Meneropong
Wajah Tasawuf Dalam Muhammadiyah
Oleh: Masyitoh Chusnan
(Sumber : http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=185;
Date : 16/02/2009)
Artikel ini
merupakan iftitah buku yang akan segera
terbit
dengan judul Permata Tasawuf Muhammadiyah,
Meneladani
Spiritual Leadership AR. Fakhruddin
Muhammadiyah sebagai organisasi dan
gerakan sosial keagamaan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923)
pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian
dengan tanggal 18 Nopember 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain,
dipengaruhi oleh gerakan tajdîd (reformasi, pembaruan pemikiran Islam)
yang digelorakan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arab
Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyîd Ridhâ
(1865-1935) di Mesir, dan lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut memiliki
corak pemikiran yang khas, berbeda satu dengan yang lain. Jika Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhâb menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih
bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan
pemanfaatan budaya modern dan menempuh jalur pendidikan, dan karena itu,
gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Sementara itu, Rasyîd Ridhâ
menekankan pentingnya keterikatan pada teks-teks
al-Qurân dalam kerangka pemahaman Islam, yang
dikenal dengan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah). Oleh karena itu, gerakannya lebih bersifat
skriptualis (tekstual), yang kelak menjadi akar fundamentalisme (al-ushûliyyah)
di Timur Tengah (Syafiq A. Mughni, 1998). Dari telaah biografi KH. Ahmad
Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dan
sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tokoh di atas yang kemudian
dipadukan dan dikontekstualisasikan dengan setting sosial dan budaya
Jawa, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika itu, masyarakat Indonesia
berada dalam kondisi terjajah, terbelakang, mundur, miskin, dan keberagamaan
sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).
Sebagai gerakan tajdîd (pembaruan),
dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang mengembangkan
semangat tajdîd dan ijtihâd (mendayagunakan nalar rasional dalam
memecahkan dan mengambil kesimpulan berbagai masalah hukum dan
lainnya yang tidak ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan
al-sunnah), serta menjauhi sikap taklid (mengikuti ajaran agama secara membabi
buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sehingga
di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan juga dikenal sebagai
gerakan tajdîd.
Istilah tajdîd pada dasarnya bermakna
pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Dalam konteks ini,
menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah, tajdîd
mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha
memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan
pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar
al-Qur’ân dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996). Pencerahan hati, pikiran,
dan tindakan dalam berislam sungguh sangat penting digelorakan dewasa ini,
mengingat penetrasi dan akulturasi budaya Barat yang sekuler dan rendahnya
kualitas sebagian besar umat Islam masih menghantui kehidupan umat Islam
Indonesia.
Tajdîd secara harfiah memang mempunyai
arti pembaruan. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, dituntut untuk selalu
mampu membuat langkah-langkah yang ditempuhnya tetap segar,
kreatif, inovatif dan responsif mengikuti perkembangan zaman.
Dengan kata lain, Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan
sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat.
Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran
Islam secara dinamis dan kontekstual. Al-Qurân dan al-Sunnah tidak akan
pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan
meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian
mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif.
Muhammadiyah, memang harus terus menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada
reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan
sedang dikerjakan demikian Amien Rais, sang lokomotif reformasi Indonesia. Di
samping itu, Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian
dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial,
karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien
Rais, 1995).
Sementara itu, ketika bicara tentang tajdîd
masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang
saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd
tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm
(pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi,
memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan
(Amien Rais, 1995). Kelima spektrum tajdîd memang sangat relevan dengan
tuntutan masa kini; mengingat dewasa ini fenomena jahiliyah modern juga
bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan-ramalan yang bernuansa klenik dan
tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking
(perdagangan manusia) terutama anak-anak dan perempuan, dan sebagainya.
Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan
kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi
Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang
lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.
Wilayah ijtihâd dan tajdîd Muhammadiyah
sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas
kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan.
Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan
merupakan persoalan keumatan yang kongkrit dan otentik. Sikap dan aksi nyata
seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya
dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan
ini perlu mendapat ruang dan respons yang lebih luas dari warga Muhammadiyah
dan lainnya.
Bagi KH Ahmad Dahlan yang aktivis Budi Utomo itu,
setiap warga harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial
sebagai seorang guru dan murid sekaligus. Etos guru-murid adalah inti kekuatan ijtihâd
dan juga inti kekuatan gerakan sosial KHA. Dahlan dalam usahanya mencairkan
kebekuan ritual, sehingga mempunyai fungsi pragmatis sebagai pemecahan
problem sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan dan pendidikan yang
cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh warga, laki-laki dan perempuan,
digerakkan untuk bekerja sebagai guru sekaligus murid di dalam banyak bidang
sosial dan kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’ûn sebagai dasar kelahiran
lembaga panti asuhan mencerminkan ide dasar metodologi pragmatis etos
guru-murid dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an (Abdul Munir Mulkhan, 2003).
Nafas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd,
sesungguhnya terletak dalam pergumulannya dengan persoalan historisitas
keberagamaan manusia. Untuk membangkitkan dan menyegarkan kembali gerakan
pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah dalam konteks pembangunan umat,
tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara mencermati kembali makna
normativitas teks-teks (nash-nash) al-Qurân dan al-Sunnah secara lebih
kontekstual, dengan cara mengkaitkan dan mempertautkannya secara langsung atau
kontekstualisasi dengan persoalan-persoalan sosial-historis keberagamaan Islam
kontemporer secara aktual (M. Amin Abdullah, dalam “Muhammadiyah dan Pemikiran
Keagamaan”).
Sebagai pelopor pembaruan pemikiran
Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian
akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah
telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya
terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam
perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa
Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan
sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan,
masjid serta sarana dakwah lainnya.
Dalam konteks purifikasi,
al-Qurân dan al-Sunnah al-shahîhah (yang valid)
secara tekstual normatif merupakan paradigma utama dalam komitmen aqidah maupun
pelaksanaan ibadah mahdhah. Dari paradigma tekstual normatif ini
melahirkan doktrin segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah
(al-Qurân dan al-Sunnah). Sedangkan dalam konteks rasionalisasi, al-Qurân
dan al-Sunnah al-shahîhah juga tetap menjadi rujukan
pokok, namun dalam keyakinan dan pengamalan bidang muamalah duniawiyah ini
berlaku kaidah ushul: al-ashl fi al-asyyâ’ al-ibâhah (semua
urusan muamalah duniawiyah boleh dikerjakan) selama tidak ada larangan atau
tidak bertentangan dengan al-Qurân dan al-Sunnah.
Sebagai sebuah gerakan (harakah),
tentu banyak faktor yang melatarbelakangi kelahirannya. Berbagai pakar dan
penulis mengemukakan teori dan alasan untuk menunjang teori mereka. Setiap
temuan, masing-masing telah diperkaya dan diperkuat oleh berbagai faktor yang
mereka yakini kebenarannya. Di antara nama tersebut misalnya A. Mukti Ali (The
Muhammadiyah Movement, 1985), mantan Menteri Agama, yang menyebutkan paling
tidak ada empat faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan
beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, kegiatan para
misionaris Kristen, dan sikap masa bodoh dan bahkan anti agama dari kalangan
intelegensia (Mukti Ali, 1985).
Sementara itu, Alwi Shihab dalam
bukunya, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab, 1998), lebih menekankan faktor
penetrasi Kristen yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, di samping
sejumlah faktor lain yang sangat kompleks, dan faktor terpentingnya masih tetap
diperdebatkan. Dalam perdebatan tersebut menurut Alwi, muncul dua pandangan
utama yang pada umumnya diterima. Pandangan pertama, mengatakan bahwa
kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur
Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pandangan kedua,
menekankan kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respons terhadap
pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa.
Meskipun kedua faktor di atas memainkan peran sangat penting, namun terdapat
faktor lain yang sama pentingnya yang terabaikan dari pertimbangan analitis
para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negeri ini serta pengaruh
besar yang ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana Indonesia faktor ini
dipandang tidak penting, namun harus diakui bahwa faktor ini merupakan yang
terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KHA. Dahlan mendirikan
organisasi ini pada tahun 1912.
Dari pendapat yang dikemukakan baik
oleh Mukti Ali maupun Alwi Shihab tampaknya, faktor yang paling dominan yang
menyebabkan Muhammadiyah lahir adalah faktor kehidupan beragama yang tidak
murni, pendidikan agama yang tidak efisien, dan kegiatan para misionaris
Kristen yang melakukan kristenisasi terhadap kalangan Muslim tertentu, seperti:
kaum fakir-miskin dan kalangan Islam abangan. Kelompok inilah yang mudah
menjadi sasaran garap kaum missionaris, karena mereka adalah kaum yang lemah
secara ekonomi maupun secara akidah.
Sementara itu, menyoroti tentang
persyarikatan Muhammadiyah ini, berbagai pandangan dan pendapat telah
dilontarkan kepada organisasi ini, baik dari kalangan luar maupun dari kalangan
dalam. Kritik internal yang diarahkan kepada persyarikatan akhir-akhir ini
misalnya, ia terkesan kering dan tidak lagi sevokal dan seagresif dahulu dalam
menyerukan ide-ide pembaruan pemahaman keagamaan, khususnya dalam hubungannya
dengan realitas historis masyarakat Muslim yang hidup di tengah-tengah era
modernitas. Kritik ini tentu saja bersifat membangun (konstruktif). Para
aktivis dan penerus gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah ini dikesankan
“terjebak” dalam rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi keagamaan.
Jika kritik ini benar, memang agak ironis: mengapa organisasi yang dahulunya
bebas dan leluasa bergerak, akhirnya harus terjebak dalam liku-liku
(mekanisme) birokrasi organisasi yang diciptakannya
sendiri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh persyarikatan.
Kritik ini tentu harus diresponi secara positif agar organisasi ini tidak mau
dikatakan mandeg (stagnan). Elan vital pembaruan (tajdîd) harus tetap
menjadi “watak dasar” Muhammadiyah.
Sebagai sebuah organisasi pembaruan
keagamaan, Muhammadiyah memang berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran
kaum Muslimin adalah perbaikan pendidikan. Oleh karena itulah, sesungguhnya
sejak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan oleh
Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah (Alwi Shihab, 1998).
Gerakan Muhammadiyah juga sejak awal
dikenal luas sebagai gerakan sosial keagamaan yang didirikan untuk
mengadaptasikan Islam dengan situasi modern Indonesia, karena gerakan ini
menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yang peduli dan konsen (care and
concern) terhadap kemajuan Islam dan umat Islam, dan menyebabkan
kebangkitan kembali kaum Muslimin di Indonesia.
Pengamat lain menegaskan bahwa
organisasi ini merupakan sebuah gerakan dakwah dengan lingkup kegiatan yang
mencakup semua aspek kehidupan sosial: agama, pendidikan, ekonomi, politik dan
lain sebagainya. Barangkali lebih pantaslah kalau Muhammadiyah ini dikatakan,
sebagaimana pendapat Alwi Shihab, bahwa gerakan Muhammadiyah masuk ke dalam
kombinasi berbagai penamaan dan penyifatan, sejalan dengan
sasaran dan tujuannya yang beragam, yang telah mengalami banyak
perubahan dalam upayanya untuk terus memberikan respons terhadap kebutuhan
zaman. Organisasi ini tidak membatasi diri kepada dakwah semata dalam
pengertian yang sempit, tetapi mengambil peran dalam semua aspek perkembangan
masyarakat, bergantung kepada atmosfir yang sedang berlangsung (Alwi Shihab,
1998). Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan
bahwa Muhammadiyah paling tidak memiliki peran dalam tiga dataran: “sebagai
gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik
(Kahin, h.87-88). Ketiga atribut yang disematkan kepada Muhammadiyah tersebut
memang merupakan keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya
menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis terhadap status
quo, sehingga eksistensinya juga sekaligus membawa transformasi sosial,
terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam. Seiring dengan kekuatan
yang semakin diperhitungkan, terutama di kalangan menengah perkotaan,
keberadaan Muhammadiyah juga patut diperhitungkan secara politik, meskipun khiththah
(garis dan orientasi perjuangan) organisasi ini tidak berpolitik praktis.
Sebagai pelopor gerakan pembaruan
pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional dalam beragama (meskipun
akhir-akhir ini tidak sevokal dan seagresif dahulu) dan menekankan pentingnya
peranan akal serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan
anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan
spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Keharusan hidup untuk
mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber dari ajaran agama dan berkehendak
menaati seluruh perintah Allah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
Saw. serta “menyifatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah”, merupakan ciri dan
perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun perilaku seperti itu pada zaman Rasul
tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) Sufi pada
saat itu belum ada. Istilah ini baru muncul pada akhir abad dua atau awal abad
tiga hijriyah (Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn Taimiyah (661-728 H)
menyatakan bahwa ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada saat itu disebut
kaum Salaf, yang kemudian disebut dengan “Shufiyah wa al-Fuqarâ” (Ibn.
Taimiyah dan Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980).
Perilaku dan kehidupan spiritual
sejumlah pemimpin Muhammadiyah, dilakukan seiring dengan pelaksanaan
pemberantasan bid’ah, syirik dan khurafat serta desakralisasi praktik beragama,
seperti praktik beragama (baca: bertasawuf) model Ibn Taimiyah. Orang-orang
yang masuk ke dalam kategori ini (sufi) adalah mereka yang sungguh-sungguh
mentaati Allah. Di antara mereka ada yang lebih utama karena kesungguhannya
dalam ketaatannya pada Allah dan adapula yang masih dalam tahap penyempurnaan,
mereka disebut dengan Ahl al-Yamîn (Ibn Taimiyah, 1986). Sementara itu, Imam
al-Ghazzâlî (1058-1111 M) memberikan makna tasawuf dengan: “Ketulusan kepada
Allah dan pergaulan yang baik kepada sesama manusia”. Setiap orang yang
tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulan dengan
sesama manusia menurut al-Ghazzâlî disebut sufi (Al-Ghazzali, 1988).
Sedangkan ketulusan kepada Allah Swt. berarti menghilangkan
kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) untuk melaksanakan
perintah Allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yang baik dengan sesama
manusia tidaklah mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain,
selama kepentingan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang
rela terhadap penyimpangan syari’at atau dia mengingkarinya, menurut
al-Ghazzâlî, dia bukanlah sufi. Jadi, sufi adalah orang yang menempuh jalan
hidup dengan menjalankan syariat secara benar dan sekaligus mengambil
spiritualitas (hakikat) dari ajaran syariat dalam bentuk penyucian dan
pendekatan diri secara terus-menerus kepada Allah Swt. Perilaku ketaatan terhadap
syariat itu kemudian diwujudkan dalam perilaku yang penuh moralitas (akhlak
mulia) dalam kehidupan sehari-hari (tasawuf akhlaqi).
Apabila pengertian tasawuf mengacu
pada pencanderaan seperti yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah maupun al-Ghazzâlî
seperti yang disebutkan di atas, maka di dalam Muhammadiyahpun akan muncul
wajah-wajah tasawuf, yakni mereka yang ketaatan serta kehidupan
spiritualitasnya cukup intens. Tidaklah mengherankan bila disimak dengan
seksama penuturan salah seorang murid K.H.A. Dahlan, yaitu K.R.H. Hadjid, bahwa
di antara referensi pendiri Muhammadiyah adalah kitab-kitab yang ditulis oleh
tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammad ibn Abd
al-Wahhab, Muhammad ‘Abduh dan termasuk juga karya al-Ghazzâlî.
Kitab-kitab tasawuf seperti Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah,
Kimiyah al-Sa’âdah, Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn dan sebagainya menjadi
bacaan KHA. Dahlan (Kiyai Hadjid, 1968), sehingga keakraban kehidupan spiritual
yang dekat dengan wilayah tasawuf juga mewarnai kepribadian pendiri gerakan
pembaruan dalam Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus
Hadikusumo, cukup intens dalam kehidupan wilayah ini (baca: bertasawuf). Dia
menekankan pentingnya akhlak luhur dan kesederhanaan dalam hidup. Ia prihatin terhadap
krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam),
tetapi perilakunya tidak Islami. Terhadap krisis ini, Ki Bagus menulis tentang
akhlak dalam bukunya “Pustaka Ihsan“ yang
mengemukakan tentang istiqâmah, tawakkul, muhâsabah, ‘adl, shidq,
tawâdhu’, ikhlâs, amânah, shabr serta qanâ’ah (Farid Ma’ruf, 1990).
Sementara itu, figur A.R. Fakhruddin
juga pantas masuk dalam kategori sebagai sosok sufi dalam Muhammadiyah. Karena
menurut hemat penulis, ia dapat mewakili wajah kehidupan spiritual dalam
Muhammadiyah, karena beberapa alasan. Pertama, praktek hidup pribadi
A.R. Fakhruddin mencerminkan perilaku kehidupan spiritual yang sangat dekat
dengan wilayah tasawuf. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam kehidupannya
sehari-hari, baik ketika bertugas, di lingkungan rumah tangganya, di masyarakat
maupun di kalangan organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya, ia senantiasa
mencerminkan pribadi mutasawwif dan watak tasawuf yang akhlaqi,
mementingkan pembinaan dan pengamalan perilaku yang menunjukkan akhlak mulia.
Kehidupannya mencerminkan hidup dan kehidupan yang
sederhana, asketik dan tidak ngoyo (zâhid). Ia senantiasa
menekankan pada perilaku akhlak terpuji. Dalam salah satu ceramah A.R.
Fakhruddin, Nakamura pernah mengutip inti ceramahnya sebagai berikut (Mitsuo
Nakamura, 1983) :
“Bahwa kita
dapat berdoa lima kali sehari dengan teratur, namun jika akhlak kita tetap
buruk, tetap rakus, kikir, tidak mau memperhatikan yang miskin dan susah, maka
do’a kita tidak akan diterima oleh Allah, tidak akan masuk surga, namun bahkan
masuk neraka. Kita dapat menyelesaikan puasa, namun jika kita tetap
membicarakan keburukan orang lain, berdusta, menipu, sombong, maka puasa kita
tidak berguna dan tidak diakui oleh Allah, marilah kita berdo’a, berpuasa, berhaji,
membayar zakat, dan di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak
kita”.
Selanjutnya A.R. Fakhruddin menambahkan:
“Bahwa jalan
yang paling pasti untuk membentuk akhlak yang mulia adalah melakukan ibadat,
dengan kesadaran penuh kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran
adalah hasrat seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi
mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi,
kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah sepenuhnya
diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain. Bahwa shalat-shalat
sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yang sejenisnya sangatlah dianjurkan.
Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, dan boleh diperaktikkan bilamana
hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam
beribadah maupun dalam bermu’amalah”.
Dalam tindakan dan perbuatannya, A.R. Fakhruddin dapat
dicandera lebih mencerminkan pribadi “amal”, figur yang menekankan pada perbuatan
nyata, aksis sosial kemanusiaan. Baginya yang penting adalah bagaimana Islam
benar-benar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepuasannya yang
mendalam adalah bilamana umat Islam sungguh-sungguh dapat mencerminkan dirinya
sebagai muslim yang baik, Muslim dalam keyakinan, dalam ucapan maupun dalam
tindakannya. Di antara watak muslim “amal” ini agaknya lebih dekat kepada
wilayah tasawuf, dibandingkan Muslim “intelektual” yang mungkin lebih dekat
kepada wilayah kalam atau filsafat.
Kedua, karya-karya tulisnya, jelas memang
diungkapkan dengan narasi yang berbeda dengan karya al-Ghazzâlî maupun Ibn
Taimiyah, namun substansinya senafas dengan karya-karya tasawuf al-Ghazzâlî,
misalnya tentang Adab-Adab dalam Beragama, tentang al-Qawâid
al-‘Asyrah, Tindak Kepatuhan, Menghindar dari Dosa, baik
dosa-dosa tubuh maupun dosa-dosa jiwa yang berhubungan dengan Allah Swt. dan
manusia, tentang tauhid, iman, penyucian diri dari noda,
dosa, maksiat, dan lain sebagainya.
Gaya penulisannya sederhana, namun menarik dan enak
dibaca. Sepintas, karena kesederhanaannya, terkesan seolah-olah kurang
dilandasi teori-teori yang dapat mencerminkan sebagai tokoh pergerakan
modernisme dalam Islam. Padahal, justru di situlah letak kekuatannya. Sebab,
apa yang dikemukakan dan ditulisnya merupakan manifestasi dari kedalaman dan
pengamalan Islam yang diyakininya serta bertolak dari kejujuran dan ketulusan
pribadinya, pengalaman keseharian dan problem-problem aktual keagamaan dan
kemasyarakatan yang ditemuinya. Dengan karya-karyanya dalam bentuk tadzkirah
(peringatan/pelajaran moral) dan anekdotis, di sana dapat dibaca bahwa
sifat-sifat dan pribadinya sendiri adalah karya-karya tulisnya itu.
Ketiga, A.R. Fakhruddin adalah pimpinan
puncak di Muhammadiyah (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) terlama sepanjang
sejarah perkembangannya, yaitu selama 22 tahun (1968–1990), sementara pendiri
Muhammadiyah sendiri yakni K.H.A. Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun
(1912–1923). Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, cukup lama
A.R. Fakhruddin menjadi pimpinan di daerah dan tingkat wilayah, dan selama 30
tahun diberi tugas oleh pengurus besar Muhammadiyah untuk menggerakkan dakwah
di pelosok Sumatera Bagian Selatan. Dengan demikian, A.R. Fakhruddin memiliki
kesempatan yang cukup untuk memberi corak kehidupan yang bernuansa tasawuf
dalam kepemimpinan dan kehidupan gerakan Muhammadiyah. Selama periode tersebut,
melalui kepemimpinannya di tingkat nasional, berbagai kegiatan dan pertemuan,
baik di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang maupun di tingkat ranting dapat
dilakukan secara intensif dan cukup padat. Bahkan ia seringkali mengisi halaqah-halaqah
(pengajian-pengajian dalam forum-forum terbatas) di lingkungan keluarga besar
Muhammadiyah, seperti jamaah wanita, ‘Aisyiyah, Nasyi’atul 'Aisyiyah, remaja,
kaum terpelajar, guru-guru dan dalam berbagai komunitas lainnya.
A.R. Fakhruddin adalah simbol dan lambang kepemimpinan
Muhammadiyah, menjadi tipe pengembangan kepribadian Muhammadiyah dan tokoh
sentral yang lengser dari puncak piramida persyarikatan secara
ikhlas dan legowo. Ia telah bertiwikrama menjadi trade mark
organisasi Islam yang paling rapih di Indonesia. Semua itu, secara langsung
ataupun tidak, dapat memberi pengaruh dalam kehidupan persyarikatan. Didukung
pula oleh hampir semua karya tulisnya yang lebih banyak ditujukan kepada
pembaca keluarga persyarikatan, seperti: Pedoman Muballigh Muhammadiyah,
Pedoman Anggota Muhammadiyah, Muhammadiyah Abad ke XV H,
Kepribadian Muhammadiyah, Pemimpin Muhammadiyah dan beberapa karya
lain dalam bentuk tanya jawab, artikel di majalah Suara Muhammadiyah dan Suara
Aisyiyah, serta makalah-makalah yang disampaikan pada halaqah-halaqah,
penataran, seminar baik untuk anggota, pengurus, maupun kader-kader
Muhammadiyah, seluruhnya cukup efektif dalam kurun yang demikian relatif
panjang dalam memberikan sentuhan tasawuf dari pancaran pribadinya dalam jiwa
dan amalan anggota Muhammadiyah.
Tema-tema majelis halaqah, tabligh,
pengajian, kuliah, khotbah, ataupun tulisan-tulisan yang tersebar dalam brosur
dan majalah-majalah intern persyarikatan Muhammadiyah, memang tidak mengangkat
tema yang secara eksplisit tentang tasawuf, seperti tokoh lain dalam
Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA, namun sarat dengan pelajaran akhlaq yang dekat
dengan wilayah tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi. Sementara karya-karya HAMKA di
bidang Tasawuf, lebih bersifat universal dan ditujukan untuk khalayak pembaca
yang beragam. Karya-karyanya antara lain : Tasawuf Modern; Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi dan Falsafah
Budi.
Tanpa menyebut kata tasawuf sebenarnya ia telah
mempraktekkan dan menyebarkan ajaran akhlak tasawuf secara inklusif. Waktu yang
dimiliki selama menjadi tokoh puncak Muhammadiyah, memberi peluang yang cukup
luas untuk mensosialisasikan pikiran/ renungan dan seruan-seruannya baik dalam
perilaku organisasi maupun praktik pribadi dalam mengamalkan ajaran Islam yang
bernuansa tasawuf. Jiwa dan pribadinya merentang cermin pribadi “sufi” dalam
hal taubat, taqwâ, wara, zuhd, rajâ, khauf,
khusyu’, tawâdhu’, qanâ’ah, tawakkul, syukr,
shabr, ridhâ, istiqâmah, ikhlâs, dan beberapa
tahapan lain penempuh jalan sufi seperti pencanderaan Imam al-Qusyairî
al-Naisaburî di dalam Risâlah al-Qusyairiyah (Al-Qusyairi, t.t).
Menurut hemat penulis, kehidupan spiritual A.R.
Fakhruddin dapat digolongkan dalam pribadi yang hidup berdasarkan pencerahan
dan memiliki karakter tasawuf (tasawuf akhlaqi), serta menjadi salah satu tokoh
puncak dan panutan di dalam komunitas persyarikatan Muhammadiyah yang menghayati
dan “berjiwa sufi”. Namun, asumsi sementara di atas perlu dibuktikan, apakah
benar kehidupan spiritual AR. Fakhruddin itu memang memiliki karakter tasawuf
yang dekat dengan dunia Sufi. Lalu, cukup tepatkah pernyataan ini ditujukan
kepada AR. Fakhruddin. Bukankah karya-karya tulisnya juga tidak spesifik
menulis tentang tasawuf, meskipun sarat dengan dimensi dan pelajaran akhlak.
Dalam berislam dan bermuhammadiyah, memang sangat
diperlukan adanya rujukan moral dan keteladanan spiritual yang dapat
membina jati diri muslim melalui akhlak tasawuf, karena kita berkeyakinan bahwa
kehidupan yang Islami dapat terwujud lewat perilaku dan kehidupan spiritual
yang luhur, mulia, dan sarat dengan amal shalih. Ke depan, menurut penulis,
Muhammadiyah dan bangsa ini memerlukan figur pemimpin yang dapat diteladani
integritas pribadi, kedalaman spiritualitas, dan kecanggihan berpikirnya. Spiritual
leadership meminjam istilah Tobroni barangkali merupakan salah satu warisan
kepemimpinan AR. Fakhruddin dalam menahkodai dan membesarkan Muhammadiyah.
Dengan gaya dan model kepemimpinan spiritual dan sufistik inilah, jati diri
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dapat menyentuh berbagai
lapisan masyarakat. AR. Fakhruddin tidak hanya memimpin dan berdakwah, tetapi
juga mendidik dan mencerdaskan umat dengan kecerdasan emosi, kedalaman
spiritualitas (the corporate mystics), dan keluhuran moralnya yang
tercermin dalam kepemimpinan spiritual dimaksud (Tobroni, 2005). Umat dan
bangsa dewasa ini memang sangat memerlukan figur-figur pemimpin yang dapat
diteladani dari segi pemihakannya terhadap kejujuran, kebenaran, dan integritas
moralnya.
Akhirnya, sebagai refleksi bersama: bukankah yang
kelak dinilai Allah Swt. di akhirat adalah amal bakti, prestasi kinerja nyata
kita? Muslim yang baik adalah Muslim yang selalu bersikap rendah hati untuk mau
belajar dan membelajarkan diri sendiri menuju kualitas hidup yang lebih baik.
Mudah-mudahan, pembaca dan kita semua dapat belajar “Islam amalî” dan “amal
Islami” serta mengambil pelajaran moral dan spiritual dari tokoh-tokoh
puncak pimpinan Muhammadiyah khususnya tokoh kita yang satu ini, K.H. AR.
Fakhuruddin (Allah yarham).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar