Jumlah Komunitas jalanan di Indonesia
mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan, krisis ekonomi
diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah anak di jalanan.
Peningkatan anak terbesar karena dampak krisis ekonomi sehingga membuat banyak
komunitas jalanan yang merupakan rumah tangga miskin yang menyia-nyiakan
anaknya. Peningkatan anak jalanan juga disebabkan dari keluarga broken home.
Selain itu, pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan sosial yang
mempunyai efek samping merebaknya anak-anak jalanan.
Anak dalam komunitas jalanan adalah
masyarakat yang hidup dan tinggal dalam keluarga yang terpinggirkan sehingga
mereka hidup di lingkungan jalanan. Profesi keluarga dalam komunitas jalanan antara
lain sebagi pemulung, pedagang asongan, gelandangan dan pengemis.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan
terhadap anak antara lain: anak mengalami cacat tubuh, kemiskinan keluarga,
korban broken home akibat perceraian, keluarga yang belum matang secara
psikologis, kondisi sosial yang buruk, keterbelakangan, dll. Anak jalanan
selalu berhadapan dalam situasi eksploitasi, baik oksploitasi ekonomi,
penyalahgunaan obat terlarang, eksploitasi seksual, penculikan, perdagangan.
Pada kenyataannya, secara historis, meskipun telah diusahakan pencegahan oleh
berbagai pihak, jumlah anak terlantar dari tahun ke tahun semakin meningkat
(Listyawato. 2010:67).
Masalah perlindungan terhadap hak-hak anak di
Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup. Dalam kenyataan yang terjadi di
masyarakat, dapat dilihat bahwa banyak peristiwa yang merenggut masa kecil
sekaligus masa depan anak. Padahal UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak, dan ditegaskan kembali oleh UU No. 23 tahun 2002 pasal 6 tentang
perlindungan anak yang menyebutkan, bahwa perlindungan dan hak anak merupakan
hak setiap anak termasuk di dalamnya anak-anak terlantar. Hak-hak anak antara
lain hak untuk hidup, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berekspresi,
hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan, hak untuk mendapatkan perhatian dan
perlindungan dari orang dewasa, perlindungan dari ancaman yang membahayakan
bagi keselamatan bagi dirinya, hak untuk memperoleh kesamaan dalam pendidikan,
pekerjaan, kesehatan, hak memperoleh pekerjaan, hak untuk mendapat pemenuhan
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hal tersebut sungguh bertolak belakang
antara das sein dan das sollen yang ada.
Kekerasan structural paling menjadi problem
utama kehidupan anak-anak Indonesia. Kombinasi persoalan internal (keluarga)
dan persoalan kultural dihubungkan dengan problem structural membuat kehidupan
anak-anak Indonesia masuk lingkaran setan yang tidak mudah diatasi. Jenis
kekerasan dari 18 kekerasan, yang sangat marak menimpa mereka adalah
trafficking sejumlah 12,7 % dan penganiayan. Berdasarkan hasil temuan dari
Komite Nasional Perlindungan Anak, sebagaimana yang diungkapkan oleh Seto
Mulyadi, kasus kekerasan dan kejahatan yang dialami anak dapat dilakukan baik
oleh orang tua, masyarakat, pemerintah maupun oleh sesama anak.
Saran untuk mencegah terjadinya tindakan
kekerasan yang dialami anak dari keluarga marginal anatara lain melalui
penanganan anak yang terpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada
fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Anak jalan atau anak
yang sebagian besar waktunya dihabiskan di jalan, mereka diusahakan tetap masih
berada di lingkungan keluarga. Kegiatannya biasa meliputi: peningkatan
pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, kesempatan anak
untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar