Pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana
caranya agar anak jalanan berkurang populasinya ? Anak jalanan sudah menjadi
masalah yang sangat kompleks saat ini, keberadaan anak jalanan (anjal) sudah
sangat meningkat dari tahun ke tahun, menurut data Kementerian Sosial Indonesia
tahun 2012 yang lalu menyatakan bahwa jumlah anak-anak yang hidup di jalanan
telah mencapai angka 4,5 juta anak yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia.
Faktor ekonomi, faktor ketidakharmonisan
rumah tangga, tidak baiknya hubungan anak dengan orang tua dan hubungan orang
tua (ayah dan ibu) yang tidak harmonis, terjadi pertengkaran, si anak sering
mendapat perlakuan kasar, tindak kekerasan terhadap anak, faktor lingkungan,
rumah yang tidak sehat, adanya bujukan teman menjadikan pemicu makin maraknya
anak jalanan, belum lagi kegagalan pemerintah dalam mewujudkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dimana dalam alinea ke - 4 (Empat)
dikatakan bahwa Tujuan dari Pemerintahan Indonesia adalah “Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, disamping
itu ada juga Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, yaitu “Mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan”. Menjamin terlaksananya Konvensi Hak Anak dan Penerapan UUD
1945 terutama Pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh
Negara”.
Anak jalanan, arek kere, tekyan atau secara
eufemistik disebut sebagai anak mandiri (di bawah usia 18 tahun), karena mampu
memenuhi kebutuhan hidup pribadi mereka, walaupun dengan pekerjaan yang
semrawutan, beresiko tinggi karena rentan menjadi objek kekerasan seksual,
pengedar dan pemakai narkoba dan minuman-minuman keras beralkohol (NAPZA),
objek eksploitasi anak. Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih dari
keluarga, marginal, Anak jalanan yang bekerja di jalanan, Anak jalanan yang
hidup dijalanan, anak-anak yang memang berasal dari keluarga yang sudah berada
dan hidup dijalanan (turun temurun).
Menurut data resmi yang dirilis Pusat Kajian
Perlindungan Anak (PKPA) menyebutkan sebanyak 800 hingga 900 anak di kota
metropolitan Medan yang masih wajib pendidikan (SD, SMP dan SMA/SMK) menjadi
anak jalanan dan bekerja paruh waktu, angka ini akan bertambah tiap tahunnya.
Sudah menjadi kewajiban kita untuk menurunkan angka ini, belum lagi kasus prostitusi
anak, eksploitasi anak dibawah umur harus menjadi agenda dan komitmen kita
untuk menghapusnya, minimal menurunkan angka. Sudah banyak upaya dan usaha yang
dilakukan oleh pemerintah dalam memberantas anak jalanan ini, namun yang ada
malah makin suburnya anak jalanan. Upaya yang telah dilakukan tentunya sudah
banyak, contohnya : razia gepeng dan anak jalanan, namun solusi ini gagal.
Solusi yang penulis ajukan adalah, adanya PENDIDIKAN BERBASIS KETERAMPILAN bagi
anak-anak jalanan. Pendekatan persuasive, sehingga anak jalanan dengan
sendirinya mau untuk dilatih dan dididik agar memiliki skill dan keterampilan,
agar mereka mampu menyelesaikan masalah ekonomi mereka.
Menurut seorang yang bekerja di LSM yang
mengurusi anak-anak jalanan mengatakan tidak semua anak-anak jalanan itu mau
untuk di-didik, mereka lebih suka hidupnya di jalanan, itu bagi anak jalanan
yang kelompok “Anak Jalanan hidup di jalanan” umumnya mereka berada di jalanan
untuk menghindari kehidupan di rumah yang broken home, mereka umumnya memiliki
orang tua, bahkan orang tua mereka kaya atau berkehidupan yang cukup, namun
karena faktor hubungan yang tidak baik, membuat mereka lari dan mencari teman
dengan hidup di jalanan. Bahkan yang lucunya, pagi sampai sore, ada yang jadi
pengemis, namun malamnya anak jalanan tadi sudah berada di cafe bersama
ceweknya, berada di mall bersama pasangannya. Jadi tidak semua memang anak
jalanan itu mau diberikan pendidikan, walaupun itu gratis, seperti yang di
buat oleh LSM Madya Insani.
Namun, bagaimanapun juga, kita harus terus
mengupayakan agar anak jalanan ini mau di-didik dengan baik, solusinya, mari
kita perbanyak rumah-rumah impian bagi anak jalanan, Dinas Sosial bekerjasama
dengan Dinas Pendidikan harus banyak mendirikan dan menampung anak-anak jalanan
untuk dibina dan diberikan keterampilan khusus (life-skill) bagi mereka dalam
menghadapi era globalisasi ini. Dinas Sosial harus lebih aktif menjaring
anak-anak jalanan di seluruh kota di Indonesia, bekersama dengan Pemkot/Pemkab
setempat untuk dibina. Dinas Pendidikan harus mampu menyediakan tempat
pembinaan semacam “Rumah Impian” bagi anak-anak jalanan yang ramah, memiliki
fasilitas yang lengkap bagi mereka untuk melatih keterampilan yang nantinya
setelah selesai menempuh pendidikan dan pelatihan mereka mampu bekerja dan
mampu membuka usaha sendiri (wirausaha).
Melihat tingginya anggaran pendidikan yang
dialokasikan oleh Pemerintah, terutama dalam pembentukan kurikulum 2013 ini,
maka penulis bukan apatis dan pesimis jika anak jalanan tidak akan ada lagi.
Kurikulum yang ditawarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah
Pendidikan berbasis Kompetensi dan Pendidikan berbasis Teknologi yang memakai
anggaran sebanyak Rp 2,49 triliun dan telah disetujui oleh DPR seharusnya dapat
dinikmati oleh seluruh anak-anak Indonesia, tidak terkecuali anak-anak jalanan.
Semoga Alokasi Pendidikan dan Kurikulum yang baru ini bias menyentuh para anak
jalanan, semoga anak jalanan berkurang bukannya makin bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar