PENDEKATAN MODERN : INTEGRASI PENDEKATAN AGAMA DAN PEKERJAAN SOSIAL[1]
Oleh
Mohamad Paputungan, S.Ag[2]
Abstrak
Dalam perkembangannya, Iptek acap kali berbenturan atau dibenturkan dengan
agama yang berakibat pada kegagalannya dalam misi kemanusian yang dilandasi
pada bingkai humanis , demokratis dan berkeadilan. Distorsi ini juga dapat
dialami oleh profesi pekerjaan sosial sebagai aktivitas kemanusiaan yang abai
terhadap nilai-nilai keagamaan di satu sisi dan misi kemanusiaan oleh agama yang tidak dibingkai
oleh keilmuan pada sisi yang lain.
Integrasi antara keduanya dalam praktek pekerjaan sosial merupakan sebuah
keharusan sebab pendekatan moderen dan agama dalam praktek pekerjaan sosial merupakan
dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Namun, pertanyaan kemudian
adalah Dimana letak urgensi integrasi antara praktek peksos modern dan
keagamaan tersebut.?
Dalam pembahasan ini, paling tidak ada tiga kesimpulan yang dapat di
kemukakan: Pertama, Ambruknya
ideologi raksasa seperti kapitalime yang terbukti dangkal dalam menuntaskan
masalah kemanusiaan bahkan melahirkan berbagai patalogi sosial, memberikan
peluang sekaligus tantangan bagi pendekatan keagaman dalam wacana keilmuan
terutama pekerjaan sosial untuk dapat memberikan jalan alternative terhadap
kemajuan peradaban dalam bingkai nilai-nilai universal religius yang humanis,
demokratis dan berkeadilan. Kedua, Konsekwensi
pemahaman keagaman yang kaku dan tidak bersifat scientific justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negative
terhadap peran penting agama dalam relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan
sosial. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity dan gender bias, excessive
self-blaming, Fatalistik dan status
quo serta dianggap tidak peduli dengan
urusan kekinian di dunia. Ketiga, Bahwa
baik pendekatan keagamaan maupun moderen yang tidak diintegrasikan, dapat
menuai kegagalan dalam praktek pekerjaan sosial. Dengan kata lain, baik
Pengetahuan rasionalis (bi-logical)
dan spiritual serta pendekatan keagamaan yang tercerai berai dan cenderung
saling mengalienasi sama-sama
berpotensi untuk gagal.
PENDAHULUAN
Modernitas dan
perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih
dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif. Nilai positif dapat terlihat
apa yang dianggap gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta
dimasa kini. Sedangkan ekses negativnya terlihat ketika ilmu pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan.[3]
Rasa ingin tahu
manusia mendorongnya tidak segera puas pada satu penemuan saja. Pertumbuhan bangun ilmu pengetahuan dan
ideology pun terus menjamur, selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan
bangun keilmuan dan idelogi yang baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut
atas dasar paradigma rasionalis-empris disatu pihak dan alienasi
terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah manusia ditawan dan
dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri dengan lahirnya
masalah baru yang lebih kompleks.
Ditengah kegamangan ilmu pengetahuan dan
lahirnya kemanusiaan yang berpenyakit tersebut, peran agama kembali mendapat
perhatian setelah teralienasi sejak pasca ranaisance.
Demikian halnya
dalam ilmu pengetahuan seperti ilmu psikologi terapi yang menekankan pada teori
klinis/mekanis dan mengesampingkan peran keagamaan/spiritualitas dan kemudian
terbukti mengalami ketimpangan.
Asumsi dari Modernistas Science seperti; Naturalism,
Atheism, Determinism, Universalism, Reductionism/Atomism, Materialism, Ethical
relativism, Ethical hedonism, Positivism, Classical/Naive realism, Empiricism
dan Sigmund Freud ahli psikoanalisa dimana kesemuanya memandang
sebelah mata peran penting agama telah menemukan kegagalan argumentasi,
pendapat dan teori-teorinya. Demikian pernyataan Andayani[4]
dalam materi kuliah peksos berbasis agama.
Kebangkitan
Spiritual dalam ilmu pengetahuan adalah sekitar tahun 80-an, theistic world views (pandangan dunia
keagamaan). Hal tersebut, diakui sebagai aspek penting yang mempengaruhi
perkembangan dan pemenuhan diri manusia seperti: (Theistic World Views) percaya bahwa eksistensi dari A Supreme Being dan Human Beings sebagai agen yang bertanggung jawab, bukan mesin.
Dalam
menghadapi nestapa manusia era modern tingkat lanjut seperti sekarang ini, pemahaman
keagamaan perlu ditransformasikan sehingga dapat memenuhi harapan esensial dari
ajaran agama itu sendiri dalam menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan,
menentramkan dan bukan menjadi sumber keruwetan. Ummat beragama juga perlu
memahami bahwa fenomena-fenomena agama selain melibatkan wahyu, juga lengket
dengan fenomena cultural, tradisi, adat istiadat, habit of mind, dan begitu seterusnya.[5]
Sejalan dengan
uraian diatas, praktek pekerjaan sosial menyangkut kedua pendekatan
(Agama-Modern) pun merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan.
Pertanyaan kemudian adalah Bagaimana antara praktek peksos modern dan
pendekatan keagamaan tersebut dapat diintegrasikan? Hal inilah yang akan
menjadi fokus bahasan lebih lanjut.
Agama dan Pekerjaan Sosial
Bahasan ini
sebaiknya diawali dengan pemaparan secara singkat menyangkut
pemahaman-pemahaman Agama dan Pekerjaan sosial sehingga kemudian dapat dengan
mudah menelisik lebih dalam pada aspek-aspek dimana urgensi integrasi antara
pendekatan keagamaan dan pendekatan modern dalam praktek pekerjaan sosial.
Agama dalam konteks ini akan
didefinisihkan secara operasional sehingga dapat dipahami lebih membumi
sedangkan pendekatan modern pekerjaan sosial akan di artikulasikan kedalam
wacana keilmuan modern pekerjaan sosial.
Pemahaman Agama
Suatu definisi yang dapat mewakili
secara keseluruhan tentang agama yang begitu banyak ragam dan jenisnya bukanlah
mudah bahkan mungkin tidak dapat dilakukan. Namun mendefinisikannya haruslah
tetap dilakukan untuk dapat membatasi arah sesuai tujuan pendefinisian
dimaksud. Dalam
kaitan itu, ada beberapa pendapat yang akan dikemukakan dalam tulisan ini.
Agama bagi Giddens
(2005)[6] adalah media pengorganisasian
bagi kepercayaan yang tidak sekedar satu arah. Bukan hanya iman dan kekuatan
religius yang menyediakan dukungan yang secara takdir dapat dijadikan sandaran:
Demikian juga para fungsionaris keagamaan. Yang terpenting adalah bahwa
kepercayaan religius biasanya menginjeksikan reliabilitas ke dalam pengalaman pelbagai peristiwa dan
situasi dan dari suatu kerangka
Agama
juga disinonimkan dengan Religion berasal dari kata Latin “religio”,
berarti “tie-up” dalam bahasa
Inggris, Religion dapat diartikan “having engaged ‘God’ atau ‘The
Sacred Power’.
Secara umum di
Indonesia, Agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai,
pengalaman dan yang
terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang
disalingtukarkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam
tradisi.
Berangkat dari
beberapa pemahaman diatas, dapat ditarik beberapa point tentang pengertian
agama bahwa agama adalah kodifikasi
kepercayaan, praktik ibadat, hukum etika, keanggotaan denominasi, eksternal dan memasukkan
spiritualitas di dalamnya.
Penegasan yang ingin ditekankan pada
pemahaman keagamaan disini adalah bahwa konsekwensi pemahaman keagaman yang
kaku dan tidak bersifat scientific
justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negative terhadap peran penting
agama dalam relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial. Stigmatisasi
tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism,
rigidity dan gender bias,
excessive self-blaming, Fatalistik dan status quo serta dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian
di dunia.
Apa itu Pekerjaan Sosial
Pekerjaan sosial adalah profesi kemanusiaan yang telah lahir cukup lama.
Sejak kelahirannya sekitar 1800-an.[7]
Purifikasi peksos terus berlanjut sejalan dengan tuntutan perubahan dan
aspirasi masyarakat. Namun demikian, seperti halnya profesi lain (Guru, Dosen, Dokter), fondasi
dan prinsip dasar pekerjaan sosial tidak mengalami perubahan.
Pekerjaan sosial berbeda dengan profesi lain, semisal psikolog, dokter atau
psikiater. Dalam praktek kerjanya dia senantiasa harus melibatkan aspek-aspek
diluar klien dalam penyelesaian masalahnya. Artinya, bahwa mandat utama pekerja
sosial adalah memberikan pelayanan sosial baik kepada individu, keluarga,
kelompok, maupun masyarakat yang membutuhkannya
sesuai dengan nilai-nilai, pengetahuan dan ketrampilan professional
pekerjaan sosial.
Selain itu, pekerjaan sosial juga merupakan aktivitas professional untuk
menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki
kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi
masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan dimaksud. Sebagai suatu
aktivitas professional, pekerjaan sosial dilandasi dengan vondamen utama
berupa; kerangka pengetahuan, kerangka keahlian dan kerangka nilai.
Dalam konferensi internasional di Montreal Kanada, juli 2000, IFSW
mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai Profesi yang mendorong pemecahan
masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan. Perubahan sosial,
pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan
teori-teori perilaku manusia dan sistem-sistem
sosial. Pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik dimana orang
berinteraksi dan keadilan sosial merupakan sangat penting bagi pekerjaan
sosial.
Pendekatan
Modern dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Sebagai aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang
lalu, Pekerjaan Sosial telah memiliki perhatian yang mendalam pada pemberdayaan
masyarakat miskin. Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti ‘menolong orang
agar mampu menolong dirinya sendiri’ (to
help people to help themselves), ‘penentuan nasib sendiri’ (self determination), ‘bekerja dengan
masyarakat’ (working with people dan
bukan ‘bekerja untuk masyarakat’ atau working
for people), menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang
kuat terhadap pemberdayaan masyarakat dan bahwa pekerjaan sosial merupakan
profesi yang populis dan tidak elitis.
Sebagai suatu aktivitas professional, pekerjaan sosial dilandasi dengan
vondamen utama berupa; kerangka pengetahuan, kerangka keahlian dan kerangka
nilai. Dalam praktek pekejaan sosial ini, ditujukan untuk terapi sosial dalam
upaya mewujudkan keberfungsian sosial.
Penyembuhan sosial
sendiri oleh Suharto,[8]
dikategorikan kedalam dimensi pendekatan macro dan micro. Pendekatan mikro merujuk pada berbagai keahlian dan
ketrampilan pekerja sosial dalam mengatasi
masalah yang dihadapi oleh individu berupa problem psikologi (Stess dan
depresi, hambatan relasi, penyesuaian diri, kurang percaya diri, alienasi atau
kesepian dan keterasingan, apatisme dan gangguan mental. Sedangkan metode utama
yang digunakan pekerja sosial dalam setting mikro tersebut adalah terapi
perseorangan (casework) dan terapi
kelompok (gruopwork) yang didalamnya
melibatkan terapi berpusat pada klien, terapi perilaku, terapi keluarga dan
terapi kelompok. Pendekatan makro
adalah penerapan metode dan teknik pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah
yang dihadapi masyarakat dan lingkungannya (system sosial), seperti kemiskinan,
ketelantaran, ketidak adilan sosial, dan eksploitasi sosial. Tiga metode
utamanya berupa terapi masyarakat (Community
development) popular dengan nama Pengembangan masyarakat, Manajemen
pelayanan kemanusiaan (human service
management) atau terapi kelembagaan dan analisis kebijakan sosial (social policy analysis).
Perbedaan utama
antara community work, human service
management dan social policy analysis adalah jika dua metode yang pertama
merupakan pendekatan pekerjaan sosial dalam praktek langsung dengan kliennya,
maka analisis kebijakan sosial merupakan metode pekerjaan sosial dalam praktik
tidak langsung.
Dalam konteks
pemberdayaan misalnya, sebagaimana dikemukakan Ife[9], pemberdayaan memuat dua pengertian kunci,
yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya
menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau
penguasaan klien, Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup:
Pendefinisian kebutuhan: Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan
menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa
tekanan.
Pemberdayaan dan Praktek Pekerjaan Sosial
Pendekatan Modern dalam
praktek pekerjaan sosial dalam pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai
melaui penerapan pendekatan pemberdayaan yang meliputi: (1) Pendekatan Mikro,
(2) Pendekatan Mezzo, dan Pendekatan Makro
Pendekatan Mikro menekankan
bahwa pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan,
konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah
membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model
ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
Pendekatan Mezzo memfokuskan
pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan
menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan,
dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki
kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Pendekatan Makro disebut juga
sebagai Strategi Sistem Besar (large-system
strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang
lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial,
lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa
strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang
yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan
untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
Prinsip Pekerjaan
Sosial
Prisip pekerjaan sosial dalam dimensi
pemberdayaan tersebut dapat doformulasikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan
adalah proses kolaboratif dengan mana masyarakat / Klien dan pekerja sosial bekerjasama sebagai
partner, (2) Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat miskin sebagai kompeten
dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan.(3)
Masyarakat/Klien harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang
dapat mempengaruhi perubahan. (4) Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui
pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada
masyarakat miskin. (5)
Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai
keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah
tersebut. (6) Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang
penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan
pengendalian seseorang. (7) Masyarakat miskin harus berpartisipasi dalam
pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh
mereka sendiri. (8) Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan,
karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan. (9) Pemberdayaan
melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan
sumber-sumber tersebut secara efektif.
Dan (10) Proses pemberdayaan
besifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu
memiliki beragam solusi.
Teknik dalam Pekerjaan Sosial
Dubois dan Miley[10]
memberi beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan
dalam pemberdayaan masyarakat:
1.
Membangun relasi pertolongan yang: (a) merefleksikan respon empati; (b)
menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri
(self-determination); (c) menghargai keberbedaan dan keunikan individu; (d)
menekankan kerjasama klien (client partnerships).
2.
Membangun komunikasi yang: (a) menghormati martabat dan harga diri klien; (b)
mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) menjaga
kerahasiaan klien.
3.
Terlibat dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam
semua aspek proses pemecahan masalah; (b) menghargai hak-hak klien; (c)
merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar; (d) melibatkan klien
dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.
4. Merefleksikan
sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui: (a) ketaatan terhadap kode
etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan
perumusan kebijakan; (c) penterjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam
isu-isu publik; (d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan
kesempatan.
Contoh pembahasan dalam dimensi pemberdayaan di atas menunjukkan bagaimana
pendekatan modern dalam praktek pekerjaan sosial dilakukan. Praktek pekerjaan
tersebut terlihat sebagai sebuah pendekatan yang dilandasi oleh kerangka
keilmuan, kerangka keahlian dan kerangka nilai dalam aktivitas professionalnya.
Pendekatan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Berbeda dengan
modernisme yang bertumpu pada rasionalitas dengan sistem berfikir bi-logical,
agama memiliki nilai spiritualitas yang berfungsi secara transenden; Hanya
spiritualitas yang mampu memaafkan kejadian yang menyakitkan dan traumatis.
Dalam konteks inilah seorang pekerja sosial melalui pendekatan agama akan mampu
sensitive dan responsive terhadap kebutuhan spiritualitas klien sebagai mahluk yang
Unik.[11]
Dalam hal
intervensi kesehatan mental misalnya, peran spiritualitas sebagai bagian
integral dari agama sangat memegang peranan penting untuk keberhasilan
intervensi pada klien mengingat dalam spiritulitas sesungguhnya terkandung daya
dimana klien dapat beradaptasi dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks
tradisional sendiri, berbagai program kemanusian dimana peran pekerja sosial
inklut didalamnya telah banyak dilaksanakan oleh berbagai agama sebagai pembawa
misi kemanusiaan. Namun landasan tersebut lebih bersifat karikatif dan belas
kasih belaka sehingga yang terjadi kemudian adalah acap kali menimbulkan
ketergantungan klien terhadap pekerja sosial. Dengan kata lain tidak menyentuh
aspek substansial keberfungsian sosial sebagaimana yang di maksudkan oleh
pendekatan modern.
Keberfungsian
sosial menitik beratkan pada kemandirian klien dan menjauhkannya pada
sifat-sifat ketergantungan. Maka itu, karikatif dan rasa belas kasih semata
sangat tidak sejalan dengan ruh pekerjaan sosial sebab pada gilirannya hanya
akan menimbulkan sifat ketergantungan dan bukan kemandirian. Hal ini dapat
terlihat pada penyaluran zakat misalnya yang kemudian hanya disalurkan secara
tradisional-konsumtif sehingga penerima tetap pada posisi sebagai penerima dan
tidak berfikir bagaimana pada kesempatan berikutnya dapat menjadi pemberi.
Urgensi
Integrasi Pendekatan Agama dan Modern dalam Pekerjaan Sosial
Dalam memberikan
pengantarnya terhadap buku Caputo “ Agama Cinta Agama Masa Depan”, Sugiharto[12]
berargumen bahwa Untuk menjadi sungguh-sungguh berarti kembali, maka agama
perlu melakukan kritik-diri secara structural, mengenali persoalan-persoalan
mendasar dunia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang
baru. Tanpa itu, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban
paling mengerikan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.
Secara substansial
pernyataan tersebut mengandung makna bahwa sesungguhnya peran agama dalam praktek pekerjaan sosial sangat urgen mengingat
adanya tanggung jawab etis peksos terhadap klien dan terhadap masyarakat yang
juga terinternalisasi dalam nilai-nilai universal keagamaan. Namun, hal yang
sangat ironis adalah
tingginya signifikansi agama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, tidak
dibarengi dengan perkembangan yang memadai dalam hal integrasi pendekatan agama dalam ilmu-ilmu
sosial dan pendampingan masyarakat.
Agama nampaknya hanya bersifat experential,
yang kita dapatkan dan pelajari dari pengalaman, tapi tidak bersifat scientific.
Pendekatan agama dalam terapi
klinikal ataupun pemberdayaan masyarakat secara luas, misalnya, masih bersifat
tradisional karena belum dikembangkan secara
ilmiah. Pendekatan agama, dengan demikian, tidak ”layak” sebagai bagian
dari pendekatan modern dan selanjutnya, tidak mampu menjadi model intervensi dan pendampingan di
masyakarat.
Dengan demikian, integrasi
terhadap kedua jenis pendekatan (modern dan Agama) merupakan sebuah keharusan
dengan mengemukakan beberapa alasan : (1) Secara historis dan filosofis, Peksos
memiliki pertalian erat dengan agama. Sejarah telah membuktikan bahwa pekerjaan
sosial sendiri tumbuh dan berkembang dari kalangan agamais (Kristen katolik di
Inggris). Sedangkan secara filosofis baik peksos dan agama, sama-sama menaruh
perhatian pada aspek mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan tanpa pilih
buluh. (2) Peksos dan spiritualitasdan agama
saling belajar dan memberi kontribusi satu sama lain.(3) Pengetahuan
tentang spiritualitas dan agama membantu
peksos membangun kosmologi dan antropologi spiritual. (4) Tidak ada alasan
peksos dan pemimpin agama untuk tidak berkerjasama. Hal ini dilandasi oleh
keyakinan bahwa sesungguhnya islam baik dan relevan di setiap masa dan tempat
Dalam agama islam sendiri, keterpautan
antara Ilmu pengetahuan dan ajarannya
sangatlah erat (Al–Islam Shalih Li Kulli
Zaman Wa Makan). Bahkan para ilmuan
seperti Ernest Gellner[13]
misalnya, berpendapat bahwa sesungguhnya
Islam merupakan agama yang transformatif dan bahkan menurutnya, Islamlah yang
paling memiliki kedekatan dengan ilmu pengetahuan. Pengakuan ini dijelaskannya
dalam beberapa aspek sebagai berikut: Pertama, universalisme ajaran Islam,
yakni prinsip-prinsip ajaran Islam dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja
bahkan Islam mapu menyerap tradisai dan budaya lokal. Kedua, Skripulisme Islam, bahwa Islam mengajarkan bahwa kitab suci
dapat dibaca dan dipelajari oleh siapa saja, bukan monopoli kelompok tertentu
dalam hirarki keagamaan. Ketiga, Egalitarianisme spiritual, dalam arti tidak terdapat sistem kependetaan
atau kerahiban dalam Islam, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
mencapai prestasi spiritualnya. Keempat, Sistematis rasional dalam kehidupan
sosial. Kelima, Semangat keilmuan yang tinggi, sehingga setiap pemeluk Islam
meyakini betapa tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu.
Dengan penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa pengintegrasian antara pendekatan agama dan pendekatan
moderen dalam pekerjaan sosial merupakan sebuah keniscayaan. Baik ilmu
pengetahuan dan agama yang saling tidak bertegur sapa, telah terbukti secara
faktual mengalami kegagalan dalam melakukan misi kemanusiaannya. Melalui
pembahasan yang komparatif ini, terlihat bahwa integrasi antara keduanya adalah
sebuah keharusan.
Kesimpulan
1. Ambruknya ideology raksasa seperti kapitalime
yang terbukti dangkal dalam menuntaskan masalah kemanusiaan bahkan melahirkan
berbagai patalogi sosial, memberikan peluang sekaliguis tantangan bagi
pendekatan keagaman dalam wacana keilmuan terutama pekerjaan sosial untuk dapat
memberikan jalan alternative terhadap kemajuan peradaban dalam bingkai
nilai-nilai universal religius yang humanis, demokratis dan berkeadilan.
2. Konsekwensi pemahaman keagaman yang kaku dan
tidak bersifat scientific justru akan
memunculkan berbagai stigmatisasi negative terhadap peran penting agama dalam
relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial. Stigmatisasi tersebut
berpandangan bahwa agama adalah dogmatism,
rigidity dan gender bias,
excessive self-blaming, Fatalistik dan status quo serta dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian
di dunia.
3. Bahwa baik pendekatan
keagamaan maupun moderen yang tidak diintegratif dan saling bekerja sama, dapat
menuai kegagalan dalam praktek pekerjaan sosial. Dengan kata lain, baik
Pengetahuan rasionalis (bi-logical)
dan spiritual serta pendekatan keagamaan yang tercerai berai dan cenderung
saling mengalienasi sama-sama berpotensi untuk gagal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Jurnal
Filsafat dan Teologi: Hak Asasi Manusia Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
Caputo, D.
Jhon, Agama Cinta Agama Masa Depan, (Bandung : Mizan, 2003)
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud
Miley, Social Work: An Empowering
Profession, (Boston: Allyn and Bacon, 1992)
Gellner,
Ernest, Muslim Society, (Cambridge University Press, 1981)
Giddens, Anthony, Konsekwensi-Konsekwensi Modernitas, (Yogyakarta :Kreasi
Wacana, 2005)
IISEP, CIDA, Islam Dakwah dan Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta:Jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam (PMI) Fak. Dakwah
UIN SUKA, 2005)
Suharto, Edi, Membangun Masyarakatm, Memberdayakan Rakyat;
Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung : Revika Aditama,
2005)
Suparjan dan Suyatno, Hempri, Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan
samapi Pemberdayaan, (Yogyakarta : Aditya
Media, 2003)
[1] Makalah disampaikan pada Annual Conference di Grand Hotel
Lembang-Bandung, 26-30 November 2006
[2] Mohamad paputungan, S.Ag
adalah mahasiswa Pascasarjana Prodi Interdisciplinary Islamic Studies/Social
Work UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[3] Argumentasi
ini didasarkan pada kenyataan, ketika penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang gemilang kemudian dianggap fainal sehingga menafikkan eksistensi Tuhan dan
kemaha kayaan pengetahuan-Nya dan ini hanya berlaku pada pecandu Iptek yang
lupa diri karna tercerabut dari bimbingan agama. Meminjam bahasa Muhammad
Quraish Shihab (baca Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam
Islam) bahwa kendatipun manusia sebagai pencipta namun dia bukan sebaik-baik
pencipta sehingga tidak ada fainal bagi penemuan manusia.
[4] Hal tersebut disampaikan
oleh Andayani, M.S.W. pada perkuliahan pekerjaan sosial berbasis agama di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies
Konsentrasi Pekerjaan Sosial, 2006.
[5] Amin Abdullah, Jurnal Filsafat dan
Teologi: Hak Asasi Manusia Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 59
[7] Lihat Zasstrow dalam Edi Suharto, Membangun Masyarakatm, Memberdayakan Rakyat; Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung : Revika Aditama, 2005) h.
[8] Edi Suharto, Ibid
[9] Ife ,
Jim, Community Development: Creating
Community Alternatives,Vision, Analysis and Practice, (Longman, Australia,
1995), h. 61-64
[10] DuBois, Brenda
dan Karla Krogsrud Miley, Social Work: An
Empowering Profession, (Boston: Allyn and Bacon, 1992), h. 1992: 211
[11] Andayani, Islam Dakwah dan
Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta : Jurusan
PMI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Bekerja sama dengan IISEP – CIDA, 2005),
h. 143
[12] Lihat Caputo, D.
Jhon, Agama Cinta Agama Masa Depan, (Bandung : Mizan, 003), h.
XIX-XXI
[13] Ernest Gellner, Muslim
Society, (Cambridge University Press, 1981), h. 264-265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar