|
Senin, 2 September 2013, pukul 07.00 telah berpulang salah seorang tokoh dan pakar sosiologi hukum: Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA. Meski saya sudah menduga, tetap saja kepergian Pak Tandyo terasa mengejutkan. Secara fisik, guru besar kelahiran 1932 itu sebetulnya tampak sehat dan masih berjalan dengan langkah-langkah yang panjang.
Sehari-hari bergaul di kantor dan sering bepergian bersama dia, nyaris tidak ada makanan yang ditolak. Pak Tandyo betah duduk berlama-lama di rumah makan, di warung, atau di mana pun sembari mencicipi aneka makanan dan minum es cao, es dawet, atau apa pun yang penting harus es. Setiap kali makan, Pak Tandyo selalu minum es.
Ketika saya menemani Pak Tandyo melakukan penelitian di Negeri Johor dan seminar di Kuala Lumpur awal 2012, yang selalu dicari Pak Tandyo adalah durian goreng. Meski, sebelumnya makan sea food dan kambing guling di Hotel Istana yang megah di daerah Bukit Bintang. Bau durian goreng, rupanya jauh lebih menggoda daripada ingat nasihat dokternya. Encik Yusri, kepala Majlis Keselamatan Negeri Johor, alumnus FISIP Unair, yang mengundang kami, bahkan secara khusus memesan dan menggorengkan durian untuk Pak Tandyo ketika kami diundang makan malam di rumahnya.
''Apakah Pak Tandyo tidak takut diabetes, stroke, atau kelebihan kolestrol ?'' Pak Tandyo biasanya hanya tertawa dan mengatakan, ''Yang penting BNI.'' Yang dimaksud Pak Tandyo adalah ''Batasi, Nikmati, dan Imbangi''. Entah untuk menghibur diri sendiri atau menutupi kegemarannya makan, Pak Tandyo selalu mengatakan yang penting dalam hidup adalah bagaimana kita membatasi apa yang kita makan dan menikmati apa yang tersedia. Tetapi, jangan lupa imbangi dengan kegiatan lain agar apa yang kita makan tidak berkembang menjadi sumber penyakit.
Berbincang dengan Pak Tandyo biasanya hanya sesekali mendiskusikan hal-hal yang akademis. Lebih banyak hanya perbicangan ringan yang tidak tentu arah, yang penting menyenangkan. Pak Tandyo anti mempergunjingkan orang lain, apalagi teman atau kolega sendiri. Setiap kali saya dan teman-teman lain yang muda-muda mempergunjingkan perilaku orang lain di kantor yang dianggap aneh dan menjengkelkan, Pak Tandyo biasanya hanya tersenyum tanpa menimpali.
Membuka telinga dan menjadi pendengar yang baik adalah salah satu sifat Pak Tandyo. Kalaupun Pak Tandyo berkomentar, biasanya filosofis dan penuh metafora. ''Orang itu jangan seperti ayam. Kalau ada rezeki, pasti kemruyuk rebutan antarteman sendiri dan kalau perlu saling patuk. Jadi dosen ya jangan hanya berkiprah di kandang sendiri, tetapi harus mampu membangun reputasi ke lingkungan luar.'' Pak Tandyo juga mengingatkan, ''(Bahkan) babi itu kalau ada makanan pasti dimakan bersama, tanpa harus saling sikut seperti politikus...'' kata Pak Tandyo.
Cara Pak Tandyo berhubungan dan menghargai orang lain, terutama cara Pak Tandyo berbicara yang tidak pernah membedakan-bedakan siapa lawan bicaranya, sesungguhnya merupakan sebuah teladan hidup yang kuat. Pak Tandyo adalah sosok yang tidak membutuhkan penghormatan tata krama yang rumit. Berbincang dengan Pak Tandyo biasanya berlangsung lepas, penuh kelakar, dan sesekali saling ejek tanpa harus direcoki kekhawatiran apakah yang kita lakukan melanggar tata krama atau tidak.
Di kampus, di gedung FISIP Unair, untuk mencari Pak Tandyo apakah sudah hadir atau belum, sangat mudah. Lihatlah di lantai bawah, di depan ruang perlengkapan, apakah di sana ada sepeda butut yang di depannya ada keranjang yang sudah berkarat. Pak Tandyo, meski di rumahnya ada mobil, setiap hari berangkat ke kampus selalu menunggangi kendaraan kesayangannya yang butut itu.
Sebagian orang memang mengatakan Pak Tandyo pelit. Tetapi, saya lebih suka mengatakan bahwa yang dilakukan Pak Tandyo itu adalah bentuk kesederhanaan dan sikap hemat. Nasi kucing (sebutan untuk nasi bungkus seharga Rp 2.500 yang dijual di sepanjang jalan di depan kampus Unair) merupakan salah satu menu sarapan pagi Pak Tandyo yang dibeli ketika berangkat ke kampus FISIP Unair.
Mantan anggota Komnas HAM yang pernah memperoleh Yap Thiam Hien Award 2011 itu juga memiliki jiwa petualang. Ketika teman-teman di Departemen Sosiologi FISIP Unair berlibur bersama, mereka memilih ke Makau, Hongkong, Shenzhen, Singapura, Malaysia, dan lain-lain yang menyenangkan. Tapi, Pak Tandyo usul, ''Bagaimana kalau sesekali kita pergi liburan ke Vietnam, melihat sarang tikus bekas tentara Vietkong?''
Ketika dulu kuliah di Amerika, saat liburan dan teman-temannya dari Indonesia memilih pulang kampung, Pak Tandyo bercerita, uang tabungannya dari sisa beasiswa malah digunakan untuk pergi ke Mesir, merangkak di makam kuno untuk melihat-lihat dalamnya piramida. Jika ke Australia, Pak Tandyo juga lebih senang pergi ke Darwin, mencari menu makanan daging kanguru atau daging buaya!
Sejak memasuki usia ke-81, jika naik tangga ke lantai dua, Pak Tandyo kadang mengeluh tempurung lututnya agak sakit dan kaku. Tetapi, ketika sudah sampai di mejanya dan kemudian membuka laptop, Pak Tandyo akan betah mengetik dan mengetik mulai 08.00 hingga 14.00 - sebuah stamina fisik dan pikir yang luar biasa. Saya sendiri, dalam hati, sering adu stamina dengan Pak Tandyo. Ikut mengetik berjam-jam, menulis artikel, bahan ajar, mengerjakan laporan penelitian atau membuat buku, dan lain-lain.
Saya ingat ungkapan Pak Tandyo, ''Jadi doktor atau profesor jangan seperti pohon pisang, sekali berbuah kemudian mati. Jadi profesor, tetapi tidak pernah membuat buku, ibaratnya adalah kesatria Jepang yang tidak memiliki semangat samurai.'' Pak Tandyo, bagi saya, adalah The Last Samurai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar