Siapa
Anak Jalanan?
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya
berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut, anak yang belum berusia 18 tahun, melakukan kegiatan atau
berkeliaran di jalanan. Penampilan mereka kebanyakan kotor sering-sering tidak begitu
menyenangkan. Banyak yang menjadi pedagang surat kabar, mainan, penjual jasa,
pengamen, pengemis atau gembel.
Kenapa
Ada Anak Jalanan?
Ada
banyak faktor penyebab anak turun ke jalan untuk mencari uang, main-main atau
hidup di jalan. Di negeara berkembang seperti Jakarta, anak jalanan pada
umumnya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Salah satu alasannya adalah;
krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian akhirnya
mengakibatkan semakin banyak anak-anak yang terlantar. Akhirnya, mereka tidak
bersekolah lagi, karena orang tua mereka tidak mampu menyekolahkan.
Meskipun
krisis ekonomi bukan satu-satunya penyebab terbengkalainya pendidikan anak-anak
usia sekolah, namun ada hubungan kuat semakin luasnya krisis ekonomi diikuti
pula oleh makin banyaknya anak-anak yang tidak berada di ruang sekolah. Pada
saat jam sekolah, mereka berkeliaran di jalanan atau anak-anak turun ke jalan
karena ada desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua mereka menyuruh
anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Disamping
faktor kemiskinan ini banyak juga terjadi, misalnya, karena diusir orang
tuanya, kurangnya pemenuhan hidup baik fisik, psikis, dan kekurang harmonisan
keluarga seperti selalu bertengkar dengan orang tua, salah satu orang tua
berselingkuh dan kebiasaan buruk lainnya. Ini bisa membuat rumah tangga
terlantar kemudian membuat anak tidak
betah di rumah, akhirnya masalah keretakan keluarga bisa menjadi salah satu
faktor pendorong untuk anak turun ke jalan. Masalah urbanisasi juga salah satu
penyebab, karena banyak orang muda berharap untuk pergi ke kota untuk mengadu
nasib. Tetapi, karena pendidikan mereka rendah dan kurang ketrampilan membuat
mereka tidak bisa bekerja, maka mereka harus turun ke jalan juga.
Sampai
saat ini belum ada kebijaksanaan sosial untuk anak jalanan. Belum ada kebijakan
mengenai anak jalanan, baik dari Pemda maupun
Departmen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan tidak terkoorinasi dengan
baik. Sebenarnya, anak jalanan berada di
luar sistem sosial dan mereka tidak mempunyai Kartu
Tanda Penduduk
(KTP) dan kartu keluarga untuk memperoleh berbagai pelayanan dari lembaga
seperti untuk mengikuti pendidikan atau
kursus kerja. Peran masyarakat masih sangat kurang dan lembaga-lembaga
organisasi sosial belum berperan untuk menyelesaikan masalah anak jalanan.
Kegiatan atau perilaku anak jalanan
Salah satu tindakan
pertama yang diambil oleh anak bila memulai hidup di jalanan adalah menggunakan
nama baru. Ini membuat mereka memperoleh suatu identitas baru sebagai identitas
jalanan. Sebagai anak muda yang tidak punya ketrampilan, aktivitas yang bisa
dilakukannya sebagai sumber penghasilan sangat terbatas. Kebanyakan memilih
untuk mengamen. Namun, diantara pekerjaan yang biasa dilakukan adalah sebagai
penyemir sepatu, pemulung, pencuci kaca mobil, pekerja seks dan sebagainya.
Upah yang mereka dapat bergantung kepada si pemberi/pemakai jasa. Seperti yang
bisa dibayangkan, penghasilannya tidak banyak.
Mereka berkelompok
di fasilitas umum, persimpangan jalan, pasar dan tempat-tempat keramaian lain.
Kota-kota besar pastinya mempunyai anak-anak jalanan. Semakin besar kotanya,
semakin tertarik anak jalanan ke kota itu. Ada juga dari, anak jalanan yang
berjudi. Uang yang bisa didapat dari judi jika menang relatif banyak berbanding
dengan penghasilan dari mengamen dan pekerjaan lain yang dibuat anak anak ini.
Minum minuman keras juga merupakan satu aktivitas mereka. Ini biasanya untuk
menghilangkan rasa gengsi bila mengamen ataupun untuk menghadapi kekerasan
hidup di jalanan.
Selain alkohol,
anak-anak ini sering juga memakai narkoba. Inilah cara-cara mereka untuk
menghilangkan tekanan akibat dari bekerja sepanjang hari. Umumnya mereka tidak
ada jam berkerja tertentu tetapi sudah tentu mereka bekerja lama setiap hari.
Di kalangan anak-anak ini, ada yang lebih pandai dan mendapat penghasilan
dengan menjual obat-obatan kepada
anak-anak lain. Sesudah biasa hidup di jalanan, anak-anak jalanan ini sering
mengadakan hubungan seksual dengan bebas. Kebanyakan anak-anak jalanan
perempuan terdiri dari ABG (anak baru gede) atau remaja berusia 12 hingga 18
tahun. Kalau mereka tidak aktif, mereka sekurang-kurangnya pernah melakukan
hubungan seksual. Ada di antara anak jalanan perempuan yang untuk mendapat
uang, menjadi pekerja seks.
Akitivitas-aktivitas lain yang sering dilakukan oleh anak-anak ini adalah
perkara-perkara sepele lain seperti menggores mobil, bergaul dengan pelacur,
menikmati filem porno, merokok, mabuk dan lain-lain. Akhirnya, mereka terlibat
dalam aktivitas yang biasanya dipandang negatif oleh masyarakat. Terdapat juga
di antara mereka yang punya kencenderungan untuk bermain musik. Mereka sering
berkumpul dalam kelompok untuk beryanyi dan bermain musik.
Rasional disebalik budaya atau perilaku anak jalanan.
Anak-anak
yang memilih untuk hidup di jalanan seringkali adalah untuk meninggalkan rumah
dan sekaligus meninggalkan masalah. Meninggalkan rumah, menanggalkan masa lalu.
Karena itu, mereka cenderung menggantikan nama. Ini digunakan untuk menjaga
jarak dengan masa lalu sekaligus memasuki dunia jalanan dengan nama barunya.
Perasaan kawatir hadir bila ada orang lain yang mengetahui siapa dirinya.
Anak-anak dari daerah pedesaan menggantikan nama dengan nama-nama yang dianggap
“modern” seperti nama bintang sinotren atau yang biasa didengarnya seperti
Andi, Roy dan sebagainya. Nama “Mohammad” juga digantikan karena pada anggapan
mereka, “Mohammad” itu nama nabi, tidak sesuai digunakan di jalanan di mana
terdapat banyak tindakan haram.
Kekerasan
hidup di jalanan ditambah dengan situasi di mana mereka harus bertahan hidup memaksa
mereka menjadi dewasa sebelum sampai waktunya. Setiap hari mereka menghadapi
teman-teman yang lebih besar yang sering meminta uang darinya dan ini memaksa
mereka menjadi anak dewasa yang keras yang ditunjukkan oleh sikapnya yang
selalu membantah. Yang pasti, sifat-sifat “kedewasaan” penting diadopsi untuk
mengarungi kehidupan jalanan.
Anak-anak jalanan
menggunakan tubuh sebagai sarana, untuk ekspresi dan sekaligus subversi. Sekali
pandang, jelas pada tingkat permukaan ditunjukkan perbedaan-perbedaan oleh
mereka yang sekaligus seperti menegaskan pertentangan dengan negara dan
masyarakat di sekitarnya. Tubuh digunakan sebagai sumber produksi, sumber
penghasilan dan aktivitas komunikasi kepada komunitas. Pencarian dan tingkah
laku yang berbeda adalah cara anak jalanan ini dengan sengaja mennujukkan bahwa
mereka membangkang, dan mensub-versi nilai-nilai utamanya.
Berjudi, seks
bebas, obatan terlarang, narkoba, mengutil, mencopet, semua aktivitas dan sifat
yang tidak senonoh dipandang oleh masyarakat, lalu sengaja dilakukan oleh
anak-anak jalanan sebagai tanda membangkang dari masyarakat yang telah
menggagalkan mereka.
Di jalanan mereka
tidak mau lagi dianggap sebagai anak kecil dan mengadopsi sifat dan perilahu
dewasa. Semua aktivitas yang biasanya tidak bisa dilakukan oleh anak kecil, dan
biasanya dilakukan oleh orang dewasa, semua menjadi kegemaran mereka untuk
menunjukkan bahwa mereka tidak mau lagi dianggap anak kecil. Karena sebagai
anak kecil, mereka tidak pernah gembira, tidak pernah rasa bebas dan tidak
pernah disayangi. Hasilnya, mereka meniru aktivitas orang dewasa, maka
aktivitas seperti berjudi, minum alkohol, dan seks bebas menjadi kebiasaan.
Lebih-lebih lagi, jika dilarang membuat sesuatu, maka seperti disuruh. Itulah
bagian dari identitas pembangkangan yang mana, jika mereka menolak dianggap
anak kecil.
Aktivitas seperti
mengambil obat dan menegak alkohol juga merupakan strategi ekonomi bagi
anak-anak jalanan. Obat dan alkohol bisa menimbul rasa cuek bila mereka pergi
mengamen atau menyemir, karena mereka rasa gengsi untuk jadi pengamen. Mereka
mabuk sebelum mengamen untuk menghilangkan rasa malu bila tiba di jalanan.
Selain itu, alkohol digunakan untuk menciptakan kondisi nyaman untuk
menghilangkan tekanan dalam dirinya. Di dalam masyarakat modern, jalan keluar
yang mudah dari situasi yang menekan individu adalah dengan penyalahgunaan
obat-obatan, tidak berbeda bagi anak-anak ini.
Gaya pakaian dan
dandanan tubuh mereka adalah hasil dari budaya dan pengalaman di jalanan.
Pengalaman seseorang anak jalanan, A, yang pada suatu hari mendapat cukup uang
dari mengamen pergi membeli kaos dan celana baru dan dengan pakaian baru itu
pergi mengamen. Jelas dengan pakaian yang baru dan bersih, tidak banyak yang
mahu memberi uang kepadanya. Ini menunjukkan hal yang bertentangan. Masyarakat
umum tidak senang melihat anak-anak ini yang berpakaian buruk dan kotor, tetapi
bila berpakaian baru dan bersih, masyarakat tidak mau memberi uang kepada
mereka. Berpakaian kumal menghasilkan uang yang cukup banyak.
Karena pakaian
berpengauh terhadap penghasilan, mereka mengadopsi cara berpakaian pengamen
dewasa, turis asing atau dari filem dan majalah yang dilihat. Ini membina suatu
“identitas” jalanan yang menyatakan kepada masyarakat umum bahwa mereka orang
jalanan, maka masyarakat bisa mengenal orang jalanan dari cara mereka
berpakaian.
Solusi Untuk Masalah Dengan Anak Jalanan
Pandangan masyarakat tentang anak jalanan kebanyakan
kurang baik bahkan dianggap sebagai trouble maker, atau anak-anak yang memprihatiankansekali
dan memerlukan asuhan dan perlindungan. Tetapi
hingga sekarang,
belum ada cukup tindakan untuk membantu anak jalanan. Mungkin mereka
berpendapat yang paling bertanggung jawab terhadap anak jalanan itu adalah
pihak pemerintah, di samping orang tua.
Bagaimana pemerintah menangani anak jalanan? Sekarang,
masalah ini lebih sering didekati dengan razia atau pembersihan. Pemerintah seharusnya memberikan payung hukum penanganan
anak jalanan. Ini perlu diterbitkan sebagai implementasi undang-undang tentang
gelandangan, yang mengatur teknis pelaksanan, koordinasi, monitoring dan
evalusi penanganan anak jalanan serta tanggung jawab keluarga dan masyarakat.
Pemerintah juga seharusnya memenuhi apa yang menulis di Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
pendidikan dan kebudayaan, sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan
(2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara
(2) Negara mengembangkan sistem
jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
Masyarakat
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus bekerja bersama untuk menangani
masalah anak jalanan dengan cara diberikan bimbingan
pendidikan, ketrampilan dan penyediaan kesempatan
kerja; ada juga bisa peningkatkan kondisi sosial ekonomi keluarga anak jalanan,
sehingga mampu menarik anaknya dari jalanan.
Tetapi, ada beberapa kasus-kasus bahwa anak
yang disekolahkan dan ditanggung biaya hidupnya pun kembali ke jalanan. Setelah
ditanyakan alasan kembalinya mereka karena lebih mudah memperoleh uang di jalan
dari pada bekerja atau kembali ke sekolah. Mereka harus mengubah pikiran ini
untuk bisa menjadi seorang berguna di masyarakat dan bukan menjadi beban. Ada
kampanye di Indonesia, “Stop beri uang, beri kami kesempatan” untuk anak
jalanan, mengharap bisa benar-benar merubakan nasib mereka. Kampanye itu
menjelaskan bahwa lebih baik jika anak-anak ini diberi “kesempatan” dari uang
yang hanya, dalam jangka masa panjang, memperburuk situasi mereka. “Kesempatan”
yang diadakan oleh kampanye itu adalah seperti berikut:
*dipetik dari http://www.stopberiuang.or.id/campaign.php
- Pendampingan.
Karena perlakuan keluarga maupun lingkungan menyebabkan anak jalanan
terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak
dikasihi, olehnya kita dapat memulihkan percaya diri mereka. “Uang” kita
dapat dialihkan dengan waktu yang kita berikan untuk mendampingi mereka.
Dengan sikap “Penerimaan kita” tersebut dapat mengatasi “luka masa lalu”
mereka.
- Bantuan Pendidikan.
Kita dapat membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar,
memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan Beasiswa, Bimbingan
Uper (Ujian Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah.
“Uang” kita dapat gantian dengan “Beasiswa” (memang pemerintah telah
membebaskan uang SPP untuk sekolah negeri, Namun hal tersebut digantikan
dengan pungutan lainnya bahkan lebih mahal dari pada uang SPP yang telah
dihapuskan dengan mengatas namakan “uang buku”, “uang kegiatan” dan
lain-lainnya.
- Bantuan Kesehatan.
Dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak
sehat mengakibatkan mereka terhadap penyakit. Pada kondisi sekarang mereka
bukanlah tidak memiliki uang untuk berobat namun kesadaran akan mahalnya
kesehatan sangat rendah dalam lingkungan mereka. Uang kita dapat kita
rubah menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan, subsidi
obat-obatan serta subsidi perawatan kesehatan.
- Penyediaan Lapangan Pekerjaan.
Sebagai contoh yang baik, Carrefour melakukan terobosan yang sangat bagus
dengan menerima 4 anak jalanan yang cukup umur untuk bekerja di
perusahaannya. Langkah ini merupakan salah satu obat mujarab terhadap
penyakit masyarakat yang menjangkit bahkan telah mulai membusuk dalam
bangsa ini. Bayangkan jika terdapat “Carrefour” yang lainnya dapat membuka
kesempatan tersebut, mungkin jalanan akan sepi dengan anak anak jalanan
karena orang tua mereka telah mulai bekerja. Profile keluarga dikembalikan
seperti semula, orang tua menjadi penopang keluarga
- Bantuan Pangan.
Dengan tingginya harga sembako membuat rakyat jelata tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan “Uang” dapat kita uban menjadi bantuan
pangan dengan mengadakan Bazaar sembako murah, kembali kita tidak boleh
memberikan kepada mereka secara gratis.
Penulis: Chee Kha King Andrew, Tanubrata Karina Hemindra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar