Mereka lahir, bertumbuh dan menjamur di
setiap sudut keramaian kota. Berbagai cara mereka lakukan untuk menarik
perhatian pengguna jalan agar berbaik hati mengulurkan sekeping koin atau
selembar uang kertas ke dalam kantong bekas permen yang disodorkan.
Pernah ada sepasang anak yang naik bis kota
mengenakan seragam sekolah memulai “pertunjukan” dengan kata pembuka “mencari
tambahan untuk uang sekolah karena orang
tua sudah tidak mampu”. Benar tidaknya
hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Kapan belajarnya kalau dari pagi sampai malam
berkeliaran di jalanan ? Atau mungkin saja mereka ikut kejar paket A.
Beberapa kali pernah memergoki sebuah truk
besar menurunkan serombongan anak-anak di bawah umur di salah satu persimpangan
jalan yg ramai, dari yang masih bayi hingga usia remaja. Kepolosan mereka pernah
membuat seorang teman berurai air mata di atas metromini dan ujung-ujungnya menyodorkan gocengan
karena terharu melihat ingus si anak mengalir saingan dengan air mata untuk
menarik perhatian.
Entah mereka direkrut ataukah diambil paksa
dari keluarganya, konon kabarnya mereka ada yang “melindungi”. Pelindungnya adalah
bos yang mempekerjakan mereka untuk mengemis dan duduk santai di keremangan jalan
diam-diam memantau pekerjaan anak buahnya.
Kalau
melirik ke UUD 45, anak jalanan (lebih tepat dituliskan sebagai anak
terlantar) dipelihara oleh negara tapi pada kenyataannya tidak demikian. Kalau Om Chrisye bilang mereka adalah
kumbangnya metropolitan. Tentulah kota ini si kembang yang molek, montok dan
semlohai sehingga mengundang kumbang-kumbang untuk hinggap mengisap madunya.
Kalau pada akhirnya tak dilirik sedikit pun,
apakah si kembangnya salah berdandan ?.
anak jalanan kumbang metropolitan
selalu dalam kesepian
anak jalanan korban kemunafikan
selalu kesepian di keramaian
tiada tempat untuk mengadu
tempat mencurahkan isi kalbu
cinta kasih dari ayah dan ibu
hanyalah peri yang palsu
[anak jalanan - chrisye]
Anak jalanan, siapa yang peduli ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar