Seiring dengan kemajuan industrialisasi yang
revolusioner diharapkan memberikan perubahan dalam segala aspek permasalahan di
masyarakat khususnya dalam mengatasi masalah sosial (social problems),
kenyataannya, masalah-masalah sosial hingga kini malah semakin rumit, meskipun
sebagian kecil sudah terangkat. Di Jakarta sebagai ibukota negara khususnya,
malah bobot masalah sosial paling rumit, hal ini paradok dengan kota yang
paling istimewa di negeri ini. Saya akan mengupas salah satu masalah sosial
yang sangat krusial yaitu dialami anak-anak jalanan. Nah, siapa sebenarnya
mereka ?.
Secara umum beberapa ciri anak jalanan itu
yaitu, pertama, berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat
hiburan) selama 3-24 jam sehari. Kedua, berpendidikan rendah (kebanyakan putus
sekolah, bisa dihitung dengan jari yang menamatkan SD). Ketiga, berdasarkan
dari keluarga-keluarga tak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa di antaranya
tidak jelas keluarganya). Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada
sektor informal). Sederhananya mereka adalah anak-anak yang setiap hari di
jalanan dengan berbagai aktivitas yang menghasilkan uang.
keberadaan mereka di jalanan yang ramai
dengan hiruk-pikuk aktivitas kota dan pengguna jalan tentu sangat membahayakan
mereka sendiri. Ditambah lagi dengan rentannya kejahatan-kejahatan di jalanan
yang setiap kali mengancam anak-anak yang belakangan ini terjadi. Tak sedikit
merekalah yang menjadi korban keganasan kerasnya kota. Nah, masalah-masalah
seperti ini tidak bisa didiamkan begitu saja, bagaimanapun juga setiap warga
negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan tanpa terkecuali.
Adapun aktifitas-aktifitas mereka di jalan di
antaranya sebagai pengamen jalanan, penyemir sepatu, pengemis dan lain-lain.
Mereka pun tak kenal rasa takut atau lelah di jalanan meskipun nyawa mereka
menjadi taruhan. Memang kalau dilihat sudut positifnya, mereka bisa mandiri
bahkan menjadi tulang punggung bagi keluarganya, akan tetapi masa-masa
anak-anak yang semestinya bermain dan memperoleh pendidikan, dikorbankan untuk
mencari uang.
Terjadinya konflik banyak pihak di berbagai
tempat menjadikan anak-anak itu mengalami konflik dan eksploitasi yang berlapis
dan tak terelakan. Anak-anak jalanan yang masih memiliki dan tinggal bersama
keluarga mengalami konflik dan eksploitasi di dalam keluarganya sendiri.
Tingkatan konflik dan eksploitasi itu sangat beragam, mulai dari secara halus
mendorong anak bekerja untuk sekedar membantu nafkah keluarga, melakukan
penyiksaan fisik sampai melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri.
Konflik di dalam keluarga ini justru paling
sulit diatasi. Campur tangan pihak luar dengan mudah akan dituding mencampuri
dapur rumah tangga orang lain. Sementara anak-anak yang mengalami pun dalam
kondisi yang dilematis, jika konflik atau eksploitasi dibiarkan begitu saja
akan menjadikan tindakan penganiayaan dan penindasan yang terus berlanjut dan
tak berujung. Namun apabila dilawan, berarti harus berseteru dengan orang tua
sendiri.
Di luar rumah tidak berarti mereka bebas dari
konflik, eksploitasi dan penindasan. Konflik pertama yang umumnya mereka alami
adalah dengan teman sebaya atau dengan orang yang lebih tua untuk meperebutkan
sesuap nasi (rizki), tak jarang konflik seperti ini meruncing menjadi konflik
fisik dan biasanya melibatkan lebih banyak orang. Ujung-ujungnya mereka harus
berhadapan dengan Jegger yang kemudian dengan cara beragam mengekploitasi
mereka.
Konflik eksploitasi dan penindasan yang
dialami oleh anak-anak lebih terbuka sifatnya. Seperti yang lebih banyak
menarik perhatian orang untuk dipersoalkan adalah konflik dengan para petugas
keamanan, kamtib dan penegak hukum. Ini terjadi karena keberadaan anak-anak itu
dijalanan ditambah lagi dengan kegiatan-kegiatan mereka pada sektor informal
bukan saja tak dilindungi hukum, bahkan dinyatakan melanggar hukum.
Tak sedkit pula anak-anak itu yang masih
harus mengalami konflik dan ekploitasi dengan bos-bos mereka yang mengelola dan
memodali usaha pada sektor informal. Bentuknya dapat berupa penetapan upah dan
keuntungan sepihak, serta perlakuan tidak adil lainnya. Kesemuanya ini terjadi
karena pekerjaan sektor informal yang dilakoni anak-anak jalanan ini lebih
banyak diatur dengan apa yang disebut “hukum jalanan”, Jika dibuat herarki
posisi, anak-anak jalanan ini berada paling bawah dalam jaringan konflik,
ekploitasi dan penindasan tersebut. Mereka adalah korbannya korban.
Bukan berarti masih banyaknya anak-anak
jalanan khususnya di Jakarta, tidak ada satu pun NGO atau LSM yang memberikan
bantuan sosial dalam menanggulanginya atau setidaknya mereka tidak berada di
jalanan, mengingat masa-masa mereka semestinya dihabiskan untuk pendidikan dan
bermain bukan malah mencari sesuap nasi. Nah, untuk menaggulangi masalah
anak-anak jalanan perlu memahami kondisi dan tipologi mereka. Kesalahan utama
kita dalam melihat anak-anak jalanan adalah dengan menyeragamkan setiap
permasalah yang dihadapi oleh anak-anak jalanan. Sudut pandang seperti ini
kurang tepat untuk memberikan solusi terhadap beraneka ragam anak-anak bahkan
bisa gagal total niat baik semula.
Untuk memahami anak-anak jalanan tidak cukup
diketahui secara teoritis atau melalui buku saja. Melainkan kita perlu terjun
langsung ke lapangan dengan mengamati setiap tingkah polah yang dilakukan
anak-anak di jalanan. Sehingga kita mengetahui betul tipologi, pola kehidupan,
aktivitas, dan lokasi-lokasi anak-anak jalanan baik untuk mengamen atau tempat
sekedar berteduh bersama teman-temannya.
Sudah dijelaskan di atas bahwa anak-anak
jalanan adalah korbannya korban. Kehidupan anak-anak begitu berbahaya dari
segala ancaman tindakan kriminal, sedangkan orang-orang yang berada di jalan
tak begitu mempedulikan keberadaan mereka. Satu-satunya jalan terbaik yaitu
bagaimana mereka meninggalkan jalanan atau hidup seperti anak-anak pada
umumnya. Tentu upaya semacam ini tidak mudah, karena anak-anak jalanan justru
kebanyakan lebih suka turun ke jalan dari pada mereka bermain atau sekolah
formal yang seharusnya mereka lakukan.
Pendidikan merupakan upaya yang terbaik untuk
menanamkan ketidaktahuan yang mereka hadapi selama ini. Di dalam proses
pendidikan yang mendapat perhatian utama adalah dengan apa yang disebut
humanisasi, yaitu memanusiakan manusia (anak jalanan). Kemudian pembekalan
ketrampilan sebagai media untuk mencari uang. Selain itu kita pun mesti
menciptakan “rumah singgah” buat anak-anak berguna dalam proses pendidikan.
Nah, di dalam rumah singgah itu kita akan mudah mengendalikan anak-anak dan
serta muski diadaptasikan sesuai kondisi anak-anak butuhkan.
Upaya-upaya seperti mengunjungi rumah kedua
orang tua anak-anak (home visit) juga mesti dilakukan untuk mendekatkan relawan
dengan keluarganaya dengan maksud mengetahui pola kehidupan dalam wilayah yang
terkecil (keluarga). Selain itu, bersama dengan upaya mengatasi konflik dan
ekploitasi di dalam keluarga, dilakukan pula usaha mengatasi konflik di
lingkungan terdekat. Upaya ini bisa dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan
para Jegger yang menguasai lokasi anak-anak itu bekerja. Kalau pun para jegger
itu tak bisa membantu, minimal mereka membebaskan anak-anak itu ikut dalam
proses pendidikan.
Dan tidak lupa, selain menekankan terhadap
pendidikan akhlak, baca-tulis dan permainan. Pembekalan ketrampilan merupakan
prioritas yang sangat berperan untuk menggiring mereka keluar dari jalanan.
Ketrampilan yang dimiliki anak-anak akan membantu setelah mereka keluar dari kehidupan
jalanan, atau setidaknya mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Dan
saya rasa, itu adalah solusi terbaik buat anak-anak jalanan bahkan untuk
masyarakat sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar