Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 24 Februari 2014

Kekuatan Seorang Pemimpin di Tangan Kaum yang Lemah (Dhuafa)

Sebuah buku lama edisi baru pada 26 Januari lalu diluncurkan dalam acara yang dihadiri beberapa menteri, tokoh masyarakat, termasuk mantan Wakil Presiden Try Sutrisno di Auditorium BPPT Jakarta, yaitu Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi (Penerbit Kompas).
Buku setebal 564 halaman itu disusun oleh Saleh Umar Bajasut (cetakan pertama 1972) dan edisi revisi (2014) diedit-ulang Lukman Hakiem. Di dalam buku tersebut terekam sikap dan pandangan Prawoto Mangkusasmito lewat kumpulan tulisan, wawancara, dokumen perjuangan dan kesaksian berbagai kalangan terhadap jejak hayat dan integritas beliau.
Menurut Dr. (HC) A.M. Fatwa, Ketua Panitia Penerbitan Buku Prawoto, motivasi menyelenggarakan kegiatan peringatan, seminar dan penerbitan buku tentang tokoh-tokoh yang telah tiada, yang cukup menguras tenaga, pikiran dan dana itu karena membaca fenomena kegelisahan para pemuda, generasi pelanjut, yang merasa kehilangan tokoh panutan.
Prawoto Mangkusasmito lahir di Tirto (Grabag-Magelang) tanggal 4 Januari 1910 dan wafat di Banyuwangi 24 Juli 1970. Seorang pemimpin-pejuang tepercaya umat Islam Indonesia. Anggota Badan Pekerja KNIP di awal kemerdekaan, Wakil Perdana Menteri RI, Wakil Ketua I Konstituante, dan Ketua Umum Masyumi pada waktu dibubarkan tahun 1960.
Setelah mempelajari alam pikiran dan jejak perjuangan Prawoto, saya mencatat pelajaran yang ditinggalkan Prawoto untuk generasi muda Islam dan seluruh bangsa Indonesia, di antaranya adalah:
Pertama, prinsip perjuangan bahwa kekuatan seorang pemimpin terletak di tangan kaum yang lemah (dhuafa). Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw, “Hanyalah kamu akan mendapat kemenangan dengan memperhatikan nasib kaum yang lemah (dhuafa).”
Prawoto pernah berkata kepada Mohammad Natsir, “Apabila saya kembali dari tourni melihat kampung-kampung dan desa-desa, berbicara dengan pak tani yang lemah itu, saya merasa mendapat satu kekuatan baru, saya kembali dengan harapan yang baru. Kekuatan pemimpin itu terletak di tangan kaum yang lemah.”
Kedua, pemimpin yang jujur dan mengutamakan kepentingan rakyat. Sebagaimana kesaksian Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya (1970), “Dia (Prawoto) seorang yang lurus hati dan jujur tak ada bengkoknya sedikitpun jua. Gigih dalam perjuangan politik. Dia pergi sebelum berhasil melihat Masyumi yang dicintainya direhabilitir kembali jadi partai yang sah.”
Ketiga, politisi yang tidak memanfaatkan politik untuk mencari kekayaan. Prawoto mensitir ucapan Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia/Wakil Presiden Pertama RI Bung Hatta, “Yang membikin partai politik berwibawa ialah ketinggian martabat para pemimpinnya.”
Prawoto sepanjang hayatnya hidup sederhana. Penopang usaha mencari nafkah untuk hidup sehari-hari adalah Ibu Hj. Rabingah Prawoto. Padahal kalau ia mau, kesempatan menjadi komisaris perusahaan terbuka baginya, apalagi ia pernah jadi Wakil Perdana Menteri dan pimpinan partai Islam yang terbesar, tetapi semua itu tidak dilakukannya. Prawoto manusia idealis, bukan manusia oportunis dan materialis.
Agama Islam kata Prawoto menetapkan kemerdekaan tiap-tiap manusia mencari nafkah dan harta pada jalan yang halal sepanjang hukum. Di samping itu, di dalam Qur’an dengan tegas dinyatakan ancaman atas mereka yang menumpuk-numpuk harta kekayaan. Dengan tegas pula ditetapkan oleh agama Islam kewajiban zakat atas harta kekayaan untuk membebaskan perseorangan dari hak masyarakat dan jamaah yang terkandung dalam harta perseorangan.
Keempat, demokrat sejati yang teguh pada pendirian dan menghormati pendirian orang lain. Setiap orang Masyumi kata Prawoto dibesarkan dan dididik berfikir secara demokratis, yaitu menghargai pendirian orang lain, walaupun tidak disetujuinya. Di dalam sidang Konstituante, Prawoto mengutip ungkapan seorang filosof, “Saya tidak setuju dengan apa yang Tuan katakan, akan tetapi hak Tuan untuk mengatakan itu akan saya bela mati-matian.” “Lebih baik menjadi orang merdeka, walaupun kecil, daripada menjadi budak besar.” ucapnya. Prawoto menyatakan, “Rugi-untungnya perjuangan harus dinilai dengan rugi-untungnya Islam.”
Kelima, perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan tetap menempuh jalan yang dibenarkan oleh hukum. Meskipun Masyumi partai politik terbesar umat Islam dengan anggota dan simpatisan tersebar di seluruh Indonesia, tapi ketika usaha merehabilitasi Masyumi melalui saluran yang resmi di masa Orde Baru menemui jalan buntu, Prawoto dan para tokoh utama Masyumi tidak pernah berpikir menempuh jalan kekerasan, misalnya mengerahkan aksi massa atau menggunakan cara-cara “preman politik.” Sehingga da- pat disimpulkan di antara warisan terpenting Masyumi ialah tradisi berdemokrasi yang tak ada bandingannya sampai sekarang.
Prawoto dan kawan-kawan seperjuangan di Masyumi kembali ke masyarakat menggerakkan dakwah, membangun berbagai sarana pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan umat. Prawoto aktif sebagai penasehat Serikat Tani Islam Indonesia (STII) dan ikut mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebagai Penasehat STII, Prawoto menemui umat, petani, kaum dhuafa, di pedesaan. Di tempat yang sederhana di tengah kunjungan ke Banyuwangi Jawa Timur, Prawoto mendapat panggilan Ilahi.
Ketika pemakaman jenazah Prawoto 25 Juli 1970 di TPU Blok P Kebayoran Baru Jakarta, sesuai wasiatnya agar dimakamkan di samping makam sahabatnya KH. Faqih Usman, Mr. Mohamad Roem berpidato, “Pak Prawoto, orang yang selamanya memberi dan tidak pernah menerima. Pak Prawoto tidak mempunyai bintang satu pun. Untuk mendapat bintang orang harus mengikuti satu prosedur, ada yang mengusulkan, yang bersangkutan minta atau mengisi formulir. Semua itu tidak bertemu di dalam kehidupan Pak Prawoto. Pak Prawoto orang yang selamanya hidup sederhana, orang yang tak pernah meminta, orang yang hanya belajar memberi dan mengasih.”
Pada 10 November 1995 Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Wilopo, almarhum Prawoto Mangkusasmito. Tahun 1997 makam Prawoto dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata karena TPU Blok P dikosongkan untuk pembangunan gedung Walikota Jakarta Selatan.
Saya mencatat pernyataan Prawoto Mangkusasmito yang perlu direnungkan dan diamalkan di tengah upaya menata lembaga pengelola zakat dan mengkonsolidasikan para amil zakat di se- luruh Indonesia agar bersatu, terintegrasi, berkoordinasi dan bersinergi mewujudkan kemaslahatan umat sesuai tujuan hakiki pengelolaan zakat bahwa, “Ikatan jiwa lebih kuat daripada ikatan organisasi. Kita menjumpai suatu organisasi yang sudah berumur bertahun-tahun, tetapi tidak mampu lagi untuk mengikat hati para anggotanya, maka pecahlah organisasi yang bersangkutan. Sebaliknya, dalam kalangan kita sendiri di waktu yang lampau, adakalanya ikatan formil itu tidak ada, akan tetapi ikatan batin tetap terpelihara, maka tetap dirasakan adanya persatuan itu. Sudah barang tentu persatuan yang sebaik-baiknya ialah persatuan yang diikat lahir dan batin”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar