Hampir di setiap sudut bumi yang bulat ini,
anda bisa bertemu dengan pengemis, pengamen, anak jalanan, dan penipu. Saya
pernah mengenal sedikit diantara anak jalanan yang multitalenta, terlihat dari
profesinya yaitu sebagai pengemis sekaligus pengamen, kadang sesekali main
tipu-tipu. Anda tahu dimana letak sudut bumi yang bulat itu ?.
Saya seorang biasa yang diberi anugerah
berupa perasaan yang sentimentil beserta stok air mata bergalon-galon, saya
sering merasa iba dengan mereka. Seorang anak lelaki bertubuh kurus kering
mengamen di jalanan, seorang anak perempuan kecil yang seharusnya dikuncir dua
berpita tapi berambut gimbal di perempatan, seorang nenek renta yang kehilangan
masa bahagia di sisa umurnya. Mereka membuat saya selalu jatuh iba untuk
kemudian merogoh dompet yang tak selalu berisi ini.
Itu dulu. Waktu saya masih lugu, belum pernah
melihat fakta, yang otomatis tidak melahirkan argumen apapun. Sampai pada suatu
waktu saya berbelanja di sebuah minimarket pukul 10 malam. Suasana sudah cukup
lengang. Saya bebas menggeratak barang-barang yang saya perlukan tanpa ada
keramaian dan antrian. Saat di kasir, saya melihat sesosok pria setengah baya
yang sangat familiar wajahnya, di kasir satunya. Dia menukarkan uang receh
hasil “keringat”-nya ke minimarket itu, dengan jumlah cukup fantastis untuk
ukuran seorang anak kos seperti saya. Mmm.. Bisa lah buat makan seminggu di
rumah makan yang harga segelas es tehnya 5ribu. Dan yang paling membuat saya
jengkel bukan kepalang adalah melihat fakta bahwa dia dapat berkomunikasi
dengan amat lancar, sangat berbeda dengan keseharian saya temui, dia pura-pura
bisu. Saya pastikan tidak salah lihat dan tidak salah orang.
Kemudian muncul fakta-fakta lain yang membuat
hati saya mulai kebal melihat mereka. Dulu saya pikir kebijakan beberapa pemda
tentang pelarangan pemberian uang kepada mereka itu terlalu mengada-ada, tapi
ternyata benar adanya. Kemudian disusul himbauan komnas anak untuk tidak
memberikan uang kepada anjal, saya aminkan. Menurut saya, memang benar, memberi
uang bukan cara yang tepat untuk mengasihani mereka, karena hal itu justru
membuat mereka merasa nyaman hidup di jalanan yang bisa mengumpulkan uang
dengan mudah.
Sempat saya berdiskusi dengan Bapak saya
tentang “kebijakan memberi uang kepada pengemis, pengamen, dan anak jalanan”.
Bapak bilang itu pilihan hidup mereka, untuk hidup dengan cara paling nista,
jadi kalau kita ada uang tak ada salahnya untuk memberi, asal ikhlas. Ditambahi
kelakar “kalau kamu pengen pendapatan sefantastis mereka, ya sana mengemis kalau
mau”.
Hmmm… Ada benarnya. Tapi saya tetap kukuh
pada pendirian saya bahwa sejak saat itu saya tidak akan memberi uang kepada
mereka kecuali kepepet, pengemisnya tua renta misalnya.
Kemudian ada lagi satu kelompok yang membuat
saya ngedumel sampai bibir kucel kruwel-kruwel. Kelompok penipu. Mereka
menggunakan berbaagai macam modus untuk mengelabuhi korbannya. Intinya mereka
mengemis, tapi dengan cara “agak” cantik. Yang masuk kelompok ini biasanya yang
bawa-bawa kotak amal, minta sumbangan buat panti asuhan antah berantah,
membagikan abate, melakukan fogging, atau jualan stiker, sasaran mereka rumah
kos. Rasanya jengaaaaah buanget… Kok gak kapok-kapok ya mereka.
Oooohh… Sudah habiskah lapangan pekerjaan di
negeri ini, Tuhan ? Ataukah karena salah asuhan kami menjadi bangsa pemalas seperti
ini ? Hanya demi rupiah menebalkan wajah dunia akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar