Miris rasanya membaca berita terkait dengan kehidupan si Buyung yang harus mencuri
demi melihat kedua adiknya terus sekolah. Setelah ibunya
meninggal, ayahnya pun menikah lagi dan melepaskan tanggung jawab begitu saja. Kita semua geram mendengar sikap ayahnya yang tanpa rasa bersalah meninggalkan
ketiga anak mereka. Sungguh di Hari akhir nanti sang ayah niscaya akan
mendapatkan balasan karena telah menelantarkan anaknya.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya ada
kegeraman tersendiri yang muncul di hati saya. Kegeraman tatkala melihat telah
terkikisnya kepedulian terhadap tetangga kita sendiri. Melihat kasus di atas,
justru saya menjadi sangat geram kepada warga desa yang tidak mengetahui (atau
mungkin pura-pura tidak tahu) kondisi si Buyung. Mereka seolah menutup mata
terhadap kesusahan yang dialami si Buyung. Saya geram kepada kepala desanya.
Saya geram kepada ketua RT-nya. Saya pun geram kepada anggota masyarakat yang sudah
tidak mau meluangkan waktu untuk blusukan ke lingkungan sekitarnya.
Di Indonesia, masih banyak Buyung lainnya
yang akhirnya harus melakukan tindakan melawan hukum setelah putus asa demi
bertahan hidup. Saat mereka melakukan pencurian, serta merta kita pun langsung
menghakimi mereka tanpa pernah sadar kita pun memiliki peranan sehingga hal itu
terjadi. Sungguh mereka tidak akan melakukan pencurian, seperti yang dilakukan
si Buyung, jika hidupnya berkecukupan. Nah, disinilah peranan kita sebagai
tetangga untuk terus menjalin silaturahmi intensif dengan anggota masyarakat
lainnya.
Harus diakui bahwa blusukan atau silaturahmi
semakin pudar seiring perkembangan zaman yang identik dengan individualisme.
Masing-masing orang hanya memikirkan dirinya. Tidak ada lagi tegur sapa di
antara para tetangga. Maka dibuatlah pagar setinggi mungkin. Bahkan kalau bisa
mencapai langit. Alhasil, tidak ada lagi chemistry yang terbangun di antara
masing-masing orang. Elo... elo... gue... gue!!! Hal ini akan memunculkan
ketidakpedulian superhebat. Contohnya kasus Buyung di atas. Kasus ini tidak
akan terjadi jika sebagai warga masyarakat rajin melakukan blusukan ke tetangga
kita. Pun kasus nenek yang mencuri buah cokelat tidak akan terjadi jika kepala
desa, ketua RT, ketua RW, anggota masyarakat lain mau melakukan blusukan.
Jokowi telah mencontohkannya. Gaya blusukan
yang dimiliki Jokowi sebenarnya tidak perlu dikritisi seperti yang dilakukan
oleh beberapa orang. Justru kita lah yang perlu introspeksi diri terhadap
kepedulian kita yang semakin menurun. Justru kitalah yang patut mengevaluasi
diri apakah kita sudah pernah blusukan ke tetangga-tetangga kita untuk
memastikan mereka sudah makan atau belum.
Lebih jauh, akan sangat miris tatkala kita
selalu mengelu-elukan Jokowi yang suka turun ke masyarakat untuk melihat
kondisi warganya secara langsung, namun disisi lain ada tetangga kita yang
kelaparan dan kita tidak mengetahuinya. Kita memuji Jokowi yang rajin blusukan,
namun kita justru tidak pernah mengetahui ternyata ada tetangga kita yang tidur
dengan perut lapar.
Jokowi berbuat seperti itu sebenarnya ingin
menggelitik hati sanubari kita yang paling dalam sudah sejauh mana blusukan
yang kita lakukan. Di banyak berita pun kita selalu membaca dimana Jokowi
mengharapkan para kepala dinas, para camat, dan para lurah sering-seringlah
blusukan. Kita pun kadang tidak sadar mengeluarkan komentar semisal, “Kadis,
camat, dan lurah itu seharusnya memang rajin blusukan untuk mengetahui kondisi
warganya“. Padahal, kewajiban untuk blusukan bukan hanya tugas dari pimpinan,
tetapi selayaknya setiap anggota masyarakat harus melakukan blusukan untuk
membantu masalah yang dihadapi tetangga atau lingkungan kita. Kita membanggakan
Jokowi yang selalu rajin turun meninjau masyarakat. Yah… hanya sekedar bangga tanpa
pernah sedikitpun meneladani apa yang telah dilakukannya. Jangan-jangan ada
seorang anak tetangga yang sedang merintih kelaparan yang justru kita tidak
mengetahuinya. Miris…!!!.
Karena itulah, maka saya melontarkan wacana
“Gerakan Blusukan Nasional”. Dengan gerakan ini saya yakin, tidak ada lagi
warga yang mencuri hanya karena bertahan hidup. Tidak ada lagi Buyung lainnya.
Tidak ada lagi nenek yang harus mencuri cokelat. Dengan rajin blusukan, kita
akan tahu kondisi tetangga kita. Jika sehat wal afiat, Alhamdulillah. Namun,
jika mereka hidup susah, sudah selayaknya kita bantu.
Sekali lagi… kewajiban blusukan bukan monopoli
Jokowi, kepala dinas, atau pimpinan lainnya. Namun, blusukan adalah kewajiban
setiap orang yang masih mau peduli dengan lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar