Pernah saya menulis status di facebook karena
terkesan dengan omongan seorang anak jalanan yang sangat menyentuh dan maknanya
begitu dalam. Kali ini saya menulis note juga karena kesan saya terhadap mereka
yang begitu kuat. Mereka sering diidentikkan peminta-minta padahal tidak semua
dari mereka menggantungkan hidup dari meminta-minta. Buktinya banyak juga dari
mereka yang melakoni “profesi tarik suara” di jalan atau ngamen,
“mendistribusikan” koran dan “mempromosikan” minuman dingin di jalan tapi bukan
sebagai salesman.
Masih ada hubungannya dengan nasi goreng yang
ada di status facebook saya waktu itu, kali ini saya mencoba mengakrabi mereka
dengan jalan nasi goreng. Berbekal nasi goreng saya bisa mendekat dan
mengakrabi keceriaan mereka dari dekat. Sungguh sebuah kenikmatan melihat
mereka mengunyah makan dengan sangat lahap tidak seperti para koruptor yang
walaupun menu hari ini adalah lobster yang lezat atau menu ala italia, tetap
rasanya akan hampa dan tidak senyaman anak jalanan itu melahap makanan
dikarenakan nasib mereka sedang dalam intaian KPK. Sungguh senang melihat mereka makan sambil bercanda tawa, sesekali
meninggalkan makanan mereka dikarenakan ada pengendara motor yang ingin membeli
Koran dan seketika itu juga mereka kembali lagi makan dan tertawa lagi bersama para
anak jalanan lainnya.
Saya berfikir bagaimanakah mereka memandang
hidup yang bahagia dan hidup susah ? Segera kutanya mereka tentang hal ini dan
mereka merespon “saya tidak tahu kak”. Sejenak kupikir apa pertanyaanku yang
sulit mereka jangkau dikarenakan mereka tak mengecap pendidikan yang cukup ? Ataukah memang mereka tidak pernah merasakan bahagia atau sebaliknya mereka
hidup selalu dalam kesusahan ? Segera ku tersadar bahwa mungkin dikarenakan
standar bahagia dan susah bagi mereka yang tidak memungkinkan untuk mereka jelaskan
ke saya dikarenakan bagi mereka saya tak akan bisa memahami penjelasan itu karena
antara susah dan bahagia secara konsep dan kenyataan sangat berbeda bagi
mereka, itulah mengapa mereka tak sanggup mengonsepkan bahagia dan susah karena
mereka hidup secara nyata dalam realitas bukan dalam dunia konseptual. Ya
secara sederhana sangat masuk akal. Bagaimana mungkin saya bisa memahami sesuatu dari
sebuah konsep tanpa pernah merasakannya secara nyata ?.
Tiba-tiba ada salah seorang dari mereka yang
berbicara, “kak kita ini tidak pernah tau mana bahagia dan mana susah karena
kita hanya menjalani hidup apa adanya di jalan. Kadang kita nangis dan kadang
kita tertawa tapi itu semua bukan susah atau bahagia tapi itulah kehidupan kami”. Ya
sangat menyakitkan mendengarnya tapi ironisnya tidak pernah mereka sedih meratapi
nasib yang mereka dapatkan. Dalam beberapa kesempatan dalam hidup sepatutnya kita
malu terhadap diri kita sendiri jika ditimpa musibah atau cobaan yang cukup
menyita waktu dan perhatian, kita masih mempertanyakan kenapa sehingga kita
mengalami ini dan itu ? Dan sasaran utama dalam kondisi seperti ini untuk kita salahkan
yaitu Tuhan. Ya banyak yang menghardik Tuhan ketika sedih dan tidak sedikit juga tentunya bagi mereka yang cukup iman yang mengingat Tuhan ketika dalam keadaan
senang tapi masih perlu kita cari tahu seberapa banyak dari kita yang mengingat
Tuhan dalam kondisi “tidak sedih” dan “tidak pula bahagia”. Kondisi inilah bagi
kebanyakan orang adalah kondisi yang paling banyak kita lalui dalam hidup. Ya
benar juga logika ini karena ada beberapa yang mengatakan, jika ditanya bagaimana
kondisi mereka sekarang, spontan mereka jawab “ya kadang susah tapi ya kadang juga bahagia”. Frase ini memberitahukan kita bahwa kondisi susah dan bahagia tidak
sebanyak kondisi “tak susah” dan “tidak bahagia”. Silahkan defenisikan sendiri
defenisi ini sesuai pengalaman anda. Setidaknya dalam beberapa kesempatan hal
itu umum terjadi pada diri kita. Mungkin akan lebih ihklas lagi jika kita
menjalani musibah atau cobaan ala anak jalanan yang tidak bisa membedakan sedih dan
bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar