Sebuah buku lama edisi baru pada 26 Januari
lalu diluncurkan dalam acara yang dihadiri beberapa menteri, tokoh masyarakat,
termasuk mantan Wakil Presiden Try Sutrisno di Auditorium BPPT Jakarta, yaitu
Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum (Terakhir)
Partai Masyumi (Penerbit Kompas).
Buku setebal 564 halaman itu disusun oleh
Saleh Umar Bajasut (cetakan pertama 1972) dan edisi revisi (2014) diedit-ulang
Lukman Hakiem. Di dalam buku tersebut terekam sikap dan pandangan Prawoto
Mangkusasmito lewat kumpulan tulisan, wawancara, dokumen perjuangan dan
kesaksian berbagai kalangan terhadap jejak hayat dan integritas beliau.
Menurut Dr. (HC) A.M. Fatwa, Ketua Panitia
Penerbitan Buku Prawoto, motivasi menyelenggarakan kegiatan peringatan, seminar
dan penerbitan buku tentang tokoh-tokoh yang telah tiada, yang cukup menguras
tenaga, pikiran dan dana itu karena membaca fenomena kegelisahan para pemuda,
generasi pelanjut, yang merasa kehilangan tokoh panutan.
Prawoto Mangkusasmito lahir di Tirto
(Grabag-Magelang) tanggal 4 Januari 1910 dan wafat di Banyuwangi 24 Juli 1970.
Seorang pemimpin-pejuang tepercaya umat Islam Indonesia. Anggota Badan Pekerja
KNIP di awal kemerdekaan, Wakil Perdana Menteri RI, Wakil Ketua I Konstituante,
dan Ketua Umum Masyumi pada waktu dibubarkan tahun 1960.
Setelah mempelajari alam pikiran dan jejak
perjuangan Prawoto, saya mencatat pelajaran yang ditinggalkan Prawoto untuk
generasi muda Islam dan seluruh bangsa Indonesia, di antaranya adalah:
Pertama, prinsip perjuangan bahwa kekuatan
seorang pemimpin terletak di tangan kaum yang lemah (dhuafa). Hal ini sesuai
dengan hadis Rasulullah Saw, “Hanyalah kamu akan mendapat kemenangan dengan
memperhatikan nasib kaum yang lemah (dhuafa).”
Prawoto pernah berkata kepada Mohammad
Natsir, “Apabila saya kembali dari tourni melihat kampung-kampung dan
desa-desa, berbicara dengan pak tani yang lemah itu, saya merasa mendapat satu
kekuatan baru, saya kembali dengan harapan yang baru. Kekuatan pemimpin itu
terletak di tangan kaum yang lemah.”
Kedua, pemimpin yang jujur dan mengutamakan
kepentingan rakyat. Sebagaimana kesaksian Mochtar Lubis di Harian Indonesia
Raya (1970), “Dia (Prawoto) seorang yang lurus hati dan jujur tak ada
bengkoknya sedikitpun jua. Gigih dalam perjuangan politik. Dia pergi sebelum
berhasil melihat Masyumi yang dicintainya direhabilitir kembali jadi partai
yang sah.”
Ketiga, politisi yang tidak memanfaatkan
politik untuk mencari kekayaan. Prawoto mensitir ucapan Proklamator Kemerdekaan
Bangsa Indonesia/Wakil Presiden Pertama RI Bung Hatta, “Yang membikin partai
politik berwibawa ialah ketinggian martabat para pemimpinnya.”
Prawoto sepanjang hayatnya hidup sederhana.
Penopang usaha mencari nafkah untuk hidup sehari-hari adalah Ibu Hj. Rabingah
Prawoto. Padahal kalau ia mau, kesempatan menjadi komisaris perusahaan terbuka
baginya, apalagi ia pernah jadi Wakil Perdana Menteri dan pimpinan partai Islam
yang terbesar, tetapi semua itu tidak dilakukannya. Prawoto manusia idealis,
bukan manusia oportunis dan materialis.
Agama Islam kata Prawoto menetapkan
kemerdekaan tiap-tiap manusia mencari nafkah dan harta pada jalan yang halal
sepanjang hukum. Di samping itu, di dalam Qur’an dengan tegas dinyatakan ancaman
atas mereka yang menumpuk-numpuk harta kekayaan. Dengan tegas pula ditetapkan
oleh agama Islam kewajiban zakat atas harta kekayaan untuk membebaskan
perseorangan dari hak masyarakat dan jamaah yang terkandung dalam harta
perseorangan.
Keempat, demokrat sejati yang teguh pada
pendirian dan menghormati pendirian orang lain. Setiap orang Masyumi kata
Prawoto dibesarkan dan dididik berfikir secara demokratis, yaitu menghargai
pendirian orang lain, walaupun tidak disetujuinya. Di dalam sidang
Konstituante, Prawoto mengutip ungkapan seorang filosof, “Saya tidak setuju
dengan apa yang Tuan katakan, akan tetapi hak Tuan untuk mengatakan itu akan
saya bela mati-matian.” “Lebih baik menjadi orang merdeka, walaupun kecil,
daripada menjadi budak besar.” ucapnya. Prawoto menyatakan, “Rugi-untungnya
perjuangan harus dinilai dengan rugi-untungnya Islam.”
Kelima, perjuangan menegakkan kebenaran dan
keadilan tetap menempuh jalan yang dibenarkan oleh hukum. Meskipun Masyumi
partai politik terbesar umat Islam dengan anggota dan simpatisan tersebar di
seluruh Indonesia, tapi ketika usaha merehabilitasi Masyumi melalui saluran
yang resmi di masa Orde Baru menemui jalan buntu, Prawoto dan para tokoh utama
Masyumi tidak pernah berpikir menempuh jalan kekerasan, misalnya mengerahkan
aksi massa atau menggunakan cara-cara “preman politik.” Sehingga da- pat
disimpulkan di antara warisan terpenting Masyumi ialah tradisi berdemokrasi
yang tak ada bandingannya sampai sekarang.
Prawoto dan kawan-kawan seperjuangan di
Masyumi kembali ke masyarakat menggerakkan dakwah, membangun berbagai sarana
pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan umat. Prawoto aktif sebagai penasehat
Serikat Tani Islam Indonesia (STII) dan ikut mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII). Sebagai Penasehat STII, Prawoto menemui umat, petani, kaum
dhuafa, di pedesaan. Di tempat yang sederhana di tengah kunjungan ke Banyuwangi
Jawa Timur, Prawoto mendapat panggilan Ilahi.
Ketika pemakaman jenazah Prawoto 25 Juli 1970
di TPU Blok P Kebayoran Baru Jakarta, sesuai wasiatnya agar dimakamkan di
samping makam sahabatnya KH. Faqih Usman, Mr. Mohamad Roem berpidato, “Pak
Prawoto, orang yang selamanya memberi dan tidak pernah menerima. Pak Prawoto
tidak mempunyai bintang satu pun. Untuk mendapat bintang orang harus mengikuti
satu prosedur, ada yang mengusulkan, yang bersangkutan minta atau mengisi
formulir. Semua itu tidak bertemu di dalam kehidupan Pak Prawoto. Pak Prawoto
orang yang selamanya hidup sederhana, orang yang tak pernah meminta, orang yang
hanya belajar memberi dan mengasih.”
Pada 10 November 1995 Presiden Soeharto
menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada mantan Wakil Perdana Menteri
Kabinet Wilopo, almarhum Prawoto Mangkusasmito. Tahun 1997 makam Prawoto
dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata karena TPU Blok P dikosongkan
untuk pembangunan gedung Walikota Jakarta Selatan.
Saya mencatat pernyataan Prawoto
Mangkusasmito yang perlu direnungkan dan diamalkan di tengah upaya menata
lembaga pengelola zakat dan mengkonsolidasikan para amil zakat di se- luruh
Indonesia agar bersatu, terintegrasi, berkoordinasi dan bersinergi mewujudkan
kemaslahatan umat sesuai tujuan hakiki pengelolaan zakat bahwa, “Ikatan jiwa
lebih kuat daripada ikatan organisasi. Kita menjumpai suatu organisasi yang
sudah berumur bertahun-tahun, tetapi tidak mampu lagi untuk mengikat hati para
anggotanya, maka pecahlah organisasi yang bersangkutan. Sebaliknya, dalam
kalangan kita sendiri di waktu yang lampau, adakalanya ikatan formil itu tidak
ada, akan tetapi ikatan batin tetap terpelihara, maka tetap dirasakan adanya
persatuan itu. Sudah barang tentu persatuan yang sebaik-baiknya ialah persatuan
yang diikat lahir dan batin”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar