada tingkat lanjut, nama Indonesia sendiri
belum terdefinisi secara padat pada bilah-bilah kalimat yang mampu dipajang
dalam bingkai material maupun spiritual. Pada buku-buku pelajaran di
sekolah-sekolah, Indonesia dirangkum dalam barisan kata yang hanya menyentuh
wilayah-wilayah fisik semata. Ada batas-batas geografis, keberagaman ras, etnis, dan bahasa serta variasi satwa juga fauna. Namun pernahkah ada simpulan yang
memadat, tentang bagaimana sesungguhnya jiwa atau bolehlah disebut dengan
spirit Indonesia itu ? Bagaimana definisi karakter yang meng-Indonesia itu ? Kita
belum sempat membuskusnya dengan rapi.
Bangsa ini berhadapan dengan teka-teki
berlapis yang memancing capek. Kisaran jati diri juga pernak-pernik identitas.
Menyelip ditengah-tengah butir persoalan yang berserakan di negeri ini. Tidak
jelas, mana dulu yang hendak diselesaikan. Urusan istilah tidak lekas tuntas,
perihal definisi tidak terurusi yang akan mempengaruhi rapi-berantakannya
ketertataan cara berpikir orang-orang didalamnya. Pemuda Indonesia dan banyak
yang lainnya tetap berada pada alam ghaib yang masih belum dikenal perawakannya
maupun sifat-sifatnya.
Di penghujung Oktober, menjelang tanggal 28,
iklan-iklan mengenai sumpah pemuda mulai marak. Dan dengan kalimat-kalimat
hiperbolik, kata “pemuda” diletakkan menjadi sumbu utama. Untuk menggencar
semangat, membangunkan kewaspadaan, membangkitkan kepedulian untuk Indonesia.
Kembali pertanyaan-pertanyaan menyerbu, pemuda yang seperti apa, bagaimana dan
siapa ? Untuk Indonesia yang mana dan seperti apa ?.
Hingga suatu ketika,
pada saat lelah mendera, kontan mengatakan “sudahlah, tak usah dipikirkan.
Pakai yang ada saja dulu yang penting rakyat makmur, negara subur”. Disebelah
kursi, yang lain menimpali “Makmur seperti apa, subur layaknya apa ?”. Lalu
bersama-sama mendesah “Ya, Pokoknya gitu deh…”. Pokoknya ini dan pokoknya itu
yang tidak pernah diketahui bentuk pastinya dan tetap berwajah antah berantah.
Pokoknya Indonesia yang begitu deh, Pemuda yang begini deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar