Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 26 Februari 2014

Simpati Kemanusiaan Di Tengah Bencana

Berbagai bencana yang terjadi di sebagian wilayah tanah air kita saat ini pada hakikatnya adalah musibah kemanusiaan secara menyeluruh, baik untuk bangsa kita sendiri maupun bangsa-bangsa lain di dunia ini. Karena itu tidak mengherankan ketika suatu daerah ditimpa bencana seperti tersapu awan panas gunung Sinabung di daerah Karo Sumatera Utara, yang menyebabkan 15 orang meninggal dunia, getaran kepiluan dan kepedihan melihat jasad jasad kaku terbakar hangus, terasa menyeluruh pada setiap orang. Empati dan simpati terbangun seketika. Terwujud rasa kepedulian yang luar biasa dari setiap orang. Semua bergegas memberikan bantuan, baik moril maupun dengan materi.
Kondisi di atas merupakan salah satu sisi kemanusiaan yang positif sehingga perlu terus dijaga dan dikembangkan, bukan hanya pada waktu terjadi bencana, akan tetapi harus melekat menjadi karakter yang inheren melekat pada setiap diri manusia. Manusia menjadi makhluk yang saling mengasihi, menyayangi, saling membantu, dan saling menghargai. Bukan saling menjegal, saling menggunting dalam lipatan, saling memfitnah, saling melukai, bahkan juga saling membunuh. Allah SWT berfirman dalam surat Al Maidah ayat 32, “Bahwa siapa saja yang membunuh seseorang sama dengan membunuh seluruh manusia. Sebaliknya siapa saja yang menyebabkan kehidupan seseorang sama dengan menghidupkan semua manusia.”
Ibadah zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim yang memiliki harta dan penghasilan mencapai nishab serta infak sedekah yang sangat dianjurkan,  salah satu tujuan utamanya adalah untuk menguatkan empati dan simpati kemanusiaan, memupuk sikap saling tolong menolong dan saling menyayangi antar-sesama manusia. Karena itu Rasulullah Saw melakukan isolasi  sosial pada orang yang mampu berzakat, tapi tidak mau melakukannya. Bahkan Abu Bakar telah bersumpah akan memerangi orang yang menunaikan shalat tetapi tidak mau berzakat.

Untuk itu gerakan zakat ini perlu terus ditumbuh-kembangkan dan diperkuat sebagai gerakan bersama seluruh komponen bangsa secara terus menerus dan berkelanjutan.

Selasa, 25 Februari 2014

Kepedulian Islam terhadap Nasib Anak Yatim dan Kaum Dhuafa

Para pembaca rahimakumullah, dengan hikmah-Nya, Allah SWT menjadikan sebagian manusia sebagai fitnah (ujian) terhadap sebagian yang lainnya. Yang miskin merupakan ujian bagi yang kaya dan sebaliknya, yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar ? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (Al-Furqan: 20).
Para pembaca yang berbahagia. Tanpa diragukan lagi bahwa keberadaan anak yatim serta kaum dhuafa seperti fakir miskin, para janda, dan yang lainnya merupakan dua golongan masyarakat yang berhak untuk mendapatkan perhatian dan pemeliharaan. Allah SWT banyak sekali menyebutkan di dalam Al-Qur`an tentang anjuran untuk menyayangi dan berbuat baik kepada dua golongan tersebut.
Allah SWT telah berfirman : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin…” (Al-Baqarah: 177). Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin.” (An Nisa`: 36). Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (Adh-Dhuha: 9-10). Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari kiamat ? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Al-Ma’un: 1-3).
Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk peduli dengan nasib mereka yang diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan, menyayangi dan berlemah lembut kepada mereka.
Telah disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : Saya dan orang yang mengasuh anak yatim akan berada di surga seperti ini – beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan sedikit antara keduanya.” (HR. al-Bukhari no. 5304).
Subhanallah! Sungguh betapa mulianya amalan tersebut dan betapa besar keutamaan yang akan diperoleh bagi orang yang mengasuh anak yatim. Orang-orang yang mengasuh anak yatim dengan pengasuhan yang sebaik-baiknya, mereka akan dibangkitkan di akhirat nanti dalam keadaan menjadi teman dekat Rasulullah SAW di surga. Karena anak yatim -yaitu anak yang ayahnya telah meninggal sementara dia belum baligh- sungguh telah kehilangan curahan kasih sayang dari sang ayah yang telah tiada. Yang mana hal itu merupakan nikmat yang sangat besar bagi si anak dengan adanya penjagaan, tempat bersandar, dan belaian kasih sayang dari sang ayah tercinta.
Secara tersirat, dalam hadits ini pula mengandung ancaman yang keras bagi siapa yang tidak mau peduli terhadap nasib mereka. Maka Allah SWT pun mengancam dengan balasan yang pedih.
Pengertian mengasuh di sini adalah melaksanakan beberapa perkara yang akan membawa kebaikan kepada diri si yatim, baik dari sisi dunianya maupun agamanya. Adapun perkara kebaikan dalam masalah dunia adalah seperti memberi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Kemudian perkara kebaikan dalam masalah agama adalah seperti membimbing dengan akhlak yang baik, memberi nasehat, mengajari ilmu agama dan yang semacamnya.
Adapun pihak yang bertanggung jawab terhadap nasib mereka setelah sang ayah meninggal bisa berasal dari kerabat dekatnya seperti ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, bibi atau kerabatnya yang lain.
Al-Imam Ibnu Baththal rahimahullah menyatakan, “Seharusnya bagi orang yang mendengar hadits ini untuk dapat mengamalkannya agar ia bisa menjadi teman dekat nabi di surga. Dan tidak ada suatu kedudukan di akhirat nanti yang lebih utama daripada kedudukan yang demikian.” (Fathul Bari 10/436).
Kemudian kepada para penanggung jawab atau pengasuh anak yatim hendaklah mengingat bahwasanya Allah SWT telah mewasiatkan : Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik, sampai ia beranjak dewasa.” (Al-An’am: 152).
Ayat di atas sekali lagi menunjukkan betapa pedulinya Islam terhadap keadaan anak yatim. Dari wasiat Allah SWT ini pula diambil sebuah kesimpulan bahwa haram hukumnya makan atau menggunakan harta anak yatim kecuali dengan cara yang dibenarkan oleh syariat. Di antaranya yaitu dengan cara mengelola, menjaga, dan mengembangkan hartanya. Sebagian ulama menafsirkan kata “dengan cara yang lebih baik” yaitu dengan dikelola dalam bentuk perdagangan agar harta si yatim bisa berkembang. Sehingga barangsiapa yang makan atau menggunakan harta anak yatim dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat maka Allah SWT telah menyiapkan suatu pengganti yang setimpal sebagai balasan dari harta anak yatim yang dia makan.
Allah SWT telah berfirman : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa`: 10).
Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim juga diterangkan oleh Rasulullah SAW bahwa di sana ada 7 perkara yang dapat menghancurkan. Salah satunya adalah memakan harta anak yatim.
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : Seorang yang berusaha untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada janda dan orang miskin maka dia seperti seorang yang berjihad di jalan Allah atau seperti seorang yang rajin melakukan shalat malam dan berpuasa di siang hari.” (HR. al-Bukhari no. 5353 dan Muslim no. 2982).
Dalam hadits ini terkandung keutamaan seorang yang berusaha untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat -bisa dalam bentuk pemberian harta, makanan atau kebutuhan hidup lainnya- kepada para dhuafa, baik dari kalangan para janda yang mana mereka tidak lagi memiliki sandaran yang mampu untuk menafkahi diri mereka dan keluarga setelah kepergian sang suami maupun kaum dhuafa secara umum yaitu mereka akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah SWT atau seperti pahala orang yang rajin menegakkan shalat malam dan berpuasa (sunnah) di siang hari.
Sehingga barangsiapa yang tidak mampu untuk berjihad di jalan Allah SWT dan juga tidak mampu untuk menegakkan shalat malam serta tidak mampu melaksanakan puasa sunnah maka hendaklah ia mengamalkan hadits ini yaitu dengan cara membantu para janda dan fakir miskin agar di hari kiamat nanti akan dikumpulkan bersama golongan orang-orang yang berjihad di jalan Allah SWT walaupun tanpa pergi berjihad di medan tempur atau tanpa menyumbangkan dana untuk jihad atau tanpa harus bertemu dengan musuh. Atau agar bisa dikumpulkan bersama golongan orang-orang yang rajin melaksanakan puasa dan shalat malam dan bisa mencapai derajat mereka. Oleh karena itu marilah kita berpartisipasi di dalam perdagangan yang tidak pernah merugi seperti membantu para janda dan orang-orang miskin. Maka dia akan memperoleh keuntungan yang berlipat dari perdagangan tersebut yaitu derajat orang yang berjihad, berpuasa dan shalat malam dengan tanpa susah payah dan rasa capek. Yang demikian ini merupakan keutamaan dari Allah yang akan Allah SWT berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Lihat Syarhul Bukhari li Ibnil Bathal 9/218).
Di antara faedah dari sikap peduli terhadap kaum dhuafa pula adalah dalam rangka membentengi diri mereka dari ancaman gerakan pemurtadan dan pendangkalan iman. Kita melihat di berbagai wilayah kaum muslimin, para dhuafa yaitu orang-orang yang lemah baik lemah ekonomi maupun iman, siang dan malam selalu menjadi incaran para tukang penggadai agama. Di mana kehidupan yang serba kembang-kempis dalam mencari nafkah ini mereka pun akhirnya rela menggadaikan agamanya demi ditukar dengan sesuap makanan yang sangat mereka butuhkan untuk hidup mereka.
Ketahuilah bahwa berbuat baik, menyayangi dan berlemah-lembut kepada anak-anak yatim dan kaum dhuafa akan menumbuhkan dalam hati ini sifat kasih sayang, perasaan yang peka terhadap sesama dan sikap selalu kembali kepada Allah. Dan tidak ada seorang pun yang bisa mendapatkannya kecuali bagi siapa yang mau mencoba.
Kepada kaum dhuafa, maka hendaklah kalian bersabar atas ujian yang menimpa diri kalian. Janganlah dengan alasan kemiskinan, kemudian melakukan suatu perbuatan yang akan menjerumuskan diri kalian kepada jurang kehinaan. Rasulullah SAW bersabda : Bukanlah yang disebut orang miskin itu adalah orang yang ditolak oleh orang lain ketika meminta sesuap atau dua suap makanan. Hanya saja yang disebut orang miskin adalah orang yang tidak memiliki kecukupan, akan tetapi dia malu, atau tidak meminta-minta kepada orang lain dengan memaksa (walaupun dia membutuhkan).” (HR. al-Bukhari no. 1476 dan Muslim no. 1039).
Maka dalam hadits ini terdapat nasehat dari Rasulullah SAW kepada kaum dhuafa hendaklah mereka bersabar dan selalu berharap turunnya pertolongan dari Allah SWT serta tidak boleh mengemis kepada manusia baik mereka memberi atau menolaknya. Tetaplah berusaha untuk mendapatkan rizki yang baik dan halal dengan cara bekerja, berdagang, atau yang lainnya. Itu lebih baik daripada meminta-minta. Rasulullah SAW bersabda : Sungguh jika salah seorang di antara kalian mengambil tali-talinya kemudian dia pergi ke gunung, lalu pulang dengan membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian menjualnya lalu dia merasa cukup dengan hasil penjualannya, ini lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberi atau menolaknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1836).
Di samping berusaha, hendaklah engkau berdoa dan menyerahkan urusanmu hanya kepada Allah SWT, gantungkanlah harapan, rasa takut, dan tawakalmu hanya kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia yang akan mencukupimu. Allah SWT berfirman (yang artinya) : Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dia akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3).
Maka wajib bagi kaum dhuafa untuk bersabar dan tidak boleh meminta-minta kepada manusia kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Seorang yang bermudah-mudahan dalam meminta sesuatu kepada manusia maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan di wajahnya tidak terdapat secuil daging pun.
Rasulullah SAW bersabda : Seseorang yang terus-menerus meminta-minta kepada manusia, kelak pada hari kiamat dia akan datang dalam keadaan tidak ada secuil daging pun di wajahnya.” (HR. al-Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040).

Senin, 24 Februari 2014

Kekuatan Seorang Pemimpin di Tangan Kaum yang Lemah (Dhuafa)

Sebuah buku lama edisi baru pada 26 Januari lalu diluncurkan dalam acara yang dihadiri beberapa menteri, tokoh masyarakat, termasuk mantan Wakil Presiden Try Sutrisno di Auditorium BPPT Jakarta, yaitu Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi (Penerbit Kompas).
Buku setebal 564 halaman itu disusun oleh Saleh Umar Bajasut (cetakan pertama 1972) dan edisi revisi (2014) diedit-ulang Lukman Hakiem. Di dalam buku tersebut terekam sikap dan pandangan Prawoto Mangkusasmito lewat kumpulan tulisan, wawancara, dokumen perjuangan dan kesaksian berbagai kalangan terhadap jejak hayat dan integritas beliau.
Menurut Dr. (HC) A.M. Fatwa, Ketua Panitia Penerbitan Buku Prawoto, motivasi menyelenggarakan kegiatan peringatan, seminar dan penerbitan buku tentang tokoh-tokoh yang telah tiada, yang cukup menguras tenaga, pikiran dan dana itu karena membaca fenomena kegelisahan para pemuda, generasi pelanjut, yang merasa kehilangan tokoh panutan.
Prawoto Mangkusasmito lahir di Tirto (Grabag-Magelang) tanggal 4 Januari 1910 dan wafat di Banyuwangi 24 Juli 1970. Seorang pemimpin-pejuang tepercaya umat Islam Indonesia. Anggota Badan Pekerja KNIP di awal kemerdekaan, Wakil Perdana Menteri RI, Wakil Ketua I Konstituante, dan Ketua Umum Masyumi pada waktu dibubarkan tahun 1960.
Setelah mempelajari alam pikiran dan jejak perjuangan Prawoto, saya mencatat pelajaran yang ditinggalkan Prawoto untuk generasi muda Islam dan seluruh bangsa Indonesia, di antaranya adalah:
Pertama, prinsip perjuangan bahwa kekuatan seorang pemimpin terletak di tangan kaum yang lemah (dhuafa). Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw, “Hanyalah kamu akan mendapat kemenangan dengan memperhatikan nasib kaum yang lemah (dhuafa).”
Prawoto pernah berkata kepada Mohammad Natsir, “Apabila saya kembali dari tourni melihat kampung-kampung dan desa-desa, berbicara dengan pak tani yang lemah itu, saya merasa mendapat satu kekuatan baru, saya kembali dengan harapan yang baru. Kekuatan pemimpin itu terletak di tangan kaum yang lemah.”
Kedua, pemimpin yang jujur dan mengutamakan kepentingan rakyat. Sebagaimana kesaksian Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya (1970), “Dia (Prawoto) seorang yang lurus hati dan jujur tak ada bengkoknya sedikitpun jua. Gigih dalam perjuangan politik. Dia pergi sebelum berhasil melihat Masyumi yang dicintainya direhabilitir kembali jadi partai yang sah.”
Ketiga, politisi yang tidak memanfaatkan politik untuk mencari kekayaan. Prawoto mensitir ucapan Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia/Wakil Presiden Pertama RI Bung Hatta, “Yang membikin partai politik berwibawa ialah ketinggian martabat para pemimpinnya.”
Prawoto sepanjang hayatnya hidup sederhana. Penopang usaha mencari nafkah untuk hidup sehari-hari adalah Ibu Hj. Rabingah Prawoto. Padahal kalau ia mau, kesempatan menjadi komisaris perusahaan terbuka baginya, apalagi ia pernah jadi Wakil Perdana Menteri dan pimpinan partai Islam yang terbesar, tetapi semua itu tidak dilakukannya. Prawoto manusia idealis, bukan manusia oportunis dan materialis.
Agama Islam kata Prawoto menetapkan kemerdekaan tiap-tiap manusia mencari nafkah dan harta pada jalan yang halal sepanjang hukum. Di samping itu, di dalam Qur’an dengan tegas dinyatakan ancaman atas mereka yang menumpuk-numpuk harta kekayaan. Dengan tegas pula ditetapkan oleh agama Islam kewajiban zakat atas harta kekayaan untuk membebaskan perseorangan dari hak masyarakat dan jamaah yang terkandung dalam harta perseorangan.
Keempat, demokrat sejati yang teguh pada pendirian dan menghormati pendirian orang lain. Setiap orang Masyumi kata Prawoto dibesarkan dan dididik berfikir secara demokratis, yaitu menghargai pendirian orang lain, walaupun tidak disetujuinya. Di dalam sidang Konstituante, Prawoto mengutip ungkapan seorang filosof, “Saya tidak setuju dengan apa yang Tuan katakan, akan tetapi hak Tuan untuk mengatakan itu akan saya bela mati-matian.” “Lebih baik menjadi orang merdeka, walaupun kecil, daripada menjadi budak besar.” ucapnya. Prawoto menyatakan, “Rugi-untungnya perjuangan harus dinilai dengan rugi-untungnya Islam.”
Kelima, perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan tetap menempuh jalan yang dibenarkan oleh hukum. Meskipun Masyumi partai politik terbesar umat Islam dengan anggota dan simpatisan tersebar di seluruh Indonesia, tapi ketika usaha merehabilitasi Masyumi melalui saluran yang resmi di masa Orde Baru menemui jalan buntu, Prawoto dan para tokoh utama Masyumi tidak pernah berpikir menempuh jalan kekerasan, misalnya mengerahkan aksi massa atau menggunakan cara-cara “preman politik.” Sehingga da- pat disimpulkan di antara warisan terpenting Masyumi ialah tradisi berdemokrasi yang tak ada bandingannya sampai sekarang.
Prawoto dan kawan-kawan seperjuangan di Masyumi kembali ke masyarakat menggerakkan dakwah, membangun berbagai sarana pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan umat. Prawoto aktif sebagai penasehat Serikat Tani Islam Indonesia (STII) dan ikut mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebagai Penasehat STII, Prawoto menemui umat, petani, kaum dhuafa, di pedesaan. Di tempat yang sederhana di tengah kunjungan ke Banyuwangi Jawa Timur, Prawoto mendapat panggilan Ilahi.
Ketika pemakaman jenazah Prawoto 25 Juli 1970 di TPU Blok P Kebayoran Baru Jakarta, sesuai wasiatnya agar dimakamkan di samping makam sahabatnya KH. Faqih Usman, Mr. Mohamad Roem berpidato, “Pak Prawoto, orang yang selamanya memberi dan tidak pernah menerima. Pak Prawoto tidak mempunyai bintang satu pun. Untuk mendapat bintang orang harus mengikuti satu prosedur, ada yang mengusulkan, yang bersangkutan minta atau mengisi formulir. Semua itu tidak bertemu di dalam kehidupan Pak Prawoto. Pak Prawoto orang yang selamanya hidup sederhana, orang yang tak pernah meminta, orang yang hanya belajar memberi dan mengasih.”
Pada 10 November 1995 Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Wilopo, almarhum Prawoto Mangkusasmito. Tahun 1997 makam Prawoto dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata karena TPU Blok P dikosongkan untuk pembangunan gedung Walikota Jakarta Selatan.
Saya mencatat pernyataan Prawoto Mangkusasmito yang perlu direnungkan dan diamalkan di tengah upaya menata lembaga pengelola zakat dan mengkonsolidasikan para amil zakat di se- luruh Indonesia agar bersatu, terintegrasi, berkoordinasi dan bersinergi mewujudkan kemaslahatan umat sesuai tujuan hakiki pengelolaan zakat bahwa, “Ikatan jiwa lebih kuat daripada ikatan organisasi. Kita menjumpai suatu organisasi yang sudah berumur bertahun-tahun, tetapi tidak mampu lagi untuk mengikat hati para anggotanya, maka pecahlah organisasi yang bersangkutan. Sebaliknya, dalam kalangan kita sendiri di waktu yang lampau, adakalanya ikatan formil itu tidak ada, akan tetapi ikatan batin tetap terpelihara, maka tetap dirasakan adanya persatuan itu. Sudah barang tentu persatuan yang sebaik-baiknya ialah persatuan yang diikat lahir dan batin”.

Anak Jalanan yang Malang

Sadarkah anda bahwa anak adalah aset bangsa yang sangat berharga, karena ditangan anak-anak tersebut estafet keberadaan bangsa di masa datang terletak. Namun sebagai aset berharga, tidak semua anak memperoleh haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya anak pada umumnya. Hal ini salah satunya dialami oleh anak jalanan yang karena satu dan lain hal haknya sebagai anak tidak dapat terpenuhi dengan baik. Di beberapa wilayah banyak dijumpai kumpulan anak-anak usia sekolah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkeliaran di jalan-jalan atau tempat umum lainnya. Mereka berkeliaran untuk mencari nafkah atau mencari tambahan uang saku dengan berbagai cara, misalnya menjadi penjual koran, pengamen, tukang parkir, pedagang asongan dan sebagainya.
Sungguh miris dan merinding ketika aku melihatnya. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap fenomena anak jalanan. Berawal dari ajakan teman, desakan orang tua untuk mencari nafkah, rumah tangga yang tidak harmonis, anak dengan orang tua single parent, dan ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru.
Dengan mereka menjadi pengemis, pangamen, tukang parkir mereka beranggapan bahwa dengan meminta-minta, ngamen mereka dapat membeli buku sendiri dan membantu orang tua. Penilaian anak-anak mengenai apakah perilaku meminta-minta, ngamen adalah hal yang baik atau buruk termasuk ke dalam konsep moral. Nilai-nilai moral yang dimiliki oleh anak diperoleh secara bertahap sesuai dengan taraf perkembangannya, yang mana menimbulkan kesadaran-kesadaran dan pengertian akan apa, mengapa dan bagaimana sesuatu perbuatan itu dilakukan.
Kehidupan mengemis, ngamen tentunya akan mempunyai dampak terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak akan berperilaku sesuai dengan apa yang dia lihat sehari-hari, apa yang menurut kelompoknya dianggap baik dan apa yang dapat digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga tidak jarang sesuatu yang dianggap salah dan terlarang dalam masyarakat menjadi hal yang biasa dalam kehidupannya.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa di dalam perkembangannya menuju ke tahap yang berikutnya, individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat sekitarnya.
Keluarga adalah lingkungan pertama yang paling berperan dalam perkembangan anak. Anak berinteraksi dengan keluarganya (ibu, ayah, saudara kakak, adik, dan lain-lain) dalam kehidupan kesehariannya. Apa yang diberikan dan dilakukan oleh pihak keluarga tersebut menjadi sumber perlakuan pertama yang akan mempengaruhi pembentukkan karakteristik pribadi perilaku anak. Para ahli menyatakan bahwa pengalaman hidup pada masa awal akan menjadi fundasi bagi proses perkembangan anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar tehadap perkembangan seorang anak.
Sekolah juga merupakan lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sekarang mulai diharapkan untuk belajar di sekolah. De Vries dan Zan (1994) menyatakan bahwa suasana sekolah dapat mendukung atau menghambat perkembangan suasana sosiomoral kelas. Dalam hal ini guru memegang peran yang sangat sentral . Guru merupakan figur utama bagi anak-anak di sekolah. Karena itu, bukan saja cara dan kemampuan guru dalam mengajar yang akan mempengaruhi perilaku dan perkembangan anak, melainkan keseluruhan pribadi dan penampilan guru. (dalam Conny R. Semiawan, 1999: 234) dinyatakan bahwa untuk menjadi seorang guru yang baik tidak cukup hanya dengan menguasai materi yang akan diajarkan dan ketrampilan metodologinya, melainkan pula perlu memiliki karakteritik-karakteristik pribadi yang cocok. Unsur-unsur pribadi tersebut akan menjadi sarana yang secara integratif akan memfasilitasi terjadinya proses pembelajaran dan perkembangan pada anak.
Selain itu anak yang mulai berinteraksi dengan orang-orang diluar rumahnya dan bermain di luar rumah akan mulai mengenal kelompok lain yaitu peer group. Pada usia inilah anak mulai melakukan memandang dirinya melalui perbandingan dengan orang lain (social comparison). Di luar rumah (masyarakat) mereka bergaul, di sana mereka melihat orang-orang berperilaku,di san pula mereka menyaksikan berbagai peristiwa dan aturan yang seyogyanya dipenuhi oleh yang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman interaksional anak pada masyarakat tersebut akan member kontribusi tersendiri dalam pembentukkan perilaku dan perkembangan pribadi anak.
Namun, meskipun lingkungan memiliki peranan yang penting bagi seorang anak, janganlah lupa bahwa anak merupakan sebuah unit individu yang memiliki dinamika tersendiri. Aspek-aspek penting dalam diri anak saling terkait dan saling berinteraksi, yaitu aspek biologis, kognitif, dan sosioemosional.
Lalu bagaimana dengan anak jalanan itu ? Kondisi real yang terjadi, anak jalanan lebih sering menghabiskan waktu di jalanan, dan bergaul dengan orang-orang tidak terpelajar, seharusnya merkea lebih memfokuskan diri untuk belajar di sekolah serta mengeksplorasi potensi diri. Dengan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan mereka juga akan kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi bakat dan potensi yang dimiliki. Kalau sudah begini siapa yang harus disalahkan ?.

Sabtu, 22 Februari 2014

Anak Jalanan, Siapa yang Mau Menolongnya

Kehidupan yang serba mewah di kota-kota besar tidak selalu berbuah manis. Kenyataannya banyak orang-orang miskin yang hidup menderita disana. Padahal dalam Pancasila sile ke lima katanya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jangan sampai sila pancasila ini musnah dari hati nurani kita. 
Pemerintah lebih mementingkan orang berdasi daripada menolong rakyat kecil. Sekarang sedang gencar-gencarnya membangun gedung yang kenyataannya hanya dinikmati oleh orang berduit saja dan malangnya kebanyakan bukan orang asli Indonesia. Berapa banyak anggaran pemerintah yang disediakan untuk membangun gedung, sementara anggaran untuk orang miskin sangatlah minim. Saat ini orang miskin tidak butuh bantuan, hanya butuh lapangan pekerjaan dan bisa bersekolah gratis.
Janji pemerintah untuk sekolah gratis ternyata bohong belaka sekarang sekolah bayar, bahkan semakin hari semakin mahal. Indonesia lebih banyak orang miskinnya dari pada kayanya tapi mengapa yang kaya lebih dipentingkan dahulu. Misalnya, Freeport mengapa Indonesia bersedia menandatangani kontrak baru padahal sudah jelas kita dirugikan. Mungkinkah pemimpin-pemimpin bangsa ini ikut bermain didalamnya. 
Tetapi inilah indonesia, kita masih seumur jagung bisa mementingkan kepentingan negara dan umum, lebih sering egois menguasai pemimpin-pemimpin kita. Sebut saja DPR, mengapa mereka selalu ingin rapat di tempat yang berbintang, padahal jika dana yang digunakan itu untuk orang kecil, pastilah bisa membantu.bukankah DPR itu dewan perwakilan rakyat tetapi kenyataanya dewan penghancur rakyat. Masihkah ada nurani di hati DPR untuk benar-benar bekerja hanya untuk rakyat. Marilah kita saksikan episode anggota DPR di Neraka Senayan (gedung DPR).
Lihatlah anak-anak jalanan, tidakkah malu presiden, MPR, DPR dan kroni-kroni pemerintah saat mobil mereka didatangi anak jalanan, maukah mereka menyisihkan rejeki kotor mereka ? Apakah cukup hanya diberi ? Apakah dengan begitu kehidupan mereka akan berubah ? Jawabnya TIDAK!.
Pemerintah harus segera insaf dan segera menyediakan lapangan pekerjaan khusus untuk anak-anak jalanan dan orang miskin walaupun hanya keterampilan tangan hal itu sangat berguna sekali bagi mereka. Dan pemerintah harus memberikan sekolah gratis kepada khususnya anak-anak jalanan dan orang miskin. Alangkah tidak punya malu orang yang mengaku miskin hanya untuk memperoleh sekolah gratis atau bantuan. Pendek kata mereka telah mencuri bagian dari orang-orang miskin, yang jelas dosanya termasuk dosa besar.
Mulailah dari saat ini, belajar untuk merubah bangsa bukan merubah pangkat, karena pangkat dan derajat akan datang sendiri jika kita bisa berbuat untuk bangsa.

Mari kita berikan ilmu kita pada tetangga kita yang tidak bersekolah kepada orang-orang miskin yang tidak mampu bersekolah, kita tidak boleh malu karena itu adalah kebaikan. INGATLAH, SUKSES BERAWAL DARI HAL KECIL TETAPI BERARTI BESAR YAITU MENOLONG ORANG LAIN.

Kamis, 20 Februari 2014

Anak Jalanan, Tanggung Jawab Siapa ?

Bukan sekali dua kali, sebulan dua bulan, saya melihat anak-anak di lampu merah, berjalan sambil menyodorkan sebuah kotak kepada setiap orang yang dilewatinya. Mungkin kita juga sering menemuinya, dan memilih untuk bersikap cuek. 
Bahkan pernah suatu ketika dalam perjalanan ke rumah teman, di tengah gerimis, saya melihat beberapa anak yang usianya sekitar 4-5 tahun duduk di trotoar double way, di lampu merah, tanpa mengenakan mantel, hanya baju yang tipis.
Dan pernah pula, ketika saya keluar dari sebuah gedung yang mengadakan pameran, dua orang anak menghampiri saya. Menyodorkan sebuah kotak, mereka berkata “Sumbangannya, bu…Seikhlasnya…”. Langkah saya terhenti. Kemudian mereka berkata lagi, “Kasian, bu…Saya belum makan..” “Belum makan?” “Iya, bu…Dari pagi tadi…..” Saat itu pukul 1 siang. Saya tidak tahu mereka bohong atau tidak, “Ya sudah, kalian tunggu di warung depan itu, saya mau ambil motor dulu.” Saya bisa membeli makan apa yang saya mau ketika lapar, atau pulang ke rumah dan di rumah sudah tersedia berbagai jenis makanan, tapi mereka…?? mungkin harus menunggu sampai malam. Tapi seandainya mereka berbohong, toh Tuhan tidak akan membiarkan segala sesuatu berlalu begitu saja. Tapi melihat matanya….Saya pesankan sepiring nasi dengan segelas teh. Saya tidak memikirkan apa yang akan terjadi kemudian, saya hanya tidak tega, mungkin mereka sudah berjalan jauh dan lelah lalu lapar. Itu saja.
Anak-anak itu, masih sangat kecil, seharusnya mereka ada di dekat orang tua mereka, bermain di lapangan, bukan di pinggir jalan, mencari sumbangan. Tak jarang juga saya lihat di trotoar dekat lampu merah mereka bermain sambil istirahat.
Apakah sudah sedemikian parahnya keadaan di negeri kita, sampai anak-anak harus dipekerjakan ? Saya tidak menyalahkan orang tua jika mereka tidak mampu menyekolahkan mereka. Tapi mengijinkan mereka mencari uang di jalan ? Itu sangat berbahaya.
Dan mengapa pemerintah setempat seakan tutup mata ? Jika keberadaan mereka diserahkan kepada masyarakat, tidak semua dari kami merupakan orang yang berlimpah harta.
Jika pemerintah mampu menganggarkan dana yang besar untuk pembangunan ini dan itu (yang sepertinya tidak perlu), apakah pemerintah juga menganggarkan dana untuk kesejahteraan mereka ?.
Menurut saya, jika orang tua benar-benar tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, apakah bisa pemerintah membentuk suatu lembaga/tempat dimana anak-anak itu bisa belajar/diberi keterampilan ? Sebab menurut saya pendidikan tidak harus diberikan di sekolah. Kesimpulan ini saya dapat ketika saya ikut mengajar di sebuah desa dengan beberapa teman dari berbagai organisasi kampus.
Saya juga paham dalam hal ini saya tidak bisa menggantungkan harapan saya sepenuhnya kepada pemerintah. Tapi berjalan seorang diri, saya juga tidak mampu. Namun yang saya percayai dalam hidup ini, pemberian sekecil apapun pasti akan sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan. Jika dia tidak berkenan atas bantuan kita, biarkanlah tangan Tuhan yang bekerja. Karena Tuhan tidak akan menjadikan segala sesuatunya menjadi sia-sia.

Selasa, 18 Februari 2014

Anak Jalanan dan Hak Asasi Manusia

Disalah satu perempatan lampu merah terlihat Seorang anak mengendong anak yang lebih kecil, menghampiri mobil-mobil untuk meminta sedekah. Di Lampu merah ditempat lain anak-anak kecil bermain ditrotoar sambil meminta-minta untuk dikasihani para pengendara yang lewat. Ada yang membawa gitar mainan, kerincingan yang terbuat dari kaleng. Pernah juga saya melihat anak mungkin umurnya sekitar 6 tahun dengan kaki luka menganga akibat terserempet kendaraan yang lewat dan masih juga tak berhenti meminta-minta dengan kaki yang sakit.
Belum lagi pemulung-pemulung cilik yang berkeliaran di jalan-jalan masuk keluar perumahan. Di dekat rumah saya setiap hari suami istri pemulung membawa gerobaknya masing-masing. Dan lima anaknya yang masih di bawah umur menenteng karung-karung untuk membantu orang tuanya memulung.
Segala pekerjaan bisa dilakukan oleh anak jalanan asalkan menghasilkan uang untuk makan, seperti mengamen, mengemis, menyemir sepatu, menjadi kuli panggul, dan menjadi pemulung.
Pemandangan yang sudah jamak terlihat di kota-kota besar di Indonesia. Belum lagi anak-anak terlantar dan miskin di pelosok daerah yang tidak terlihat oleh kita.
Melihat dan Merenungi mereka membuat dada ini sesak karena sedih dan prihatin. Anak-anak jalanan itu hidup di dunia yang bukan seharusnya mereka terima. Mereka masih butuh canda tawa kasih sayang dan kemanjaan yang seharusnya mereka terima.
Ini merupakan Salah satu fenomena sosial di perkotaan yang belakangan ini semakin nyata dan belum bisa terbendung dan diatasi oleh Pemerintah khususnya Depsos. 
Kehadiran mereka seringkali dianggap sebagai cermin kemiskinan kota, atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang tersebut terhadap kehidupan dinamis kota besar. Pemahaman tentang karakteristik kehidupan mereka, seperti apa kegiatan dan aspirasi yang mereka miliki, keterkaitan hubungan dengan pihak dan orang-orang yang ada di sekitar lingkungan hidup mereka, memungkinkan kita menempatkan mereka secara lebih arif bijaksana dalam konteks permasalahan kehidupan kota besar. Banyak orang yang tidak menerima kehadiran anak-anak jalanan ini. Jijik, takut, marah, kesal dsb. Tapi Bukan mereka yang menghendaki kehidupan seperti itu. 
Walaupun Departemen Sosial menyiapkan dana Rp 184 miliar bagi penanganan 140.000 anak jalanan. Implementasinya dengan menambah rumah singkat dan koordinasi dengan daerah serta lembaga sosial masyarakat di bidang anak jalanan. 
Namun saya rasa tidak akan menyelesaikan masalah. Maraknya kasus keterlantaran, eksploitasi ekonomi dan kekerasan seksual terhadap anak jalanan serta terjadinya korban anak jalanan yang dimutilasi, yang muncul pada beberapa tahun belakangan ini, membuat kita ‘terhenyak’. Meningkatnya jumlah serta kasus anak jalanan, merupakan tantangan yang harus kita hadapi hadapi bersama. Upaya penanganan masalah harus secara terorganisir dan berkesinambungan dan harus berdasarkan perencanaan dan konsep-konsep penanganan masalah yang profesional Masalah anak adalah tanggung jawab kita semua. 
Tahukah engkau nak (anak-anak jalanan, gelandangan, anak miskin kota dsb) ada sebuah Naskah yang sudah bertahun-tahun lampau telah dideklarasikan didunia : Semua orang dilahirkan dalam kebebasan, semua orang dilahirkan dalam persamaan dengan demikian memiliki hak-hak yang sama. Manusia dapat berfikir untuk diri sendiri dan memahami apa yang terjadi di sekeliling mereka. Setiap orang harus berbuat sebagai sesama saudara, lelaki dan perempuan. Bukan persoalan dari ras apa kamu berasal. Bukanlah persoalan apakah engkau seorang laki-laki dan perempuan. Bukanlah persoalan dalam bahasa apa kamu berbicara. Apapun juga agamamu, apapun juga pandangan politikmu. Dari Negara dan daerah mana asalmu atau keluargamu. Bukan juga persoalan apakah engkau miskin atau kaya. Hak-hak ini dan kebebasan ini adalah untuk dinikmati oleh setiap orang termasuk setiap anak. Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk bebas dan hak untuk keamanan diri pribadi. Tak seorangpun boleh disiksa atau dinistai, Setiap orang punya hak untuk bekerja untuk membiayai diri mereka agar tetap sehat, mencari makan, pakaian dan tempat tinggal. Semua anak-anak harus menikmati hak yang sama tidak peduli siapa orang tua mereka, apakah orang tua mereka menikah atau tidak. Setiap orang punya hak mendapat latihan untuk suatu pekerjaan. Pendidikan harus memberi tekanan pada pemahaman, pengertian, toleransi dan persahabat. Orang mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap tempat mereka hidup dan terhadap orang lain yang hidup disana bersama mereka.
Teringat sebuah kalimat yang diucapkan oleh Khan, dalam film my name is Khan. Di dunia ini tidak ada perbedaan yang ada hanya perbedaan antara orang yang baik dan orang yang jahat.

Pengemis, Pengamen, Anak Jalanan, dan Penipu

Hampir di setiap sudut bumi yang bulat ini, anda bisa bertemu dengan pengemis, pengamen, anak jalanan, dan penipu. Saya pernah mengenal sedikit diantara anak jalanan yang multitalenta, terlihat dari profesinya yaitu sebagai pengemis sekaligus pengamen, kadang sesekali main tipu-tipu. Anda tahu dimana letak sudut bumi yang bulat itu ?. 
Saya seorang biasa yang diberi anugerah berupa perasaan yang sentimentil beserta stok air mata bergalon-galon, saya sering merasa iba dengan mereka. Seorang anak lelaki bertubuh kurus kering mengamen di jalanan, seorang anak perempuan kecil yang seharusnya dikuncir dua berpita tapi berambut gimbal di perempatan, seorang nenek renta yang kehilangan masa bahagia di sisa umurnya. Mereka membuat saya selalu jatuh iba untuk kemudian merogoh dompet yang tak selalu berisi ini.
Itu dulu. Waktu saya masih lugu, belum pernah melihat fakta, yang otomatis tidak melahirkan argumen apapun. Sampai pada suatu waktu saya berbelanja di sebuah minimarket pukul 10 malam. Suasana sudah cukup lengang. Saya bebas menggeratak barang-barang yang saya perlukan tanpa ada keramaian dan antrian. Saat di kasir, saya melihat sesosok pria setengah baya yang sangat familiar wajahnya, di kasir satunya. Dia menukarkan uang receh hasil “keringat”-nya ke minimarket itu, dengan jumlah cukup fantastis untuk ukuran seorang anak kos seperti saya. Mmm.. Bisa lah buat makan seminggu di rumah makan yang harga segelas es tehnya 5ribu. Dan yang paling membuat saya jengkel bukan kepalang adalah melihat fakta bahwa dia dapat berkomunikasi dengan amat lancar, sangat berbeda dengan keseharian saya temui, dia pura-pura bisu. Saya pastikan tidak salah lihat dan tidak salah orang.
Kemudian muncul fakta-fakta lain yang membuat hati saya mulai kebal melihat mereka. Dulu saya pikir kebijakan beberapa pemda tentang pelarangan pemberian uang kepada mereka itu terlalu mengada-ada, tapi ternyata benar adanya. Kemudian disusul himbauan komnas anak untuk tidak memberikan uang kepada anjal, saya aminkan. Menurut saya, memang benar, memberi uang bukan cara yang tepat untuk mengasihani mereka, karena hal itu justru membuat mereka merasa nyaman hidup di jalanan yang bisa mengumpulkan uang dengan mudah. 
Sempat saya berdiskusi dengan Bapak saya tentang “kebijakan memberi uang kepada pengemis, pengamen, dan anak jalanan”. Bapak bilang itu pilihan hidup mereka, untuk hidup dengan cara paling nista, jadi kalau kita ada uang tak ada salahnya untuk memberi, asal ikhlas. Ditambahi kelakar “kalau kamu pengen pendapatan sefantastis mereka, ya sana mengemis kalau mau”.
Hmmm… Ada benarnya. Tapi saya tetap kukuh pada pendirian saya bahwa sejak saat itu saya tidak akan memberi uang kepada mereka kecuali kepepet, pengemisnya tua renta misalnya. 
Kemudian ada lagi satu kelompok yang membuat saya ngedumel sampai bibir kucel kruwel-kruwel. Kelompok penipu. Mereka menggunakan berbaagai macam modus untuk mengelabuhi korbannya. Intinya mereka mengemis, tapi dengan cara “agak” cantik. Yang masuk kelompok ini biasanya yang bawa-bawa kotak amal, minta sumbangan buat panti asuhan antah berantah, membagikan abate, melakukan fogging, atau jualan stiker, sasaran mereka rumah kos. Rasanya jengaaaaah buanget… Kok gak kapok-kapok ya mereka.
Oooohh… Sudah habiskah lapangan pekerjaan di negeri ini, Tuhan ? Ataukah karena salah asuhan kami menjadi bangsa pemalas seperti ini ? Hanya demi rupiah menebalkan wajah dunia akhirat.

Rabu, 12 Februari 2014

Anak Jalanan dan Masyarakat Mainstream

“Terbentang jurang yang dalam, antara dua dunia, yang satu mega warna merah, penuh nafsu angkara murka. Yang satu lagi disini, di tepi danau dan kali, diantara kerumunan lalat bertahan demi kehidupan.”

Syair diatas adalah sebuah penggalan lagu yang dibuat oleh anak-anak jalanan. Tak jelas siapa yang menciptakan. Pada tahun 1995 lagu ini cukup hits di kalangan kaum jalanan di Pulau Jawa. Jika anda pernah menggunakan jasa bus, angkot maupun jalan raya, tentunya lagu ini sering dinyanyikan oleh anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen. Jelas terlihat bahwa syair lagu tersebut dibuat untuk mengemukakan ekspresi (pendapat, perasaan) kaum marginal (pinggiran) yang berada dijalanan.
Begini, anak jalanan tumbuh pesat sewaktu Indonesia mengalami krisis makro, yang mengakibat seluruh sektor ekonomi nasional turun drastis. Ketika inflasi melambung tinggi tak kenal kompromi, harga bahan pokok juga ikut latah. Sehingga menimbulkan gejolak resah bagi kaum miskin. Pabrik-pabrik mulai memPHKkan buruh-buruhnya. Harga padi dan sektor lainnya dijual murah pada tengkulak dan di jual mahal ke pasar. System perekonomian menjadi carut  marut, tak jelas juntrungannya.
Bagi kaum miskin kota, untuk menyambung hidup harus lah berani bertarung agar dapat bertahan. Lahan ekonomi alternatif dilakukan, baik berdagang kecil-kecilan, menjadi TKI, menjadi pelayan toko, menjadi tukang parkir, bahkan menjadi pengemis (masih banyak lagi sektor ekonomi alternatif lainnya) dilakukan.
Dijalanan sendiri, angka anak-anak yang beraktifitas (hidup dan bekerja) dijalanan menaik tajam. Menurut laporan DEPSOS (Departement Sosial) pada tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar. Kantong-kantong miskin dikota-kota besar menyuplai anak-anaknya menjadi bahagian dari denyut kehidupan kota. Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogyakarta, Semarang dan Medan sepertinya lahan subur untuk dapat mengepulkan asap dapur.
Ironisnya, disela gegap gempitanya media massa menelanjangi aparat birokrat kita yang terganjal kasus korupsi - sudah tentu merugikan negara berpuluh-puluh trilyun rupiah- yang sekarang santer menjadi konsumsi publik. Tetap saja kebijakan untuk perlindungan anak lebih khususnya anak-anak jalanan belum -bahkan tidak - menjadi prioritas. Bagaimana tidak, ini seperti duri dalam daging. Dicari tak kelihatan, tak dicari menusuk-nusuk menyakitkan. Ambiguitas pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini hanya sekedar menjaring lewat razia (dadakan), dikirim ke Panti Asuhan (katanya untuk pembinaan). Tetapi tetap saja tidak menyelesaikan persoalan yang semakin hari semakin kompleks saja.
Baiklah kita kembali ke fokus pada tulisan ini, bahwa persoalan anak jalanan tidak hanya persoalan kekerasan fisik yang dialami, melainkan kekerasan strukural yang kerap dialami oleh kaum marginal jalanan. Lajur pembangunan yang terus terjadi mengakibatkan terjadinya keberpihakan para pemodal. Masyarakat yang memiliki pangsa modal (setidaknya menengah dan atas) maka akan dapat mengikuti lajur pembangunan tersebut. Tak heran, untuk masyarakat ekonomi lemah, maka turun kejalan untuk menciptakan ruang ekonomi alternatif akan terus menjamur.
Fenomena anak jalanan menjadi diskursus yang tak pernah usai untuk dibincangkan. Ironisnya, Indonesia telah meratifikasi KHA (Konvensi Hak Anak) pada tahun 1990 dan juga telah menerbitkan sebuah peraturan (undang-undang) yang notabene melindungi anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. Itu termaktub di UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak) pada tahun 2003. Lalu menerbitkan Perda (Peraturan Daerah) ataupun instrument hukum yang mengikat tentang Perlindungan Anak pada level daerah.
Sekali lagi saya katakan ironis, tetap saja berbagai persoalan anak-anak di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Disana sini akan kita lihat bahwa masih banyak anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi, sosial dan budaya, seperti anak-anak yang bekerja di sektor buruh Industri, di sektor peternakan, disektor penangkapan ikan ditengah laut, disektor kaki lima dan banyak lagi. Belum lagi ditambah kasus-kasus anak-anak yang mendapat perlakuan kekerasan baik fisik maupun non-fisik, juga eksplotasi lainnya.
Sayangnya kekerasan struktural yang telah dilakukan negara terhadap anak-anak jalanan menyebabkan terbentangnya jurang yang dalam antara 2 kelompok masyarakat. Mainstream society (masyarakat mainstream) tetap menjadikan anak-anak jalanan (masyarakat yang berada - bekerja, tinggal dan hidup - dijalanan) menjadi suatu kelompok yang keluar dari adat kebiasaannya. Kaum jalanan  menjadi kelompok diluar masyarakat mainstream atau disebut sub-culture.
Media perlawanan segera - bahkan telah - dibentang oleh kaum sub-culture. Melawan  norma-norma yang menurut mainstream society itu baik. Bentuk perlawanannya bukan perlawanan bersenjata melainkan perlawanan ruang. Ruang disini adalah matrealisme dialektis, yaitu bentuk nyata kebebasan berekspresi, berpendapat, berpartisipasi dan mendapatkan perlakuan setara yang tidak mendiskriminasi. Perlawanan dialektis ini menjadi penyeimbang tentang anggapan bahwa kaum jalanan menyukai kekerasan padahal sebenarnya TIDAK. Simbol-simbol yang digunakan memang terkesan ‘menyeramkan”, secara psikologis itu akan terbentuk dengan sendirinya, sebab itu didapatkan ketika berada dijalanan. Dan Negara yang selalu menggusur/merazia dengan menggunakan kekerasan juga mengambil andil kenapa simbol-simbol “menyeramkan” itu muncul. Dan saya tidak akan mengulas lebih jauh tentang simbol-simbol perlawanan tersebut. Suatu saat akan saya tuangkan disini.

Itu sebabnya kelompok-kelompok minoritas selalu tidak mendapat tempat untuk dapat mewarnai demokrasi di Negara ini. Intelektual muda yang progresif seakan tumbang di amuk pragmatisasi. Hanya sibuk mendiskusikan dan mewacanakan persoalan sosial ini, sementara jurang pemisah ini semakian dalam ternganga.

Selasa, 11 Februari 2014

Kekerasan pada Anak dalam Komunitas Jalanan

Jumlah Komunitas jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan, krisis ekonomi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah anak di jalanan. Peningkatan anak terbesar karena dampak krisis ekonomi sehingga membuat banyak komunitas jalanan yang merupakan rumah tangga miskin yang menyia-nyiakan anaknya. Peningkatan anak jalanan juga disebabkan dari keluarga broken home. Selain itu, pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan sosial yang mempunyai efek samping merebaknya anak-anak jalanan.
Anak dalam komunitas jalanan adalah masyarakat yang hidup dan tinggal dalam keluarga yang terpinggirkan sehingga mereka hidup di lingkungan jalanan. Profesi keluarga dalam komunitas jalanan antara lain sebagi pemulung, pedagang asongan, gelandangan dan pengemis.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain: anak mengalami cacat tubuh, kemiskinan keluarga, korban broken home akibat perceraian, keluarga yang belum matang secara psikologis, kondisi sosial yang buruk, keterbelakangan, dll. Anak jalanan selalu berhadapan dalam situasi eksploitasi, baik oksploitasi ekonomi, penyalahgunaan obat terlarang, eksploitasi seksual, penculikan, perdagangan. Pada kenyataannya, secara historis, meskipun telah diusahakan pencegahan oleh berbagai pihak, jumlah anak terlantar dari tahun ke tahun semakin meningkat (Listyawato. 2010:67).
Masalah perlindungan terhadap hak-hak anak di Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup. Dalam kenyataan yang terjadi di masyarakat, dapat dilihat bahwa banyak peristiwa yang merenggut masa kecil sekaligus masa depan anak. Padahal UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, dan ditegaskan kembali oleh UU No. 23 tahun 2002 pasal 6 tentang perlindungan anak yang menyebutkan, bahwa perlindungan dan hak anak merupakan hak setiap anak termasuk di dalamnya anak-anak terlantar. Hak-hak anak antara lain hak untuk hidup, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berekspresi, hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan, hak untuk mendapatkan perhatian dan perlindungan dari orang dewasa, perlindungan dari ancaman yang membahayakan bagi keselamatan bagi dirinya, hak untuk memperoleh kesamaan dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, hak memperoleh pekerjaan, hak untuk mendapat pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hal tersebut sungguh bertolak belakang antara das sein dan das sollen yang ada.
Kekerasan structural paling menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Kombinasi persoalan internal (keluarga) dan persoalan kultural dihubungkan dengan problem structural membuat kehidupan anak-anak Indonesia masuk lingkaran setan yang tidak mudah diatasi. Jenis kekerasan dari 18 kekerasan, yang sangat marak menimpa mereka adalah trafficking sejumlah 12,7 % dan penganiayan. Berdasarkan hasil temuan dari Komite Nasional Perlindungan Anak, sebagaimana yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi, kasus kekerasan dan kejahatan yang dialami anak dapat dilakukan baik oleh orang tua, masyarakat, pemerintah maupun oleh sesama anak.

Saran untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan yang dialami anak dari keluarga marginal anatara lain melalui penanganan anak yang terpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Anak jalan atau anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan di jalan, mereka diusahakan tetap masih berada di lingkungan keluarga. Kegiatannya biasa meliputi: peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang dan lain sebagainya.

Anak Jalanan, Keceriaannya dan Tuhan

Pernah saya menulis status di facebook karena terkesan dengan omongan seorang anak jalanan yang sangat menyentuh dan maknanya begitu dalam. Kali ini saya menulis note juga karena kesan saya terhadap mereka yang begitu kuat. Mereka sering diidentikkan peminta-minta padahal tidak semua dari mereka menggantungkan hidup dari meminta-minta. Buktinya banyak juga dari mereka yang melakoni “profesi tarik suara” di jalan atau ngamen, “mendistribusikan” koran dan “mempromosikan” minuman dingin di jalan tapi bukan sebagai salesman.
Masih ada hubungannya dengan nasi goreng yang ada di status facebook saya waktu itu, kali ini saya mencoba mengakrabi mereka dengan jalan nasi goreng. Berbekal nasi goreng saya bisa mendekat dan mengakrabi keceriaan mereka dari dekat. Sungguh sebuah kenikmatan melihat mereka mengunyah makan dengan sangat lahap tidak seperti para koruptor yang walaupun menu hari ini adalah lobster yang lezat atau menu ala italia, tetap rasanya akan hampa dan tidak senyaman anak jalanan itu melahap makanan dikarenakan nasib mereka sedang dalam intaian KPK. Sungguh senang melihat mereka makan sambil bercanda tawa, sesekali meninggalkan makanan mereka dikarenakan ada pengendara motor yang ingin membeli Koran dan seketika itu juga mereka kembali lagi makan dan tertawa lagi bersama para anak jalanan lainnya. 
Saya berfikir bagaimanakah mereka memandang hidup yang bahagia dan hidup susah ? Segera kutanya mereka tentang hal ini dan mereka merespon “saya tidak tahu kak”. Sejenak kupikir apa pertanyaanku yang sulit mereka jangkau dikarenakan mereka tak mengecap pendidikan yang cukup ? Ataukah memang mereka tidak pernah merasakan bahagia atau sebaliknya mereka hidup selalu dalam kesusahan ? Segera ku tersadar bahwa mungkin dikarenakan standar bahagia dan susah bagi mereka yang tidak memungkinkan untuk mereka jelaskan ke saya dikarenakan bagi mereka saya tak akan bisa memahami penjelasan itu karena antara susah dan bahagia secara konsep dan kenyataan sangat berbeda bagi mereka, itulah mengapa mereka tak sanggup mengonsepkan bahagia dan susah karena mereka hidup secara nyata dalam realitas bukan dalam dunia konseptual. Ya secara sederhana sangat masuk akal. Bagaimana mungkin saya bisa memahami sesuatu dari sebuah konsep tanpa pernah merasakannya secara nyata ?. 
Tiba-tiba ada salah seorang dari mereka yang berbicara, “kak kita ini tidak pernah tau mana bahagia dan mana susah karena kita hanya menjalani hidup apa adanya di jalan. Kadang kita nangis dan kadang kita tertawa tapi itu semua bukan susah atau bahagia tapi itulah kehidupan kami”. Ya sangat menyakitkan mendengarnya tapi ironisnya tidak pernah mereka sedih meratapi nasib yang mereka dapatkan. Dalam beberapa kesempatan dalam hidup sepatutnya kita malu terhadap diri kita sendiri jika ditimpa musibah atau cobaan yang cukup menyita waktu dan perhatian, kita masih mempertanyakan kenapa sehingga kita mengalami ini dan itu ? Dan sasaran utama dalam kondisi seperti ini untuk kita salahkan yaitu Tuhan. Ya banyak yang menghardik Tuhan ketika sedih dan tidak sedikit juga tentunya bagi mereka yang cukup iman yang mengingat Tuhan ketika dalam keadaan senang tapi masih perlu kita cari tahu seberapa banyak dari kita yang mengingat Tuhan dalam kondisi “tidak sedih” dan “tidak pula bahagia”. Kondisi inilah bagi kebanyakan orang adalah kondisi yang paling banyak kita lalui dalam hidup. Ya benar juga logika ini karena ada beberapa yang mengatakan, jika ditanya bagaimana kondisi mereka sekarang, spontan mereka jawab “ya kadang susah tapi ya kadang juga bahagia”. Frase ini memberitahukan kita bahwa kondisi susah dan bahagia tidak sebanyak kondisi “tak susah” dan “tidak bahagia”. Silahkan defenisikan sendiri defenisi ini sesuai pengalaman anda. Setidaknya dalam beberapa kesempatan hal itu umum terjadi pada diri kita. Mungkin akan lebih ihklas lagi jika kita menjalani musibah atau cobaan ala anak jalanan yang tidak bisa membedakan sedih dan bahagia.

Senin, 10 Februari 2014

Anak-anak Jalanan Mau ke Mana ?

Seiring dengan kemajuan industrialisasi yang revolusioner diharapkan memberikan perubahan dalam segala aspek permasalahan di masyarakat khususnya dalam mengatasi masalah sosial (social problems), kenyataannya, masalah-masalah sosial hingga kini malah semakin rumit, meskipun sebagian kecil sudah terangkat. Di Jakarta sebagai ibukota negara khususnya, malah bobot masalah sosial paling rumit, hal ini paradok dengan kota yang paling istimewa di negeri ini. Saya akan mengupas salah satu masalah sosial yang sangat krusial yaitu dialami anak-anak jalanan. Nah, siapa sebenarnya mereka ?.
Secara umum beberapa ciri anak jalanan itu yaitu, pertama, berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan) selama 3-24 jam sehari. Kedua, berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, bisa dihitung dengan jari yang menamatkan SD). Ketiga, berdasarkan dari keluarga-keluarga tak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa di antaranya tidak jelas keluarganya). Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal). Sederhananya mereka adalah anak-anak yang setiap hari di jalanan dengan berbagai aktivitas yang menghasilkan uang.
keberadaan mereka di jalanan yang ramai dengan hiruk-pikuk aktivitas kota dan pengguna jalan tentu sangat membahayakan mereka sendiri. Ditambah lagi dengan rentannya kejahatan-kejahatan di jalanan yang setiap kali mengancam anak-anak yang belakangan ini terjadi. Tak sedikit merekalah yang menjadi korban keganasan kerasnya kota. Nah, masalah-masalah seperti ini tidak bisa didiamkan begitu saja, bagaimanapun juga setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan tanpa terkecuali.
Adapun aktifitas-aktifitas mereka di jalan di antaranya sebagai pengamen jalanan, penyemir sepatu, pengemis dan lain-lain. Mereka pun tak kenal rasa takut atau lelah di jalanan meskipun nyawa mereka menjadi taruhan. Memang kalau dilihat sudut positifnya, mereka bisa mandiri bahkan menjadi tulang punggung bagi keluarganya, akan tetapi masa-masa anak-anak yang semestinya bermain dan memperoleh pendidikan, dikorbankan untuk mencari uang.
Terjadinya konflik banyak pihak di berbagai tempat menjadikan anak-anak itu mengalami konflik dan eksploitasi yang berlapis dan tak terelakan. Anak-anak jalanan yang masih memiliki dan tinggal bersama keluarga mengalami konflik dan eksploitasi di dalam keluarganya sendiri. Tingkatan konflik dan eksploitasi itu sangat beragam, mulai dari secara halus mendorong anak bekerja untuk sekedar membantu nafkah keluarga, melakukan penyiksaan fisik sampai melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri.
Konflik di dalam keluarga ini justru paling sulit diatasi. Campur tangan pihak luar dengan mudah akan dituding mencampuri dapur rumah tangga orang lain. Sementara anak-anak yang mengalami pun dalam kondisi yang dilematis, jika konflik atau eksploitasi dibiarkan begitu saja akan menjadikan tindakan penganiayaan dan penindasan yang terus berlanjut dan tak berujung. Namun apabila dilawan, berarti harus berseteru dengan orang tua sendiri.
Di luar rumah tidak berarti mereka bebas dari konflik, eksploitasi dan penindasan. Konflik pertama yang umumnya mereka alami adalah dengan teman sebaya atau dengan orang yang lebih tua untuk meperebutkan sesuap nasi (rizki), tak jarang konflik seperti ini meruncing menjadi konflik fisik dan biasanya melibatkan lebih banyak orang. Ujung-ujungnya mereka harus berhadapan dengan Jegger yang kemudian dengan cara beragam mengekploitasi mereka.
Konflik eksploitasi dan penindasan yang dialami oleh anak-anak lebih terbuka sifatnya. Seperti yang lebih banyak menarik perhatian orang untuk dipersoalkan adalah konflik dengan para petugas keamanan, kamtib dan penegak hukum. Ini terjadi karena keberadaan anak-anak itu dijalanan ditambah lagi dengan kegiatan-kegiatan mereka pada sektor informal bukan saja tak dilindungi hukum, bahkan dinyatakan melanggar hukum.
Tak sedkit pula anak-anak itu yang masih harus mengalami konflik dan ekploitasi dengan bos-bos mereka yang mengelola dan memodali usaha pada sektor informal. Bentuknya dapat berupa penetapan upah dan keuntungan sepihak, serta perlakuan tidak adil lainnya. Kesemuanya ini terjadi karena pekerjaan sektor informal yang dilakoni anak-anak jalanan ini lebih banyak diatur dengan apa yang disebut “hukum jalanan”, Jika dibuat herarki posisi, anak-anak jalanan ini berada paling bawah dalam jaringan konflik, ekploitasi dan penindasan tersebut. Mereka adalah korbannya korban.
Bukan berarti masih banyaknya anak-anak jalanan khususnya di Jakarta, tidak ada satu pun NGO atau LSM yang memberikan bantuan sosial dalam menanggulanginya atau setidaknya mereka tidak berada di jalanan, mengingat masa-masa mereka semestinya dihabiskan untuk pendidikan dan bermain bukan malah mencari sesuap nasi. Nah, untuk menaggulangi masalah anak-anak jalanan perlu memahami kondisi dan tipologi mereka. Kesalahan utama kita dalam melihat anak-anak jalanan adalah dengan menyeragamkan setiap permasalah yang dihadapi oleh anak-anak jalanan. Sudut pandang seperti ini kurang tepat untuk memberikan solusi terhadap beraneka ragam anak-anak bahkan bisa gagal total niat baik semula.
Untuk memahami anak-anak jalanan tidak cukup diketahui secara teoritis atau melalui buku saja. Melainkan kita perlu terjun langsung ke lapangan dengan mengamati setiap tingkah polah yang dilakukan anak-anak di jalanan. Sehingga kita mengetahui betul tipologi, pola kehidupan, aktivitas, dan lokasi-lokasi anak-anak jalanan baik untuk mengamen atau tempat sekedar berteduh bersama teman-temannya.
Sudah dijelaskan di atas bahwa anak-anak jalanan adalah korbannya korban. Kehidupan anak-anak begitu berbahaya dari segala ancaman tindakan kriminal, sedangkan orang-orang yang berada di jalan tak begitu mempedulikan keberadaan mereka. Satu-satunya jalan terbaik yaitu bagaimana mereka meninggalkan jalanan atau hidup seperti anak-anak pada umumnya. Tentu upaya semacam ini tidak mudah, karena anak-anak jalanan justru kebanyakan lebih suka turun ke jalan dari pada mereka bermain atau sekolah formal yang seharusnya mereka lakukan.
Pendidikan merupakan upaya yang terbaik untuk menanamkan ketidaktahuan yang mereka hadapi selama ini. Di dalam proses pendidikan yang mendapat perhatian utama adalah dengan apa yang disebut humanisasi, yaitu memanusiakan manusia (anak jalanan). Kemudian pembekalan ketrampilan sebagai media untuk mencari uang. Selain itu kita pun mesti menciptakan “rumah singgah” buat anak-anak berguna dalam proses pendidikan. Nah, di dalam rumah singgah itu kita akan mudah mengendalikan anak-anak dan serta muski diadaptasikan sesuai kondisi anak-anak butuhkan.
Upaya-upaya seperti mengunjungi rumah kedua orang tua anak-anak (home visit) juga mesti dilakukan untuk mendekatkan relawan dengan keluarganaya dengan maksud mengetahui pola kehidupan dalam wilayah yang terkecil (keluarga). Selain itu, bersama dengan upaya mengatasi konflik dan ekploitasi di dalam keluarga, dilakukan pula usaha mengatasi konflik di lingkungan terdekat. Upaya ini bisa dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan para Jegger yang menguasai lokasi anak-anak itu bekerja. Kalau pun para jegger itu tak bisa membantu, minimal mereka membebaskan anak-anak itu ikut dalam proses pendidikan.

Dan tidak lupa, selain menekankan terhadap pendidikan akhlak, baca-tulis dan permainan. Pembekalan ketrampilan merupakan prioritas yang sangat berperan untuk menggiring mereka keluar dari jalanan. Ketrampilan yang dimiliki anak-anak akan membantu setelah mereka keluar dari kehidupan jalanan, atau setidaknya mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Dan saya rasa, itu adalah solusi terbaik buat anak-anak jalanan bahkan untuk masyarakat sekitar.

Minggu, 09 Februari 2014

Anak Jalanan dan Masalah Sosial

Berita tentang anak jalanan seolah-olah tidak ada henti-hentinya. Derita dan penyiksaan yang mereka alami terkadang membuat kita sedih. Mereka harus berjuang ditengah-tengah kota yang kejam untuk mendapatkan sejumlah uang agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Jual rokok, membersihkan bus umum, atau juga penjaja koran, barangkali itu yang dapat mereka lakukan. Keuntungan yang mereka terima tidak seberapa, namun itu harus mereka lakukan agar mereka tetap hidup di kota metropolis ini. Anak jalanan ini biasanya mangkal diterminal atau dipersimpangan-persimpangan jalan.
Anak jalanan : Dilema? Sebenarnya isitilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan atau Brazil yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah tidak memiliki ikatan tali dengan keluarganya. Anak-anak pada kategori ini pada umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau criminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi sebagai anak-anak dilinguent. Istilah ini menjadi rancu ketika dicoba digunakan di negara berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga, bekerja dijalanan bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarga. Di Amerika Serikat juga dikenal istilah Runaway children yang digunakan bagi anak-anak yang lari dari orang tuanya.
Walaupun pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif di beberapa negara, namun pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja dijalanan yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmnai, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja dan lain sebagainya.
Anak jalanan ini pada umumnya bekerja pada sector informal. Phenomena munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya transformasi system social ekonomi dan masyarakat pertanian ke masyarakat pra-industri atau karena proses industrialisasi. Phenomena ini muncul dalam bentuk yang sangat eksploratif bersama dengan adanya transformasi social ekonomi masyarakat industrialsasi menuju masyarakat yang kapitalistik.
Kaum marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai, diantaranta nilai tentang anak. Anak, dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai beban, tetapi sekaligus dipandang sebagai factor ekonomi yang bisa dipakai untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, nilai anak dalam pandangan orang tua atau keluarga tidak lagi dilihat dalam kacamata pendidikan, tetapi dalam kepentingan ekonomi. Sementara itu, nilai pendidikan dan kasih saying semakin menurun. Anak dimotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Dalam konteks permasalahan anak jalanan, masalah kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama timbalnya anak jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari latar belakang geografis, social ekonomi anak yang memang datang dari daerah-daerah dan keluarga miskin di pedesaan maupun kantong kumuh perkotaan. Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja berdatangan sejalan dengan pesatnya laju pembangunan ?.
Ada banyak teori yang bisa menejlaskan kontradiksi-kontradiksi antara pembangunan dan keadilan-pemerataan, desa dan kota, kutub besar dan kutub kecil, sehingga lebih jauh bia terpetakan lebih jela persoalan hak asasi anak. Meskipun demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya factor penyebab timbulnya masalah anak jalanan. Dengan demikian, adanya sementara anggapan bahwa masalah anak jalanan akan hilang dengan sendirinya bila permasalahan kemiskinan ini telah dapat diatasi, merupakan pandangan keliru.
Kasus-kasus penggusuran , pelarangan, penangkapan, pemukulan yang menimpa anak-anak jalanan juga menjadi bukti bagaimana pembangunan memenangkan struktur formal yang bermodal dan mampu membayar pajak kepada negara, sehingga public space of economy dikuasai dan dimonopoli oleh struktur formal. Selain itu formalisasi juga ditampilkan melalui praktek-praktek yang sama dengan legitimasi nilai bahwa pembangunan hanya akan berjalan akibat kontribusi sector formal. Sementara sector informal, dimana anak-anak jalanan tumbuh dan berkembang, sekali lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan. Potret pembangunan memang deskriminatif dalam memberlakukan sector informal, baik karena logika ekonomi yang dianut maupun karena legitimasi nilai formal yang melatarinya. Ada banyak perangkat nilai, norma ataupun hokum yang selalu digunakan untuk mencari pembenaran terhadap tindakan itu, Bisa Perda, Program Kebersihan dan ketetiban, peraturan penertiban, atau nilai-nilai social diskriminatif lainnya. Hukum-hukum tersebut tidak mampu dihadapi oleh bocah-bocah kecil yang tidak mempunyai kekuasaan.
Dari urutan di atas dapat dilihat betapa kompleksnya masalah anak jalanan ini sehingga penanggulan anak jalanan ini tidak hanya dapat dilakukan secara efektif bila semua pihak tidak ikut melakukannya seperti pemerintah, LSM, masa media, individu-individu dan organisasi-organisasi keagamaan.
Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan pertama: melalui proram aksi langsung. Program ini biasanya ditujukan kepada kelompok sasarannya yaitu para anak jalanan, misalnya saja memberikan pendidikan non-formal, peningkatan pendapatan keluarga, pelayanan kesehata. Tipe pekerjaan ini biasanya yang dilakukan oleh LSM-LSM. Kedua adalah program peningkatan kesadaran masyarakat. Aktivitas program ini untuk menggugah masyarakat untuk mulai tergerak dan peduli terhadap masalah anak jalanan. Kegiatan ini dapat berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku, iklan layanan masyarakat di TV, program pekerja anak di radio dan sebagainya.
Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli permasalahan ini juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai pihak, pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlukan.

Khusus mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan yang terpaksa bekerja juga merupakan komponen yang perlu diperhatikan karena masih lemahnya peraturan dan perundang-undangan yang mengatur masalah ini.