Berita tentang anak jalanan seolah-olah tidak
ada henti-hentinya. Derita dan penyiksaan yang mereka alami terkadang membuat
kita sedih. Mereka harus berjuang ditengah-tengah kota yang kejam untuk
mendapatkan sejumlah uang agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan.
Jual rokok, membersihkan bus umum, atau juga penjaja koran, barangkali itu yang
dapat mereka lakukan. Keuntungan yang mereka terima tidak seberapa, namun itu harus
mereka lakukan agar mereka tetap hidup di kota metropolis ini. Anak jalanan ini
biasanya mangkal diterminal atau dipersimpangan-persimpangan jalan.
Anak jalanan : Dilema? Sebenarnya isitilah
anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan atau Brazil yang
digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah tidak
memiliki ikatan tali dengan keluarganya. Anak-anak pada kategori ini pada
umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau criminal. Kelompok
ini juga disebut dalam istilah kriminologi sebagai anak-anak dilinguent.
Istilah ini menjadi rancu ketika dicoba digunakan di negara berkembang lainnya
yang pada umumnya mereka masih memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian
menggunakan istilah hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki
ikatan keluarga, bekerja dijalanan bagi mereka yang masih memiliki ikatan
dengan keluarga. Di Amerika Serikat juga dikenal istilah Runaway children yang
digunakan bagi anak-anak yang lari dari orang tuanya.
Walaupun pengertian anak jalanan memiliki
konotasi yang negatif di beberapa negara, namun pada dasarnya dapat juga
diartikan sebagai anak-anak yang bekerja dijalanan yang bukan hanya sekedar
bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak
yang karena pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara
wajar baik secara jasmnai, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan antara
lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja dan lain
sebagainya.
Anak jalanan ini pada umumnya bekerja pada
sector informal. Phenomena munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya
transformasi system social ekonomi dan masyarakat pertanian ke masyarakat
pra-industri atau karena proses industrialisasi. Phenomena ini muncul dalam
bentuk yang sangat eksploratif bersama dengan adanya transformasi social
ekonomi masyarakat industrialsasi menuju masyarakat yang kapitalistik.
Kaum marjinal ini selanjutnya mengalami
distorsi nilai, diantaranta nilai tentang anak. Anak, dengan demikian bukan
hanya dipandang sebagai beban, tetapi sekaligus dipandang sebagai factor
ekonomi yang bisa dipakai untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Dengan
demikian, nilai anak dalam pandangan orang tua atau keluarga tidak lagi dilihat
dalam kacamata pendidikan, tetapi dalam kepentingan ekonomi. Sementara itu,
nilai pendidikan dan kasih saying semakin menurun. Anak dimotivasi untuk
bekerja dan menghasilkan uang.
Dalam konteks permasalahan anak jalanan,
masalah kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama timbalnya anak jalanan ini.
Hal ini dapat ditemukan dari latar belakang geografis, social ekonomi anak yang
memang datang dari daerah-daerah dan keluarga miskin di pedesaan maupun kantong
kumuh perkotaan. Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja
berdatangan sejalan dengan pesatnya laju pembangunan ?.
Ada banyak teori yang bisa menejlaskan
kontradiksi-kontradiksi antara pembangunan dan keadilan-pemerataan, desa dan
kota, kutub besar dan kutub kecil, sehingga lebih jauh bia terpetakan lebih
jela persoalan hak asasi anak. Meskipun demikian, kemiskinan bukanlah
satu-satunya factor penyebab timbulnya masalah anak jalanan. Dengan demikian,
adanya sementara anggapan bahwa masalah anak jalanan akan hilang dengan
sendirinya bila permasalahan kemiskinan ini telah dapat diatasi, merupakan
pandangan keliru.
Kasus-kasus penggusuran , pelarangan,
penangkapan, pemukulan yang menimpa anak-anak jalanan juga menjadi bukti
bagaimana pembangunan memenangkan struktur formal yang bermodal dan mampu
membayar pajak kepada negara, sehingga public space of economy dikuasai dan
dimonopoli oleh struktur formal. Selain itu formalisasi juga ditampilkan
melalui praktek-praktek yang sama dengan legitimasi nilai bahwa pembangunan
hanya akan berjalan akibat kontribusi sector formal. Sementara sector informal,
dimana anak-anak jalanan tumbuh dan berkembang, sekali lagi dianggap sebagai
sesuatu yang tidak menguntungkan. Potret pembangunan memang deskriminatif dalam
memberlakukan sector informal, baik karena logika ekonomi yang dianut maupun
karena legitimasi nilai formal yang melatarinya. Ada banyak perangkat nilai,
norma ataupun hokum yang selalu digunakan untuk mencari pembenaran terhadap
tindakan itu, Bisa Perda, Program Kebersihan dan ketetiban, peraturan
penertiban, atau nilai-nilai social diskriminatif lainnya. Hukum-hukum tersebut
tidak mampu dihadapi oleh bocah-bocah kecil yang tidak mempunyai kekuasaan.
Dari urutan di atas dapat dilihat betapa
kompleksnya masalah anak jalanan ini sehingga penanggulan anak jalanan ini
tidak hanya dapat dilakukan secara efektif bila semua pihak tidak ikut
melakukannya seperti pemerintah, LSM, masa media, individu-individu dan
organisasi-organisasi keagamaan.
Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan
pertama: melalui proram aksi langsung. Program ini biasanya ditujukan kepada
kelompok sasarannya yaitu para anak jalanan, misalnya saja memberikan
pendidikan non-formal, peningkatan pendapatan keluarga, pelayanan kesehata.
Tipe pekerjaan ini biasanya yang dilakukan oleh LSM-LSM. Kedua adalah program
peningkatan kesadaran masyarakat. Aktivitas program ini untuk menggugah
masyarakat untuk mulai tergerak dan peduli terhadap masalah anak jalanan.
Kegiatan ini dapat berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku, iklan layanan
masyarakat di TV, program pekerja anak di radio dan sebagainya.
Masalah anak jalanan adalah masalah yang
sangat kompleks yang menjadi masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat
ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan harus ditangani bersama-sama
oleh berbagai pihak yang perduli permasalahan ini juga dapat diatasi dengan
suatu program yang komprehensi dan tidak akan dapat tertangani secara efektif
bila dilaksanakan secara persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai
pihak, pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlukan.
Khusus mengenai aspek hukum yang melindungi
anak jalanan yang terpaksa bekerja juga merupakan komponen yang perlu
diperhatikan karena masih lemahnya peraturan dan perundang-undangan yang
mengatur masalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar