Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Minggu, 02 Februari 2014

Penanganan Anak Jalanan Berbasis Hak Anak

Keberadaan anak jalanan, kendati tidak diketahui secara tepat waktu pertama kehadirannya, sudah mulai terlihat sejak periode 1970-an. Menurut Shalahuddin (2004) pada periode tersebut anak jalanan sudah terlihat di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, kemudian menyusul Medan, Malang, Surabaya dan Semarang.
Sebagaimana kita pahami bersama, keberadaan anak jalanan kini telah semakin meluas, tidak terbatas pada kota-kota besar saja melainkan juga telah merambah ke kota/kabupaten.
Berbagai kisah tentang anak jalanan terasa tiada pernah habisnya. Kisah-kisah duka yang terkadang sulit diterima logika. Tapi itu merupakan hal nyata. Jelas, kehidupan anak di jalanan, pastilah sangat tidak layak bagi mereka.
Jumlah anak jalanan cenderung terus meningkat. Krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, menunjukkan adanya kenaikan sekitar 400% sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Sosial pada saat itu (lihat Kompas, 4 Desember 1999). Depsos memperkirakan ada sekitar 50,000 anak jalanan.  Berdasarkan data BPS tahun 2009, ada sekitar 230,000 anak jalanan di Indonesia.
Pada periode akhir 1990-an itulah, untuk pertama kalinya Negara/pemerintah untuk pertama kalinya melaksanakan program intervensi bagi anak jalanan, sekaligus secara resmi menggunakan istilah tersebut (sebelumnya istilah yang digunakan adalah ”anak nakal”).
Komite Hak Anak PBB (2004), dalam Concluding Observation atas laporan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak periode 1993-Juni 2000, telah memberikan apresiasi positif atas langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia, namun juga masih menyatakan keprihatinannya atas situasi anak jalanan. Komite telah merekomendasikan Indonesia untuk mengambil tindakan-tindakan yang penting untuk :
1. Mengakhiri kekerasan, penangkapan semena-mena dan penahanan yang dilakukan oleh aparatur Negara terhadap anak-anak jalanan;
2. Membawa ke pengadilan mereka yang terlibat dalam kekerasan semacam itu;
3. Menjalankan fasilitasi reintegrasi secara sosial bagi anak-anak jalanan, secara nyata dengan memastikan bahwa anak-anak jalanan, khususnya yang termasuk kategori anak-anak yang lari dari rumah, dapat memperoleh kartu identifikasi resmi.

Sayangnya, program-program pemerintah tidak mencapai hasil yang diharapkan untuk merubah situasi anak-anak agar dapat keluar dari dunia jalanan. Pendekatan program yang awalnya menghindari pendekatan represif, kembali diterafkan. Lebih dari itu, berbagai daerah kembali menegaskan larangan kegiatan anak jalanan dan mengkriminalisasi bukan hanya anak-anak jalanan saja melainkan juga kepada setiap orang yang memberikan uang kepada mereka (sebagai contoh kasus adalah Perda Nomor 44 tahun 2002 di Palembang; Perda Nomor 3 tahun 2005 di Bandung; dan Perda Nomor 8 tahun 2007 di Jakarta).
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memang benar-benar menunjukkan keistimewaannya. Salah satu wujud nyata adalah membuat terobosan baru di dalam mensikapi keberadaan anak jalanan. Di tengah arus besar yang berlangsung di hampir seluruh wilayah Indonesia yang selama ini menempatkan anak jalanan sebagai pelaku kriminal (termasuk perkembangan beberapa tahun terakhir juga mengkriminalisasi para pemberi uang kepada anak jalanan) dan karenanya jalan yang banyak ditempuh menggunakan pendekatan represif, telah diubah dengan pendekatan hak anak.
Perubahan ini tercermin nyata dengan disahkannya Peraturan Daerah No. 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang hidup di jalan pada tanggal 20 Mei 2011. Aturan berikutnya terkait dengan implementasi atas perda tersebut tertuang pada Peraturan Gubernur No. 31 tahun 2012, tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di Jalan.
Sebelum membahas tentang upaya penjangkauan yang menjadi bahan pertemuan saat ini, perlu kiranya memahami pengertian dan konsep dasar dari Perda tersebut.
Pengertian mengenai anak yang hidup di jalan adalah anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun yang menghabiskan sebagian waktunya di jalan dan tempat-tempat umum yang meliputi anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari
Sedangkan pengertian Perlindungan adalah segala tindakan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat Perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan melalui serangkauan upaya sehingga anak terentaskan dari kehidupan di jalan.
Tujuan yang terkandung dalam Peraturan Daerah ini untuk Perlindungan anak yang hidup di jalan (pasal 3) :
a.mengentaskan anak dari kehidupan di jalan;
b.menjamin pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; dan
c.memberikan perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera

Prinsip-prinsip perlindungan hak anak meliput (pasal 2)i :
a.non diskriminasi
b.kepentingan yang terbaik bagi anak
c.hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.penghargaan terhadap pendapat anak

Upaya yang dilakukan (pasal 6) :
a.upaya pencegahan
b.upaya penjangkauan
c.upaya pemenuhan hak; dan/atau
d.upaya re-integrasi sosial

Upaya penjangkauan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan mengidentifikasi kebutuhan anak yang hidup di jalan guna menyusun rencana pemenuhan hak anak yang hidup di jalan. Tujuan upaya penjangkauan guna memberikan pemenuhan hak dan mewujudkan re-integrasi sosial anak yang hidup di jalan.
Penjangkauan dilakukan oleh sebuah Tim Perlindungan Anak yang anggotanya mewakili berbagai unsur seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, Satuan polisi Pamong Praja, dan juga unsur dari masyarakat sipil, dalam hal ini utamanya adalah Organisasi Non-pemerintah, yang disebut Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan Sosial Anak.
Tim Perlindungan Anak bertugas untuk melakukan penjangkauan yang harus dilakukan sesuai dengan Standard Operational procedure (SOP) yang juga harus diikuti dengan assessment dan penyusunan rencana pelayanan. SOP sendiri akan diatur melalui Peraturan Gubernur (lihat pasal 13). Hal mana, pedoman penjangkauan telah tersedia dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 31 tahun 2012.
Mengacu pada hal di atas, maka upaya penjangkauan yang dilakukan oleh Tim Perlindungan Anak menggantikan pendekatan “razia” yang menjadi kewenangan dari Satuan Polisi Pamong Praja dan atau bersama Kepolisian.
Pendekatan yang dilakukan dalam penjangkauan mengedepankan pendekatan yang manusiawi, dengan mengenal, bermain bersama, menjalin persahabatan dan menanamkan kepercayaan anak. TPA melakukan wawancara untuk mengungkapkan masalah yang tengah dihadapi anak kepada anak, orangtua atau orang terdekat. Pada kegiatan-kegiatannya, TP juga bisa melibatkan anak yang sudah mendapatkan pembinaan.

Disadari perubahan pendekatan dalam penanganan anak jalanan ini memerlukan sumber daya manusia yang banyak, biaya yang besar dan waktu yang panjang. Tapi ini merupakan konsekuensi dari perwujudan pelaksanaan kewajiban Negara dan perwujudan pelaksanaan tanggung jawab masyarakat untuk mengatasi persoalan yang menyangkut manusia, dalam hal ini anak jalanan, sebagai subyek hak yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar