Keberadaan anak jalanan, kendati tidak
diketahui secara tepat waktu pertama kehadirannya, sudah mulai terlihat sejak
periode 1970-an. Menurut Shalahuddin (2004) pada periode tersebut anak jalanan
sudah terlihat di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, kemudian menyusul Medan,
Malang, Surabaya dan Semarang.
Sebagaimana kita pahami bersama, keberadaan
anak jalanan kini telah semakin meluas, tidak terbatas pada kota-kota besar
saja melainkan juga telah merambah ke kota/kabupaten.
Berbagai kisah tentang anak jalanan terasa
tiada pernah habisnya. Kisah-kisah duka yang terkadang sulit diterima logika.
Tapi itu merupakan hal nyata. Jelas, kehidupan anak di jalanan, pastilah sangat
tidak layak bagi mereka.
Jumlah anak jalanan cenderung terus
meningkat. Krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, menunjukkan
adanya kenaikan sekitar 400% sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Sosial pada
saat itu (lihat Kompas, 4 Desember 1999). Depsos memperkirakan ada sekitar
50,000 anak jalanan. Berdasarkan data
BPS tahun 2009, ada sekitar 230,000 anak jalanan di Indonesia.
Pada periode akhir 1990-an itulah, untuk
pertama kalinya Negara/pemerintah untuk pertama kalinya melaksanakan program
intervensi bagi anak jalanan, sekaligus secara resmi menggunakan istilah
tersebut (sebelumnya istilah yang digunakan adalah ”anak nakal”).
Komite Hak Anak PBB (2004), dalam Concluding
Observation atas laporan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak periode 1993-Juni 2000,
telah memberikan apresiasi positif atas langkah-langkah yang telah dilakukan
oleh Indonesia, namun juga masih menyatakan keprihatinannya atas situasi anak
jalanan. Komite telah merekomendasikan Indonesia untuk mengambil
tindakan-tindakan yang penting untuk :
1. Mengakhiri kekerasan, penangkapan
semena-mena dan penahanan yang dilakukan oleh aparatur Negara terhadap
anak-anak jalanan;
2. Membawa ke pengadilan mereka yang terlibat
dalam kekerasan semacam itu;
3. Menjalankan fasilitasi reintegrasi secara
sosial bagi anak-anak jalanan, secara nyata dengan memastikan bahwa anak-anak
jalanan, khususnya yang termasuk kategori anak-anak yang lari dari rumah, dapat
memperoleh kartu identifikasi resmi.
Sayangnya, program-program pemerintah tidak
mencapai hasil yang diharapkan untuk merubah situasi anak-anak agar dapat
keluar dari dunia jalanan. Pendekatan program yang awalnya menghindari
pendekatan represif, kembali diterafkan. Lebih dari itu, berbagai daerah
kembali menegaskan larangan kegiatan anak jalanan dan mengkriminalisasi bukan
hanya anak-anak jalanan saja melainkan juga kepada setiap orang yang memberikan
uang kepada mereka (sebagai contoh kasus adalah Perda Nomor 44 tahun 2002 di
Palembang; Perda Nomor 3 tahun 2005 di Bandung; dan Perda Nomor 8 tahun 2007 di
Jakarta).
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memang
benar-benar menunjukkan keistimewaannya. Salah satu wujud nyata adalah membuat
terobosan baru di dalam mensikapi keberadaan anak jalanan. Di tengah arus besar
yang berlangsung di hampir seluruh wilayah Indonesia yang selama ini
menempatkan anak jalanan sebagai pelaku kriminal (termasuk perkembangan
beberapa tahun terakhir juga mengkriminalisasi para pemberi uang kepada anak
jalanan) dan karenanya jalan yang banyak ditempuh menggunakan pendekatan
represif, telah diubah dengan pendekatan hak anak.
Perubahan ini tercermin nyata dengan
disahkannya Peraturan Daerah No. 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang
hidup di jalan pada tanggal 20 Mei 2011. Aturan berikutnya terkait dengan
implementasi atas perda tersebut tertuang pada Peraturan Gubernur No. 31 tahun
2012, tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di
Jalan.
Sebelum membahas tentang upaya penjangkauan
yang menjadi bahan pertemuan saat ini, perlu kiranya memahami pengertian dan
konsep dasar dari Perda tersebut.
Pengertian mengenai anak yang hidup di jalan
adalah anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun yang menghabiskan
sebagian waktunya di jalan dan tempat-tempat umum yang meliputi anak yang
rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang
bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari
Sedangkan pengertian Perlindungan adalah
segala tindakan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat Perlindungan dari diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan melalui serangkauan upaya sehingga anak terentaskan
dari kehidupan di jalan.
Tujuan yang terkandung dalam Peraturan Daerah
ini untuk Perlindungan anak yang hidup di jalan (pasal 3) :
a.mengentaskan anak dari kehidupan di jalan;
b.menjamin pemenuhan hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan; dan
c.memberikan perlindungan dari diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera
Prinsip-prinsip perlindungan hak anak meliput
(pasal 2)i :
a.non diskriminasi
b.kepentingan yang terbaik bagi anak
c.hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan
d.penghargaan terhadap pendapat anak
Upaya yang dilakukan (pasal 6) :
a.upaya pencegahan
b.upaya penjangkauan
c.upaya pemenuhan hak; dan/atau
d.upaya re-integrasi sosial
Upaya penjangkauan didefinisikan sebagai
serangkaian kegiatan mengidentifikasi kebutuhan anak yang hidup di jalan guna
menyusun rencana pemenuhan hak anak yang hidup di jalan. Tujuan upaya
penjangkauan guna memberikan pemenuhan hak dan mewujudkan re-integrasi sosial
anak yang hidup di jalan.
Penjangkauan dilakukan oleh sebuah Tim
Perlindungan Anak yang anggotanya mewakili berbagai unsur seperti Dinas Sosial,
Dinas Kesehatan, Kepolisian, Satuan polisi Pamong Praja, dan juga unsur dari
masyarakat sipil, dalam hal ini utamanya adalah Organisasi Non-pemerintah, yang
disebut Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), pekerja sosial dan tenaga
kesejahteraan Sosial Anak.
Tim Perlindungan Anak bertugas untuk
melakukan penjangkauan yang harus dilakukan sesuai dengan Standard Operational
procedure (SOP) yang juga harus diikuti dengan assessment dan penyusunan
rencana pelayanan. SOP sendiri akan diatur melalui Peraturan Gubernur (lihat
pasal 13). Hal mana, pedoman penjangkauan telah tersedia dengan dikeluarkannya
Peraturan Gubernur Nomor 31 tahun 2012.
Mengacu pada hal di atas, maka upaya
penjangkauan yang dilakukan oleh Tim Perlindungan Anak menggantikan pendekatan
“razia” yang menjadi kewenangan dari Satuan Polisi Pamong Praja dan atau
bersama Kepolisian.
Pendekatan yang dilakukan dalam penjangkauan
mengedepankan pendekatan yang manusiawi, dengan mengenal, bermain bersama,
menjalin persahabatan dan menanamkan kepercayaan anak. TPA melakukan wawancara
untuk mengungkapkan masalah yang tengah dihadapi anak kepada anak, orangtua
atau orang terdekat. Pada kegiatan-kegiatannya, TP juga bisa melibatkan anak
yang sudah mendapatkan pembinaan.
Disadari perubahan pendekatan dalam
penanganan anak jalanan ini memerlukan sumber daya manusia yang banyak, biaya
yang besar dan waktu yang panjang. Tapi ini merupakan konsekuensi dari
perwujudan pelaksanaan kewajiban Negara dan perwujudan pelaksanaan tanggung
jawab masyarakat untuk mengatasi persoalan yang menyangkut manusia, dalam hal
ini anak jalanan, sebagai subyek hak yang harus dilindungi dan dipenuhi
hak-haknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar