Islam tidak melulu berbicara mengenai ibadah wajib (mahdhah, vertikal), tapi juga ibadah sosial (ghairu mahdhah, horisontal). Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya. Keduanya harus serimbang, seiring dan sejalan, saling melengkapi serta saling menyempurnakan. Melakukan ibadah wajib semata adalah orang yang merugi, karena belum memberi manfaat kepada sesama (bangsa dan negara). Sedangkan melakukan ibadah sosial tanpa dibarengi ibadah wajib, maka akan sia-sia.
Pada kenyataannya, masih banyak umat Islam di Indonesia yang masih memahami bahwa kesalehan di mata Allah SWT hanya kesalehan pribadi semata. Sementara, kesalehan sosial belum dianggap sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari hidup keseharian. Padahal, dalam ajaran Islam banyak mengandung nilai-nilai sosial yang memiliki peran yang sangat besar dan signifikan dalam pembangunan bangsa.
Berikut beberapa nilai sosial Islam yang bisa dijadikan sebagai modal dasar pembangungan bangsa, di antaranya:
Ta’awun (Tolong-Menolong)
Memiliki sifat suka menolong merupakan salah satu ciri orang yang beriman (At-Taubah: 71). Menolong tanpa pamrih, tulus, dan hanya mengharap keridhaan Allah SWT semata. Bukan menolong karena berharap imbalan materi atau ingin dipuji oleh orang lain. Tolong-menolong harus dalam hal kebaikan dan kemaslahatan, bukan dalam hal keburukan dan kezhaliman. Tolong menolong dalam skala kecil seperti menolong tetangga atau menolong rekan kerja. Sedangkan menolong dalam skala yang luas, seperti yang kuat menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin, yang berkuasa menolong yang terzhalimi. Suka menolong harus menjadi kesadaran iman bagi setiap Muslim. Buat apa kita rajin beribadah tapi enggan memberikan pertolongan. Buat apa kita kaya-raya tapi hanya untuk diri sendiri dan enggan berbagi. Mengapa kita tidak malu mengaku Muslim jika tidak memiliki kepedulian pada orang lain. Mengapa kita mesti bangga telah menjadi orang sukses, jika di sekitar kita masih banyak orang yang kesusahan. Dan bagaimana kita bisa percaya diri mengaku sebagai pejuang, apabila kita membiarkan penyakit sosial makin merajalela. Menyantuni fakir-miskin, mengurus anak yatim, menolong kaum dhuafa bukanlah tugas pemerintah saja tapi tugas kita semua (tugas setiap orang yang mengaku beriman). Kalau ada tetangga kita yang miskin, kalau ada di kampung kita yang menjadi pengemis, kalau masih banyak di desa kita yang tidak mampu sekolah jangan langsung menyalahkan pemerintah dan salahkan diri kita sendiri. Mengapa kita tidak membantu mereka, mengapa kita tidak peduli dengan mereka. Tolong-menolong dalam lingkup kehidupan bernegara dan berbangsa terjadi antara pemerintah dan rakyat. Kedua elemen tersebut jika tidak saling tolong-menolong, maka pembangunan akan terhambat. Program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah harus mendapat dukungan dan partisipasi dari rakyat. Sedangkan pemerintah harus dengan terbuka menerima masukan dan aspirasi dari rakyat.
Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS)
Kesalehan sosial berikutnya yang memiliki peran besar dalam pembangunan bangsa adalah pelaksanaan zakat, infaq, dan shadaqah. Pada kenyataannya, walau banyak umat Islam yang kaya-raya atau berkelimpahan harta, tapi mereka masih enggan untuk berinfaq atau bersedekah. Termasuk mereka yang memiliki harta-benda yang sudah mencapai nisab, mereka pun belum mau membayar kewajiban zakat. Jika yang kaya menyantuni yang miskin, jika yang kuat dan berkelimpahan harta bersedekah kepada mereka yang dhuafa. Sehingga bisa mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sekaligus menurunkan tindak kriminal. Nilai sosial dari berinfaq dan bersedekah sangat besar perannya dalam pembangunan dan kemaslahatan umat. Maka semangat untuk berbagi, gairah untuk memberdayakan orang lain, dan sikap peduli terhadap mereka yang lemah adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam diri orang beriman. Di sisi lain, sifat-sifat serakah, rakus, zhalim, dan hubbun-dunya harus kita tanggalkan. Sementara zakat pun memiliki andil yang tak kalah pentingnya bagi pembangunan dan kesejahteraan umat. Apabila semua orang Islam yang sudah wajib zakat melaksanakannya kewajibannya dengan baik dan tepat waktu (Al Baqarah: 43), maka kesejahteraan dan kemakmuran yang akan terjadi. Bisa dibayangkan berapa uang dan harta yang akan terkumpul jika penduduk Muslim di Indonesia membayar zakat. Dana zakat yang besar tersebut bisa disalurkan untuk berbagai keperluan, seperti menyantuni fakir-miskin dan yatim piatu, pengembangan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, program dakwah maupun pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan, fasilitas sosial, dan lain-lain. Jadi, alangkah tidak bijak jika kita hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah atau menadahkan tangan meminta-minta. Karena bagaimana pun, rakyat harus proaktif dan partisipatif dalam setiap kegiatan pembangunan. Bahkan untuk mencapai pembangunan yang cepat dan berhasil guna, maka semboyan pemilu pun juga tepat diterapkan dalam hal pembangunan, yaitu "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".
Qurban
Ibadah qurban sangat dianjurkan dalam Islam. Selain bertujuan sebagai pengabdian dan bentuk ketaatan kepada Sang Pencipta, melakukan qurban merupakan perwujudan kesalehan sosial seseorang. Nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya sangatlah tinggi, diantaranya adalah solidaritas sosial, kedermawanan, kepedulian, juga persaudaraan. Dengan berqurban, kita dididik untuk memiliki karakter untuk senang berbagi. Berbagi rejeki, berbagi kebahagiaan, dan berbagi kebersamaan. Fakir-miskin dan kaum dhuafa yang jarang makan daging, bisa merasakan nikmatnya memakan daging. Sedangkan bagi yang berkurban, bisa menghilangkan ketamakan dan cinta harta berlebihan. Peristiwa qurban yang setiap tahun dirayakan umat Muslim di seluruh dunia seharusnya tak lagi hanya dimaknai sebatas proses ritual keagamaan, tetapi juga diletakkan pada peneguhan nilai-nilai sosial-kemanusiaan dan semangat keadilan, sebagaimana pesan Allah SWT dan Rasul-Nya lewat Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain, ibadah qurban bukan hanya bermakna bagaimana manusia berusaha mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama kepada mereka yang fakir-miskin dan dhuafa. Sehingga mencerminkan dengan tegas pesan nilai sosial Islam. Dalam Q.S. Al Hajj: 36 menegaskan bahwa qurban sebagai media untuk ber-taqarrub kepada Allah SWT, selalu terkait dengan anjuran untuk memperhatikan dimensi-dimensi kesejahteraan sosial baik secara material, moral, dan spiritual. Jadi, qurban bukan semata-mata ibadah individual tetapi juga ibadah sosial. Dengan disyari’atkannya qurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama (khairunnas anfa’uhum lin-naas). Di samping itu, ibadah qurban memiliki dimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal ini terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan qurban, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berbaur, berkumpul, dan berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi fakir-miskin, lebih-lebih dalam situasi krisis ekonomi dan moneter seperti sekarang ini sangat tinggi nilainya, saat mereka menerima daging hewan kurban tersebut. Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaan sosialnya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang tinggi. Atas dasar uraian tersebut, secara garis besar, semangat berqurban mempunyai dua nilai, nilai kesalehan spiritual dan nilai kesalehan sosial. Nilai sosial yang bisa diperoleh adalah semakin eratnya hubungan antara si kaya dan si miskin, memperkokoh tali persaudaraan, dan terciptanya kehidupan yang harmonis terutama dalam bidang sosial-ekonomi. Dalam kerangka kehidupan berbangsa, pelaksanaan ibadah qurban bisa membantu program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerataan ekonomi, dan menumbuhkan lapangan kerja baru. Juga memperkuat rasa persatuan dan persaudaraan, berkurangnya jurang pemisah antara si kaya dan miskin, serta timbulnya keadilan sosial dan ekonomi. Itulah beberapa perintah dan ibadah dalam Islam yang mengandung nilai-nilai sosial yang memiliki peranan besar dalam membangun diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila umat Islam di Indonesia mampu melaksanakan berbagai ibadah tersebut dengan baik, secara langsung maupun tidak langsung mereka telah berpartisipasi dan proaktif dalam membangun bangsa.
Tidak sedikit umat Islam yang masih terjebak pada ritualisme, melakukan sebuah ibadah hanya sekedar menjalankan perintah atau untuk mendapatkan pahala semata. Mereka tanpa sadar memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, atau dengan kata lain ibadah yang dilakukannya hanya berefek pada kehidupan akhirat saja.
Akibatnya tak jarang mereka melakukan suatu amalan hanya mengutamakan kuantitas tanpa memperhatikan kualitas, perbuatan yang berulang-ulang, tanpa pemaknaan dan penghayatan. Padahal setiap ibadah yang kita lakukan harus diikuti proses transendensi dan kontemplasi, dan yang terpenting adalah setiap ibadah ritual selalu memiliki implikasi sosial.
Padahal seharusnya dari mulai ibadah rutin keseharian kita, seperti shalat, dzikir, baca Al Qur’an, puasa Senin-Kamis, hingga ibadah pada waktu-waktu tertentu seperti puasa Ramadhan, shalat Id, qurban dan lain-lain. Semua itu, selain berdimensi vertikal, juga memiliki dimensi horisontal (sosial).
Dalam Q.S. Ibrahim: 7 disebutkan bahwa, "tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku". Ini mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan ke dunia ini diperintahkan untuk beribadah baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal. Namun sebagian kita masih mengartikannya secara sempit, yaitu hanya ibadah vertikal saja. Akibatnya masih banyak orang yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, antara kerja dan ibadah.
Hal ini terbukti, ada orang yang sangat rajin beribadah, tapi malas bekerja. Ada yang rutin baca Qur’an, tapi tidak peka sosial. Ada yang rajin berpuasa sunnah, tapi perilaku kesehariannya masih buruk. Kesalehan individual, tidak diikuti dengan kesalehan sosial. Padahal, nilai-nilai sosial Islam yang terkandung dalam ibadah dan ajaran Islam haruslah termanifestasikan dalam kerja dan perilaku sehari-hari.
Sering kita temui, para pemuka agama, pejabat, tokoh politik, yang sekalipun mengaku beragama dan rajin beribadah tapi masih anti-sosial dan serakah, hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok (golongan, partainya). Janji untuk dekat kepada rakyat, berpihak kepada yang lemah, dan membantu yang miskin hanyalah sekedar retorika belaka.
Sudah sepatutnyalah kita mencontoh Rasulullah SAW, para sahabat, alim-ulama, serta para pendiri negeri ini, tentang bagaimana mereka memahami agama dan mempraktikkannya. Selain mereka taat beribadah pada Allah SWT, mereka juga beramal nyata, memiliki rasa kemanusiaan dan kepeduliaan sosial yang tinggi, serta bisa menjadi contoh dan tauladan dalam berbagai hal bagi orang-orang di sekitarnya.
Ibadah yang kita lakukan sehari-hari baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial yang sangat berguna bagi kepentingan dan kemaslahatan umat. Amalan ibadah sekecil apapun, pasti memiliki dimensi sosialnya sendiri.
Nilai-nilai sosial yang terkandung dalam ajaran Islam juga sepadan dengan nilai-nilai universal, seperti musyawarah, persaudaraan, bekerjasama, menghormati orang lain, persamaan, dan sebagainya. Juga dalam ibadah qurban atau zakat, terdapat nilai-nilai universal seperti semangat berbagi, kepedulian, solidaritas, empati, dan lain-lain.
Sudah barang tentu, jika nilai-nilai sosial Islam tersebut dipahami, disadari, dan dilaksanakan oleh setiap Muslim akan memberikan sumbangsih yang sangat besar dan signifikan terhadap pembangunan bangsa dan negara. Apabila kemiskinan dapat dikurangi, ketidakadilan dapat diberantas, serta kesenjangan ekonomi tak lagi kentara, paham-paham seperti radikalisme, anarkisme, hingga terorisme juga dapat diminimalisir. Sebab tindakan-tindakan tersebut lebih dipicu oleh faktor sosial-ekonomi daripada faktor keyakinan atau agama.
Nilai-nilai sosial Islam jika diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan mampu menumbuhkan rasa cinta tanah-air dan nasionalisme. Kepedulian terhadap korban banjir, gempa bumi, tanah longsor, daerah pedalaman, akan menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dan anti-permusuhan.
Akhir kata, mari kita sama-sama kembali menggali nilai-nilai sosial dalam ajaran Islam untuk kemudian kita pahami, kita sadari, dan kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari dengan ibadah yang kita lakukan, kita asah kepekaan sosial kita, kita tingkatkan kepedulian kita untuk menuju Indonesia yang makmur dan sejahtera, serta berkeadilan sosial.
Sumber: Dikutip dari beberapa sumber
Oleh: Faisal Ahmad Fani (Pemuda Peduli Dhuafa Gresik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar